Sejarah Perkembangan Hadist (Part One)
Kata Pengantar Penulis
Insya Allah, pada catatan kali ini akan mengambarkan perjalanan hadits dari era Rasulullah sendiri hingga pembukuan hadist oleh Imam-imam hadist. Sehingga tulisan-tulisan ini akan terus bersambung yang akan memudahkan teman-teman yang memang membutuhkannya.
Membaca dan mengkaji perjalanan hadist ini sama saja seperti halnya kita membaca dan mengkaji perjalanan Al-Qur’an itu sendiri. Karena Qur’an dan Sunnah Nabi adalah sumber hukum yang tidak bisa dipisahkan.
Dengan banyak membaca riwayat perkembangan hadist ini, insya Allah akan menumbuhkan rasa cinta kita pada hadist, seterusnya dimungkinkan kita akan mencintai Nabi. Proses itu terus berlanjut dengan kemungkinan mencintai Al-Qur’an pula selain sunnah Nabi. Jika hal itu terus dilakukan apakah tidak mungkin kita akan mengamalkan isi Qur’an dan hadist…Insya Allah.
Mungkinkah kita mengamalkan Qur’an dan Sunnah tanpa cinta lebih dahulu pada keduanya? Mungkinkah kita mencintai keduanya tanpa mengenalnya??? Mungkinkah kita mengenalnya tanpa mempelajarinya? Minimal membaca sejarahnya?? Mungkinkah kita belajar tanpa ada rasa ingin belajar Islam atau tidak ada jerih payah???... Yah semuanya bermula dari yang kecil dan ringan.
Sumber bacaan diambil dari beberapa buku, namun tulisan ini saya ambil dari beberapa catatan di Internet, agar saya pribadi tidak terlalu capek menulisnya. Namun tentu saja terlebih dahulu di edit. Banyak dalil-dalil yang tidak saya tulis karena tulisan ini hanya mengambarkan perjalanan sejarah saja.
Selamat membaca
Pembagian Sejarah Perkembangan Hadist
Ada beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
Periode pertama:
Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
Periode kedua,
Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
Periode keempat,
Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
Periode kelima
Mmasa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
Periode keenam
Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)
Periode ketujuh,
Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
PERIODE PERTAMA
Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Para sahabat sangat memperhatikan apapun bentuknya yang berkenaan dengan Rasulullah baik berupa perkataanya, kehidupannya dan yang paling penting yang berkenaan dengan hukun-hukum Islam.
Di samping sebagai Nabi, Rasulullah juga merupakan panutan dan tokoh masyarakat. Beliaupun sebagai pemimpin, bagian dari masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman, maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya dianggap ajaran untuk berdialog dengan sahabat di berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Penerimaan & Penghafalan Hadist Oleh Sahabat
Setelah para sahabat mendengar dari Rasul, merekapun mengisahkan kembali apa yang mereka lihat atau dengar kepada keluarga, teman-teman, tetangga atau siapa saja yang mereka temui. Sebagian sahabat bahkan sengaja datang ke kediaman Nabi meskipun jauh letaknya hanya untuk bertanya. Diriwayatkan ada Kabilah di luar kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Para sahabat yang sudah menerima hadist-hadist dari Nabi, sebagian besar menghafalnya,dan hanya beberapa yang menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Ketika menghafal terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Diantara sahabat yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi Saw antara lain Abu Hurairah yang meriwayatkan hadist (dalam kitab-kitab hadist sekarang) sebanyak 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Cara Sahabat Menerima Hadist
Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadist antara lain:
Para sahabat selalu mendatangi majelis ilmu yang diselanggarakan Rasulullah Saw. Beliaupun selalu menyediakan waktu untuk mengajar para sahabat. Jika ada seorang sahabat absen, sahabat lain yang hadir akan memberitahukan pengajaran yang di dapat. Bahkan banyak sahabat yang diam-diam memperhatikan kehidupan Nabi meskipun harus bertanya kepada istri-istri beliau
Rasulullah sendiri yang mengalami persoalan kemudian memberitakan kepada sahabat. Sahabat lain yang mendengar langsung menyampaikan lagi pada keluarganya dan sahabat lainnya. Sehingga sabda Nabi ini cepat tersebar luas. Jika yang hadir sedikit, Rasulullah memerintahkan agar yang tidak hadir diberitahu
Para sahabat sendiri yang langsung bertanya kepada Nabi tanpa malu-malu ketika ada persoalan yang menimpa mereka. Ataupun jika ada seorang sahabat yang merasa malu untuk bertanya, iapun mengutus sahabat lainnya.
Semangat Para Sahabat Dalam Menerima & Menyampaikan Hadist
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Dinyatakan secara tegas oleh Allah, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan utama (uswah hasanah) yang harus diikuti oleh orang-orang beriman dan sebagai utusan Allah yang harus ditaati oleh mereka. Allah berfirman:
“ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab: 21)
Allah dan Rasul-Nya memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka yang pengetahuan (ilmu Islam khususnya). Seperti yang terdapat dalam Qur’an:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az Zumar : 9)
Para sahabat berusaha memperoleh ilmu yang banyak yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Nabi memerintahkan para sahabatnya untuk menyampaikan pengajaran kepada mereka yang tidak hadir. Nabi menyatakan bahwa boleh jadi orang yang tidak hadir akan lebih paham daripada mereka yang hadir mendengarkan langsung dari Nabi. Perintah ini telah mendorong para sahabat untuk menyebarkan apa yang mereka peroleh dari Nabi.
Kesimpulan
Para sahabat sangat antusias mencari dan mendengarkan hadist Nabi Saw. Bahkan mereka tidak segan bertanya atau mencari tahu hadist yang tidak didengarnya dari sahabat lainnya. Meskipun jarak tempuh yang mereka lakukan untuk mendengar hadist begitu jauh.
Mencari ilmu pengetahuan Islam ketika itu adalah mencari, mendengarkan dan mendiskusikan hadist dari sumbernya langsung yaitu Nasi Saw
Pembelajaran Islam, ketaatan dalam Islam indentik dengan mencari Ilmu Islam itu sendiri. Ini dibuktikan dengan peragaan sahabat yang terus mencari ilmu, belajar dan berguru.Di tangan sahabat inilah Islam bersinar terang ke semua belahan dunia. Karena di tangan mereka adalah ilmu Islam yang akan terus digapai oleh generasi Islam berikutnya.
Islam adalah ilmu sebelum bertindak, artinya mereka.."sami'na wa Atho'na..Aku tunduk dan aku patuh. Mereka sangat khsusuk mendengarkan hadist dan ketika mengajarkannya, tanpa memikirkan lebih jauh ketika itu. Namun setelah wafatnya sang Nabi, para sahabat terkenal dengan kepiawaian mereka dalam diskusi, dalam berpidato, dalam fikih, tafsir dan lainnya. Meskipun ketika Nabi masih hidup sebagian besar para sahabat tidak bisa membaca dan menulis....pantaslah jika Allah Swt memuji para sahabat dan ridha kepada mereka
"Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha (merasa puas terhadap limpahan rahmat) Allah." (QS. Al-Mujadilah22)
Insya Allah, pada catatan kali ini akan mengambarkan perjalanan hadits dari era Rasulullah sendiri hingga pembukuan hadist oleh Imam-imam hadist. Sehingga tulisan-tulisan ini akan terus bersambung yang akan memudahkan teman-teman yang memang membutuhkannya.
Membaca dan mengkaji perjalanan hadist ini sama saja seperti halnya kita membaca dan mengkaji perjalanan Al-Qur’an itu sendiri. Karena Qur’an dan Sunnah Nabi adalah sumber hukum yang tidak bisa dipisahkan.
Dengan banyak membaca riwayat perkembangan hadist ini, insya Allah akan menumbuhkan rasa cinta kita pada hadist, seterusnya dimungkinkan kita akan mencintai Nabi. Proses itu terus berlanjut dengan kemungkinan mencintai Al-Qur’an pula selain sunnah Nabi. Jika hal itu terus dilakukan apakah tidak mungkin kita akan mengamalkan isi Qur’an dan hadist…Insya Allah.
Mungkinkah kita mengamalkan Qur’an dan Sunnah tanpa cinta lebih dahulu pada keduanya? Mungkinkah kita mencintai keduanya tanpa mengenalnya??? Mungkinkah kita mengenalnya tanpa mempelajarinya? Minimal membaca sejarahnya?? Mungkinkah kita belajar tanpa ada rasa ingin belajar Islam atau tidak ada jerih payah???... Yah semuanya bermula dari yang kecil dan ringan.
Sumber bacaan diambil dari beberapa buku, namun tulisan ini saya ambil dari beberapa catatan di Internet, agar saya pribadi tidak terlalu capek menulisnya. Namun tentu saja terlebih dahulu di edit. Banyak dalil-dalil yang tidak saya tulis karena tulisan ini hanya mengambarkan perjalanan sejarah saja.
Selamat membaca
Pembagian Sejarah Perkembangan Hadist
Ada beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
Periode pertama:
Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
Periode kedua,
Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
Periode keempat,
Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
Periode kelima
Mmasa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
Periode keenam
Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)
Periode ketujuh,
Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
PERIODE PERTAMA
Hadis pada Masa Rasulullah Saw
Para sahabat sangat memperhatikan apapun bentuknya yang berkenaan dengan Rasulullah baik berupa perkataanya, kehidupannya dan yang paling penting yang berkenaan dengan hukun-hukum Islam.
Di samping sebagai Nabi, Rasulullah juga merupakan panutan dan tokoh masyarakat. Beliaupun sebagai pemimpin, bagian dari masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga, teman, maka, tingkah laku, ucapan dan petunjuknya dianggap ajaran untuk berdialog dengan sahabat di berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hal itu untuk lebih mendalami ajaran Islam.
Penerimaan & Penghafalan Hadist Oleh Sahabat
Setelah para sahabat mendengar dari Rasul, merekapun mengisahkan kembali apa yang mereka lihat atau dengar kepada keluarga, teman-teman, tetangga atau siapa saja yang mereka temui. Sebagian sahabat bahkan sengaja datang ke kediaman Nabi meskipun jauh letaknya hanya untuk bertanya. Diriwayatkan ada Kabilah di luar kota Madinah secara rutin mengutus salah seorang anggotanya pergi mendatangi Nabi untuk mempelajari hukum-hukum agama. Dan sepulang mereka kembali ke kampungnya, mereka segera mengajari kawan-kawannya.
Para sahabat yang sudah menerima hadist-hadist dari Nabi, sebagian besar menghafalnya,dan hanya beberapa yang menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Ketika menghafal terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Diantara sahabat yang mencatat hadis yang didengarnya dari Nabi Saw antara lain Abu Hurairah yang meriwayatkan hadist (dalam kitab-kitab hadist sekarang) sebanyak 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadis.
3. Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadis.
6. Abu Said AI-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadis.
Cara Sahabat Menerima Hadist
Ada beberapa cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadist antara lain:
Semangat Para Sahabat Dalam Menerima & Menyampaikan Hadist
Minat yang besar para sahabat Nabi untuk menerima dan menyampaikan hadist disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
“ Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. AL-Ahzab: 21)
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az Zumar : 9)
Para sahabat berusaha memperoleh ilmu yang banyak yang pada zaman Nabi, sumber pengetahuan adalah Nabi sendiri.
Kesimpulan
"Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha (merasa puas terhadap limpahan rahmat) Allah." (QS. Al-Mujadilah22)
Sejarah Perkembangan Hadist (Part Two)
Hadist Pada Zaman Sahabat (Khulafa ar-Rasyidin)
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan beriman kepada beliau. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat yang sering bersama Nabi Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Sahabat Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat yang pernah bertemu dengan Nabi Saw kemudian beriman di hadapan beliau. Namun karena satu sebab mereka jarang bertemu Nabi, ataupun berada di kota lainnya dan lainya.
Setelah wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Kibar Sahabat)
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya: ‘Aisyah (W. 57 H/677 M), Abu Hurairah (W. 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (w 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khattab (W. 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (W. 78 H/697 M)
Para Sahabat Sangat Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu Bakar ketika dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan Mughirah tersebut.
Kasus dia atas menunjukan, bahwa Abu Bakar tidak segera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Jika ternyata ada seorang sahabat pernah mendengar hukumnya dari Nas Saw, maka ia harus menghadirkan seorang saksi.
Seruan Umar Agar Teliti Meriwayatkan Hadist
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :
”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Al-Qur’an.
Alasan lainnya adalah karena dengan meriwayatkan hadist ketika, jika tidak berhati-hati akan menyebabkan banyak kesalahan dalam periwayatan dan ini bersumber pada sabda Nabi Saw sendiri:
“Seorang dianggap pembohong jika membicarakan (meriwayatkan) sesuatu yang didengarnya (jika tidak benar).” (HR. Muslim)
Hal lain yang menyebabkan ketatnya penerimaan hadist oleh kedua khalifah ini, karena ditakutkan hadist itu diriwayatkan dengan tidak benar, tergesa-gesa sehingga menyebabkan kesalahan dalam periwayatan. Jika riwayat itu salah maka hal itu dianggap pembohong, dan membohongi Nabi sendiri. Ancaman Nabi Saw bagi yang membohongi dirinya adalah neraka seperti ancaman beliau Saw:
“Barang siapa membohongi diriku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari)
Implikasi Seruan Dua Khalifah
Kehatian-hatian dua orang khalifah ini, atau bisa dikatakana sangat hati dalam menjaga dan melestarikan hadist akhirnya memumpayai implikasi positif. Dalam arti bahwa semua sahabat yang mendengar dari Nabi Saw (hadist) haruslah teliti. Sehingga otensitas hadist akhirnya bisa terjaga dan interpreatsi pemahaman hadist akhirnya tidak terlalu lebar khususnya bagi generasi Islam selanjutnya.
Seruan ini tidak saja hanya berlaku bagi para sahabat, bahkan pata tabi’in pun sangat berhati dalam meriwayatkan atau menerima sebuah hadist dan keharusan adanya saksi terlebih dahulu. Bahkan di majelis-majelis ilmu tidak dibenarkan meriwayatkan hadist lebih dari tiga atau empat hadist. Agar supaya para santri/mahasiswa/ tholib dapat memahami hadist dengan baik dan mencernanya dengan sempurna.
Bahkan sering dikatakan sebuah anekdot jika ada orang yang banyak meriwayatkan hadist dengan tidak teliti:
“Orang yang meriwayatkan hadist, sesungguhnya dia memasukan sesuatu antara Allah dan orang itu, dan lihat saja apa yang dimasukannya (maksudnya setan).”
Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali
Dua khalifah ini, sebagaimana dua khalifah sebelumnya, sangat teliti pula dalam menjaga, melestarikan hadist dan ketat sekali dalam periwayatan.
Namun tindakan khalifah Utsam dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena dimungkinkan beberapa sebab:
Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat daerah penaklukan masuk Islam, dengan demikian dibutuhakan tenaga pengajar untuk mengajar (Hadist ketika itu adalah sumber pengajaran Islam selain Qur’an).
Boleh dikatakan pula sulit mengontrol periwayatan hadist setelah daerah kekuasaan Islam terbentang luas.
Khalifah Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat dalam kitab-kitab hadist saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an menjadi kagiatan utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah. Sehingga waktu pengajaran beliau sangat sediit dibanding ketiga Khalifah lainnya.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib banyak meriwayatkan hadist.
Sikap Para Sahabat Lainnya Terhadap Hadist
1. Para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadist
Namun ada beberapa sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-Ghifari. Namun para sahabat ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian.
Abu Hurairah misalnya pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan hadist:” Apakah kamu bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini? (Maksudnya: Abu Hurairah adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi sebelum beliau wafat. Dan ia ditanya agar memastikan bahwa hadist yang diriwayatkan benar-benar dari Nabi atau bukan hadist palsu. Pen) Abu Hurairah,” Benar! Aku mendengar Nabi Sae bersabda: Barang siapa berbohong atas namaku, maka bersiaplah bahwa tempat duduknya kelak dari apai neraka.”
Begitu pula dengan siti A’isyah meskipun dikenal banyak meriwayatkan hadist, namun ia menolak jika hadist itu bertentangan dengan Qur’an.
Ketika ia mendengar hadist yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu. ‘:”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”
Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain
2. Sahabat Yang Sedikit Meriwayatkan Hadist
Beberapa sahabat yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu Zaid Ibn Arqam, Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin Abi Waqqasdan lainnya.
Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist.
Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid italicsdalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadist
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Rihlah Ilmiah Para Sahabat Dalam Mencari Ilmu (Mencari Hadist)
Para sahabat, yang pernah bersama Nabi Saw baik dalam keadaan suka dan duka, yang tahu turunya wahyu, mereka pula murid-murid langsung dari Rasulullah Saw, tidak pernah lelah dalam mencari ilmu. Mencari ilmu ketika itu adalah dengan mendengar atau mencari hadist, karena hadist adalah sumber ilmu, selain sebagai penafsir Qur’an.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Begitu pula dengan Jabir bin Abdullah seperti yang tercantum dalam riwayat Bukhari, bahwa ia pernah berjalan sebulan penuh dari Madinah ke Syam (Jordan, Syria sekarang) hanya untuk mencari satu hadist saja yang belum ia dengar sebelumnya.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu
Kesimpulan
1. Hadist di masa Khulafa Rosyidin diatur ketat dan periwayatan hadist diharuskan dengan teliti agar periwayatan itu benar dan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Nabi.
2. Teliti dalam menriwayatkan hadist khususnya di bawah pemerintahan Abu Bakar dan Umar bukan berarti menyedikitkan riwayat atau penyebaran hadist. Maksud lain dari perintah itu adalah orang-orang yang baru masuk Islam lebih memfokuskan diri belajar Qur’an terlebih dahulu.
3. Para sahabat yang sedikit meriwayatkan hadist pada waktu itu pada dasarnya meniliti terlebih dahulu apa yang akan diriwayatkannya dengan berkonsultasi dengan sahabat lainnya. Agar periwayatan tidak salah karena adanya ancaman keras dari Nabi Saw jika berdusta atas namanya.
4. Para sahabat yang banyak meriwayatkan hadist ketika itu mereka telah meniliti terlebih dahulu dan telah yakin bahwa apa yang diriwayatkan itu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Nabi Saw.
5. Ketelitian dan ketakutan sahabat ini sangat beralasan karena Ilmu Islam bukanlah hanya bicara tanpa ilmu pengetahuan, namun diharuskan mengisi akal dan hati dengan ilmu terlebih dahulu. Banyak bicara, banyak berdiskusi apalagi banyak mengkritik yang tidak berlandaskan ilmu yang memadai tidak akan berbuah solusi dan manfaat.
6. Para sahabat yang pernah di didik dan diajar oleh Nabi Saw sendiri tidak pernah puas dengan apa yang dilihat dan didengarnya dari Nabi Saw. Namun mereka tetap mencari ilmu tanpa lelah. Karena mencari ilmu Islam adalah salah sebab kecintaan mereka terhadap Nabi Saw. Kecintaan mereka terhadap Qur’an.
7. Sebab seseorang yang mencintai Islam, mencintai Qur’an dan mencintai Sunnah pastilah dia tidak akan jemu dan lelah mencari ketiganya meskipun jauh letaknya.
Sungguh besar perjuangan kalian wahai para sahabat..Islam ini bersinar ke belahan dunia hingga kini atas jasa kalian…
Kalian melihat langsung sang kekasih, Rasulullah Saw, Namun sampai wafat sekalipun, kalian tetap setia mencari dan menjaga sunnah. Berbahagialah bagi kita yang mengikuti jejak langkah kalian
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan beriman kepada beliau. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat yang sering bersama Nabi Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Sahabat Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat yang pernah bertemu dengan Nabi Saw kemudian beriman di hadapan beliau. Namun karena satu sebab mereka jarang bertemu Nabi, ataupun berada di kota lainnya dan lainya.
Setelah wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Kibar Sahabat)
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya: ‘Aisyah (W. 57 H/677 M), Abu Hurairah (W. 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (w 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khattab (W. 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (W. 78 H/697 M)
Para Sahabat Sangat Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu Bakar ketika dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan Mughirah tersebut.
Kasus dia atas menunjukan, bahwa Abu Bakar tidak segera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Jika ternyata ada seorang sahabat pernah mendengar hukumnya dari Nas Saw, maka ia harus menghadirkan seorang saksi.
Seruan Umar Agar Teliti Meriwayatkan Hadist
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :
”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.
Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Al-Qur’an.
Alasan lainnya adalah karena dengan meriwayatkan hadist ketika, jika tidak berhati-hati akan menyebabkan banyak kesalahan dalam periwayatan dan ini bersumber pada sabda Nabi Saw sendiri:
“Seorang dianggap pembohong jika membicarakan (meriwayatkan) sesuatu yang didengarnya (jika tidak benar).” (HR. Muslim)
Hal lain yang menyebabkan ketatnya penerimaan hadist oleh kedua khalifah ini, karena ditakutkan hadist itu diriwayatkan dengan tidak benar, tergesa-gesa sehingga menyebabkan kesalahan dalam periwayatan. Jika riwayat itu salah maka hal itu dianggap pembohong, dan membohongi Nabi sendiri. Ancaman Nabi Saw bagi yang membohongi dirinya adalah neraka seperti ancaman beliau Saw:
“Barang siapa membohongi diriku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari)
Implikasi Seruan Dua Khalifah
Kehatian-hatian dua orang khalifah ini, atau bisa dikatakana sangat hati dalam menjaga dan melestarikan hadist akhirnya memumpayai implikasi positif. Dalam arti bahwa semua sahabat yang mendengar dari Nabi Saw (hadist) haruslah teliti. Sehingga otensitas hadist akhirnya bisa terjaga dan interpreatsi pemahaman hadist akhirnya tidak terlalu lebar khususnya bagi generasi Islam selanjutnya.
Seruan ini tidak saja hanya berlaku bagi para sahabat, bahkan pata tabi’in pun sangat berhati dalam meriwayatkan atau menerima sebuah hadist dan keharusan adanya saksi terlebih dahulu. Bahkan di majelis-majelis ilmu tidak dibenarkan meriwayatkan hadist lebih dari tiga atau empat hadist. Agar supaya para santri/mahasiswa/ tholib dapat memahami hadist dengan baik dan mencernanya dengan sempurna.
Bahkan sering dikatakan sebuah anekdot jika ada orang yang banyak meriwayatkan hadist dengan tidak teliti:
“Orang yang meriwayatkan hadist, sesungguhnya dia memasukan sesuatu antara Allah dan orang itu, dan lihat saja apa yang dimasukannya (maksudnya setan).”
Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali
Dua khalifah ini, sebagaimana dua khalifah sebelumnya, sangat teliti pula dalam menjaga, melestarikan hadist dan ketat sekali dalam periwayatan.
Namun tindakan khalifah Utsam dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena dimungkinkan beberapa sebab:
Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat daerah penaklukan masuk Islam, dengan demikian dibutuhakan tenaga pengajar untuk mengajar (Hadist ketika itu adalah sumber pengajaran Islam selain Qur’an).
Boleh dikatakan pula sulit mengontrol periwayatan hadist setelah daerah kekuasaan Islam terbentang luas.
Khalifah Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat dalam kitab-kitab hadist saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an menjadi kagiatan utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah. Sehingga waktu pengajaran beliau sangat sediit dibanding ketiga Khalifah lainnya.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib banyak meriwayatkan hadist.
Sikap Para Sahabat Lainnya Terhadap Hadist
1. Para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadist
Namun ada beberapa sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-Ghifari. Namun para sahabat ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian.
Abu Hurairah misalnya pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan hadist:” Apakah kamu bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini? (Maksudnya: Abu Hurairah adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi sebelum beliau wafat. Dan ia ditanya agar memastikan bahwa hadist yang diriwayatkan benar-benar dari Nabi atau bukan hadist palsu. Pen) Abu Hurairah,” Benar! Aku mendengar Nabi Sae bersabda: Barang siapa berbohong atas namaku, maka bersiaplah bahwa tempat duduknya kelak dari apai neraka.”
Begitu pula dengan siti A’isyah meskipun dikenal banyak meriwayatkan hadist, namun ia menolak jika hadist itu bertentangan dengan Qur’an.
Ketika ia mendengar hadist yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu. ‘:”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”
Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain
2. Sahabat Yang Sedikit Meriwayatkan Hadist
Beberapa sahabat yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu Zaid Ibn Arqam, Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin Abi Waqqasdan lainnya.
Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist.
Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid italicsdalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadist
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.
Rihlah Ilmiah Para Sahabat Dalam Mencari Ilmu (Mencari Hadist)
Para sahabat, yang pernah bersama Nabi Saw baik dalam keadaan suka dan duka, yang tahu turunya wahyu, mereka pula murid-murid langsung dari Rasulullah Saw, tidak pernah lelah dalam mencari ilmu. Mencari ilmu ketika itu adalah dengan mendengar atau mencari hadist, karena hadist adalah sumber ilmu, selain sebagai penafsir Qur’an.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Begitu pula dengan Jabir bin Abdullah seperti yang tercantum dalam riwayat Bukhari, bahwa ia pernah berjalan sebulan penuh dari Madinah ke Syam (Jordan, Syria sekarang) hanya untuk mencari satu hadist saja yang belum ia dengar sebelumnya.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu
Kesimpulan
1. Hadist di masa Khulafa Rosyidin diatur ketat dan periwayatan hadist diharuskan dengan teliti agar periwayatan itu benar dan sesuai dengan apa yang didengarnya dari Nabi.
2. Teliti dalam menriwayatkan hadist khususnya di bawah pemerintahan Abu Bakar dan Umar bukan berarti menyedikitkan riwayat atau penyebaran hadist. Maksud lain dari perintah itu adalah orang-orang yang baru masuk Islam lebih memfokuskan diri belajar Qur’an terlebih dahulu.
3. Para sahabat yang sedikit meriwayatkan hadist pada waktu itu pada dasarnya meniliti terlebih dahulu apa yang akan diriwayatkannya dengan berkonsultasi dengan sahabat lainnya. Agar periwayatan tidak salah karena adanya ancaman keras dari Nabi Saw jika berdusta atas namanya.
4. Para sahabat yang banyak meriwayatkan hadist ketika itu mereka telah meniliti terlebih dahulu dan telah yakin bahwa apa yang diriwayatkan itu sesuai dengan apa yang didengarnya dari Nabi Saw.
5. Ketelitian dan ketakutan sahabat ini sangat beralasan karena Ilmu Islam bukanlah hanya bicara tanpa ilmu pengetahuan, namun diharuskan mengisi akal dan hati dengan ilmu terlebih dahulu. Banyak bicara, banyak berdiskusi apalagi banyak mengkritik yang tidak berlandaskan ilmu yang memadai tidak akan berbuah solusi dan manfaat.
6. Para sahabat yang pernah di didik dan diajar oleh Nabi Saw sendiri tidak pernah puas dengan apa yang dilihat dan didengarnya dari Nabi Saw. Namun mereka tetap mencari ilmu tanpa lelah. Karena mencari ilmu Islam adalah salah sebab kecintaan mereka terhadap Nabi Saw. Kecintaan mereka terhadap Qur’an.
7. Sebab seseorang yang mencintai Islam, mencintai Qur’an dan mencintai Sunnah pastilah dia tidak akan jemu dan lelah mencari ketiganya meskipun jauh letaknya.
Sungguh besar perjuangan kalian wahai para sahabat..Islam ini bersinar ke belahan dunia hingga kini atas jasa kalian…
Kalian melihat langsung sang kekasih, Rasulullah Saw, Namun sampai wafat sekalipun, kalian tetap setia mencari dan menjaga sunnah. Berbahagialah bagi kita yang mengikuti jejak langkah kalian
yat-Ayat Rezeki....... (Mohon Izin & Doa)
Bismillahirahmanirohim
Allahumma inni Asaluka ilma nafian wa rizqon wasian wa syifaan min kulli dain
Ya Allah, aku memohon pada Mu ilmu yang manfaat, rezeki yang luas dan obat dari segala penyakit
Ayo....
Ayo kita berkata baik, ayo kita memberi berkah dan manfaat kepada orang lain, ayo kita menanam benih kebaikan, ayo kita mendekat kepada Allah, ayo kita mencoba sebisa mungkin mengikuti sunnah Nabi Saw....Karena apa!!!! karena apapun bentuknya akan ada balasannya kelak. Yang buruk dibalas buruk begitu pula yang baik.......
Renungan Hadist
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhya pada hari kiamat nanti ia akan datang untuk memberi syafaat (penolong) bagi para pembacanya (yang mengamalkan).” (HR. Muslim)
I. Apa Kata Mereka Tentang Al-Qur’an
Utsman bin Affan ra, “Andaikata hati kalian itu bersih, maka tidak akan pernah kenyang dari kalam Rabb (ingin selalu membaca Al-Qur’an).”
Ibnu Mas’ud ra, “Barangsiapa ingin mengetahui apakah ia cinta kepada Allah (atau tidak), hendaknya mengukur dirinya dengan Al-Qur”an. Jika ia cinta kepada Al-Qur”an (selalu membacanya), berarti cinta kepada Allah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah.”
Khabab ra, “Mendekatlah kepada Allah semampumu! Ketahuilah jalan yang paling disukai oleh Allah untuk mendekat pada-Nya adalah membaca Al-Qur”an.”
II. Pengalaman Pribadi
Hampir 23 tahun yang lalu, ketika saya masih mondok di Madrasatul Qur’an, Tebuireng Jombang. Guru kami, Almarhum, Kyai Yusuf Mahsyarseorang hafidz Qur’an (hafal 30 juz) selalu memerintahkan santrinya setiap malam senin malam dan kamis malam untuk selalu membaca 3 surat. Surat Yasin, Surat Ar-Rahman dan Surat Al-Waqiah.
”Pak kyai kan nggak punya uang untuk mbangun pondok ini! Sosok kyai yang ikhlas dalam mengabdi untuk mendakwahkan syiar Islam. Tidak ada bayaran, semua fasilitas tersedia, perpustakaan lengkap, bahkan di waktu tertentu, sang kyai menjamu para santrinya.
Uangnya dari mana!! “Kenapa sih kok terus menerus baca 3 surat itu!!! Emang nggak ada yang lain!!”Nah inilah pegawai Allah, mereka tidak pernah berhenti meminta kepada Allah. Madrasatul Qur’an, yang sekarang megah berdiri di area seluas 5 hektar itu hanya dibayar dengan 3 surat itu saja. Yah hanya 3 surat itu saja!! Uang mengalir dari sana sini, tanpa ada pembebanan pada santri. Masya Allah, begitu besar karunia Allah, begitu ikhlas nya sang kyai, dan ternyata Allah mau membantu orang yang berjuang di jalan-Nya.
Yah udahlah nggak perlu dijelaskan dalilnya disini tentang fadhilah keutamaan membaca 3 surat itu, dan bukan berarti surat yang lain tidak berharga dibanding ayat itu.
No..no…baca Qur’an jelas menjadi prioritas, tapi yah…ada wirid mingguan dari sebagian surat Al-Qur’an gitu loch…
III. Semua Serba Sebelah Kanan
Ketika kami meginjakan kaki pertama kali tanah suci tahun 93, ada pelajaran berharga yang saya dapat. Cuman dua saja, dan ini sangat berarti dalam rihlah ilmiah selanjutnya. Yah nama nya anak muda yang makan seenaknya sekali waktu saya makan dengan tangan kanan dan kemudian mengambil gelas minuman dengan tangan kiri.
Tiba-tiba seorang teman, kebetulan lulusan salah satu universitas di Madinah bilang, “ Coba deh makan dengan tangan kanan.” Kan tangan saya di pake makanan. Kan nantinya gelasnya kotor dengan nasi. “Coba kamu minum dengan tangan kiri sambil menempelkan tangan kanan, agar pahala sunnah dapat.” “Kenapa sih kok terus menerus baca 3 surat itu!!! Emang nggak ada yang lain!!”
Nah inilah! Ternyata pola hidup mencontoh Nabi Saw, dalam artian kehidupan keseharian dimulai yang paling sederhana. Yaitu memulai semuanya dari sebelah kanan, makan dengan tangan kanan, pake sepatu/sandal pake kaki kanan dll.
Kita bisa melakukannya dari yang kecil saja, yaitu tadi, semuanya serba sebelah kanan. Apa pentingnya? Apa untungnya? Yang jelas pasti ada pahalanya…dan pastinya ada keberkahan di balik itu.
Bukankah hal yang besar dimulai dari yang kecil dulu???? italics
Minta Doa & Minta Izin
Tanggal 6 ini, Insya saya dan jamaah akan berangkat berumrah, dan mohon maaf bila ada pertanyaan atau bahkan jika ada yang meng add dan mungkin sekali akan lama di confirm nya.
Doakan kami agar selamat tiba di tujuan dan selamat pula kembali ke tanah air. Insya Allah teman-teman tidak lupa kami doakan...amiiinnn
Semoga bermanfaat dan terima kasih
Wassallam
Kang Ackmanz
Allahumma inni Asaluka ilma nafian wa rizqon wasian wa syifaan min kulli dain
Ya Allah, aku memohon pada Mu ilmu yang manfaat, rezeki yang luas dan obat dari segala penyakit
Ayo....
Ayo kita berkata baik, ayo kita memberi berkah dan manfaat kepada orang lain, ayo kita menanam benih kebaikan, ayo kita mendekat kepada Allah, ayo kita mencoba sebisa mungkin mengikuti sunnah Nabi Saw....Karena apa!!!! karena apapun bentuknya akan ada balasannya kelak. Yang buruk dibalas buruk begitu pula yang baik.......
Renungan Hadist
“Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhya pada hari kiamat nanti ia akan datang untuk memberi syafaat (penolong) bagi para pembacanya (yang mengamalkan).” (HR. Muslim)
I. Apa Kata Mereka Tentang Al-Qur’an
Utsman bin Affan ra, “Andaikata hati kalian itu bersih, maka tidak akan pernah kenyang dari kalam Rabb (ingin selalu membaca Al-Qur’an).”
Ibnu Mas’ud ra, “Barangsiapa ingin mengetahui apakah ia cinta kepada Allah (atau tidak), hendaknya mengukur dirinya dengan Al-Qur”an. Jika ia cinta kepada Al-Qur”an (selalu membacanya), berarti cinta kepada Allah, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah.”
Khabab ra, “Mendekatlah kepada Allah semampumu! Ketahuilah jalan yang paling disukai oleh Allah untuk mendekat pada-Nya adalah membaca Al-Qur”an.”
II. Pengalaman Pribadi
Hampir 23 tahun yang lalu, ketika saya masih mondok di Madrasatul Qur’an, Tebuireng Jombang. Guru kami, Almarhum, Kyai Yusuf Mahsyarseorang hafidz Qur’an (hafal 30 juz) selalu memerintahkan santrinya setiap malam senin malam dan kamis malam untuk selalu membaca 3 surat. Surat Yasin, Surat Ar-Rahman dan Surat Al-Waqiah.
”Pak kyai kan nggak punya uang untuk mbangun pondok ini! Sosok kyai yang ikhlas dalam mengabdi untuk mendakwahkan syiar Islam. Tidak ada bayaran, semua fasilitas tersedia, perpustakaan lengkap, bahkan di waktu tertentu, sang kyai menjamu para santrinya.
Uangnya dari mana!! “Kenapa sih kok terus menerus baca 3 surat itu!!! Emang nggak ada yang lain!!”Nah inilah pegawai Allah, mereka tidak pernah berhenti meminta kepada Allah. Madrasatul Qur’an, yang sekarang megah berdiri di area seluas 5 hektar itu hanya dibayar dengan 3 surat itu saja. Yah hanya 3 surat itu saja!! Uang mengalir dari sana sini, tanpa ada pembebanan pada santri. Masya Allah, begitu besar karunia Allah, begitu ikhlas nya sang kyai, dan ternyata Allah mau membantu orang yang berjuang di jalan-Nya.
Yah udahlah nggak perlu dijelaskan dalilnya disini tentang fadhilah keutamaan membaca 3 surat itu, dan bukan berarti surat yang lain tidak berharga dibanding ayat itu.
No..no…baca Qur’an jelas menjadi prioritas, tapi yah…ada wirid mingguan dari sebagian surat Al-Qur’an gitu loch…
III. Semua Serba Sebelah Kanan
Ketika kami meginjakan kaki pertama kali tanah suci tahun 93, ada pelajaran berharga yang saya dapat. Cuman dua saja, dan ini sangat berarti dalam rihlah ilmiah selanjutnya. Yah nama nya anak muda yang makan seenaknya sekali waktu saya makan dengan tangan kanan dan kemudian mengambil gelas minuman dengan tangan kiri.
Tiba-tiba seorang teman, kebetulan lulusan salah satu universitas di Madinah bilang, “ Coba deh makan dengan tangan kanan.” Kan tangan saya di pake makanan. Kan nantinya gelasnya kotor dengan nasi. “Coba kamu minum dengan tangan kiri sambil menempelkan tangan kanan, agar pahala sunnah dapat.” “Kenapa sih kok terus menerus baca 3 surat itu!!! Emang nggak ada yang lain!!”
Nah inilah! Ternyata pola hidup mencontoh Nabi Saw, dalam artian kehidupan keseharian dimulai yang paling sederhana. Yaitu memulai semuanya dari sebelah kanan, makan dengan tangan kanan, pake sepatu/sandal pake kaki kanan dll.
Kita bisa melakukannya dari yang kecil saja, yaitu tadi, semuanya serba sebelah kanan. Apa pentingnya? Apa untungnya? Yang jelas pasti ada pahalanya…dan pastinya ada keberkahan di balik itu.
Bukankah hal yang besar dimulai dari yang kecil dulu???? italics
Minta Doa & Minta Izin
Tanggal 6 ini, Insya saya dan jamaah akan berangkat berumrah, dan mohon maaf bila ada pertanyaan atau bahkan jika ada yang meng add dan mungkin sekali akan lama di confirm nya.
Doakan kami agar selamat tiba di tujuan dan selamat pula kembali ke tanah air. Insya Allah teman-teman tidak lupa kami doakan...amiiinnn
Semoga bermanfaat dan terima kasih
Wassallam
Kang Ackmanz
No comments:
Post a Comment