Muhammad Husain Haekal
Sumber peradaban pertama - Agama Yahudi dan Kristen
- Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya - Majusi
Persia di jazirah Arab - Jalan-jalan kafilah - Yaman
dan peradabannya - Sebabnya Jazirah bertahan pada
paganisma.
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari mana pula asal-usulnya, sebenarnya masih ada hubungannya dengan zaman kita sekarang ini. Penyelidikan demikian sudah lama menetapkan, bahwa sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu adalah Mesir. Zaman sebelum itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu penemuan yang ilmiah. Sarjana-sarjana ahli purbakala (arkelogi) kini kembali mengadakan penggalian-penggalian di Irak dan Suria dengan maksud mempelajari soal-soal peradaban Asiria dan Funisia serta menentukan zaman permulaan daripada kedua macam peradaban itu: adakah ia mendahului peradaban Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya? Apapun juga yang telah diperoleh sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang sejarah itu, samasekali tidak akan mengubah sesuatu dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum memperlihatkan hasil yang berlawanan. Kenyataan ini ialah bahwa sumber peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria - ada hubungannya dengan Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu ke Yunani atau Rumawi, dan bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita sekarang ini, masih erat sekali hubungannya dengan peradaban pertama itu. Apa yang pernah diperlihatkan oleh Timur Jauh dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan perkembangan peradaban-peradaban tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah ada akulturasi dan saling-hubungan dengan peradaban Islam. Di sinilah proses saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini. Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang dan tersebar ke pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang lalu, yang sampai saat ini perkembangannya tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan dan dalam segala bidang kegiatan manusia. Tetapi, semua peradaban itu, sumber dan pertumbuhannya, selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu berbeda-beda antara kepercayaan trinitas Mesir Purba yang tergambar dalam Osiris, Isis dan Horus, yang memperlihatkan kesatuan dan penjelmaan hidup kembali di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan antara paganisma Yunani dalam melukiskan kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dan tumbuh dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera; demikian sesudah itu timbul perbedaan-perbedaan yang dengan penggambaran semacam itu dalam pelbagai zaman kemunduran itu telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah dunia, yang begitu kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak mencoba melepaskan diri dan melawan sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali. Dalam lingkungan masyarakat ini, yang menyandarkan peradabannya sejak ribuan tahun kepada sumber agama, dalam lingkungan itulah dilahirkan para rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Di Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia dibesarkan dan diasuh, dan di tangan para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan dan rahasia-rahasia alam. Setelah datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang sihirnya, sehingga akhirnya terpaksa ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang ditiupkan ke dalam diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan Isa itu. Mereka dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar, datanglah Maharaja Rumawi yang menguasai dunia ketika itu, membawa panji agama Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir, di Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Sesudah itu selama beberapa abad kekuasaan agama ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji Kerajaan Rumawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu. Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar di bawah panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan moril di Timur Jauh dan di India. Selama beberapa abad itu Asiria dan Mesir yang membentang sepanjang Funisia, telah merintangi terjadinya suatu pertarungan langsung antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir dan Funisia ke dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang sudah berhadap-hadapan muka. Selama beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan hendak menghormati agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan rintangan moril, masing-masing merasa perlu dengan sekuat tenaga berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradabannya, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama. Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat mengalahkan Rumawi dan dapat menguasai Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium, namun tak terpikir oleh raja-raja Persia akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang kini berkuasa itu malahan menghormati kepercayaan orang yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur akibat perang dibantu pula membangun kembali dan dibiarkan mereka bebas menjalankan upacara-upacara keagamaannya. Satu-satunya yang diperbuat pihak Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada di pihak Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat itu tetap di Barat dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan. Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara Rumawi dengan Bizantium makin meruncing. Pihak Rumawi, yang benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul dan Kelt di Inggris selama beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai dunia itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu datang menyerbunya dan mengambil kekuasaan pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang dalam pada agama Masehi yang tumbuh dalam pangkuan Kerajaan Rumawi. Mereka yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu. Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman mazhab-mazhab itu telah terbagi-bagi ke dalam sekta-sekta dan golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan dasar-dasar agama sendiri yang bertentangan dengan golongan lainnya. Pertentangan-pertentangan antara golongan-golongan satu sama lain karena perbedaan pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah lemah, sehingga cepat sekali ia berada dalam ketakutan, mudah terlibat dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa mempunyai jasad disamping bayangan yang tampak pada manusia; ada pula yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa sehingga memerlukan khayal dan pikiran yang begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan disamping itu ada pula yang mau menyembah Mariam, sementara yang lain menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih. Terjadinya pertentangan antara sesama pengikut-pengikut Isa itu adalah peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran: soalnya hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata dan tiap bilangan itu ditafsirkan pula dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal dan hanya dapat dikunyah oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja. Salah seorang pendeta gereja berkata: "Seluruh penjuru kota itu diliputi oleh perdebatan. Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang makanan. Jika ada orang bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan terlibat ke dalam suatu perdebatan tentang apa yang diciptakan dan apa yang bukan diciptakan. Kalau ada orang hendak menawar harga roti maka akan dijawabnya: Bapa lebih besar dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam mandi adakah airnya hangat, maka pelayannya akan segera menjawab: "Putera telah diciptakan dari yang tak ada." Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga ia terpecah-belah kedalam golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik tidak begitu besar pengaruhnya terhadap Kerajaan Rumawi. Kerajaan itu tetap kuat dan kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap adanya semacam pertentangan tapi tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau sampai memasuki pertemuan-pertemuan semacam itu yang pernah diadakan guna memecahkan sesuatu masalah. Suatu keputusan yang pernah diambil oleh suatu golongan tidak sampai mengikat golongan yang lain. Dan Kerajaanpun telah pula melindungi semua golongan itu dan memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang sebenarnya telah menambah kuatnya kekuasaan Kerajaan dalam bidang administrasi tanpa mengurangi penghormatannya kepada agama. Setiap golongan jadinya bergantung kepada belas kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu. Sikap saling menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan penyebaran agama Masehi tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia yang merdeka tapi masih dalam lingkungan persahabatan dengan Rumawi. Dengan demikian ia mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut Merah seperti di sekitar Laut Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab Ghassan yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah dari pedalaman sahara yang tandus ke daerah-daerah subur juga demikian, yang selanjutnya mereka tinggal di daerah itu beberapa lama untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi. Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran seperti agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api itu merupakan gejala yang paling menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan pengikut-pengikutnya telah berpecah-belah juga menjadi golongan-golongan dan sekta-sekta pula. Tapi disini bukan tempatnya menguraikan semua itu. Sungguhpun begitu kekuasaan politik Persia tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang lukisan dewa serta adanya pemikiran bebas yang tergambar dibalik lukisan itu, tidaklah mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di bawah raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai suatu cara supaya satu dengan yang lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat, maka Raja atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.
Kedua kekuatan yang sekarang sedang berhadap-hadapan itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan Majusi, kekuatan Barat berhadapan dengan kekuatan Timur. Bersamaan dengan itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah pengaruh kedua kekuatan itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab. Kedua kekuatan itu masing-masing mempunyai hasrat ekspansi dan penjajahan. Pemuka-pemuka kedua agama itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke atas kepercayaan agama lain yang sudah dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu tetap seperti sebuah oasis yang kekar tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat di bagian pinggir saja, juga tak sampai terjamah oleh penyebaran agama-agama Masehi atau Majusi, kecuali sebagian kecil saja pada beberapa kabilah. Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim jazirah itu serta pengaruh keduanya terhadap kehidupan penduduknya, dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing. Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan padang Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah selatan Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah ini dilingkungi lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan tetapi bukan rintangan itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan penyebaran agama, melainkan juga karena jaraknya yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar biasa hingga semua penjajah merasa enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada. Musim hujan yang akan dapat dijadikan pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak di sebelah selatan yang sangat subur tanahnya dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab lainnya terdiri dari gunung-gunung, dataran tinggi, lembah-lembah tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal menetap atau akan memperoleh kemajuan. Samasekali hidup di daerah itu tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus dengan mempergunakan unta sebagai kapalnya di tengah-tengah lautan padang pasir itu, sambil mencari padang hijau untuk makanan ternaknya, beristirahat sebentar sambil menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain. Tempat-tempat beternak yang dicari oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang terserak di sana-sini dalam wahah-wahah yang berada di sekitar mata air. Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian itu, yang seperti Sahara Afrika Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara hidup manusia yang biasapun tidak pula dikenal. Juga sudah biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya hanya sekadar menjelajahinya dan menyelamatkan diri saja, kecuali di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi rumput dan tempat beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena sedikitnya orang yang mau mengembara dan mau menjelajahi daerah itu. Praktis orang zaman dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja letaknya itu telah dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri. Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna mengangkut barang dagangan atau mengadakan pelayaran. Dari peribahasa Arab yang dapat kita lihat sekarang menunjukkan, bahwa ketakutan orang menghadapi laut sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut barang dagangan itu harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya maut itu. Yang paling penting transpor perdagangan masa itu ialah antara Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta India dan sekitarnya. Jazirah Arab masa itu merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia, lewat terusan yang terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana penduduk pedalaman jazirah Arab itu menjadi raja sahara, sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai air daripada daratan, menjadi raja laut. Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para kafilah sampai ke tempat-tempat yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal garis-garis perjalanan kapal sampai sejauh-jauhnya. "Jalan kafilah itu bukan dibiarkan begitu saja," kataHeeren, "tetapi sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa dilalui oleh para kafilah, alam telah memberikan tempat-tempat tertentu kepada mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak menjadi tempat mereka beristirahat. Di tempat itu, di bawah naungan pohon-pohon kurma dan di tepi air tawar yang mengalir di sekitarnya, seorang pedagang dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan yang melelahkan itu. Tempat-tempat peristirahatan itu juga telah menjadi gudang perdagangan mereka, dan yang sebagian lagi dipakai sebagai tempat penyembahan, tempat ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan dari tempat itu."1 Lingkungan jazirah itu penuh dengan jalan kafilah. Yang penting di antaranya ada dua. Yang sebuah berbatasan dengan Teluk Persia, Sungai Dijla, bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau batas daerah-daerah sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan dengan Laut Merah; dan karena itu diberi nama Jalan Barat. Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang di Timur diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya. Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri yang telah dilalui perdagangan mereka itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik pihak Barat maupun pihak Timur sedikit sekali yang mau mengarunginya - kecuali bagi mereka yang sudah biasa sejak masa mudanya. Sedang mereka yang berani secara untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak yang hilang secara sia-sia di tengah-tengah padang tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan menempuh gunung-gunung tandus yang memisahkan Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang yang sampai ke tempat tersebut - yang hanya mengenal unta sebagai kendaraan - ia akan mendaki celah-celah pegunungan yang akhirnya akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang yang sudah biasa hidup dalam sistem politik yang teratur dan dapat menjamin segala kepuasannya akan terasa berat sekali hidup dalam suasana pedalaman yang tidak mengenal tata-tertib kenegaraan. Setiap kabilah, atau setiap keluarga, bahkan setiap pribadipun tidak mempunyai suatu sistiem hubungan dengan pihak lain selain ikatan keluarga atau kabilah atau ikatan sumpah setia kawan atau sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang lemah kepada yang lebih kuat. Pada setiap zaman tata-hidup bangsa-bangsa pedalaman itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota. Ia sudah puas dengan cara hidup saling mengadakan pembalasan, melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah yang tidak mempunyai pelindung. Keadaan semacam ini tidak menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam. Oleh karena itu daerah Semenanjung ini tetap tidak dikenal dunia pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad s.a.w. lahir di tempat tersebut - orang mulai mengenal sejarahnya dari berita-berita yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu sekarang sudah mulai dikenal dunia. Tak ada yang dikenal dunia tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang berbatasan dengan Teluk Persia. Hal ini bukan karena hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan Samudera Indonesia saja, tetapi lebih-lebih disebabkan oleh - tidak seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus. Dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebaliknya, daerah Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada setiap musim. Ia menjadi negeri peradaban yang kuat, dengan kota-kota yang makmur dan tempat-tempat beribadat yang kuat sepanjang masa. Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku. Sebelum di bangunnya bendungan ini , air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu, menyusur turun ke lembah-lembah yang terletak di sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula air turun melalui celah-celah dua buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti di bendungan-bendungan Hulu Sungai Nil. Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu Bendungan Ma'rib. Bendungan ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit, lalu dibuatnya celah-celah guna memungkinkan adanya distribusi air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur. Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang pernah diselidiki - dan sampai sekarang penyelidikan itu masih diteruskan -menunjukkan, bahwa peradaban mereka pada suatu saat memang telah mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun menunjukkan bahwa Yaman pernah pula mengalami bencana. Sungguhpun begitu peradaban yang dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah turun-temurun, kadang juga dari kalangan rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada agama Musa (Yudaisma), dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya. Ia belajar agama ini dari orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh ahli-ahli sejarah, yang termasuk dalam kisah "orang-orang yang membuat parit," dan menyebabkan turunnya ayat: "Binasalah orang-orang yang telah membuat parit. Api yang penuh bahan bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang dilakukan orang-orang beriman itu mereka menyaksikan. Mereka menyiksa orang-orang itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Mulia dan Terpuji." (Qur'an 85:4-8) Cerita ini ringkasnya ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama Phemion telah pindah dari Kerajaan Rumawi ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti jejaknya, sehingga jumlah mereka makin lama makin bertambah juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke Najran dan dimintanya kepada penduduk supaya mereka masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang atau dibikin cacat. Menurut beberapa buku sejarah korban pembunuhan itu mencapai duapuluh ribu orang. Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas, ia lari ke Rumawi dan meminta bantuan Kaisar Yustinianus atas perbuatan Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis surat kepada Najasyi (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang dipimpin oleh Najasyi sedang berada dalam puncak kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh armada yang kuat2 dapat menancapkan pengaruhnya sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu Imperium Rumawi Timur dan yang memegang panji Kristen di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.
Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia mengirimkan bersama orang Yaman itu - yang membawa surat - sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha al-Asyram salah seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia memerintah Yaman ini sampai ia dibunuh oleh Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah yang memimpin pasukan gajah, dan dia yang kemudian menyerbu Mekah guna menghancurkan Ka'bah tetapi gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut. Anak-anak Abraha kemudian menguasai Yaman dengan tindakan sewenang-wenang. Melihat bencana yang begitu lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan pergi hendak menemui Maharaja Rumawi. Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman. Tetapi karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi permintaan Saif bin Dhi Yazan itu. Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi menemui Nu'man bin'l-Mundhir selaku Gubernur yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3 Nu'man dan Saif bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim dinginnya bagian ini dikelilingi dengan tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan lampu-lampu kendil terbuat daripada perak dan emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah terletak mahkotanya yang besar berhiaskan batu delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari emas pula. Ia sendiri memakai pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona oleh kemegahannya. Demikian juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan. Kisra menanyakan maksud kedatangannya itu dan Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?), salah seorang keluarga ningrat Persia yang paling berani. Persia telah mendapat kemenangan dan orang-orang Abisinia dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu. Sejak itulah Yaman berada di bawah kekuasaan Persia, dan ketika Islam lahir seluruh daerah Arab itu berada dalam naungan agama baru ini. Akan tetapi orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja Persia. Terutama hal itu terjadi setelah Syirawih (Shiruya Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri menduduki takhta. Ia membayangkan - dengan pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat dikendalikan sekehendaknya dan bahwa kerajaannya membantu memenuhI kehendaknya yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan banyak sekali yang tidak mendapat perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam suatu kemewahan yang belum pernah terjadi Ia berangkat diiringi oleh pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning dan lembayung, dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang membawa wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi sekalipun sebenarnya dalam musim dingin yang berat, ia beserta rombongannya duduk di atas permadani yang lebar dilukis dengan lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan aneka warna, dan dilatarbelakangi oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak. Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya, kerajaan Persia tetap dapat mempertahankan kemegahannya, dan tetap merupakan lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen. Sekalipun dengan naik tahtanya Syirawih ini telah mengurangi kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam. Yaman yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam sejarah Semenanjung Arab dari segi pembagian penduduknya. Disebutkan bahwa Bendungan Ma'rib yang oleh suku-bangsa Himyar telah dimanfaatkan untuk keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar. Disebabkan oleh adanya pertentangan yang terus-menerus itu, lalailah mereka yang harus selalu mengawasi dan memeliharanya. Bendungan itu lapuk dan tidak tahan lagi menahan banjir. Dikatakan juga, bahwa setelah Rumawi melihat Yaman menjadi pusat pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya terancam karena pertentangan itu, iapun menyiapkan armadanya menyeberangi Laut Merah - antara Mesir dengan negeri-negeri Timur yang jauh - guna menarik perdagangan yang dibutuhkan oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah. Mengenai peristiwanya, ahli-ahli sejarah sependapat, tetapi mengenai sebab terjadinya peristiwa itu mereka berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di Yaman ke Utara. Semua mereka sependapat tentang kepindahan ini, sekalipun sebagian menghubungkannya dengan sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui tempat itu. Yang lain menghubung-hubungkan kepada rusaknya bendungan Ma'rib, sehingga banyak di antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi berhubungan dengan negeri-negeri Arab lainnya, suatu hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya. Apabila sistem politik di Yaman sudah menjadi kacau seperti yang dapat kita saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa negeri itu serta dijadikannya tempat itu medan pertarungan, maka struktur politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa negeri Semenanjung Arab lainnya waktu itu. Segala macam sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik seperti pengertian kita sekarang atau seperti pengertian negara-negara yang sudah maju pada masa itu, di daerah-daerah seperti Tihama, Hijaz, Najd dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa itu bahkan sampai sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga ditempat-tempat lain, disinipun dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga dan kebebasan kabilah yang penuh. Sedang orang kota, atas nama tata-tertib mau mengalah dan membuang sebagian kemerdekaan mereka untuk kepentingan masyarakat dan penguasa, sebagai imbalan atas ketenangan dan kemewahan hidup mereka. Sedang seorang pengembara tidak pedulikan kemewahan, tidak betah dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun - seperti kekayaan yang menjadi harapan orang kota - selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup dalam persamaan yang penuh dengan anggota-anggota kabilahnya atau kabilah-kabilah lain sesamanya. Dasar kehidupannya ialah seperti makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu. Oleh karena itu, kaum pengembara tidak menyukai tindakan ketidak adilan yang ditimpakan kepada mereka. Mereka mau melawannya mati-matian, dan kalau tidak dapat melawan, ditinggalkannya tempat tinggal mereka itu, dan mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian. Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling mudah bagi kabilah-kabilah ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan dengan cara yang terhormat. Karena bawaan itu juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri, keberanian, suka tolong-menolong, melindungi tetangga serta sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin kuat apabila semakin dekat ia kepada kehidupan pedalaman, dan akan makin hilang apabila semakin dekat ia kepada kehidupan kota. Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman saja dari antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih suka meninggalkan tanah air daripada tunduk kepada perintah. Baik pribadi-pribadi atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada peraturan apapun yang berlaku atau kepada lembaga apapun yang berkuasa. Sifat-sifat pengembaraan itu cukup mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh di sekitar jaziarah karena adanya perdagangan para kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para pedagang sebagai tempat beristirahat sesudah perjalanan yang begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat pemujaan sang dewa guna memperoleh keselamatan bagi mereka serta menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan mereka selamat sampai di tempat tujuan. Kota-kota seperti Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau gurun pasir, terpengaruh juga oleh sifat-sifat pengembaraan demikian itu. Dalam susunan kabilah serta cabang-cabangnya, perangai hidup, adat-istiadat serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu cara hidup yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci. Lingkungan masyarakat dalam alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial yang ada pada mereka, mempunyai pengaruh yang sama terhadap cara beragamanya. Melihat hubungannya dengan agama Kristen Rumawi dan Majusi Persia, adakah Yaman dapat terpengaruh oleh kedua agama itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut di jazirah Arab lainnya? Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada pada masa itu sama giatnya seperti yang sekarang dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta cara hidup kaum pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia merasakan adanya wujud yang tak terbatas dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara dirinya dengan alam dengan ketak-terbatasannya itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan itu sudah tertutup oleh kesibukannya hari-hari, oleh adanya perlindungan masyarakat terhadap dirinya sebagai imbalan atas kebebasannya yang diberikan sebagian kepada masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang penguasa supaya memperoleh jaminan dan hak perlindungan. Hal ini menyebabkannya tidak merasa perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan kekuatan alam yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa dengan unsur-unsur alam yang di sekitarnya jadi berkurang. Dalam keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam menyebarkan ajaran agamanya itu? Barangkali soalnya hanya akan sampai di situ saja kalau tidak karena adanya soal-soal lain yang menyebabkan negeri-negeri Arab itu, termasuk Yaman, tetap bertahan pada paganisma agama nenek-moyangnya, dan hanya beberapa kabilah saja yang mau menerima agama Kristen. Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu - seperti yang sudah kita saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Agama-agama Kristen dan Yahudi bertetangga begitu dekat sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak memperlihatkan permusuhan yang berarti, juga tidak memperlihatkan persahabatan yang berarti pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya pembangkangan dan perlawanan Nabi Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja mau membendung arus agama Kristen yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih berlindung dibawah panji Imperium Rumawi yang membentang luas itu.
Orang-orang Yahudi di negeri-negeri Arab merupakan kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka tinggal di Yaman dan Yathrib. Di samping itu kemudian agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus kekuatan Kristen supaya tidak sampai menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh keadaan paganisma di mana saja ia berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya pusat peradaban dunia itu ke Bizantium. Gejala-gejala kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan pertentangan dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah perdebatan tentang bentuk dan ucapan, tentang sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau anak yang lebih utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa akibat hancurnya apa yang sudah biasa berlaku. Ini tentu disebabkan oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu di atas isi sehingga akhirnya mustahil sekali orang akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu. Apa yang telah menjadi pokok perdebatan kaum Nasrani Syam, lain lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun, melihat hubungannya dengan orang-orang Nasrani, tidak akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam itu. Oleh karena itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman dalam perjalanan mereka pada musim dingin atau musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di antara golongan-golongan itu. Mereka sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang ada pada mereka sejak mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka. Oleh karena itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian inipun sampai kepada tetangga-tetangga mereka yang beragama Kristen di Najran dan agama Yahudi di Yathrib, yang pada mulanya memberikan kelonggaran kepada mereka, kemudian turut menerimanya. Hubungan mereka dengan orang-orang Arab yang menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Tuhan itu baik-baik saja. Yang menyebabkan orang-orang Arab itu tetap bertahan pada paganismanya bukan saja karena ada pertentangan di antara golongan-golongan Kristen. Kepercayaan paganisma itu masih tetap hidup di kalangan bangsa-bangsa yang sudah menerima ajaran Kristen. Paganisma Mesir dan Yunani masih tetap berpengaruh ditengah-tengah pelbagai mazhab yang beraneka macam dan di antara pelbagai sekta-sekta Kristen sendiri. Aliran Alexandria dan filsafat Alexandria masih tetap berpengaruh, meskipun sudah banyak berkurang dibandingkan dengan masa Ptolemies dan masa permulaan agama Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap merasuk ke dalam hati mereka. Logikanya yang tampak cemerlang sekalipun pada dasarnya masih bersifat sofistik - dapat juga menarik kepercayaan paganisma yang polytheistik, yang dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia. Saya kira inilah yang lebih kuat mengikat jiwa yang masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa yang lemah itu tidak sanggup mencapai tingkat yang lebih tinggi, jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami adanya kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini, menjelma dalam Wujud Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan demikian itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja seperti matahari, bulan atau api misalnya. Lalu tak berdaya lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu. Bagi jiwa yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang masih kabur dan rendah tentang pengertian wujud dan kesatuannya. Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang sampai sekarang masih dapat kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya modern dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus di Roma, mereka melihat kaki patung Santa Petrus yang didirikan di tempat itu sudah bergurat-gurat karena diciumi oleh penganut-penganutnya, sehingga setiap waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak. Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk Tuhan kepada iman yang sebenarnya Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang menjadi tetangga mereka serta cara-cara hidup paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang masih menyembah berhala itu sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka. Situasi demikian ini sudah begitu berakar di seluruh dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang tidak akan pernah berakhir. Kaum Muslimin dewasa inipun membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang hendak menghapus paganisma, yang datang hendak menghilangkan segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa. Cara-cara penyembahan berhala orang-orang Arab dahulu itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui seluk-beluknya. Nabi sendiri telah menghancurkan berhala-berhala itu dan menganjurkan para sahabat menghancurkannya di mana saja adanya. Kaum Muslimin sudah tidak lagi bicara tentang itu sesudah semua yang berhubungan dengan pengaruh itu dalam sejarah dan lektur dihilangkan. Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam abad kedua Hijrah - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam paganisma dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi. Di samping itu menunjukkan pula bahwa kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap kabilah atau suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda pula antara sebutan shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan demikian juga dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Beberapa kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Mereka beranggapan batu karang itu berasal dari langit meskipun agaknya itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal dari Yaman. Hal ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau di Kinda. Sayang sekali, buku-buku tentang berhala ini tidak melukiskan secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh orang-orang Quraisy diganti dengan lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Tidak cukup dengan berhala-berhala besar itu saja buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang dan memberikan kurban-kurban, tetapi kebanyakan mereka itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam rumah masing-masing. Mereka mengelilingi patungnya itu ketika akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya pula dalam perjalanan bila patung itu mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam Ka'bah atau yang ada disekelilingnya, begitu juga yang ada di semua penjuru negeri Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara penganutnya dengan dewa besar. Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada Tuhan dan menyembah kepada Tuhan sudah mereka lupakan karena telah menyembah berhala-berhala itu. Meskipun Yaman mempunyai peradaban yang paling tinggi di antara seluruh jazirah Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang baik, namun ia tidak menjadi pusat perhatian negeri-negeri sahara yang terbentang luas itu, juga tidak menjadi pusat keagamaan mereka. Tetapi yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang berkunjung dan ke tempat itu pula orang melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain. Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan jazirah Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi Muhammad, dan dengan demikian ia menjadi sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah tetap disucikan dan suku Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar sejak berabad-abad lamanya. Catatan kaki: 1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc. 2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah. Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan: "Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108. 3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman. Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya. Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka. Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang mengusir mereka.
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A,
Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980
Seri PUSTAKA ISLAM No.1
MEKAH KA'BAH DAN QURAISY
BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY
Muhammad Husain HaekalLetak Mekah - Ibrahim dan Ismail - Kisah penyembelihan
dan penebusan - Zamzam - Perkawinan Ismail dengan
Jurhum - Pembangunan Ka'bah - Mekah di bawah Jurhum -
Qushay dan anak-anaknya - Mekah di tangan Qushay -
Hasyim dan Abdul Muttalib - Tugas-tugas duniawi dan
agama di Mekah - Berhaji ke Mekah - Kisah Abraha dan
gajah - Abdullah bin Abdul Muttalib - Kisah
penebusannya.
DI TENGAH-TENGAH jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut
Merah - antara Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit
barisan sejauh kira-kira delapanpuluh kilometer dari pantai.
Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu
luas, yang hampir-hampir terkepung samasekali oleh bukit-bukit
itu kalau tidak dibuka oleh tiga buah jalan: pertama jalan
menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat Laut Merah di
pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke Palestina.
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak
Mekah. Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh
sukar sekali. Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun
yang lalu. Yang pasti, lembah itu digunakan sebagai tempat
perhentian kafilah sambil beristirahat, karena di tempat itu
terdapat sumber mata air. Dengan demikian rornbongan kafilah
itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik yang datang dari
jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari Palestina
menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang
sebelum itu hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan
tempat perdagangan secara tukar-menukar antara yang datang
dari arah selatan jazirah dengan yang bertolak dari arah
utara.
Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah
sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu
gelap sekali. Mungkin dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini
dipakai tempat ibadat juga sebelum Ismail datang dan menetap
di tempat itu. Kisah kedatangannya ketempat itupun memaksa
kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara ringkas.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang
kayu pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada
masyarakatnya sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa
ia melihat patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian
disembah oleh masyarakat dan betapa pula mereka memberikan
rasa hormat dan kudus kepada sekeping kayu yang pernah
dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak mulai timbul dalam hatinya.
Kepada ayahnya ia pernah bertanya, bagaimana hasil kerajinan
tangannya itu sampai disembah orang?
Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain.
Ayahnyapun sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu;
karena ia kuatir hal ini akan rnenghancurkan perdagangannya.
Ibrahim sendiri orang yang percaya kepada akal pikirannya. Ia
ingin membuktikan kebenaran pendapatnya itu dengan
alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil kesempatan
ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling
besar. Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:
"Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai
Ibrahim?" Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling
besar diantara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang
mereka bisa bicara." (Qur'an, 21: 62-63)
Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya
mereka menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya
mereka sembah.
"Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia
berkata: Inilah Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian
terbenam, iapun berkata: 'Aku tidak menyukai segala yang
terbenam.' Dan setelah dilihatnya bulan terbit, iapun berkata:
'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan itu kemudian terbenam,
iapun berkata: 'Kalau Tuhan tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah dilihatnya matahari
terbit, iapun berkata: 'Ini Tuhanku. Ini yang lebih besar.'
Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam, iapun
berkata: 'Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang
telah menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak
termasuk mereka yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)
Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah
sebagai balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan
masih menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya
Sarah. Dari Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Pada waktu itu Mesir di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit
(Hyksos).
Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja
Hyksos biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang
cantik-cantik. Ibrahim memperlihatkan, seolah Sarah adalah
saudaranya. Ia takut dibunuh dan Sarah akan diperisterikan
raja. Dan raja memang bermaksud akan memperisterikannya.
Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah bersuami.
Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia
diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian
bernama Hajar- Olelm karena Sarah sesudah bertahun-tahun
dengan Ibrahim belum juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah
disuruhnya ia bergaul dengan Hajar, yang tidak lama kemudian
telah beroleh anak, yaitu Ismail. Sesudah Ismail besar
kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.
Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail
serta kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah
sebelum kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di
Palestina atau di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat,
bahwa yang disembelih itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Disini
kita bukan akan menguji adanya perselisihan pendapat itu.
Dalam Qishash'l-Anbia' Syaikh Abd'l Wahhab an-Najjar
berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail.
Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang
disembelih itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya.
Pada waktu itu Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq
dilahirkan. Setelah Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak
lagi tunggal, melainkan sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan
mengambil cerita itu seharusnya kisah penyembelihan dan
penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini memang bisa
terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi terhadap
diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita
yang mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi
diatas bukit Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri
Ismail. Oleh karena di dalam Qur'an tidak disebutkan nama
person korban itu, maka ahli-ahli sejarah kaum Muslimin
berlain-lainan pendapat.
Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa
Ibrahim bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya
supaya anaknya itu dipersembahkan sebagai kurban dengan
menyembelihnya. Pada suatu pagi berangkatlah ia dengan
anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup untuk berusaha, ia
(Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku bermimpi, bahwa
aku menyembelihmu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?' Ia
menjawab: 'Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam
kesabaran.' Setelah keduanya menyerahkan diri dan
dibaringkannya ke sebelah keningnya, ia Kami panggil: 'Hai
Ibrahim. Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Dengan begitu,
Kami memberikan balasan kepada mereka yang berbuat kebaikan.
Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami menebusnya dengan
sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)
Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang
indah sekali, sehingga disini perlu kita kemukakan, sekalipun
tidak membawa kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim
bermimpi dalam tidurnya bahwa ia harus menyembelih anaknya dan
memastikan bahwa itu adalah perintah Tuhan, ia berkata kepada
anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali dan parang itu, mari kita
pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga kita.' Anak itupun
menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan dalam bentuk
seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya berkata:
'Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?' 'Ia pergi
mencari kayu dari lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,'
kata setan lagi, 'ia pergi akan menyembelihnya.' Ibu itu
menjawab lagi: 'Tidak. Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia
mendakwakan bahwa Tuhan yang memerintahkan itu.'
'Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati
perintahNya,' jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan
perasaan kecewa. Ia segera menyusul anak yang sedang mengikuti
ayahnya itu. Kepada anak itupun ia berkata seperti terhadap
ibunya tadi. Tapi jawabannyapun sama dengan jawaban ibunya
juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan, bahwa
mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih
anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu
mundur teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari
Ibrahim, dari isterinya atau dari anaknya.
Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang
mimpinya itu dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang
diperintahkan.' Lalu katanya lagi dalam ballada itu: 'Ayah,
kalau ayah akan menyembelihku, kuatkanlah ikatan itu supaya
darahku nanti tidak kena ayah dan akan mengurangi pahalaku.
Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila dilaksanakan.
Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus memotongku. Bila
ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih, telungkupkan aku
dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak melihat
wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat
akan membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan
baginya, lakukanlah, ayah.'
'Anakku,' kata Ibrahim, 'ini adalah bantuan besar dalam
melaksanakan perintah Allah.'
Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak
itu lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi
kemudian ia dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Anak itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba
besar yang terdapat tidak jauh dari tempat itu. Lalu
disembelihnya dan dibakarnya.
Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah
kisah penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.
Ishaq telah menjadi besar disamping Ismail. Kasih-sayang ayah
sama terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar
melihat anaknya itu dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya
itu. Ia bersumpah tidak akan tinggal bersama-sama dengan Hajar
dan anaknya tatkala dilihatnya Ismail memukul adiknya itu.
Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan bahagia kalau kedua
wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena itu pergilah
ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan. Mereka
sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti
kita sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah
membentangkan kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan
kafilah dari Syam ke Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi
pada waktu itu adalah saat yang paling sepi sepanjang tahun.
Ismail dan ibunya oleh Ibrahim ditinggalkan dan
ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar membuat sebuah
gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan
kiri. Ia tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke
lembah mencari air. Dalam berlari-lari itu - menurut cerita
orang - antara Shafa dan Marwa, sampai lengkap tujuh kali, ia
kembali kepada anaknya dengan membawa perasaan putus asa.
Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya sedang mengorek-ngorek
tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam tanah itu keluar
air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga. Disumbatnya mata
air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke dalam
pasir.
Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang
sedang dalam perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang
akan cukup menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah
yang akan datang.
Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati
beberapa kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa
keterangan mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang
pertama sekali tinggal di tempat itu, sebelum datang Hajar dan
anaknya. Sementara yang lain berpendapat, bahwa mereka tinggal
di tempat itu setelah adanya sumber sumur Zamzam, sehingga
memungkinkan mereka hidup di lembah gersang itu.
Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis
kabilah Jurhum. Ia dengan isterinya tinggal bersama-sama
keluarga Jurhum yang lain. Di tempat itu rumah suci sudah
dibangun, yang kemudian berdiri pula Mekah sekitar tempat itu.
Juga disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrahim minta ijin
kepada Sarah akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan
ini disetujui dan ia pergi. Setelah ia mencari dan menemui
rumah Ismail ia bertanya kepada isterinya: "Mana suamimu?"
"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.
Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau
minuman, dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk
dihidangkan.
Ibrahim pergi, setelah mengatakan: "Kalau suamimu datang
sampaikan salamku dan katakan kepadanya: "Ganti ambang
pintumu."
Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail,
ia segera menceraikan isterinya, dan kemudian kawin lagi
dengan wanita Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita
ini telah menyambut Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu
kemudian ia pernah datang. "Sekarang ambang pintu rumahmu
sudah kuat," (kata Ibrahim).
Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak, dan
mereka inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba,
yakni orang-orang Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum
dengan Arab al-'Ariba keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah
mereka, Ismail anak Ibrahim, dari pihak ibunya erat sekali
bertalian dengan Mesir, dan dari pihak bapa dengan Irak
(Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrahim
menginjakkan kaki.
BAGIAN KEDUA: MEKAH, KA'BAH DAN QURAISY
Muhammad Husain HaekalCerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan
konsensus dalam garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan
Ismail ke Mekah, meskipun terdapat perbedaan dalam detail. Dan
yang memajukan kritik atas peristiwa secara mendetail itu
berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail telah pergi ke lembah yang
sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di tempat itu terdapat
mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar disambut
dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama
Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia
kawin dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak.
Dari percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur
Ibrani-Mesir di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain,
menyebabkan keturunannya itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani
dan Mesir. Mengenai sumber yang mengatakan tentang Hajar yang
kebingungan setelah melihat air yang habis menyerap serta
tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa dan Marwa dan
tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh mereka
masih diragukan.
Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan
Ismail itu ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu.
Dikatakannya, bahwa itu adalah Israiliat (Yudaica) yang
dibuat-buat orang Yahudi beberapa generasi sebelum Islam, guna
mengikat hubungan dengan orang Arab yang sama-sama sebapa
dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi nenek-moyang
orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang orang
Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi
kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang
Yahudi ke tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan
perdagangan orang Yahudi di seluruh jazirah Arab. Pengarang
Inggris ini mendasarkan pendapatnya pada cara-cara peribadatan
di negeri-negeri Arab yang tak ada hubungannya dengan agama
Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar hanyut dalam
paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.
Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup
kuat untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad
sesudah meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak
menunjukkan bahwa mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim
datang ke Hijaz dan tatkala ia dan Ismail bersama-sama
membangun Ka'bah. Andaikata waktu itu paganisma sudah ada,
tentu itu akan memperkuat pendapat Sir William Muir.
Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala dan ia
berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak
berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak
masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang
Arab itu tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai
dengan kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan
sejarah itu secara logika bahkan lebih kuat. Ibrahim yang
telah keluar dari Irak karena mau menghindar dari keluarganya,
ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah orang yang mudah
bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan antara
Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan
lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak
pula pada tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang
dalam garis besamya sudah menjadi konsensus itu.
Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu
mengatakan tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak
Ibrahim dan Ismail sesudah itu yang pindah dari Palestina ke
negeri-negeri Arab serta adanya pertalian mereka dalam arti
hubungan darah. Kita tidak mengerti, kalau kemungkinan
mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini bagi mereka dapat
diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang itu sendiri
tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan padahal
peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan
terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan
sudah disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam
kitab-kitab suci lainnya!
Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu
dan "Bahwa rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah
yang di Mekah itu, sudah diberi berkah dan bimbingan bagi
semesta alam. Disitulah terdapat keterangan-keterangan yang
jelas sebagai Maqam (tempat) Ibrahim; barangsiapa memasukinya
menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)
"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu
tempat bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan
Ismail menyucikan RumahKu bagõ mereka yang bertawaf, mereka
yang tinggal menetap dan mereka yang ruku' dan sujud. Dan
ingatlah tatkala Ibrahim berkata: 'Tuhanku, jadikan tempat ini
Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan kepada penduduknya,
mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian.' Ia
berkata: 'Dan bagi barangsiapa yang menolak iman akan Kuberi
juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa
api, tujuan yang paling celaka,. Dan ingatlah tatkala Ibrahim
dan Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka
berdoa): 'Tuhan, terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah
Engkau Maha mendengar, Maha mengetahui." (Qur,an, 2: 125-127)
Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan
dan tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya
beriman hanya kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi
tempat berhala dan pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula
cara-cara peribadatan itu dilakukan sesudah lbrahim dan
Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula dilakukan? Dan sejak
kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi oleh paganisma? Hal
ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang kita
kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah
dianggap sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah
bintang mempunyai pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya
mereka - menurut beberapa keterangan - tidak menyembah bintang
itu sendiri, melainkan hanya menyembah Allah dan mereka
mengagungkan bintang-bintang itu sebagai ciptaan dan
manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang tidak
dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam
batu gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit,
berasal dan beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula
manifestasi tuhan itu diartikan dan dikuduskan, kemudian
batu-batu itu yang disembah, kemudian penyembahan itu dianggap
begitu agung, sehingga tidak cukup bagi seorang orang Arab
hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang di dalam Ka'bah,
bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa saja dan
Ka'bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan
cara-cara peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau
bagi pencipta bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian
menjadi kuatlah kepercayaan paganisma itu, patung-patung
dikuduskan dan dibawanya sesajen-sesajen untuk itu sebagai
kurban.
Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di
tanah Arab sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat
beribadat kepada Tuhan, sebagaimana dilukiskan oleh beberapa
ahli sejarah dan bagaimana pula hal itu kemudian berbalik dan
menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa sejarah, menerangkan
tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab. Demikian juga
Diodorus Siculus mcnyebutkan tentang rumah di Mekah yang
diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah
begitu tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim
di sana bertahan tidak begitu lama.
Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang mengajak
kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah
semata-mata. Tetapi mereka menolak dan tetap bertahan pada
paganisma. Datang Hud mengajak kaum 'Ad yang tinggal di
sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah hanya kepada Allah;
tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang yang sebagian
besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud, kau datang
tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu.
Kami tidak percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun
lamanya Hud mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah
buas dan congkak. Demikian juga Saleh datang mengajak kaum
Thamud supaya beriman. Mereka ini tinggal di Hijr yang
terletak antara Hijaz dengan Syam di Wadi'l-Qura ke arah timur
daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk 'Aqaba. Sama saja,
hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan Hud juga.
Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak di
Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak
didengar Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi
terhadap golongan 'Ad dan Thamud.
Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan tentang
ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan
itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah
berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu.
Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun; mereka datang
dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman
Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami
mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)
Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada
jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin
Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para
pemuka Mekah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya,
rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang semua oleh Qushay.
Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang kuncinya.
Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat sulit waktu
itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan
minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi
makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada
tiap tahun musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada
tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang
menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila
menuju perang. Jabatan-jabatan demikian itu di Mekah sangat
terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang
Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.
Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu
dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada
hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta kedudukannya
dalam arti agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga
hubungannya.
Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal
kita - tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah
Amalekit dan Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan
bersama-sama dengan ayahnya memasang sendi-sendi rumah itu,
barulah Mekah mengalami perkembangan. Untuk beberapa waktu
yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota atau yang
menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah
dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa
keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa
penulis sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah
itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan
Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi
kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan
Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam
suasana hidup pengembaraan. Padahal sejarah membuktikan bahwa
persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Ismail dalam
lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian.
Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Mekah masa
itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan
ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut
Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan
langsung dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat
dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu
akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi
peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Mekah, yang
sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi
suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil
selama beberapa generasi sebelum Qushayy.
Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan
Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama
dalam masa generasi ini perdagangan Mekah mengalami
perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang
yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka
berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha
dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu sehingga
Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu
memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci
itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup
berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini
akan menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali
Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana
emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai
sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke
dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya
dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan
menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari
Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian
seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab,
nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima.
Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai
anak bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika
Qushayy masih bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi'a
bin Haram. Kemudian mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah
melahirkan Darraj. Qushayy semakin besar juga dan ia hanya
mengenal Rabi'a sebagai ayahnya. Lambat-laun antara Qushayy
dengan pihak kabilah Rabi'a terjadi permusuhan. Ia dihina dan
dikatakan berada di bawah perlindungan mereka, padahal bukan
dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan itu kepada
ibunya.
"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada Qushayy.
"Engkau anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah
menempati Rumah Suci."
Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena
pandangannya yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang
di Mekah sangat menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan
Rumah Suci di tangan Hulail bin Hubsyia - orang yang
berpandangan tajam dari kabilah Khuza'a. Tatkala Qushayy
melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima baik
dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan
perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan
anak-anaknya pun banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia
makin terpandang. Hulail meninggal dengan meninggalkan wasiat
supaya kunci Rumah Suci di tangan Hubba puterinya. Tetapi
Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu Ghibsyan dari
kabilah Khuza'a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang pemabuk.
Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu
dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman
keras.
Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila
pimpinan Ka'bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang
yang banyak hartanya dan orang yang mulai berpengaruh di
kalangan Quraisy. Mereka merasa keberatan bilamana masalah
pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak lain selain mereka
sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan Quraisy, beberapa
kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah penduduk yang
paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka mendukung
Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Sekarang
seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan
dia diakui sebagai pemimpin mereka.
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat,
bahwa sampai pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan
Qushayy, bangunan apapun belum ada di tempat itu, selain Ka
bah. Alasannya ialah, karena baik Khuza'a atau Jurhum tidak
ingin melihat ada bangunan lain di sekitar Rumah Tuhan itu,
juga karena pada malam hari mereka tidak pernah tinggal di
tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah
ia mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di
tempat itu. Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya
Dar'n-Nadwa sebagai tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah
yang dipimpin oleh Qushayy sendiri. Di tempat ini mereka
bermusyawarah mengenai masalah-masalah negeri itu. Menurut
kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka hadapi selalu
diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita atau
laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat
ini pula.
Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun
tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah itu, dengan
meluangkan tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf
sekitar Rumah itu dan pada setiap dua rumah disediakan jalan
yang menembus ke tempat tawaf tersebut.
Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar. Akan tetapi Abd
Manaf adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah
mendapat tempat pula.
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang
dan sudah tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana
mestinya, kunci Rumah itupun diserahkannya kepada Abd'd-Dar,
demikian juga soal air minum, panji dan persediaan makanan.
Setiap tahun Quraisy memberikan sumbangan dari harta mereka
yang diserahkannya kepada Qushayy guna membuatkan makanan pada
musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan kepada mereka
yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang yang
pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan
makanan. Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga
terhadap mereka ketika bersama-sama mereka berhasil
mengeluarkan Khuza'a dari Mekah. Ketika mewajibkan itu ia
berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang
berziarah adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka
itulah para tamu yang paling patut dihormati. Pada musim
ziarah itu sediakanlah makanan dan minuman sampai mereka
pulang kembali."
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah dan kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela golongan yang lain lagi. Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke dalam Ka'bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga pihak Keluarga Abd,d-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar. Kedua belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai pada waktu datangnya Islam. Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para tamu itu diberi makan sampai mereka pulang kembali. Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan jasanya sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus, dia datang membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria. Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi berkembang dan mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan perkembangan serupa itu tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf membuat perjanjian perdamaian dengan tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian sebagai tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi dan dengan penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan orang-orang Quraisy memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang dengan pihak Himyar di Yaman. Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian pandainya penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu dari segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi Hasyim yang kini sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya - bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria. Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hasyim melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang, muncul di tengah-tengah orang yang sedang mengadakan perdagangan dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak 'Amr dari kabilah Khazraj. Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan tidak mau kawin lagi kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia mengetahui kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya. Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya. Kemudian ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang diberi nama Syaiba. Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza (Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd Syams. Tetapi dia sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena sikapnya yang suka menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki Al-Faidz', ("Yang melimpah"). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di tengah-tengah masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram sebagaimana mestinya. Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya. Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib (Budak Muttalib). "Hai," kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang kubawa dari Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang. Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim untuk kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan saudara ayahnya itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa mengembalikan harta itu. Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim. Sesudah pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air - ia menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu - sejak terserapnya sumur Zamzam didatangkan dari beberapa sumur yang terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah kolam di dekat Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya sekaligus. Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya, tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi pikiran. Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi memikirkan dam mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya dulu itu. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali letak sumur itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak Zamzam tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak antara dua patung: Isaf dan Na'ila. Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu mau mencampuri Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi Abd'l-Muttalib berkata: "Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah). Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat apa-apa." Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh Abd'l-Muttalib dipasang di pintu Ka'bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci itu. Abd'l Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar. Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi. Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah). Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah. Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang Arab masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h. Abdullah bin Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat dicintai. Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama Abdullah. Dituntunnya anak muda itu oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk disembelih ditempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila. Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun Abd'l-Muttalib masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta kita, kita tebuslah." Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok. "Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun. "Sepuluh ekor unta." "Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu. "Sediakanlah tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah unta itu sampai dewa berkenan." Merekapun menyetujui. Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abd'l-Muttalib - yang sedang berdoa kepada tuhannya: "Tuhan sudah berkenan." "Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga kali." Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa puas setelah ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya begitu tanpa dijamah manusia atau binatang. Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta cara-cara mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan kisah penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat. Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata memberikan fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti halnya dengan penebusan Abdullah anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa Medinah ketika itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu. "Nadar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya. Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah ibadat sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Mekah dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abraha al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke tempat itu. Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu hanya Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu. Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor gajah besar. Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya akan akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luarbiasa bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akan menghancurkan rumah suci mereka dan tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki bernama Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman - tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya yang hendak menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat menghalangi Abraha. Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan. Nasib yang demikian itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al-Khath'ami ketika ia mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai di Ta'if penduduk tempat itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar oleh orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah. Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan Abd'l-Muttalib bin Hasyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka takkan mampu. Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah. Ia diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan berperang melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah tidak mengadakan perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah. Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata, bersama anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya. Kedatangan delegasi Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan mengenai Ka'bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya, ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah. Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.
Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah Abd'l-Muttalib pergi dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia bermohon, mereka pun bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap agresor yang akan menghancurkan Baitullah itu. Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba waktunya bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka'bah dan sesudah itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan membinasakan mereka. Serangan ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan. menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah tak terbilang lagi banyaknya. Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi penyakit. Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah mencatatnya sebagai Tahun Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Qur'an: "Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana mereka? Dan dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung. Melempari mereka dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti daun-daun kering yang binasa berserakan. "( Qur'an 105: 1-4) Peristiwa yang luarbiasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah dalam arti agama, di samping itu telah memperkuat pula kedudukannya dalam arti perdagangan. Juga menyebabkan penduduknya lebih banyak memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan istimewa itu serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti atau akan menye,rang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka peroleh karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir ini, gersang dan tandus. Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum nabidh (minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka menemukan suatu kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang akan memudahkan mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu lebih memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan menangkis segala serangan yang mungkin datang dari musuh. Yang paling enak bagi mereka bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah di pusat kota sekeliling bangunan Ka'bah. Di tempat itu - di samping tiga ratus buah berhala atau lebih, masing-masing kabilah dengan berhalanya - pembesar-pembesar Quraisy dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk; masing-masing menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman, orang-orang Mundhir di Hira dan orang-orang Ghassan di Suria, tentang datangnya kafilah serta lalu-lintas orang-orang pedalaman. Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai "pemancar" dan "pesawat radio" yang menerima berita-berita kemudian disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan handai-tolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam suntuk di Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka'bah itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorangpun Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara tentang agama atau kitabnya. Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti di Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan :Ka'bah yang dijadikan tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka lindungi dari semua yang akan menghinanya, dan merekapun berlindung ke sana dari segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri, seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri. Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula terganggu, dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan. Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka mencari padang rumput untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh segala kebebasan, kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan. Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi lingkungan Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka'bah tergantung dari penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya, menyebabkan adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka'bah, supaya dapat disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi mereka yang melanggar. Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah0rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita sebutkan tadi - adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh dari Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi, tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat mereka lebih rapat lagi menutup telinga. Mereka tidak mau menyibukkan diri dengan itu. Dalam perjalanan mereka melalui biara-biara dan tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa itu. Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang akan datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu, sudah cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah kepada Umayya bin Abi'sh-Shalt karena arang ini sering mengulang-ulang cerita para rahib tentang hal serupa itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Abu Sufyan juga ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para rahib itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti soal agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan semacam itu. Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Mekah dan kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad a.s. sudah dekat dan bahwa dari tanah Arab pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar kebenaran akan memancar ke seluruh dunia. Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanita-wanita Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan Abdullah akan menjadi seorang ayah yang paling mulia yang pernah dikenal sejarah. Demikian juga Aminah bint Wahb akan menjadi ibu bagi anak Abdullah itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian iapun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi. Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.
Catatan kaki: 1 Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan dalam Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani yang berpegang pada Taurat dan Injil yang belum mengalami perubahan, melainkan orang-orang Harran yang disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat golongan ini dan sebagai tempat kelahiran Ibrahim atau tempat ia pindah dan Irak (Mesopotamia). Di tempat ini terdapat kuil-kuil tempat menyembah bintang-bintang. Kepercayaan mereka ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah datang Agama Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam Mahasin't-Ta'wil, jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka tidak sama dengan kaum Sabaean yang berasal dari Saba di Arab Selatan (A)
No comments:
Post a Comment