~*~KALiMAH TAUHiD~*~







~**~TiADA TUHAN KECUALi ALLAH, MUHAMMAD RASULULLAH pd SETiAP KERLiPAN & PD SETiAP NAFAS Sbyk LuasNYA APA YG ADA pd iLMU ALLAH ~**~

~*~SOLATLah KiTa, Sebelum KiTa diSOLATkan~*~


~*~PLS OPEN this WEB with MOZILLA FIREFOX or INTERNET EXPLORER...for BEST Results, Tq (^^,)

HADIS ~ PESANAN RASUL KITA, UTK UMATNYA TERSAYANG!!!


Drpd Nabi SAW bsabda:~

Ssiapa ke MASJID pd Waktu PAGI/pd Waktu PETANG Allah akan menyediakan utknya satu TEMPAT TINGGAL di Syurga apabila dia pergi samada pd Waktu PAGI atau pd Waktu PETANG

(HR Muslim, #1073)




~*~*~*[MUTiARA HADIS_1]








~~*~~[MUTiARA HADIS_2]





~~**~~[MUTiARA HADIS_3]





~~***~~[MUTiARA HADIS_4]





~*~*~*~*
~*~
~*~


PESAN Rasululah SAW

“Sesungguhnya AMAT dirasa BERAT oleh seOrg MUNAFIK, UTK melaksanakan SOLAT ISYA dan SOLAT SUBUH Sekiranya MEREKA TAHU akan keAGUNGan PAHALAnya, nescaya mereka mendatanginya (ke MASJID, SOLAT berJEMAAH) sekalipun dlm keadaan MERANGKAK2”

(HR Bukhari Muslim)

~*~Hadis Abu Hurairah RA:

Drpda Nabi SAW bSabda: Sesiapa yg pergi ke MASJID pada waktu PAGI atau pada waktu PETANG Allah akan menyediakan untuknya satu TEMPAT TINGGAL di SYURGA apabila dia pergi SAMADA pada waktu PAGI atau PETANG.

(HR Muslim, #1073)

~*~
“Sesungguhnya Allah akan mgumpulkan Org2 MUNAFIK dan 0rg2 KAFIR di dlm JAHANNAM


(QS An Nisa:140).


SOLAT BERJEMAAH LEBIH TINGGI 27 DERAJAT DIBANDING SOLAT SENDIRI“

(HR Bukhari &Muslim)


***

Tuesday, September 30, 2014

Syeikh Abdul Wahab Rokan, Tarikat Naksyabandiah [Nafsyabandiyyah]

Syeikh Abdul Wahab Rokan dan Tarikat Naksyabandiah

Posted by Sifuli di 6 September 2010

Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera.
Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan.
Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu.
Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan.
Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai’ah dan pemberian silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar Al Khalidi Naqsyabandi.
Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi basis pengembangan tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari — dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di kampung yang dipimpinnya.
Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Silaturahmi di Negeri Seribuk Suluk
Para zurriyat, khalifah dan jamaah Babussalam terserak di dalam maupun luar negeri. Akibatnya silaturahmi menjadi longgar. Demi mengikat silahturahmi Ikatan Keluarga Babussalam Langkat menyelenggarakan silaturrahmi nasional (silatnas).
Berlangsung mulai 18 hingga 20 Oktober mendatang, silatnas diadakan di kampung kelahiran Syekh Abd Wahab Rokan, di Rantau Binuang Sakti yang dijuluki ‘Negeri Seribu Suluk’. Acaranya selain tabliqh akbar, haflah Alquran, juga istighasah Tareqat Naqsyabandiyah. Di hari terakhir (20/10), silatnas ditutup dengan ziarah ke makam ibu dan Syekh Abd Wahad dan ke makan Syekh Zainuddin. Kemudian diikuti ramah tamah sekitar seribu peserta silatnas.


Syeikh Bahauddin Naksyahbandi

Posted by Sifuli di 4 September 2010


Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!”
Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Mengembalikan Esensi Tasawuf
Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205).
Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.” Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq


Riwayat Hidup Abah Anum

Posted by Sifuli di 31 Ogos 2010

KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.
Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.

Riwayat Hidup Abah Sepuh TQN Suryalaya

Posted by Sifuli di 26 Ogos 2010

Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau yang biasa di panggil Abah Sepuh, lahir tahun 1836 di kampung Cicalung Kecamatan Tarikolot Kabupaten Sumedang (sekarang, Kp Cicalung Desa Tanjungsari Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya) dari pasangan Rd Nura Pradja (Eyang Upas, yang kemudian bernama Nur Muhammad) dengan Ibu Emah. Beliau dibesarkan oleh uwaknya yang dikenal sebagai Kyai Jangkung. Sejak kecil, beliau sudah gemar mengaji/mesantren dan membantu orang tua dan keluarga, serta suka memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Setelah menyelesaikan pendidikan agama dalam bidang akidah, fiqih, dan lain-lain di tempat orang tuanya. Di Pesantren Sukamiskin Bandung beliau mendalami fiqih, nahwu, dan sorof. Beliau kemudian mendarmabaktikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat dengan mendirikan pengajian di daerahnya dan mendirikan pengajian di daerah Tundagan Tasikmalaya. Beliau kemudian menunaikan ibadah Haji yang pertama.
Walaupun Syaikh Abdullah Mubarok telah menjadi pimpinan dan mengasuh sebuah pengajian pada tahun 1890 di Tundagan Tasikmalaya, beliau masih terus belajar dan mendalami ilmu Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah kepada Mama Guru Agung Syaikh Tolhah bin Talabudin di daerah Trusmi dan Kalisapu Cirebon. Setelah sekian lamanya pulang-pergi antara Tasikmalaya-Cirebon untuk memperdalam ilmu tarekat, akhirnya beliau memperoleh kepercayaan dan diangkat menjadi Wakil Talqin. Sekitar tahun 1908 dalam usia 72 tahun, beliau diangkat secara resmi (khirqoh) sebagai guru dan pemimpin pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah oleh Syaikh Tolhah. Beliau juga memperoleh bimbingan ilmu tarekat dan (bertabaruk) kepada Syaikh Kholil Bangkalan Madura dan bahkan memperoleh ijazah khusus Shalawat Bani Hasyim.
Karena situasi dan kondisi di daerah Tundagan kurang menguntungkan dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, beliau beserta keluarga pindah ke Rancameong Gedebage dan tinggal di rumah H. Tirta untuk sementara. Selanjutnya beliau pindah ke Kampung Cisero (sekarang Cisirna) jarak 2,5 km dari Dusun Godebag dan tinggal di rumah ayahnya. Pada tahun 1904 dari Cisero Abah Sepuh beserta keluarganya pindah ke Dusun Godebag.
Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad kemudian dan bermukim dan memimpin Pondok Pesantren Suryalaya sampai akhir hayatnya. Beliau memperoleh gelar Syaikh Mursyid. Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun 1950, Abah Sepuh hijrah dan bermukim di Gg Jaksa No 13 Bandung. Sekembalinya dari Bandung, beliau bermukim di rumah H Sobari Jl Cihideung No 39 Tasikmlaya dari tahun 1950-1956 sampai beliau wafat.
Setelah menjalani masa yang cukup panjang, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad-sebagai Guru Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dengan segala keberhasilan yang dicapainya melalui perjuangan yang tidak ringan, dipanggil Al Khaliq kembali ke Rahmatullah pada tangal 25 Januari 1956, dalam usia 120 tahun. Beliau meniggalkan sebuah lembaga Pondok Pesantren Suryalaya yang sangat berharga bagi pembinaan umat manusia, agar senantiasa dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mewariskan sebuah wasiat berupa “TANBIH” yang sampai saat sekarang dijadikan pedoman bagi seluruh Ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya dalam hidup dan kehidupannya.

Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN)

Posted by Sifuli di 25 Ogos 2010

Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah adalah thoreqat yang mutabar antara ratusan thoreqat yang dianuti oleh umat islam di seluruh dunia. Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah adalah gabungan 2 thoreqat terbesar iaitu Thoreqat Qodiriah yang dibawa oleh Syeikh Abdul Qodir Jailani dan Thoreqat Naqsyabandiah yang dibawa oleh Syeikh Mohd Nuruddin Bahauddin An-Naqsyabandi.
Thoreqat-thoreqat tersebut telah digabungkan oleh Syeikh Ahmad Khatib As-Syambasi Ibn Abdul Gaffar, seorang Ulama Nusantara yang terkenal pada zamannya yang bermukim di Mekah dan menjadi Mursyid kepada Thoreqat Qodiriah di Mekah pada awal abad ke 13 hijrah jadilah Namanya Thoreqat Qidiriah wa Naqsyabandiah dan berkembang di negeri-negeri nusantara. Syeikh Thalhah kalisapu cerebon adalah salah seorang murid kepada Syeikh Ahmad Khatib As-Syambas dan dikenali sebagai tokoh thoreqat yang prominen dengan karamah beliau selain Syeikh Abdul Karim Banten dan Syeikh Khalil madura, semasa belajar di Mekah dan Syeikh Thalhah telah diangkat sebagai Mursyid dan mengembangkan ajaran daripada thoreqat anutannya di Cerebon, Jawa Barat Indonesia. Syeikh Abdullah Mubarak Bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) telah mengambil talqin Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah daripada Syeikh Thalhah dan menjadi murid beliau dan kemudian diangkat sebagai Mursyid Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah yang kemudiannya mengembangkan ajaran ini di Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat, Indonesia yang ada sekarang.
Syeikh Abdullah Mubarak
Pondok Pesantren Suryalaya telah didirikan oleh pengasasnya Syeikh Abdullah Mubarak Bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pada tanggal 5 September 1905 masehi dengan restu Gurunya Syeikh Thalhah menjadikannya sebagai Pusat Pegembangan Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah di nusantara sehinggalah beliau wafat pada tahun 1956 dan disemayamkan di Kejambaran Rahmaniah Puncak Suryalaya. KH Ahmad Sohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) adalah anak kepada Abah Sepuh dan penerus kepada pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya juga berkapasiti sebagai Mursyid Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah satelah wafatnya Ayah beliau Abah Sepuh. Dan di bawah pimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya telah berkembang maju merentasi seluruh pelusuk Jawa dan Indonesia saterusnya Malaysia (termasuk Sabah dan Sarawak), Singapura, Brunei bah ke seluruh dunia.
Dalam rangka pengembangan dan penyebarluasan ajaran Thoreqat Qodiriah Maqsyabandiah, Abah Anom sebagai Syeikh Mursyidnya melantik Wakil-Wakil Talqin yang berperanan sebagai wakil mursyid memberikan tunjuk ajar dan bimbingan amaliah kepada ikhwan-ikhwan yang mengambil dan mengamalkan ajaran thoreqat ini. Di Malaysia wakil-wakil talqin yang telah ditauliahkan oleh Syeikh Mursyid Abah Anom antaranya ialah Yabhg. Tun Haji Sakaran Dandai yang juga dalam kesepakatan para ikhwan telah melantik beliau sebagai Penasihat Agung TQN Pondok Pesantren Suryalaya di Malaysia, selain beliau Ym. Ustaz Haji Mohd Zuki As-Sujak bin Shafie di Kedah, Ym. Prof. Dr. Haji Abdul Manan Al-Marbawi Bin Haji Muhammad di Terengganu, Ym. Ustaz Haji Saifuddin Al-Hafiz Bin Haji Maulup di Negeri Sembilan, Ym. Ustaz Haji Mansor Salleh di Semporna, Sabah dan Ym. Ustaz Haji Abdul Manaf Bin Abidallah di Tawau, Sabah.
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin
Inabah adalah dampak daripada karamahnya Syeikh Mursyid KHA Sohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom). Inabah ialah institusi rohani pusat rehibilitasi para korban penagihan zat-zat adiktif seperti dadah dan sejenisnya, melalui Institusi Inabah ini puluhun ribu remaja yang menjadi korban narkoba telah dipulihkan dalam ertikata lain Institusi Inabah telah berhasil dalam misinya ” memanusiakan manusia “ melalui kaedah sufi dengan pengamalan dzikirullah, dzikir jahar dan dzikir khofi sebagai ubat kepada kawalahan manusia menurut methode atau kaedah dari ajaran Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah. Di Malaysia terdapat 3 buah Inabah yang lebih dikenali sebagai Pondok Remaja inabah. Pondok Remaja Inabah Malaysia 1 di Jabal Suf, Kuala Nerang, Kedah dipimpin dan dikendalikan oleh Ym. Ustaz Haji Mohd Zuki As-Sujak Bin Shafie, Wakil Talqin TQN di Malaysia, Pondok Remaja Inabah Malaysia 2 di Kuala terengganu yang dikendalikan Ustaz Haji Osman Abdul Jalil (allahyarham) dan Pondok Remaja 3 Inabah Kamal Semporna yang dikendalikan oleh Yayasan Sabdi (Yayasan Tun Haji Sakaran Dandai) dan diawasi sepenuh masa oleh Ym. Ustaz Haji Ady Borhansyah Bin Mokhtar disamping bantuan Wakil-Wakil Talqin TQN di Malaysia dari semasa ke semasa.
Ustaz Hj Mohd Said al-attas
Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah mula dikenali dan diikuti di Daerah Semporna sejak awal tahun 1978, satelah kunjungan Yabhg. Tun Sakaran Dandai bersama Ustaz Haji Mohd Said Al-Attas (allahyarham) ke Suryalaya bersilaturahmi dan berguru dengan KHA Sohibulwafa Tajul Arifin dan setahun kemudiannya Ustaz Haji Mohd Said Al-Attas telah ditauliahkan sebagai Wakil Talqin bersama-sama Ustaz Haji Mohd Trang Isa dari Sarawak dan Ustaz Haji Osman Abdul Jalil (allahyarham) dari Terengganu. Ustaz Haji Mohd Said adalah seorang Guru Agama yang berasal dari Nilai Negeri Sembilan dan Guru Agama yang membuka Madrasah Islamiah pertama di Semporna pada tahun 1963 dengan ihsan Yabhg. Tun Sakaran Dandai ketika itu menjawat Ketua Daerah dan semenjak itu karib kepada Tun Sakaran. Dakwah Ustaz Tua sebagaimana masyarakat di Daerah Semporna mengenali beliau, tidak terhad di daerah Semporna bahkan sampai ke daerah-daerah lain di Negeri Sabah seperti Labuan, Kunak, Tawau. Sandakan dan Tambunan. Pada masa beliau menjadi Wakil Talqin sering berkunjung ke Inabah Kedah dan membantu Ustaz Haji Mohd Zuki sebelum beliau diangkat menjadi Wakil Talqin dan kesempatan ini telah memboleh Ustaz Haji Mohd Said berdakwah ke seluruh semenanjung Malaysia bahkan sampai ke daerah-daerah Wilayah Pattani di Negera Thailand.
Ikhwan TQN Semporna bergambar di Makam Abah Sepuh (Syeikh Abdullah Mubarak) di Puncak Suryalaya. Ketua Rombongan Haji Abdul Rahman Tun Sakaran (paling kiri). Datuk Hj Abdul Fattah (paling kanan)
sumber: ahmad b. haji anjau
NOTA MURSYID
Asas dan tujuan Thoriqah Qodiriah wa Naqsyabandiah
إِلَـهِيْ اَنْتَ مَقْصًودِيْ وَرِضَاكَ مَطْلًـوبِيْ اَعْـطِنِي مَحَبَّتـَكَ وَمَعْرِفَتَـكَ
maksud dari doa itu tadi:
” Ya Tuhanku hanya engkaulah yang ku maksud, dan keredhaanMu yang ku cari, berikan kepada ku kemampuan untuk mencintaiMu dan Maakrifat kepadaMu “.
Doa tersebut mengandungi 3 elemen:
1. Taqarrub terhadap Allah SWT:
ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan ubudiyah, yang mana dalam hal ini dapat dikatakan tidak ada sesuatunya pun yang menjadi tirai penghalang antara abid dan ma bud , antara khaliq dan mahluk.
2. Menuju Jalan Mardhaatillah:
ialah menuju jalan yang diredhai Allah SWT baik dalam ubudiyah mahupu luar ubudiyah alhasil dalam segala gerak geri manusia, diwajibkan mengikuti dan mentaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi serta meninggalkan larangan-laranganNya.
3. Kemahabbahan dan Kemakrifatan terhadap Allah SWT:
artinya: Rasa cinta dengan terang makrifat terhadap Allah ” Dzat Laisaka mithlihi syai`un ” , yang mana dalam mahabbah itu terkandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati. Kalau telah tumbuh mahabbah timbullah rupa-rupa hikmah, di antaranya membiasakan diri dengan selurus-lurusnya dalam hak dzohir bathin, dan dapat pula mewujudkan ” keadilan “, yakni dapat menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran daripada mahabbah datang pula belas kasihan kepada sesama makhluk, diantaranya cinta pada nusa kesegala bangsa berserta agamanya.
Thoreqah Qodiriyah Naqsyabandiyah ini adalah salah satu jalan yang ditempuh buat membukakan diri agar tercapai arah tujuan yang tersebut di atas tadi.
- KHA Sohibulwafa Tajul Arifin.
TANBIH
Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Tanbih ini dari Syeikhuna Almarhum Syeikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad yang bersemayam di Patapan Suryalaya Kejembaran Rahmaniah.
Sabda beliau kepada khususnya segenap murid-murid pria mahupun wanita, tua mahupun muda,
“ Semoga ada dalam kebahagiaan, dikurniai Allah Subhanahu Wa Ta`ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertembah kemuliaan dan keagungannya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur dzohir mahupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang THORIQAT QODIRIAH NAQSYABANDIAH, mengatur dengan tulus ikhlas Wasiat kepada segenap murid-murid :
Berhati-hatilah dalam segala hal, jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan Peraturan AGAMA mahupun NEGARA.
Taatilah kedua-duanya tadi sepantasnya demikianlah sikap manusia yang beriman, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap hadirat Ilahi Rabbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA mahupun NEGARA.
Insafilah hai murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan Syaitan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama mahupun Negara, agar dapat meneliti diri, kalau-kalau tertarik oleh bisikan Iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian:
i. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita, baik dzohir mahupun bathin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga menghargai.
ii. Terhadap sesama sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan dampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama mahupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya ” adzabun Alim “, yang bererti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (Badan payah hati susah).
iii. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesedaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya. Sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberikan keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan.
iv. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan menceminkan bahawa hati kita sedar. Cuba rasakan diri kita peribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh kerana itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendiri yang senang, kerana mereka jadi fakir miskin itu bukanlah kehendak sendiri, namun itulah kudrat Tuhan.
Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesedaran, meskipun terhadap orang-orang asing kerana mereka itu masih keturunan Nabi Adam a.s. , mengingat ayat 70 surah al-isra yang artinya :
” Sangat kami muliakan keturunan Adam dan Kami sebarkan segala yang berada di darat dan di lautan, juga kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainnya “
Kesimpulan dari ayat ini, bahawa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surah al-maidah yang ertinya :
” Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama mahupun Negara, sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama mahupun Negara “.
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surah al-Kafirun ayat 6 : “ Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk Aku “. maksudnya janganlah terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur.
Cubalah renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti : ” Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna “ kerana yang menyebabkan penderitaan diri peribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam Surah an-Nahli ayat 112 diterangkan bahawa : ” Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat mahupun kampung, desa mahupun negara yang dahulunya aman tenteram (gemah rimpah loh jinawi), namun penduduknya/penghuninya mengengkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri “.
Oleh kerana demikian, hendaklah segenap murid-murud bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dzohir-bathin, dunia mahupun akhirat, supaya hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya ” Budi Utama_Jasmani Sempurna “ (Cageur-baguer).
Tiada lain amalan kita, Thoriqat Qodiriah Naqsyabandiah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala kejahatan dzohir-bathin yang bertalian dengan jasmani mahupun rohani yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya Syaitan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan saksama oleh segenap murid-murid agar supaya mencapai keselamatan Dunia dan Akhirat.
Amin.
Patapan Suryalaya, 13 Februari 1956,
Wasiat ini disampaikan kepada sekalian Ikhwan.
( KHA Sohibul wafa Tajul Arifin )
UNTAIAN MUTIARA :
Jangan benci kepada Ulama yang sezaman.
Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain.
Jangan memeriksa murid orang lain.
Jangan berubah sikap meskipun disakiti orang.
Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu.
Wasalam.
WallahHu'Alam.

. .
~***~LadingEMAS~***~

Abah Anom ~Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah [Nafsyabandiyyah]



Abah Anum – Suryalaya

Posted by Sifuli di 20 Ogos 2010

ABAH ANOM
Tokoh pertama adalah Abah Anom. Kedudukannya sebagai seorang mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus ulama sepuh membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa-jiwa yang dahaga. Sebagai orang tua yang telah kenyang dengan asam garam kehidupan Abah Anom dengan arif menerima kunjungan tamu-tamunya, siapapun adanya dan apapun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas dipersembahkan untuk melayani umat manusia.
Belum lagi kemasyhuran pesantren Suryalaya sebagai tempat penyembuhan penagih dadah dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hidrotherapy, dimana kaedahnya disusun oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang diislamkan melalui mandi taubat, serangkaian shalat dengan dzikir ala Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program ini bertujuan untuk membantu program pemerintah Indonesia pada tahun 1971, ianya masih diteruskan dan dilembagakan dalam pesantren remaja Inabah.
Abah Anom yang sejak muda tidak makan daging dan selalu minum air putih itu adalah putra kelima KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) dari istri keduanya Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan ayahnya untuk meneruskan kepemimpinan thariqah di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar(rendah) di sekolah dan pesantren orangtuanya, pada tahun 1930 Abah Anom memulai pengembaraan menuntut ilmu agama Islam secara lebih mendalam.
Diawali dengan mengaji ilmu fiqih di pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu alat dan balaghah di pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah dua tahun di Jambudipa ia melanjutkan mengaji pada ajengan Syatibi di Gentur Cianjur dan ajengan Aceng Mumu di pesantren Cireungas Sukabumi yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya pada 2 tahun berikutnya. Kegemaran akan ilmu silat dan hikmah kemudian diperdalam di pesantren Citengah Panjalu yang diasuh oleh Ajengan Junaidi, seorang ulama ahli ilmu alat dan hikmah.
Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh pesantren Suryalaya sampai beliau wafat pada tahun 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talqinnya, kemudian menjadi mursyid penuh Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekaligus pengasuh pesantren menggantikan Abahnya yang sering tidak sihat.
Manajer Handal
Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu dibahunya di usianya yang baru mengjangkau 41 tahun, menenggelamkan Abah Anom ke dalam samudera riyadhah. Kecintaannya kepada pesantren, thariqah dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiyah dan doa.
Sepanjang sisa hidupnya Abah Anom hampir tidak pernah tidur, demikian cerita salah satu keponakan Abah Anom yang pernah mengabdi di rumahnya. Di luar kegiatan ibadah mahdlah, mengajar dan kunjungan, Abah Anom menghabiskan seluruh waktunya dengan melakukan dzikir khafi. Setiap kali datang rasa mengantuk, Abah Anom segera berwudhu dan shalat sunah lalu melanjutkan dzikirnya.
Selain berdzikir, Abah Anom juga seorang manajer yang handal. Di tangannya Suryalaya, yang dulunya pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah satu pesantren yang sangat disegani di negeri ini. Santri (murid) dan pengikutnya yang mencapai angka jutaan tersebar di seluruh Indonesia bahkan negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lain sebagainya. Jumlah ini mencakup sekitar 3000 santri yang bermukim untuk belajar dan kuliah di lingkungan pesantren Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah serta jutaan ikhwan-akhwat Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN).
Kini di usianya yang semakin senja, Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi santrinya. Tubuhnya yang semakin lemah tak lagi mampu mensejajari semangat dan kecintaannya kepada sesama. Karena itu beberapa tahun belakangan semua urusan pesantren dan thariqah diserahkan kepada 3 orang yang ditunjuk sebagai pemegang amanat, yang terdiri dari KH. Zainal Abidin Anwar, KH. Dudun Nur Syaidudin dan KH. Nur Anom Mubarok.
Namun demikian dengan sisa-sisa tenaga yang semakin lemah Abah Anom tetap menggagahi menerima semua tamu yang mengunjunginya dari berbagai pelosok tanah air, walau hanya sekedar dengan berjabat tangan. Juga diyakini, secara ruhaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga hatinya.

Tarikat di India

Posted by Sifuli di 14 Julai 2010
A. PENDAHULUAN
Tasawuf, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat melakukan sebuah pelarian, bukanlah sesuatu yang dengannya manusia dapat berpangku tangan terhadap hidup. Melainkan, tasawuf adalah suatu metode penyucian jiwa dan pembening hati, yang menjadi bekal utama manusia dalam menggeluti ranah kehidupannya yang, pada dasarnya tidak pernah terlepas dari berbagia macam persoalan. Tasawuf membimbing manusia dalam pengembangan kinerja ukhrawi dan sekaligus juga duniawi.
Seorang sufi, bukanlah seseorang yang melepaskan dirinya dari dunia. Melainkan, mereka adalah pribadi-pribadi yang mampu mengguncang dunia. Tidak pernah melarikan diri dari masalah, namun menyongsongnya. Dengan berbekal nurani yang tercerahkan, para sufi tampil ke depan dan menghadapi semua bentuk tirani bumi, serta membangun pondasi-pondasi peradaban dunia baru.
Pada kesempatan kali ini, kami akan mencoba mengulas mengenai tasawuf dalam perkembangannya di belahan Benua India, tokoh-tokohnya, tarekat-tarekatnya, serta beberpa hal lainnya yang berhubungan dengannya.
Makalah ini terbagi dalam beberapa bagian dengan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama, yaitu pendahuluan. Bagian kedua, mengetengahkan tentang sejarah perkembangan tasawuf di Benua India, serta latar belakang yang mempengaruhinya. Bagian ketiga, menampilkan beberapa tarekat-tarekat yang berpengaruh, serta sekiranya memberikan kontribusinya terhadap perjalan tasawuf di India. Bagian keempat, mengulas mengenai beberapa kecenderungan tasawuf yang terjadi di India. Bagian kelima, menyuguhkan tentang beberapa karya atau buah-buah tasawuf dalam kehidupan dan perjalanannya di India. Bagian terakhir, yaitu penutup, yang sekaligus sedikit mencoba untuk menarik sebuah kesimpulan dari sekilas pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya.

B. LATAR BELAKANG MASUKNYA TASAWUF DI INDIA
☺ Penyerangan oleh Mongol Terhadap Dunia Islam (Persia).
Tahun 907 H/1502 M, naiklah Kerajaan Safawi di Persia. Kerajaan ini telah berjasa mempersatukan kebangsaan Persia di bawah suatu kerajaan besar yang berhak memakai gelar “Syahin Syah” (Sri Maharaja di Raja), setelah sekian lama dalam rebutan Bangsa Mongol Islam, Turki dan Arab. Rajanya yang cukup memiliki nama, ialah Syah Ismail.
Ia menyatakan bahwasanya mazhab resmi di Persia adalah Syi’ah, dan ia amat tidak menyukai bahkan membenci tasawuf. Di kala itu, syair-syair yang berkenaan dengan tasawu mendapat tantangan yang sangat keras, bahkan para sufi pun tak jarang mendapatkan perlakuan yang keras dan kasar. Sehingga, lunturlah keistimewaan tasawuf, yang telah sekian lama tumbuh subur di persia.
Dengan adanya desakan terhadap tasawuf di Persia, akhirnya tasawuf (Hafiz Shirazi) pun bergerak menuju belahan dunia India. Di sanalah, muncul para ahli tasawuf ternama. Masa-masa pemerintahan Mongol di India, terutama pada masa Akbar Khan di Agra (Delhi), telah memperkuat akar tasawuf Islam di India, serta adanya perjuangan kepercayaan dengan para penganut Hindu, yang juga mendukung bangkitnya tasawuf dan filsafat Islam di belahan bumi Hindustan tersebut.
Pengaruh kesusastraan dan tasawuf Persia sangatlah besar terhadap kalangan muslim Hindustan. Sebelum Akbar Khan, raja Mongol di India menciptakan Bahasa Urdu, bahasa Persia-lah yang menjadi bahasa resmi istana.
☺ Kearifan Lokal dan Spiritualitas
Tradisi spiritual Islam di India telah mengembangkan coraknya tersendiri yang khas. Hal ini tidak terlepas dari keadaan awal Bangsa India yang begitu memegang kearifan lokal, spiritualitas lama, seperti halnya spiritualitas dalam Agama Hindu. Meskipun demikian, mereka masih tetap mengakar terhadap al-Qur’an, hadist serta ajaran-ajaran para khalifah.
Kemudian dilihat dari bahasa setempat, beberapa mistikus di Bengal, Deccan, dan India Utara, menyatakan bahwa bahasa-bahasa setempat adalah alat penting untuk menyampaikan kebenaran. Dari abad 7 H/13 M, kalimat-kalimat dalam bahasa-bahasa India telah terpelihara dalam boografi-boigrafi para wali sufi.
☺ Tokoh-Tokoh dari Tanah Persia yang Berpengaruh di India
Al-Hallaj (w. 309 H/922 M)
Nama pertama yang dikaikan dengan spiritualitas, paling tidak di sebagian Sind, adalah al-Husain ibn Manshur al-Hallaj, yang telah menjelajah ke berbagai daerah, untuk menyeru masyarakat kepada Tuhan. Pengalaman mistik al-Hallaj yang melibatkan hubungan sangat personal dengan Tuhan dapat dianggap sebagai Klimaks pertama kehidupan mistik Islam awal. Dan, untuk itu, ia harus membayarnya dengan nyawanya sendiri, terhadap hasil dari interpretasinya tentang cinta hakiki antar manusia dan Tuhan. Maka dari itu, tidaklah terlalu berlebihan jika sekiranya dia disebut-sebut sebagai Syahid-Agung dalam tradisi mistik Islam.
Pada abad-abad kemudian, nama Manshur al-Hallaj menjelma menjadi simbol mistik favorit di bagian Barat India dan beberapa wilayah lainnya. Beberapa orang berpendapat bahwasanya hal tersebut dimungkinkan karena banyaknya gelombang konstan puisi-puisi mistik Persia yang seringkali disebut-sebut, yang di dalamnya, al-Hallaj menyebutkan ana al-haqq.
Abu Yazid al-Bustami, (w. 904 H), mungkin tokoh ini adalah salah satu yang juga berpengaruh lewat ajaran-ajarannya yang begitu mengena dan petuah-petuahnya yang banyak dikenal dan berkembang di tanah Persia, India, dan lain-lainnya.
Namun, selain dari beberapa tokoh Persia yang telah disebutkan di atas, tentunya Benua India itu tersendiri, tidaklah berpangku tangan, untuk tidak menyumbangkan tokoh-tokohnya dalam ranah tasawuf. Diantara mereka tersebut, adalah Muhammad Iqbal, yang filsafat-tasawufnya adalah merupakan permulaan perkembangan filsafat-tasawuf Islami. Pusaka kemegahan kebesaran di India dan Persia telah dijalin kembali dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan berbahan kemajuan pikiran dan pengetahuan cara Barat oleh Iqbal
Selain dari pada tokoh tersebut, tentunya masih banyak tokoh-tokoh lain yang pada dasarnya sangat berpengaruh dan memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perjalanan tasawuf di India, diantaranya adalah, Ahmad al-Faruqi al-Sahrandi (1624 M), yang telah berhasil menanamkan nilai-nilai ke-Islaman kepada pemerintah Mongolia yang mengusai wilayah India, serta telah berjasa dalam proses peleburan nilai-nilai ajaran Buddha dan penyembahan terhadap berhala. Dan banyak tokoh-tokoh lainnya, yang belum dapat kami sebutkan pada keempatan ini.

C. TAREKAT-TAREKAT
☺ Tarekat Chistiyyah (Image Orang Suci atau Wali Islam)
Tarekat Chistiyyah, adalah tarekat yang namanya di ambil dari suatu wilayah di Afganistan, asal usulnya dapat dilacak hingga abad ke-3 H/9 M. Namun, meskipun nama tarekat ini diambil dari nama suatu wilayah di Afganistan, tarekat ini hanya terkenal di India. Chistiyyah memiliki silsilah spiritual yang jejaknya dapat ditelusuri sampai kepada Hasan al-Bashri (21-110 H/ 642-728 M). Mereka meyakini bahwasanya hasan al-bashri adalah merupakan murid dari Ali bin Abi Thalib, sebuah klaim yang validitasnya mereka temukan secara spiritual.
Pendiri Tarekat Chistiyyah di India adalah Khawajah Mu’in al-Din Hasan. Selain itu, Syaikh Nizham al-Din Auliya yang menetap di Delhi, mengkristalisasikan ajaran Chistiyyah di Utara India, serta di wilayah Deccan. Murid-muridnya, mendirikan perguruan-perguruan Chistiyyah di Jawnpur, Malwa, Gujarat, dan Deccan.
Ada begitu banyak karya Chistiyyah yang tersedia, dan sebagian besar di tulis dalam Bahasa persia. Para Sufi Chistiyyah pun menulis karya dalam dialek-dialek lokal, juga dalam Bahasa Arab. Diantara beberapa karya Chistiyyah adalah, Malfuzhat (karya yang keasliannya diragukan, atau tidak dapat dilacak autentisitasnya), Literatur biografis dari para pembimbing spiritual, Maktubat (Surat-Surat), puisi-puisi berbahasa Hindi, dan lain sebagainya.
Para anggota tarekat ini, hidup berbaur dengan masyarakat, mereka tidaklah membangun khaneqah dengan “empat dinding dan pintu gerbangnya”. Tapi, mereka membangun sebuah jama’at-khanah, dengan dinding lumpur dan atap jerami. Tempat tersebut, terbuka bagi umum, dan sebagai tempat berdiskusi dari berbagai macam ide. Para syaikh dan anggota-anggotangya menjalani hidup dalam konsep futuh, yaitu tidak pernah meminta-minta pemberian orang.
Tarekat Chistiyyah berakar pada Sunni. Mereka menganut mazhab fiqh Hanafi. Namun demikian, pandangan mereka tidaklah terikat pada hukum secara skriptural, melainkan lebih mementingkan makna terdalamnya. Aspek mereka yang paling dominan adalah adanya kesetiaan untuk memegang tradisi hidup berdampingan secara damai.
Kaum Chistiyyah awal meyakini bahwa kontak dengan orang-orang suci dan para wali adalah satu satunya sarana yang dapat membuat manusia memeluk Islam. Mereka percaya bahwasanya hanya kelompok muslim yang saleh sajalah yang dapat menarik orang lain untuk menerima Islam. Misi utama mereka adalah berupaya mempersatukan orang-orang Hindu yang memeluk Islam untuk menjadikan mereka sebagai orang-orang muslim yang benar-benar saleh.
☺ Kaziruniyah
Sejak abad ke-4 H/10 M, para sufi telah memulai pembentukan berbagai tarekat dan kelompok. Salah satu dari tarekat-tarekat tersebut adalah tarekat Kaziruniyah, yang didirikan oleh Syaikh Abu Ishaq Ibrahim ibn Syahriyar (w. 426 H/1035 M), ia wafat di Kazirun, antara Syiraz dan Pesisir Teluk Persia.
☺ Suhrawardiyah.
Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs Umar (539-632 H/1145-1234 M), adalah pendiri dari tarekat Suhrawardiyyah. Dia menempuh pendidikan di bawah bimbingan pamannya, Syaikh Dhiya al-Din Abu al-Najib Suhrawardi (490-622 H/1097-1225 M), yang membangun sebuah pondok di Tigris, Baghdad. Khalifah al-Nashir li-Dinillah (575-622 H/1180-1225 M) mengangkat Syaikh Syihab al-Din sebagai duta besarnya keberbagai istana para penguasa penting dan membangun sebuah khaneqah luas untuknya di Baghdad. Kaum sufi dari berbagai penjuru dunia berkumpul di khaneqahnya untuk mendapatkn bai’at darinya. Salah satunya adalah Syaikh Baha al-Din Zakariyya (578 H/1182 M).
Di Multan, para sufi serta ulama terkemuka, banyak yang menentang Syaikh Baha al-Din, tetapi, tingkat keilmuan serta posisi istimewanya diantara murid-murid Syaikh Syihab al-Din Suhrawardi, dapat dengan segera membuatnya menjadi seorang tokoh terkemuka di Multan. Ia sangat tidak menganjurkan kaum sufi mencari bimbingan dari sejumlah pir yang berbeda, melainkan dari satu pir saja. Ia juga sangat menekankan pentingnya sholat-sholat wajib dan menomor duakan sholat-sholat sunnah dan dzikir.
Syaikh Baha al-Din meninggal di Multan, 661 H/1262 M. Ia digantikan oleh anaknya sendiri, yaitu Syaikh Shadr al-Din ‘Arif (w. 684 H/1286 M). Putra dan penerus Syaikh Shadr al-Din, Syaikh Rukn al-Din Abu al-Fath (w. 735 H/1334 M), telah berhasil menghidupkan kembali kejayaan politik dan spiritual kakeknya. Ia sangatlah dihormati oleh raja-raja yang memerintah di kesultanan Delhi, sejak masa pemerintahan Sultan Ala al-Din Khalji (695-715 H/1296-1316 M) hingga kematiannya, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ibn Tughluq (725 H/1325 M).
Murid Syaikh Syihab al-Din Suhrawardi yang mempopulerkan Islam di Bengal, adalah Syaikh Jalal al-Din Tabrizi. Setelah pindah ke Bengal, ia mendirikan sebuah khaneqah di Deva Mahal, bagian utara Bengal. Ia telah berhasil mengislamkan banyak orang Hindu dan Buddha. Pada abad ke-8 H/14 M, Kashmir dijadikan sebagai pusat dari para sufi Suhrawardiyyah.
☺ Kubrawiyah
Pendiri tarekat Kubrawi, yaitu Syaikh Najm al-Din Kubra (540-618 H/1145-1221 M). Sekelompok sufi terkemuka berkumpul di Kubra sebagai murid, dan beberapa cabang tarekatnya menyebar ke baghdad, Khurasan dan India. Salah seorang pengikut Kubrawi yang cukup ternama, yaitu Syaikh Saif al-Din Bakhrazi (w. 658 H/1260 M), memerintahkan muridnya, yaitu Khawajah Badr al-Din Samarqandi Firdausi, untuk menetap di Delhi.
Meskipun para Syaikh dari kalangan ini sangatlah menganjurkan kepada para muridnya untuk selalu berpegang teguh terhadap syari’at, namun, ia tidaklah mengunggulkan para ulama di atas para sufi. Ia berusaha untuk tidak mengungkapkan pengalaman spiritualnya, serta menyarankan pada para murid, untuk tetap menyimpan pengetahuan mereka tentang pengalaman-pengalaman spiritual mereka.
Di Kashmir, tarekat Kubrawiyyah diperkenalkan oleh Mir Sayyid Ali Hamadani. Muhammad Asyraf Jahangir Simnani, yaitu sekalangan dengan Mir Sayyid Ali Hamadani, adalah sorang Kubrawi yang setelah menetap di kesultanan Syiraqi, Jaunpur, India, mendirikan cabang dari tarekat Kubrawi, yaitu Asyrafi.
☺ Syaththariyyah
Di India, tarekat yang didirikan oleh Syah Abd Allah ini, menyebut dirinya sbagai Tarekat Syaththariyyah. Namun, pada masa Turki Utsmani, tarekat ini dikenal dengan sebutan Tarekat Basthamiyyah, dan, di Persia dan Turki, tarekat ini dikenal dengan sebutan tarekat Isyqiyyah.
Syaththariyyah mendapatkan ispirasi mereka dari karya-karya tafsir mistis tentang ke-Tuhan-an, yang dinisbahkan kepada Imam Ja’far al-Shadiq, yaitu Imam Syi’ah yang keenam. Selain itu, tarekat ini juga banyak terpengaruh oleh kisah-kisah mistis dari kehidupan Abu Yazid al-Basthami.
Syaikh Abdullah, sang pendiri tarekat ini, pindah ke India pada awal abad ke-9 H/15 M, setelah menyelesaikan latihan mistisnya. Nama tarekat ini, yang artinya adalah mereka yang bergerak cepat, diambil karena kecepatan tarekat ini dalam memecahkan paradoks ke-Esa-an dalam kemajemukan.
Dalam karyanya, Latha’if-i Ghaibiyyah, ia membagi hamba-hamba spiritual musim yang tekun ke dalam tiga kategori, yaitu, Akhyar (orang-orang yang terpilih), abrar (orang-orang yang patuh), dan syaththay (orang-orang yang bergerak cepat). Dan, dari ketiga kategori tersebut, menurutnya, syththariyyah-lah yang paling unggul, karena mereka memproleh latihan langsung dari arwah para wali besar masa lalu, serta mampu menempuh perjalanan kenaikan sufi dengan cepat.
Selain dari tareka-tarekat yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya, masih banyak terdapat tarekat-tarekat lainnya, yang juga berkembang dan berpengaruh di India, salah satunya adalah tarekat yang berkembang pesat di wilayah india yaitu tarekat Naqsabandiyah, dan dalam revolusi kaum muslim di Turkistan dan Cina, tarekat ini sangat berperan, sebagaimana terjadi di wilayah India Timur ketika melawan para penjajah. Selain itu, juga terdapat Tarekat Qalandariyyah, Tarekat Junaidiyyah, dan lain sebagainya.


D. KECENDERUNGAN TASAWUF DI INDIA
☺ Kaum Majdzub vs Sufi Palsu (Dukun)
Dalam lingkungan tasawuf, terdapat suatu kaum yang dikenal dengan sebutan Kaum Majdzub, atau kaum sufi yang berperilaku aneh. Menurut beberapa pendapat, kaum Majdzub adalah makhluk-makhluk super yang mampu melakukan hal-hal luar biasa, dan, baik orang-orang Hindu maupun Muslim, mereka saling berlumba – lumba dalam menunjukkan ketaatan kepada para kaum ini.
Namun demikian, sebagaimana sulitnya membedakan antara sufi sejati dan sufi palsu, demikian jugalah sulitnya, untuk membedakan antara kaum Majdzub dengan orang yang tidak waras alias gila.
Dalam setiap waktu, selalu saja terdapat kaum yang disebut dengan kaum Majdzub ini. Dari sekian banyak individu yang termasuk dari kaum majdzub, namun, ada satu nama yang dianggap lebih unggul dibandingkan nama-nama yang lainnya, yaitu Muhammad Sa’id Sarmad dalam sumbangannya terhadap kehidupan mistis. Ia bekerja sebagai pedagang, dan mengukpulkan banyak kekayaan dari hasil perdagangannya tersebut.
Ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup tasawuf, bersumber pada pernyataan-pernyataan sombong para dukun dan sufi palsu. Mereka memanfaatkan pengaruh para sufi demi kepentingan serta keuntungan tersendiri. Syair-syair mereka menjadi ancaman besar bagi pandangan spiritual para sufi sejati. Namun demikian, tasawuf sejati tidak akan demikian mudah terkalahkan, bahkan masih mampu bertahan hidup hingga detik ini.
☺ Kaum Malamatiyyah
Kaum ini, setingkali disebut dengan sebutan Malamatiyyah, Malamiyyah atau terkadang juga disebut sebagai Ahl al-Malamah, yang pada dasarnya, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia tasawuf.
Nama kaum ini, diambil dari kata malamah, yang secara bahasa berarti “celaan”, malamah mengandung arti bahwa mereka tidaklah menganggap pendapat orang dalam tingkah peribadatan mereka terhadap Tuhan. Kaum Malamati adalah orang-orang suci yang dengan sengaja menjalani kehidupan hina, dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual mereka.
Pendiri kaum Malamatiyyah ini, adalah Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang berasal dari Naisyapur di Khurasan. Kaum Malamatiyyah mengikuti teladan dirinya, yaitu hidup secara batiniah dalam kebersatuannya dengan Allah, sementara secara lahiriah, mereka bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan.
Dalam tasawuf, sikap pembawaan kaum Malamati ini merupakan sebuah watak permanen dalam spiritualitas Islam, meskipun, banyak penyalahgunaan yang dinisbatkan terhadap namanya, misalnya untuk mencampakkan syariat dan etika atau adab tradisional.
Kaum Malamatiyyah adalah guru serta pembimbing dan pemimpin manusia di jalan Tuhan. Meskipun, tidak ada tindakan dari mereka yang tampak berbeda dari orang-orang awam. Satu di antara mereka, adalah Muhammad, Rasul Allah, orang bijak yang menempatkan segala sesuatunya di tempat yang seharusnya.
E. BUAH-BUAH TASAWUF
☺Puisi-Puisi dan Syair-Syair Sufi
Umumnya, para sufi mengungkapkan gagasan-gagasan mereka dalam syair-syair dan prosa-prosa yang berbahasa Persia. Namun, syair-syair dalam bahasa daerahlah, yang membuat tasawuf menjadi sebuah gerakan massal di kalangan masyarakat India.
Kaum Chisti, adalah beberapa yang dapat disebut sebagai pelopor dari gerakan-gerakan tersebut, yang telah banyak menyumbangkan karya-karya mereka dalam bahasa Hindawi (Hindi). Misalnya ditemukannya, Malfuzhat (karya yang keasliannya diragukan, atau tidak dapat dilacak autentisitasnya), kemudian juga adanya Literatur biografis dari para pembimbing spiritual; seperti; Syiar Auliya’, Fawaid al-Fuad, Manaqib Fakhriyah, Ma’arij al-Wilayah.dll. , Kemudian juga ditemukan Maktubat (Surat-Surat), puisi-puisi berbahasa Hindi, dan lain sebagainya.
Sedangkan, kaum Syaththariyyah, seperti halnya juga kaum Chisti, meminjam simbol-simbol dan kisah-kisah mitologis dari lingkungan-lingkungan Hindu lokal, namun, dengan sedikit memberinya tambahan akan nuansa Islami.
Di Bengal, Sultan Husain Syahi (897-945 H/1494-1538 M) memberikan dorongan kuat terhadap kesusastraan Bengali. Namun demikian, pertumbuhan nyata syair sufi terjadi terutama sejak abad ke-10 H/ke-16 M, di wilayah Cittagong dan istana Arakanese.
Seperti halnya di wilayah-wilayah India lainnya, majelis-majelis pertemuan sama’ di Sind juga mengumandangkan musik sufi dalam bahasa Sindhi. Penyair sufi paling terkemuka dari Sind adalah Syah ‘Abd al-Latif. Karya puitisnya yang berjudul Risalo (Kitab), yang juga membahas mengenai balada raktyat Sind, sarat dengan emosi dan penggerak prasaan.
Umumnya, para penyair sufi mampu mengekspresikan rahasia-rahasia terdalam hati dengan ungkapan-ungkapan dari kehidupan sehari-hari, yang bahkan, seorang anak kecil pun, dimungkinkan dapat memahaminya. Selain itu, sebagai dasar terhadap ajarannya, mereka juga mengadopsi dongeng-dongeng tradisional setempat. Para pahlawan dalam cerita-cerita Sindh dan Punjab ditransformasikan sedemikian rupa sebagai simbol-simbol jiwa yang menempuh banyak cobaan hingga akhirnya mempersatukan dirinya dengan kekasihnya dalam kematian.
Syair sufi bukan hanya sekadar ungkapan cinta mistis tentang jiwa kehausan yang tengah mencari pemahaman intuitif tentang Tuhan, tapi juga sebagai saluran atau jalan keluar berbagai emosi dan perasaan spiritual. Syair sufi dalam bahasa Hindi maupun bahasa-bahasa lainnya, telah mampu membuka cakrawala baru bagi jalan hidup spiritual di benua India.
Baik para penyair sufi, maupu pelopor gerakan kebaktian Hindu, melakukan pendobrakan terhadap segala bentuk formalisme keagamaan, kepalsuan, serta kebodohan, dan berupaya menciptakan sebuah dunia yang semua orang di dalamnya, mendambakan kebahagiaan spiritual.

E. KESIMPULAN
Dari sedikit pembahasan yang telah kami sajikan sebelumnya, berkaitan dengan penyebaran serta perjalanan tasawuf di Benua India tersebut, tidaklah terlepas dari jasa-jasa para sufi Persia, yang jelas-jelas telah memberikan kontribusi mereka terhadap tumbuhnya tasawuf di India tersebut.
Namun, juga berkenaan dengan perjalanan tasawuf di India tersebut, tidaklah terlepas dari jasa-jasa para tokoh-tokoh lokal, yang telah berperan dalam penyebaran tasawuf, serta mendirikan tarekat-tarekat tersendiri, yang kurang lebihnya, cukup memberikan warna tersendiri bagi Tasawuf dan kehidupannya.
Bagaimanapun juga, banyaknya pengaruh sains-sains modern serta pemikiran politik, tidaklah mampu melenyapkan tasawuf dari Benua India. Kekayaan dan pengaruh karya-karya sufistik terus hidup menuntun kepribadian hidup menuju jalan yang lebih menjanjikan.


DAFTAR PUSTAKA
As’ad al-Khatib. Kala Nurani Terusik Tirani (Jejak-Jejak Kearifan dan Kepahlawanan
Kaum Sufi). Jakarta. Serambi. 2005.
Hamka. Tasawuf (Perkembangan dan Pemurniannya). Jakarta: Pustaka Panjimas. 1993.
Hossein Nasr, Seyyed. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam (Manifestasi).
Bandung: Mizan Media Utama. 2003.
Trimingham, Spencer. Mazhab Sufi. Penrej: Luqman Hakim. Bandung: Penerbit Pustaka.
1999.
Sumber http://poetraboemi.wordpress.com/2008/05/23/tasawuf-di-india/



Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya (TQN)

Posted by Sifuli di 25 Ogos 2010


Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan.
Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akbrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Mentri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika. Dengan demikian ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar negeri seperti yang disebutkan di atas.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.
WalahHu'Alam.
 

. .
~***~LadingEMAS~***~

Perlukah bertarekat[tarikat] dan bertasauf..?


Perlukah bertarekat[tarikat] dan bertasauf..?

Posted by Sifuli di 11 Julai 2010

Adakah kita perlu kepada tarekat?
 Adakah kita perlu kepada tasawuf? 
Adakah kita perlu kepada kesufian?
 Soalan-soalan ini sering timbul dalam pemikiran orang-orang yang belajar ilmu agama. Perlu juga dibezakan soalan-soalan tersebut dengan satu soalan lain yang perlu ditanya kepada diri kita iaitu ‘perlukah kita kepada pembersihan jiwa?’ 
Di antara tiga soalan yang awal dengan soalan yang keempat ini ada perbezaan yang ketara bagi mereka yang memerhatikannya dengan teliti.

Persoalan yang keempat ini jawapannya adalah jelas dan terang iaitu: kita sememangnya sebagai seorang muslim amat memerlukan kepada pembersihan jiwa kerana itulah di antara tugas para Rasul dan Nabi alaihimussolatu wassalaam. 
Firman Allah SWT di dalam [surah al Jumu’ah ayat : 2] bermaksud:
   ‘Dialah yang telah mengutuskan di kalangan orang-orang yang tidak tahu menulis dan membaca seorang rasul yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Walaupun sebelum itu mereka berada di dalam kesesatan yang nyata’

Begitu juga terdapat ayat-ayat lain yang menerangkan bahawa tugas para Nabi dan Rasul adalah membersihkan jiwa manusia daripada sebarang kekotoran seperti syirik dan maksiat.

Ada pun tiga persoalan yang awal, maka jawapannya tidak jelas dan terang kerana persoalannya juga tidak jelas dan tidak terang. Kalau orang yang bertanya itu menggunakan perkataan ‘tarekat’, ‘tasawuf’ dan ‘kesufian’ dengan maksud ‘pembersihan jiwa’, maka jawapannya adalah sama dengan persoalan keempat iaitu kita memang memerlukan kepada pembersihan jiwa. Tetapi jika yang bertanya mempunyai gambaran lain tentang apa itu tarekat, tasawuf dan kesufian, maka jawapan yang hendak diberikan mestilah dikaji dengan teliti terlebih dahulu.




Baca seterusnya…
Ada golongan yang terlalu sayangkan istilah tasawuf dan tarekat sehingga terkeluarlah pernyataan seperti:
 ‘Tasawuf adalah intipati ajaran Islam, sesiapa yang tidak masuk tarekat tidak akan bersih hatinya, Rasulullah SAW adalah penghulu segala wali dan ketua segala tarekat, wajib untuk memasuki mana-mana tarekat, ahli fiqh ahli syariat dan ahli tasawuf adalah ahli hakikat…..’ dan bermacam-macam lagi ayat yang jelas menunjukkan bahawa mereka mewajibkan orang Islam masuk ke dalam alam tasawuf dan tarekat. 
Ini adalah sesuatu yang agak melampau.
Ada pula segolongan yang terlalu allergic dengan perkataan tasawuf dan tarekat sehingga terkeluar pula pernyataan seperti: ‘tasawuf adalah bid’ah, tarekat adalah jalan menuju neraka, ahli tarekat adalah ahli kesesatan, tasawuf mengotorkan hati….’ dan sebagainya.
 Ini juga mengandungi unsur melampau dalam membuat penilaian.

Apa yang ingin ditegaskan, Al Quran dan hadith Rasulullah SAW tidak pernah mengabaikan aspek pembersihan jiwa, malah itulah di antara perkara pokok yang ingin ditegaskan oleh kedua-duanya. 
Hati dan jiwa mestilah dibersihkan sebagaimana amalan anggota zahir perlu dijaga dan disucikan. 
Pertamanya ialah membersihkan hati daripada syirik dan keduanya daripada sebarang perkara maksiat dan dosa. Apa yang perlu dilakukan oleh setiap muslim ialah : Cuba memahami kehendak Al Quran dan kehendak hadith Rasulullah SAW agar dirinya (jiwa dan badannya) sentiasa mengutamakan perintah Allah SWT dan perintah RasulNya. Dalam erti kata lain, seseorang yang menjadikan Islam sebagai panduan hidupnya pasti akan membersihkan jiwanya sedikit demi sedikit sehingga mencapai tahap jiwa yang bersih.
Dalam masa yang sama perlu ditegaskan bahawa tidak ada manusia yang lebih tahu cara untuk membersihkan hati melainkan Rasulullah SAW. 
Beliaulah manusia yang dipertanggungjawabkan oleh Allah SWT untuk membersihkan jiwa manusia dan mengajar mereka cara untuk membersihkannya. 
Baginda telah menjalankan tanggungjawabnya sebaik mungkin dan mereka yang mengikut panduan serta petunjuk.
Baginda telah pun menuai hasil di dunia iaitu hati mereka bersih daripada syirik dan dosa. Mereka ialah generasi terunggul lagi terbilang : Para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. 

Para sahabat telah menjadikan Islam sebagai panduan hidup dan sistem pemikiran juga amalan sehingga mereka muncul sebagai generasi yang disifatkan oleh Rasulullah SAW sebagai sebaik-baik kurun. 

Proses membersihkan hati mengikut panduan Al Quran dan hadith telah diwariskan oleh para sahabat kepada orang-orang selepas mereka dan begitulah proses itu diwariskan turun temurun seiring dengan pengajaran dan dakwah terhadap Al Quran dan hadith.
(rujuk fatwa Dr. Yusuf al Qaradawi dalam Fatawa Mu’ashirah jilid 1 – dua soalan terakhir)

 Di zaman tabiin amalan ini diteruskan begitu juga di zaman tabi’ tabiin. Namun begitu, muncul sikap sebahagian muslim yang berlebihan dalam beribadah terutamanya pada perkara yang tidak diwajibkan. Mereka mula mendapat perhatian tetapi bukanlah perhatian itu yang menjadi tujuan mereka. 
Apa yang mereka lakukan adalah berdasarkan keinginan masing-masing berdasarkan cara mereka memahami nas-nas Al Quran, hadith serta pendapat para ulama terdahulu. 
Mereka berlebihan dalam berpuasa sehingga kurus dan letih, mereka berlebihan dalam bersolat di sepertiga malam terakhir sehingga kesihatan mereka terjejas bahkan ada yang tidak tidur malam kerana beribadah sunat, mereka berhati-hati dalam mengumpulkan harta sehingga mereka tidak kaya dan makan sekadar apa yang ada, mereka khatam Al Quran berkali-kali dalam sehari, mereka berzikir beribu-ribu kali dalam sehari dan lain-lain lagi contoh. Tetapi apa yang penting ialah, masyarakat sekitar mereka mula memerhatikan sikap ini dan ramai yang melihatnya sebagai sesuatu yang pelik dan baik. 

Lalu mereka mula mencontohi sikap tersebut dan mula menjadi pengikut tidak rasmi. Di sinilah bermula kelompok-kelompok kecil yang digelar ahli zuhud.
 Contoh yang jelas ialah al Harith al Muhasibi yang merupakan seorang zuhud sezaman dengan imam hadith dan fiqh terkenal, Ahmad Ibn Hanbal. 
 Perbezaan di antara mereka amat jelas di mana Ahmad Ibn Hanbal menguasai Al Quran, meriwayatkan hadith dan menjadi tempat rujukan dalam menyelesaikan masalah hukum-hakam. 
Al Muhasibi pula menjadi tumpuan orang ramai kerana kezuhudannya serta ibadahnya. Ini termasuk majlis zikirnya yang dihadiri oleh ramai orang. Al Muhasibi dan penulisannya menjadi rujukan di kalangan orang-orang tasawuf kerana beliau banyak membicarakan soal hati. 
Ahmad Ibn Hanbal pula menjadi rujukan dalam bidang fiqh serta hadith. Ketika ditanya kepada Ahmad Ibn Hanbal tentang al Muhasibi, beliau menyatakan bahawa al Muhasibi adalah orang yang baik, tetapi cara pemikiran dan amalan al Muhasibi yang agak berlebihan tidak dituntut ke atas orang Islam.
 Ini bagi saya adalah jawapan yang amat penting dalam membincangkan persoalan perlu atau tidak kita memasuki alam tasawuf. Kita teruskan perbincangan…

Perkembangan sebegini yang berpusat di Basrah telah mewujudkan segolongan orang-orang Islam dengan kefahaman yang agak baru dibandingkan dengan zaman awal Islam. Mereka nampaknya ingin menyaingi perkembangan ilmu fiqh yang mendadak dalam masyarakat dan juga ingin menyaingi perkembangan ulama-ulama hadith yang mementingkan sanad dalam meriwayatkan hadith. 
Apa yang berlaku ialah satu cabang ilmu baru dengan kefahaman baru telah wujud iaitu ilmu tasawuf atau tarekat kesufian
Ini memberi gambaran awal bahawa pengasingan sekelompok manusia yang menggelarkan diri mereka / digelarkan oleh orang lain sebagai ahli zuhud, ahli hakikat, ahli tarekat, ahli tasawwuf bukanlah satu perkara baru, yang berlaku di zaman sahabat atau tabiin apatahlagi zaman Rasulullah SAW. 
Ia wujud di zaman tabi’ tabiin secara tidak dirancang dan lebih menjurus kepada ijtihad peribadi tentang cara membersihkan hati.

Oleh sebab itu kita dapati salah seorang tokoh yang terlibat dalam tarekat dan gerakan Islam, Syeikh Sa’id Hawwa dalam bukunya ‘Tarbiyatuna al Ruhiyyah’ telah membidas mereka yang berkata ‘tidak ada jalan lain untuk membersihkan hati kecuali dengan tarekat kesufian’. 

Syeikh Sa’id Hawwa telah menyatakan bahawa para sahabat yang merupakan golongan yang bersih jiwa mereka tidak pernah mengetahui tentang tarekat atau tasawwuf. Mereka berpegang dengan sepenuhnya kepada Al Quran dan hadith sehingga mencapai tahap keimanan yang tinggi. 
Walaupun dalam buku ‘Tarbiyatuna al Ruhiyyah’ terdapat cadangan ke arah membersihkan hati berpandukan amalan tarekat kesufian, tetapi saya mendapati bahawa ia seimbang dalam membicarakan soal tarekat dan pembersihan jiwa sebagai dua perkara yang tidak sama sepenuhnya. 
Maksud tidak sama ialah tarekat, tasawuf dan kesufian lebih menumpukan kepada cara tertentu sedangkan matlamat utama ialah pembersihan jiwa yang boleh berlaku dengan pelbagai cara asalkan tidak menyeleweng daripada panduan Al Quran dan sunnah.

Kembali kepada persoalan "adakah kita sebagai muslim yang hidup di zaman ini perlu kepada tarekat atau tasawwuf?"
Saya menjawab: ‘Tidak’. Jawapan saya ini seharusnya memberikan kelegaan kepada para pembaca yang masih belum memasuki mana-mana aliran tasawuf. 

Namun begitu jawapan ini mungkin menyinggung pihak-pihak yang telah lama memasuki medan tasawuf dan telah lama mengamalkan apa yang diwarisi daripada gurunya atau syeikhnya. Untuk memudahkan bicara, saya ingin berkata kepada mereka yang telah memasuki alam tasawuf supaya memahami bahawa saya tidak menyuruh anda untuk keluar daripada mana-mana tarekat kesufian. 
Kalau saya suruh sekalipun, anda tidak semestinya ikut juga kerana sudah sebati dengan kefahaman ‘perlu masuk tarekat untuk bersihkan hati’
Saya cuma ingin menasihati saudara-saudara ahli tarekat supaya kembali menganalisis setiap bahagian dan setiap sudut dalam tarekat yang anda ikuti berdasarkan petunjuk Al Quran, hadith dan juga cara hidup para sahabat dan tabiin. Cuba pastikan anda mengambil berat tentang perkara-perkara berikut:
1-Jangan terima bulat-bulat segala amalan atau pesanan syeikh tarekat tanpa menganalisis terlebih dahulu adakah perkara yang kita dapat itu benar atau tidak.
2-Sebelum beramal dengan apa-apa amalan khusus (yang sering berbeza antara tarekat), pastikan adakah kita memahami maksud dan tujuan kita beramal. Kalau diberikan selawat tertentu, pastikan dulu maksudnya agar difahami. Cuba fikirkan juga, adakah amalan kita itu menyebabkan kita meninggalkan amalan sunnah yang diajar oleh Rasulullah SAW? Utamakan zikir dan doa Rasulullah SAW sebelum berzikir dengan zikir dan doa syeikh tarekat masing-masing.
3-Cuba selidiki latar belakang penubuhan tarekat tersebut dan selidiki latar belakang keilmuan syeikh tarekat. Ini penting untuk kita memastikan tidak ada perkara yang meragukan.
4-Biasakan diri bertanya tentang perkara-perkara yang tidak jelas. Kadangkala tarekat-tarekat kesufian mengajar pengikutnya menerima bulat-bulat dan tidak banyak bersoal jawab. Jangan amalkan sikap demikian. Kita bertanya, bukannya menghentam atau mengkritik. Malu bertanya sesat jalan.
5-Jangan anggap wajib atau mesti masuk tarekat. Sematkan dalam pemikiran bahawa membersihkan hati dan tarekat adalah dua perkara yang berbeza. Membersihkan hati adalah tujuan utama manakala tarekat adalah cara atau teknik yang dicadangkan oleh manusia. Sematkan dalam hati bahawa para sahabat berjaya mencapai tahap keimanan yang tinggi hasil kefahaman mereka dan amalan mereka berlandaskan Al Quran dan hadith Rasulullah SAW. Mereka tidak menggunakan kaedah-kaedah tertentu seperti dalam kebanyakan tarekat seperti khalwat, suluk, zikir isim mufrad, zikir beribu-ribu kali, zikir di tempat berasingan, zikir dalam kelambu dan sebagainya. Bukan semua tarekat buat begitu, tapi banyak juga yang buat macam tu.
6-Sentiasa peka tentang satu hakikat penting: bahawa banyak ajaran sesat berselindung di sebalik nama tarekat tertentu. Lihatlah nama-nama ajaran sesat yang diwartakan sama ada di dalam negara atau di luar, maka kita akan dapati kebanyakannya adalah tarekat-tarekat kesufian. Maka anda yang memasuki mana-mana tarekat perlu berhati-hati agar anda tidak terjebak ke dalam perangkap ini. Ajaran-ajaran sesat ini tahu bahawa mereka boleh menarik ramai orang dengan menggunakan title ‘tarekat’. Berhati-hatilah di dalam beramal.
Untuk membuat kesimpulan, saya ingin menukilkan kata-kata daripada seorang icon terkemuka di kalangan ahli tasawuf bagi menjelaskan kepada kita apa yang dimaksudkan dengan proses pembersihan hati. Beliau adalah golongan awal yang langsung tidak ada apa-apa tarekat dan nama tertentu, namun namanya sentiasa disebut-sebut oleh pengikut tarekat serata dunia. Beliau ialah al Junaid al Baghdadi.

Al Junaid al Baghdadi berkata: ‘Ilmu kami diikat dengan Kitab dan sunnah. Sesiapa yang tidak menghafaz Al Quran (berserta mengetahui maksudnya) dan tidak menulis hadith (beramal dengan sunnah) maka dia tidak dijadikan ikutan dalam hal ini (pembersihan jiwa). Dan setiap jalan (tarekat dan sebagainya) ditutup ke atas setiap makhluk kecuali bagi orang yang mengikut jejak langkah Rasulullah SAW’. 
Wahai para pembaca sekelian, adakah dengan ayat ini boleh dijadikan hujah untuk mengatakan wajib memasuki tarekat? Kalau begitu, apa agaknya nama tarekat al Junaid al Baghdadi? 
Jawapannya ialah beliau tidak memasuki mana-mana tarekat dan beliau lansung tidak mewajibkan mana-mana orang yang ingin mengikutinya untuk memasuki mana-mana tarekat.
 
Manakala untuk mengakhiri tulisan ini (yang akan disambung dengan tulisan-tulisan seterusnya insya Allah), saya ingin mencatatkan kata-kata bekas Mufti Mesir yang terkenal iaitu Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf yang diambil daripada muqaddimah buku ‘Risalatu al Mustarsyidin’ karya al Harith al Muhasibi dan ditahqiq oleh Syeikh Abd. Fattah Abu Ghuddah (muka surat 11 dan 12, cetakan Dar al Salaam) :
    ‘Dan di sana ada tasawwuf yang palsu, direka oleh segolongan manusia sejak dahulu. Mereka disuapkan dengan ajaran Batiniyyah dan Hululiyyah (ajaran sesat) dan mereka berpakaian seperti pakai ahli tasawuf untuk menarik manusia, menipu dan mengelirukan manusia. Mereka memasukkan ke dalam tasawuf pemikiran Ilhad (menolak hukum agama) dan memasukkan kata-kata mereka yang biadap dalam agama bertujuan menyesatkan orang-orang Islam. Mereka bukanlah ahli tasawuf dan tiada kena mengena dengan tasawuf. 

Para ulama tasawuf yang telah saya sebutkan (di awal muqaddimah) telah menolak mereka dengan sekeras-kerasnya dan ulama-ulama telah menyifatkan mereka sebagai penipu, penyebar dakyah palsu, golongan zindiq (pengkhianat agama) dan juga golongan mulhid (menolak agama). Ramai para imam telah mendedahkan tipu daya mereka, memusnahkan dakwaan mereka dan menolak tasawuf yang mereka bawa. 




Syech Abdul Qodir Al-Jailani oleh Dr. Fahruddin Faiz [Ibadah Lahir Ibadah Batin] ~ Sirrul Asrar


Imam-imam itu adalah seperti Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dan Ibn al Qayyim radhiyallahu ‘anhuma’. 
WallahHu'Alam.

Petikkan: http://syariathakikattarikatmakrifat.wordpress.com/2010/07/11/perlukah-bertarikat-dan-bertasauf/#more-20

. .
~***~LadingEMAS~***~
~*~*~ Who