Jilbab
Oleh : wina karnie
Ginasih duduk terpekur di atas sajadahnya.
Malam semakin tua. Itu adalah satu-satunya
pertemuan terbaik dengan-Nya. Ada hal yang
membuat Ginasih risau akhir-akhir ini. Sebelum
berangkat ke Hongkong, dia muslimah yang taat.
Tapi semenjak keberadaannya di Hongkong
sebagai pembantu, telah banyak yang berubah.
‘Ya Allah, berilah hamba petunjuk guna
menjalankan syariat agama-Mu. Walaupun hidup
di negeri perantauan, jauh dari sanak dan
saudara, bukan berarti aku harus jauh dengan-
Mu, kan? Dengan langkah bagaimana, ya Allah,
agar aku dapat tertib sholat lima waktu dan
kembali mengenakan jilbabku.’ Ginasih khusu’
berdoa.
“Gina…,” panggil Mrs Huang suatu pagi.
“sedang apa kamu di dapur?” tanya majikannya
setelah melihat Ginasih.
“Saya sedang menyiapkan chou jan.” jawabnya.
“Nanti malam ada kerabatku dari Macau
datang ke sini. Siapin menu untuk dua orang
lagi, ya?”
“Baik, Thai Thai.” sahutnya sambil
mengangguk.
Memasak salah satu pekerjaan yang disukai
Ginasih. Seketika dalam benaknya telah
terdaftar berbagai menu. Di dalam kulkas masih
terdapat pau yi, sejenis hewan laut pemberian
saudara majikannya di Australia. Tinggal
membeli satu ekor ayam untuk pelengkapnya.
Ginasih akan membuatnya soup. Saudara
majikannya itu juga menyukai masakan pedas,
karenanya kepiting dengan bumbu kare adalah
masakan yang tepat untuk mereka. Tinggal
menambahkan satu piring sayur, satu piring tem
ikan, dan satu piring ca siu. Dia tersenyum
simpul, “Ah, mereka pasti akan senang
menikmatinya dan memujiku sebagai koki
professional”.
Sore harinya dengan menyeret keranjang
roda untuk belanja, Ginasih menyusuri pasar
Mongkok, dia harus mendapatkan bahan yang
baik. Ketika berada di kios Ayam, matanya tak
lepas memandangi seseorang. Wanita yang
dijumpainya itu mengenakan jilbab.
Keduanya saling akrab, mereka bercerita
mengenai suka-duka sebagai pembantu di
keluarga asing, apalagi non muslim. Kendala
keduanya saat pertama tiba di Hong Kong adalah
pada bahasa. Tidak semua warga Hongkong
mengetahui bahasa ingrish. Sedangkan para
majikan, selalu menuntut para pembantunya agar
patuh. Tak pelak, para nakerwan mengalah
dengan berusaha mengerti kantonis. Ilmu yang
didapatkan dari PJTKI, tidak memadai bila
digunakan dalam percakapan keseharian. Ginasih
tergolong pembantu yang cerdas. Belum genap
dua tahun bekerja pada keluarga Huang, dia
dapat berkomunikasi dengan baik.
“Pak ho bai, sap ho bai…!” seru pelayan
pemotong ayam, memberitahukan bahwa pesanan
ayam dengan nomor delapan dan nomor sepuluh
sudah boleh diambil.
Pikiran Ginasih masih diliputi pertanyaan. Dia
heran kenapa teman barunya ini boleh
mengenakan jilbab saat pergi ke pasar,
setahunya majikan di Hongkong tidak suka
pembantu mereka bertingkah neko-neko. Ginasih
pun memberanikan diri bertanya.
“Sri, kok kamu boleh pakai jilbab di
hari kerja. Biasanya kan majikan ngga
ngijinkan?” tanya Ginasih penuh selidik. Teman
barunya itu bernama Sriatun. Dia berasal dari
kota Ngawi, Magetan. Satu kabupaten dengan
Ginasih, bedanya kalau Ginasih dari kelurahan
Takeran.
“Kenapa tidak? Tapi ini memang kemujuran
bagiku.” jawab Sri penuh syukur.
“Kemujuran bagaimana? Majikanmu seorang
Muslimkah?
“Bukan.” jawab Sri mantab.
“Lalu….?” sahut Ginasih penasaran.
“Ya, sama seperti majikanmu. Aku mau percaya
apa saja, ngga masalah. Bagi majikanku, yang
penting dalam hidup itu, bekerja. Begitulah,
mereka bertuhan pada kesibukan.” ungkap sri.
“Oh, gitu to, Sri, berarti mereka atheis,
kalau majikanku sebenarnya juga baik. Mereka
penganut Budha. Sayangnya..,”
“Kenapa?” sahut Sri heran.
“Aku tak boleh sholat, apalagi berjilbab
sepertimu. Bahkan, kemarin ada temanku yang
diinterminite karena ketahuan sedang sholat.”
keluh Ginasih. Ginasih hanya mengerjakan
sholat dengan mencuri-curi waktu dan pakai
jilbab pun hanya pada saat libur. Itupun
tidak dipakainya dari rumah, dan dilepasnya
sebelum memasuki rumah.
Meskipun tak banyak yang Sri ungkapkan, tapi
Ginasih merasa bahagia bertemu dengannya.
Keinginannya untuk mengenakan jilbab semakin
menggebu-gebu. Tapi, dalam pandangan
masyarakat Hongkong, termasuk majikannya,
bahwa Islam itu agama teroris. Hanya sejauh
itu yang mereka ketahui tentang Muslim.
Dikarenakan, mereka tidak mau mempelajari
Islam. Karena arah rumah mereka berbeda,
keduanya pun berpisah.
Dengan tubuh bermandi keringat Ginasih sampai
juga di rumah. Dipindahkannya belanjaan itu ke
dalam kulkas. Selagi tak ada majikan, dia
luangkan sedikit waktu, sekedar rebahan di
sofa ruang tamu. ‘Sekali-kali belaga boss.’
Pikirnya. Dalam benak Ginasih masih dipenuhi
pelbagai pertanyaan. Sri teman barunya itu,
menimbulkan kecemburuan dirinya kepada Tuhan.
*&*&*&*
Malam harinya, meskipun pikirannya masih
galau, dia dapat mnyelesaikan pekerjaannya
dengan baik. Ginasih berjalan ke arah meja
makan, meletakkan sepiring kepiting rasa kare.
Selang lima menit kemudian telah siap;
sepiring tumis kangkung, steam ikan, dan ca
siu, yang dibelinya tadi siang. Melihat menu
yang serba istimewa itu, majikannya memuji
Ginasih habis-habisan.
“wuao…, menu yang sangat bagus.” Mr dan
Mrs Chan, saudara majikannya, turut
berkomentar. Ginasih tersenyum sesaat.
“Ayo sama-sama makan.” ajak majikannya.
“To che, Thai thai. Saya ke dapur dulu
membereskan peralatan kotor.” seraya
mengangguk Ginasih berlalu menuju dapur.
Dari dapur terdengar suara canda dan tawa
mereka.
“Sangat lezat, tumis kangkung ini.” komentar
kedua tamunnya.
“Stem ikannya juga hou wat, hou mei to.”
“Gina..! Colea..!” seru majikannya. Ginasih
bergegas meninggalkan dapur dan beranjak ke
ruang makan. Ginasih agak gregetan dalam hati.
‘Sudah dibilangin makan nanti saja, kok.’
gerutunya. Pekerjaannya sedikit lagi sudah
selesai. Dia tak terbiasa meninggalkan dapur
dalam keadaan kotor.
“Ya, Thai thai. Messia.” tanya Ginasih
dengan raut heran. Saat itu wajah majikannya
tak seceria tadi.
“Niko melei ga?”
“Thau…Thaufat.” jawab Ginasih dengan
bibir gemetar. Dipandanginya sehelai rambut
panjang. Rambut miliknya, karena di rumah itu,
tidak ada yang mempunyai rambut sepanjang itu
selain dirinya. Rambut itu terapit diantara
kedua sumpit majikannya. “Kenapa tak kamu
ikat rambutmu?”
“Tuemcu, Thai thai. Ngo mo sam ka.”
katanya membela diri
“Sudah berapa kali peristiwa seperti ini
terjadi?” Ginasih diam tanpa berani menjawab
sepatah kata. “bawa ke dapur soup ini, mau
kamu buang, terserah.” Ginasih bertambah sedih
hatinya.
Dia menyesali keteledorannya. Dia
berjanji tidak akan lagi ceroboh. Bukan salah
rambutnya, tanpa diperintah, jatuh sendiri ke
dalam soup. Seingatnya, dari bangun pagi tadi,
dia belum melepas ikatan rambut. ‘Namanya juga
lagi sial.’ Gumam Ginasih. Akhir-akhir ini
rambutnya memang sering rontok. Mungkin karena
ketidakcocokan shampoonya.
Ada hal yang dikuatirkan oleh Ginasih.
Majikannya bisa saja berprasangka bahwa rambut
itu dia gunakan sebagai alat untuk mengguna-
gunainya. Ginasih sering mendengar isu, ada
beberapa pembantu diinterminite karena ketauan
mengguna-gunai majikan.
“Aduh, gawat kalau begitu!” serunya
hampir tak sadar. Kalau sampai itu terjadi,
berarti dia kehilangan pekerjaan, sedangkan
keluarganya di kampung masih membutuhkan
uluran tangannya. Melihat kemarahan majkannya
tadi, bisa jadi keesokan paginya, dia
diinterminite. Orang Hongkong tak mengenal
kompromi. Tapi, sesuatu tiba-tiba terlintas di
kepalanya. Ia bergegas ke ruang tamu.
“Thai thai, boleh saya bicara sesuatu?”
kata Ginasih agak ragu.
“Ada apa? Faithi kong ‘a.” jawab
majikannya acuh. Ginasih mulai bicara penuh
semangat.
“Thai Thai, tolong jangan interminite
saya. Saya janji tidak akan mengulanginya
lagi.
“Siapa yang menjaminnya?” Ginasih diam.
“Thai Thai, tolong beri saya kesempatan.
Saya yengsing.”
“Apa kamu berjanji akan menggunduli
rambutmu, supaya tak sehelai rambut pun
tercecer di rumah ini?”
“Jangan, Thai Thai, please!”
“Lalu…? Apa maumu? Pertama kali,
sepiring sayuran yang menjadi korban, aku
biarkan. Kedua kalinya, stem ikan kesukaanku,
aku maafkan kamu. Dan barusan yat po pau yi
thong. Kamu tau harga pau yi di sini sangat
mahal, kan?” Ginasih tentu saja tahu, karena
dia yang setiap hari berbelanja. Tapi dia
lebih memilih diam, daripada berbantahan
dengan majikannya. Bisa rawan. Tapi jika
hanya diam dan diam, majikannya bisa saja
menjatuhkan talaq interminite. Dengan segenap
keberanian Ginasih pun berkata.
“Thai Thai, saya janji akan selalu
mengikat rambut. Tidak hanya mengikat rambut,
saya juga akan selalu menutupinya, saat di
rumah, belanja kepasar, dan juga mengantar
makanan ke kantor.” Ginasih berkata dengan
berapi-api.
“Maksudnya….?” tanya majikannya tak
mengerti.
“Di rumah Gina akan mengenakan kerudung
yang biasa dipakai buat mandi itu.” Ginasih
berlari ke toilet mengambil kerudung mandi dan
menunjukkan kepada majikannya.
“Keluar rumah dengan itu juga? Apa kamu
tidak akan di anggap jisin?”
“Jika keluar rumah, Gina akan pakai yang
terbuat dari kain.” dengan gesit Ginasih
bergegas ke kamarnya dan mengambil sebuah
kerudung, lalu membawanya ke hadapan
majikannya, “gini, Thai Thai. Gini cara
makainya.” Ginasih mempraktekkan cara
mengenakan kerudung, “rambut Gina tak akan
jatuh lagi. Aman kan, Nyonya?”
Majikannya terdiam, tak segera menjawab
pertanyaan Ginasih. Dia memperhatikan wajah
Ginasih dengan kerudung di kepalanya. Ginasih
menunggu dengan hati berdebar-debar, antara
harap dan cemas, layaknya menunggu keputusan
hakim.
“Ternyata pembantuku lebih leng nui, si
man, dan hou dim dengan kerudung itu.” Ginasih
nyaris melompat. ‘Yess…!’ serunya dalam hati.
Ginasih tersenyum mengembang. Dia tidak
mungkin mengatakan alasan sesungguhnya.
Ginasih merasa, lewat sehelai rambut, Allah
telah menjawab doanya.
(Hong Kong, Feb, 2005)
HUJAN
Oleh: Wina
Suara langkah kaki, terdengar mendekati bilik
kamarku. Sepertinya ada sesuatu yang tak
wajar. Bukankah hanya aku yang ada di rumah
ini? Aku yakin semua pintu rumah terkunci
rapat. Aku sendiri yang memeriksanya sebelum
masuk ke peraduan. Mas Harys tidak mungkin
pulang secepat ini. Minggu depan dia baru
menyelesaikan tugasnya. Seandainya pulang
lebih cepat, dia pasti akan menelponku
terlebih dulu. Kurapatkan telinga ke dinding
pintu, dadaku berdegup semakin tak menentu,
menahan rasa takut yang mulai menjalar.
Tubuhku begetar, nafasku hampir berhenti, dan
suara langkah kaki itu pun berhenti pula..
Aku mulai merinding, bulu-bulu tanganku
berdiri. Aku tak bisa menghubungi orang lain ,
karena telpon rumah berada di ruang tamu. Di
kamarku belum sempat kupasang pesawat telpon,
padahal aku telah membelinya dua hari lalu.
Kupikir menunggu Mas Harys pulang.
Bulan tak tampak, sehingga di luar gelap
mencekam. Hujan sejak sore tadi belum reda.
Teringat jelas dalam benakku , tepatnya 2 thn
lalu, ketika aku dan Mas Harys terperangkap
dalam hujan. Kami berteduh di sebuah rumah tua
kosong. Petir bersahutan dan air hujan terus
mengguyur dari atas langit. Kota Situbondo
sangat rawan dengan banjir. Kami berpelukan
tanpa bisa berbuat banyak. Doa selalu kami
panjatkan agar hujan seketika reda, supaya
kami terbebas dari kungkungan hujan .
Akhirnya kami bermalam di rumah tua itu. Waktu
berada dalam kecemasan, semuanya akan menjadi
aman dengan adanya Mas Harys, karena laki-laki
itu begitu menyanyangiku dengan sepenuh hati.
Dia lakukan apa saja untuk kebahagianku. Tapi
saat ini, apa yang bisa kulakukan? Tanpa sadar
bibirku mengucapkan doa-doa, memohon
perlindungan dari Allah. Mungkinkah ada
penjahat yang memasuki rumahku....? Belum
sempat terjawab pertanyan dalam hatiku,
kudengar suara dari luar....
"Ma.., ini aku, Papa." suara itu mengagetkanku
.
"Benarkah Mas Harys, di situ?" tanyaku tak
percaya dengan bibir gemetar.
"Buka pintunya, Ma. Aku basah kuyup karena
hujan." setelah yakin bahwa itu suara Mas
Harys, pintu pun kukuak perlahan. Aku
berhambur dalam peluknya. Kudekap erat
suamiku, kutumpahkan sejuta rasa di dadanya.
"Pa, kenapa tak kasih khabar dulu ke Mama,
suara langkah kaki di luar tadi, kukira orang
lain, papa jahat dech, papa jahat, bikin mama
ketakutan." serbuku seraya memukulkan kedua
tanganku ke dadanya. Suamiku geli,
menertawakanku kemudian.
"Sejak kapan istriku jadi seorang penakut?”
Aku tersipu malu. Kubimbing suamiku ke kamar
mandi , kubantu mengelap tubuhnya yang basah
kuyup karena hujan.
Mas Harys benar, biasanya aku tidak penakut
seperti sekarang ini. Aku sudah terbiasa
ditinggalkannya menjalankan tugas. Sebagai
seorang pilot, Mas Harys lebih banyak di udara
dari pada di darat. Dia hanya menemuiku
diakhir pekan disaat libur. Hari ini rupanya
ada pembatalan penerbangan, karena hujan
lebat dan cuaca yang tidak bersahabat.
Ketakutanku saat ini, mungkin, karena pengaruh
pembuatan film misteri yang sedang digarap
oleh Image production. Di mana, di dalamnya
aku bekerja sebagai asisten sutradara. Tugasku
membantu sutradara mengarahkan para pemain.
Film itu hampir selesai dalam waktu dekat,
tinggal beberapa episode yang belum tergarap,
karena situasi yang tidak memungkinkan. Hampir
tiap hari hujan, menyebabkan syuting tertunda.
Aku sempat mengusulkan ke sutradara supaya
skenerio diubah, dengan mengambil setting
disaat hari hujan. Tapi karena pertimbangan
lain sutradara tak menyetujui usulku. Aku
mengerti alasannya. Para pemain akan
menggerutu atau bahkan meminta honor dobel.
Pertimbangan lain adalah dalam keadaan hujan
alat-alat tekhnisi akan lebih cepat rusak.
Terpaksa syuting pun terbengkalai.
Di ladang kering orang-orang mengharap hujan,
para petani bergembira karena sawah-sawah
mereka segera menghijau. Tapi hujan yang
berlebihan seperti akhir-akhir ini, siapapun
tak mengharapkannya. Kota-kota yang terletak
di dataran rendah, sudah banyak terendam
banjir. Kegiatan di outdoor terpaksa tertunda,
bahkan sawah-sawah yang diharapkan menghijau
pun tak luput dari genangan air. Alam semakin
enggan bersahabat. Aku menghela nafas,
mendesah berat.
"Kenapa, Ma?" tanya suamiku tiba-tiba.
"Ah, tidak." aku menggeleng. .
"Sepertinya ada yang kau pikirkan?"
"Aku hanya berpikir tentang hujan" jelasku apa
adanya.
"Masih risau karena syutingmu yang tertunda
karena hujan?"
"Bukan itu saja. Hujan menyebabkan sebagian
penduduk kehilangan pemukiman, para petani
juga kehilangan hasil panennya, dan...."
"Dan aku pun harus rela tak terbang ke
Singapore hari ini." sahut suamiku. Kami
menertawakan nasib kami. Suamiku mendekatkan
bibirnya di telingaku.... "aku akan mengajak
mama terbang malam ini, bukan ke Singapore
tapi ketempat lain.”
“Terbang kemana?”
“Hanya kita berdua di sana. Aku akan mengajak
mama menggapai gugusan bintang dan memetiknya
satu persatu, setelahnya kita singgah ke
peraduan rembulan, di sana kita nikmati
biasnya yang hangat menyentuh asa kita.
Bagaimana, Ma?"
Kupandangi wajah suamiku, kutatap bola matanya
yang penuh cinta. Aku tau ada yang bergolak
dalam dadanya, aku pun tak tahan mendengar
kidung cinta yang barusan ditembangkannya.
Hujan lebat mengantarkan kami kepercintaan
yang hebat. Suasana dingin tak membuat kami
lelah. Kami terus mendaki bukit dan ngarai.
Akhirnya kami sampai juga ke gugusan bulan.
Aku terbaring di dadanya dengan senyum
bahagia. Kulirik suamiku, dia terpejam
menikmati setiap sentuhanku. Dia orang
terhebat dalam hidupku.
Pagi hari, embun-embun berjatuhan ke tanah
yang masih basah oleh hujan. Kusibakkan
rambutku yang basah oleh air kran. Langit
masih mendung. Mudah-mudahan tidak ada hujan,
seperti perkiraan cuaca di televisi
memberitahukan. Kulihat suamiku sudah siap
dengan pakaian kerjanya. Aku mengagumi dan
begitu bangga memilikinya. Kecupan mesra di
keningku tak pernah dia lupakan sebelum
berangkat kerja. Kubalas dengan menyentuh
lembut bibirnya seraya berkata, "Pa, take care
yah." dia mengangguk kecil dan memelukku
sesaat, kemudian meluncurkan mobilnya.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa sangat
kesepian. Baru beberapa detik dia
meninggalkanku, tapi rindu menyeruak kebilik
hatiku dengan sangat. Apa yang terjadi
denganku? Kubalikkan tubuhku ke dalam rumah.
Kuhempaskan ke sofa, tak ada kegiatan lain
yang bisa kulakukan selain menonton TV. Aku
ingin sekali menelpon suamiku.
"Ada apa, Honey?" suara dari seberang
bertanya. Suara milik suamiku di pesawat
telpon. Tentu suamiku tak akan percaya, bila
kujelaskan, aku menelponnya hanya sekedar
menyampaikan kerinduan.
"Pa, bawain aku oleh-oleh dari Singapore."
kilahku.
"Of cource."
"Take care, Pa."
"Thanks, Honey."
Aku lega bisa mendengarkan suaranya. Suara
itu bagai embun di pagi hari ini, begitu sejuk
dan membelaiku dalam damai.
Jam 4;00 sore nanti, dia akan memulai
penerbangan. Dari Jakarta ke Singapore dan
diteruskan dengan penerbangan ke Hongkong. Aku
bisa membayangkan kelelahan suamiku. Enam jam
mengemudikan pesawat besi dan harus
bertanggung jawab atas ratusan nyawa
penumpang. Sebagai penumpang, aku merasa amat
jenuh dengan waktu enam jam dalam pesawat.
Padahal hanya sekedar duduk dan menunggu
pesawat untuk landing . Aku berharap
penerbangannya hari ini sukses seperti hari-
hari sebelumnya.
Menjelang magrib, petir bersahutan tanpa
diundang. 'Astagfirllohalngadzim,' seruku
dalam hati. Petir pertanda akan turun hujan.
Bukankah perkiraan cuaca memberitakan bahwa
hari ini tak ada hujan? Bagaimana nasib Mas
Harys nantinya? Berjuang melawan kabut dan
awan, juga hujan yang terus mengucur dari
langit. Semoga tak ada hujan hari ini. Tapi,
tepat disaat aku selesai menunaikan sholat
Magrhib hujan deras mengucur dari langit. Aku
hanya bisa meminta perlindungan atas suamiku
lewat doa. Aku berharap Allah mendengarkan doa
yang aku panjatkan. Mudah-mudahan, Mas Harys
telah mendarat di Singapore. Mudah-mudahan,
karena hujan penerbangan Singapore-Hongkong
akan dicancel. Aku berharap tak ada hujan di
Singapore saat ini. Usai memberesi peralatan
sholat aku segera mencari informasi tentang
perkiraan cuaca di Singapore.
Aku hubungi pesawat telpon di tempat suamiku
bekerja. Dari seberang bagian informasi
memberitahukan bahwa penerbangan Jakarta-
Singapore tertunda satu jam, dari jam 4;00
mundur hingga jam 5;00 sore. Itu berarti
suamiku masih di udara mengemudikan
pesawatnya.
Sungguh! Aku sangat trauma dengan hujan. Hujan
telah merenggut orang-orang yang kucintai.
Keluargaku terhanyut oleh air bah. Peristiwa
itu terjadi beberapa tahun silam. Ketika aku
masih kecil dan belum mengerti artinya
kehilangan. Aku selamat, karena orang tuaku
menitipkanku ke tetangga yang melakukan
pengungsian terlebih dulu. Ayah dan ibuku
menunggu kakakku pulang dari masjid, padahal
air telah menggenang hampir satu meter. Dan
pada akhirnya semua menjadi terlambat untuk
diselamatkan. Aku harus kehilangan ketiga-
tiganya. Aku Fitry kecil, harus menerima
kenyataan sebagai anak yatim piatu, usiaku
baru lima tahun.
Keluarga Rahmat yang membesarkan dan
mendidikku dengan penuh cinta kasih. Sampai
aku bisa hidup mandiri. Mas Harys suamiku
adalah anak kandungnya. Kebersamaan kami dari
kecil menumbuhkan cinta kasih yang teramat
dalam. Tinggal ibu angkatku yang masih hidup
dan selalu kujenguk seminggu sekali. Wanita
itu begitu tegar. Pak Rahmat yang berprofesi
sama dengan suamiku telah terlebih dulu
meninggalkan kami karena kecelakaan di udara.
Hujan menyebabkan pesawat yang dikemudikannya
ambruk sebelum landing. Aku selalu cemas oleh
hujan, kecuali aku sedang bersama suamiku. Aku
tak ingin, apa yang terjadi pada bapak
angkatku menimpa pada suamiku. Aku ingin hidup
dengannya sampai kami menimang anak cucu
nantinya.
Ah, tadi malam kami sempat membicarakan
tentang anak-anak yang bakal kami miliki. Mas
Harys meminta lima anak dari rahimku. Tentu
saja aku marah-marah karena itu melanggar
program keluarga berencana, dengan istilahnya
KB. "Kita harus membantu pemerintah
menyukseskan program-programnya." jelasku.
Tapi dia tidak mau tahu, malah mendekapku erat
hingga aku tak bisa berbuat banyak kecuali
mengiyakan permintaannya.
Sesaat, kunyalakan pesawat televisi,
barangkali ada kabar menggembirakan kudapatkan
dari sana. Semua chanel mengulas tentang
pemilu dan para kader yang tengah memimpin
demo. Aku benar-benar jenuh dan muak dengan
janji para kader yang hanya manis di bibir
saja. Tiba-tiba ada sisipan berita, mataku
mengawasinya tanpa berkedip sekalipun.
Pesawat, sebuah pesawat hampir jatuh tepat di
perairan dekat singapore. “Jangan ada suamiku
di dalamnya." jeritku histeris. Tak ada yang
mendengar suaraku. Kusimak dengan lebih
seksama. "Berkat kepiawaian seorang pilot yang
telah sukses melakukan penerbangan LN, pesawat
mampu diselamatkan dengan mendarat darurat di
tepi pantai." Kutarik nafas lega. Kulihat
lebih teliti, tampak wajah suamiku di pesawat
televisi. Seorang reporter menyalaminya dan
mengucapkan beribu terimakasih. Kupeluk
pesawat TV di depanku. Kusampaikan terimakasih
dan puji syukur kepada Tuhan. Karena
perlindungan-Nya, kebesaran-Nya , cinta
kasih-Nya, suamiku, dan ratusan nyawa lainnya
selamat dari musibah itu. Televisi kembali
menontonkan rakyat yang tengah melakukan pesta
. Sekali lagi aku muak dan perutku terasa
sangat mulas. Aku muntah-muntah di kamar
mandi. Kepalaku agak pening. Aku ingat, sudah
dua bulan ini tamuku tak datang. Aku tersenyum
simpul. Aku masih ingat kata-kata suamiku tadi
malam. Dia ingin lima anak dari rahimku.
Selain atas kuasa Tuhan, aku yakin
keinginannya untuk memiliki anak-anak yang
lahir dari rahimku adalah sebuah kekuatan,
berjuang agar tetap berada disampingku, agar
aku melahirkan anak-anaknya.
Reda. Hujan reda seketika. Hari telah gelap
kembali, seperti kemarin Aku tak merasa
ketakutan lagi. Aku telah merasa meliliki
seorang teman. Dalam kandunganku telah hidup
satu makluk hasil buah cinta kami. Kubelai
perutku, kubayangkan suamiku tengah tertidur
manja di dekatnya.
Dua hari sudah aku menunggu kepulangan
suamiku. Seharusnya, sore ini dia sudah sampai
di rumah dan membawakan oleh-oleh untukku. Aku
suka mengoleksi boneka kecil kerajinan khas
Singapore. Sebuah mobil mendarat tepat di
halaman rumahku. Bukan mobil suamiku. Aku
menarik nafas resah.
"Nyonya Harys?' sapanya tepat berada di
depanku.
"Ya, benar." jawabku gugup.
"Saya ada khabar tentang suami Nyonya."
"Dia baik-baik saja, bukan?" kataku
meyakinkan.
"Dia menugaskan saya untuk mengantar oleh-oleh
yang Nyonya pesan." jawabnya sembari
mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam tas.
"Di mana dia, katakan di mana suami saya saat
ini, mengapa harus anda yang menemui saya?”
kataku mulai panik.
"Dia baik-baik saja, Nyonya.”
“Benarkah?”
“Suami Nyonya, ada di dalam mobil." jawabnya
seraya menunjuk sebuah mobil yang terpakir di
halaman sebelah rumah. Aku segera berhambur ke
sana. Benar, suamiku ada di dalamnya. Aku
menangis haru, kujatuhkan tubuhku dalam
peluknya. Sebuah tangis kebahagiaan, aku masih
sempat menatapnya hari ini.
"Pa, kau jahat, kenapa harus mempermainkanku?"
"Pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku.
Iya, begitu, kan?' katanya seraya mencubit
hidungku. Aku bermanja dalam peluknya.
"Pa , aku begitu takut kehilanganmu."
"Mama, Mama,” keluhnya padaku, “Mama harus
menyerahkan segala sesuatunya kehadirat
Allah." Aku mengangguk. Kami berjalan menuju
rumah. Sore ini tak ada hujan. Aku bahagia tiada tara.
petikan dari http://nulis-zone.tripod.com/
. .
No comments:
Post a Comment