Tuesday, September 30, 2014

Syeikh Abdul Wahab Rokan, Tarikat Naksyabandiah [Nafsyabandiyyah]

Syeikh Abdul Wahab Rokan dan Tarikat Naksyabandiah

Posted by Sifuli di 6 September 2010

Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera.
Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan.
Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu.
Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan.
Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai’ah dan pemberian silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar Al Khalidi Naqsyabandi.
Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi basis pengembangan tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari — dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin.
Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di kampung yang dipimpinnya.
Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.
Silaturahmi di Negeri Seribuk Suluk
Para zurriyat, khalifah dan jamaah Babussalam terserak di dalam maupun luar negeri. Akibatnya silaturahmi menjadi longgar. Demi mengikat silahturahmi Ikatan Keluarga Babussalam Langkat menyelenggarakan silaturrahmi nasional (silatnas).
Berlangsung mulai 18 hingga 20 Oktober mendatang, silatnas diadakan di kampung kelahiran Syekh Abd Wahab Rokan, di Rantau Binuang Sakti yang dijuluki ‘Negeri Seribu Suluk’. Acaranya selain tabliqh akbar, haflah Alquran, juga istighasah Tareqat Naqsyabandiyah. Di hari terakhir (20/10), silatnas ditutup dengan ziarah ke makam ibu dan Syekh Abd Wahad dan ke makan Syekh Zainuddin. Kemudian diikuti ramah tamah sekitar seribu peserta silatnas.


Syeikh Bahauddin Naksyahbandi

Posted by Sifuli di 4 September 2010


Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru.
Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!”
Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia.
Mengembalikan Esensi Tasawuf
Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya.
Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205).
Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat.
Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.” Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq


Riwayat Hidup Abah Anum

Posted by Sifuli di 31 Ogos 2010

KH. A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.
Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.

Riwayat Hidup Abah Sepuh TQN Suryalaya

Posted by Sifuli di 26 Ogos 2010

Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad atau yang biasa di panggil Abah Sepuh, lahir tahun 1836 di kampung Cicalung Kecamatan Tarikolot Kabupaten Sumedang (sekarang, Kp Cicalung Desa Tanjungsari Kecamatan Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya) dari pasangan Rd Nura Pradja (Eyang Upas, yang kemudian bernama Nur Muhammad) dengan Ibu Emah. Beliau dibesarkan oleh uwaknya yang dikenal sebagai Kyai Jangkung. Sejak kecil, beliau sudah gemar mengaji/mesantren dan membantu orang tua dan keluarga, serta suka memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Setelah menyelesaikan pendidikan agama dalam bidang akidah, fiqih, dan lain-lain di tempat orang tuanya. Di Pesantren Sukamiskin Bandung beliau mendalami fiqih, nahwu, dan sorof. Beliau kemudian mendarmabaktikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat dengan mendirikan pengajian di daerahnya dan mendirikan pengajian di daerah Tundagan Tasikmalaya. Beliau kemudian menunaikan ibadah Haji yang pertama.
Walaupun Syaikh Abdullah Mubarok telah menjadi pimpinan dan mengasuh sebuah pengajian pada tahun 1890 di Tundagan Tasikmalaya, beliau masih terus belajar dan mendalami ilmu Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah kepada Mama Guru Agung Syaikh Tolhah bin Talabudin di daerah Trusmi dan Kalisapu Cirebon. Setelah sekian lamanya pulang-pergi antara Tasikmalaya-Cirebon untuk memperdalam ilmu tarekat, akhirnya beliau memperoleh kepercayaan dan diangkat menjadi Wakil Talqin. Sekitar tahun 1908 dalam usia 72 tahun, beliau diangkat secara resmi (khirqoh) sebagai guru dan pemimpin pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah oleh Syaikh Tolhah. Beliau juga memperoleh bimbingan ilmu tarekat dan (bertabaruk) kepada Syaikh Kholil Bangkalan Madura dan bahkan memperoleh ijazah khusus Shalawat Bani Hasyim.
Karena situasi dan kondisi di daerah Tundagan kurang menguntungkan dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, beliau beserta keluarga pindah ke Rancameong Gedebage dan tinggal di rumah H. Tirta untuk sementara. Selanjutnya beliau pindah ke Kampung Cisero (sekarang Cisirna) jarak 2,5 km dari Dusun Godebag dan tinggal di rumah ayahnya. Pada tahun 1904 dari Cisero Abah Sepuh beserta keluarganya pindah ke Dusun Godebag.
Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad kemudian dan bermukim dan memimpin Pondok Pesantren Suryalaya sampai akhir hayatnya. Beliau memperoleh gelar Syaikh Mursyid. Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun 1950, Abah Sepuh hijrah dan bermukim di Gg Jaksa No 13 Bandung. Sekembalinya dari Bandung, beliau bermukim di rumah H Sobari Jl Cihideung No 39 Tasikmlaya dari tahun 1950-1956 sampai beliau wafat.
Setelah menjalani masa yang cukup panjang, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad-sebagai Guru Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dengan segala keberhasilan yang dicapainya melalui perjuangan yang tidak ringan, dipanggil Al Khaliq kembali ke Rahmatullah pada tangal 25 Januari 1956, dalam usia 120 tahun. Beliau meniggalkan sebuah lembaga Pondok Pesantren Suryalaya yang sangat berharga bagi pembinaan umat manusia, agar senantiasa dapat melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mewariskan sebuah wasiat berupa “TANBIH” yang sampai saat sekarang dijadikan pedoman bagi seluruh Ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya dalam hidup dan kehidupannya.

Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN)

Posted by Sifuli di 25 Ogos 2010

Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah adalah thoreqat yang mutabar antara ratusan thoreqat yang dianuti oleh umat islam di seluruh dunia. Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah adalah gabungan 2 thoreqat terbesar iaitu Thoreqat Qodiriah yang dibawa oleh Syeikh Abdul Qodir Jailani dan Thoreqat Naqsyabandiah yang dibawa oleh Syeikh Mohd Nuruddin Bahauddin An-Naqsyabandi.
Thoreqat-thoreqat tersebut telah digabungkan oleh Syeikh Ahmad Khatib As-Syambasi Ibn Abdul Gaffar, seorang Ulama Nusantara yang terkenal pada zamannya yang bermukim di Mekah dan menjadi Mursyid kepada Thoreqat Qodiriah di Mekah pada awal abad ke 13 hijrah jadilah Namanya Thoreqat Qidiriah wa Naqsyabandiah dan berkembang di negeri-negeri nusantara. Syeikh Thalhah kalisapu cerebon adalah salah seorang murid kepada Syeikh Ahmad Khatib As-Syambas dan dikenali sebagai tokoh thoreqat yang prominen dengan karamah beliau selain Syeikh Abdul Karim Banten dan Syeikh Khalil madura, semasa belajar di Mekah dan Syeikh Thalhah telah diangkat sebagai Mursyid dan mengembangkan ajaran daripada thoreqat anutannya di Cerebon, Jawa Barat Indonesia. Syeikh Abdullah Mubarak Bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) telah mengambil talqin Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah daripada Syeikh Thalhah dan menjadi murid beliau dan kemudian diangkat sebagai Mursyid Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah yang kemudiannya mengembangkan ajaran ini di Pondok Pesantren Suryalaya, Jawa Barat, Indonesia yang ada sekarang.
Syeikh Abdullah Mubarak
Pondok Pesantren Suryalaya telah didirikan oleh pengasasnya Syeikh Abdullah Mubarak Bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) pada tanggal 5 September 1905 masehi dengan restu Gurunya Syeikh Thalhah menjadikannya sebagai Pusat Pegembangan Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah di nusantara sehinggalah beliau wafat pada tahun 1956 dan disemayamkan di Kejambaran Rahmaniah Puncak Suryalaya. KH Ahmad Sohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) adalah anak kepada Abah Sepuh dan penerus kepada pimpinan Pondok Pesantren Suryalaya juga berkapasiti sebagai Mursyid Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah satelah wafatnya Ayah beliau Abah Sepuh. Dan di bawah pimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya telah berkembang maju merentasi seluruh pelusuk Jawa dan Indonesia saterusnya Malaysia (termasuk Sabah dan Sarawak), Singapura, Brunei bah ke seluruh dunia.
Dalam rangka pengembangan dan penyebarluasan ajaran Thoreqat Qodiriah Maqsyabandiah, Abah Anom sebagai Syeikh Mursyidnya melantik Wakil-Wakil Talqin yang berperanan sebagai wakil mursyid memberikan tunjuk ajar dan bimbingan amaliah kepada ikhwan-ikhwan yang mengambil dan mengamalkan ajaran thoreqat ini. Di Malaysia wakil-wakil talqin yang telah ditauliahkan oleh Syeikh Mursyid Abah Anom antaranya ialah Yabhg. Tun Haji Sakaran Dandai yang juga dalam kesepakatan para ikhwan telah melantik beliau sebagai Penasihat Agung TQN Pondok Pesantren Suryalaya di Malaysia, selain beliau Ym. Ustaz Haji Mohd Zuki As-Sujak bin Shafie di Kedah, Ym. Prof. Dr. Haji Abdul Manan Al-Marbawi Bin Haji Muhammad di Terengganu, Ym. Ustaz Haji Saifuddin Al-Hafiz Bin Haji Maulup di Negeri Sembilan, Ym. Ustaz Haji Mansor Salleh di Semporna, Sabah dan Ym. Ustaz Haji Abdul Manaf Bin Abidallah di Tawau, Sabah.
KHA Sohibulwafa Tajul Arifin
Inabah adalah dampak daripada karamahnya Syeikh Mursyid KHA Sohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom). Inabah ialah institusi rohani pusat rehibilitasi para korban penagihan zat-zat adiktif seperti dadah dan sejenisnya, melalui Institusi Inabah ini puluhun ribu remaja yang menjadi korban narkoba telah dipulihkan dalam ertikata lain Institusi Inabah telah berhasil dalam misinya ” memanusiakan manusia “ melalui kaedah sufi dengan pengamalan dzikirullah, dzikir jahar dan dzikir khofi sebagai ubat kepada kawalahan manusia menurut methode atau kaedah dari ajaran Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah. Di Malaysia terdapat 3 buah Inabah yang lebih dikenali sebagai Pondok Remaja inabah. Pondok Remaja Inabah Malaysia 1 di Jabal Suf, Kuala Nerang, Kedah dipimpin dan dikendalikan oleh Ym. Ustaz Haji Mohd Zuki As-Sujak Bin Shafie, Wakil Talqin TQN di Malaysia, Pondok Remaja Inabah Malaysia 2 di Kuala terengganu yang dikendalikan Ustaz Haji Osman Abdul Jalil (allahyarham) dan Pondok Remaja 3 Inabah Kamal Semporna yang dikendalikan oleh Yayasan Sabdi (Yayasan Tun Haji Sakaran Dandai) dan diawasi sepenuh masa oleh Ym. Ustaz Haji Ady Borhansyah Bin Mokhtar disamping bantuan Wakil-Wakil Talqin TQN di Malaysia dari semasa ke semasa.
Ustaz Hj Mohd Said al-attas
Thoreqat Qodiriah Naqsyabandiah mula dikenali dan diikuti di Daerah Semporna sejak awal tahun 1978, satelah kunjungan Yabhg. Tun Sakaran Dandai bersama Ustaz Haji Mohd Said Al-Attas (allahyarham) ke Suryalaya bersilaturahmi dan berguru dengan KHA Sohibulwafa Tajul Arifin dan setahun kemudiannya Ustaz Haji Mohd Said Al-Attas telah ditauliahkan sebagai Wakil Talqin bersama-sama Ustaz Haji Mohd Trang Isa dari Sarawak dan Ustaz Haji Osman Abdul Jalil (allahyarham) dari Terengganu. Ustaz Haji Mohd Said adalah seorang Guru Agama yang berasal dari Nilai Negeri Sembilan dan Guru Agama yang membuka Madrasah Islamiah pertama di Semporna pada tahun 1963 dengan ihsan Yabhg. Tun Sakaran Dandai ketika itu menjawat Ketua Daerah dan semenjak itu karib kepada Tun Sakaran. Dakwah Ustaz Tua sebagaimana masyarakat di Daerah Semporna mengenali beliau, tidak terhad di daerah Semporna bahkan sampai ke daerah-daerah lain di Negeri Sabah seperti Labuan, Kunak, Tawau. Sandakan dan Tambunan. Pada masa beliau menjadi Wakil Talqin sering berkunjung ke Inabah Kedah dan membantu Ustaz Haji Mohd Zuki sebelum beliau diangkat menjadi Wakil Talqin dan kesempatan ini telah memboleh Ustaz Haji Mohd Said berdakwah ke seluruh semenanjung Malaysia bahkan sampai ke daerah-daerah Wilayah Pattani di Negera Thailand.
Ikhwan TQN Semporna bergambar di Makam Abah Sepuh (Syeikh Abdullah Mubarak) di Puncak Suryalaya. Ketua Rombongan Haji Abdul Rahman Tun Sakaran (paling kiri). Datuk Hj Abdul Fattah (paling kanan)
sumber: ahmad b. haji anjau
NOTA MURSYID
Asas dan tujuan Thoriqah Qodiriah wa Naqsyabandiah
إِلَـهِيْ اَنْتَ مَقْصًودِيْ وَرِضَاكَ مَطْلًـوبِيْ اَعْـطِنِي مَحَبَّتـَكَ وَمَعْرِفَتَـكَ
maksud dari doa itu tadi:
” Ya Tuhanku hanya engkaulah yang ku maksud, dan keredhaanMu yang ku cari, berikan kepada ku kemampuan untuk mencintaiMu dan Maakrifat kepadaMu “.
Doa tersebut mengandungi 3 elemen:
1. Taqarrub terhadap Allah SWT:
ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan ubudiyah, yang mana dalam hal ini dapat dikatakan tidak ada sesuatunya pun yang menjadi tirai penghalang antara abid dan ma bud , antara khaliq dan mahluk.
2. Menuju Jalan Mardhaatillah:
ialah menuju jalan yang diredhai Allah SWT baik dalam ubudiyah mahupu luar ubudiyah alhasil dalam segala gerak geri manusia, diwajibkan mengikuti dan mentaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi serta meninggalkan larangan-laranganNya.
3. Kemahabbahan dan Kemakrifatan terhadap Allah SWT:
artinya: Rasa cinta dengan terang makrifat terhadap Allah ” Dzat Laisaka mithlihi syai`un ” , yang mana dalam mahabbah itu terkandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati. Kalau telah tumbuh mahabbah timbullah rupa-rupa hikmah, di antaranya membiasakan diri dengan selurus-lurusnya dalam hak dzohir bathin, dan dapat pula mewujudkan ” keadilan “, yakni dapat menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran daripada mahabbah datang pula belas kasihan kepada sesama makhluk, diantaranya cinta pada nusa kesegala bangsa berserta agamanya.
Thoreqah Qodiriyah Naqsyabandiyah ini adalah salah satu jalan yang ditempuh buat membukakan diri agar tercapai arah tujuan yang tersebut di atas tadi.
- KHA Sohibulwafa Tajul Arifin.
TANBIH
Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Tanbih ini dari Syeikhuna Almarhum Syeikh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad yang bersemayam di Patapan Suryalaya Kejembaran Rahmaniah.
Sabda beliau kepada khususnya segenap murid-murid pria mahupun wanita, tua mahupun muda,
“ Semoga ada dalam kebahagiaan, dikurniai Allah Subhanahu Wa Ta`ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertembah kemuliaan dan keagungannya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur dzohir mahupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang THORIQAT QODIRIAH NAQSYABANDIAH, mengatur dengan tulus ikhlas Wasiat kepada segenap murid-murid :
Berhati-hatilah dalam segala hal, jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan Peraturan AGAMA mahupun NEGARA.
Taatilah kedua-duanya tadi sepantasnya demikianlah sikap manusia yang beriman, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap hadirat Ilahi Rabbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA mahupun NEGARA.
Insafilah hai murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan Syaitan, waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama mahupun Negara, agar dapat meneliti diri, kalau-kalau tertarik oleh bisikan Iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian:
i. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita, baik dzohir mahupun bathin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga menghargai.
ii. Terhadap sesama sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan dampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama mahupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya ” adzabun Alim “, yang bererti duka nestapa untuk selama-lamanya dari Dunia sampai Akhirat (Badan payah hati susah).
iii. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesedaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayat hatinya. Sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberikan keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan.
iv. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan menceminkan bahawa hati kita sedar. Cuba rasakan diri kita peribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh kerana itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendiri yang senang, kerana mereka jadi fakir miskin itu bukanlah kehendak sendiri, namun itulah kudrat Tuhan.
Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesedaran, meskipun terhadap orang-orang asing kerana mereka itu masih keturunan Nabi Adam a.s. , mengingat ayat 70 surah al-isra yang artinya :
” Sangat kami muliakan keturunan Adam dan Kami sebarkan segala yang berada di darat dan di lautan, juga kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainnya “
Kesimpulan dari ayat ini, bahawa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat surah al-maidah yang ertinya :
” Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap Agama mahupun Negara, sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama mahupun Negara “.
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surah al-Kafirun ayat 6 : “ Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk Aku “. maksudnya janganlah terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur.
Cubalah renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti : ” Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna “ kerana yang menyebabkan penderitaan diri peribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam Surah an-Nahli ayat 112 diterangkan bahawa : ” Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat mahupun kampung, desa mahupun negara yang dahulunya aman tenteram (gemah rimpah loh jinawi), namun penduduknya/penghuninya mengengkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri “.
Oleh kerana demikian, hendaklah segenap murid-murud bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dzohir-bathin, dunia mahupun akhirat, supaya hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya ” Budi Utama_Jasmani Sempurna “ (Cageur-baguer).
Tiada lain amalan kita, Thoriqat Qodiriah Naqsyabandiah, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala kejahatan dzohir-bathin yang bertalian dengan jasmani mahupun rohani yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya Syaitan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan saksama oleh segenap murid-murid agar supaya mencapai keselamatan Dunia dan Akhirat.
Amin.
Patapan Suryalaya, 13 Februari 1956,
Wasiat ini disampaikan kepada sekalian Ikhwan.
( KHA Sohibul wafa Tajul Arifin )
UNTAIAN MUTIARA :
Jangan benci kepada Ulama yang sezaman.
Jangan menyalahkan kepada pengajaran orang lain.
Jangan memeriksa murid orang lain.
Jangan berubah sikap meskipun disakiti orang.
Harus menyayangi orang yang membenci kepadamu.
Wasalam.
WallahHu'Alam.

. .
~***~LadingEMAS~***~

No comments:

Post a Comment