Monday, October 11, 2010

Jilbab

Jilbab

Oleh : wina karnie

Ginasih duduk terpekur di atas sajadahnya.

Malam semakin tua. Itu adalah satu-satunya

pertemuan terbaik dengan-Nya. Ada hal yang

membuat Ginasih risau akhir-akhir ini. Sebelum

berangkat ke Hongkong, dia muslimah yang taat.

Tapi semenjak keberadaannya di Hongkong

sebagai pembantu, telah banyak yang berubah.

‘Ya Allah, berilah hamba petunjuk guna

menjalankan syariat agama-Mu. Walaupun hidup

di negeri perantauan, jauh dari sanak dan

saudara, bukan  berarti aku harus jauh dengan-

Mu, kan? Dengan langkah bagaimana, ya Allah,

agar aku dapat tertib sholat lima waktu dan

kembali mengenakan jilbabku.’ Ginasih khusu’

berdoa.

“Gina…,” panggil Mrs Huang suatu pagi.

“sedang apa kamu di dapur?” tanya majikannya

setelah melihat Ginasih.

“Saya sedang menyiapkan chou jan.” jawabnya.

“Nanti malam ada kerabatku dari Macau

datang ke sini. Siapin menu untuk dua orang

lagi, ya?”

“Baik, Thai Thai.” sahutnya sambil

mengangguk.

Memasak salah satu pekerjaan yang disukai

Ginasih. Seketika dalam benaknya telah

terdaftar berbagai menu. Di dalam kulkas masih

terdapat pau yi, sejenis hewan laut pemberian

saudara majikannya di Australia. Tinggal

membeli satu ekor ayam untuk pelengkapnya.

Ginasih akan membuatnya soup. Saudara

majikannya itu juga menyukai masakan pedas,

karenanya kepiting dengan bumbu kare adalah

masakan yang tepat untuk mereka. Tinggal

menambahkan satu piring sayur, satu piring tem

ikan, dan satu piring ca siu. Dia tersenyum

simpul, “Ah, mereka pasti akan senang

menikmatinya dan memujiku sebagai koki

professional”.

Sore harinya dengan menyeret keranjang

roda untuk belanja, Ginasih menyusuri pasar

Mongkok, dia harus mendapatkan bahan yang

baik. Ketika berada di kios Ayam, matanya tak

lepas memandangi seseorang. Wanita yang

dijumpainya itu mengenakan jilbab.

Keduanya saling akrab, mereka bercerita

mengenai suka-duka sebagai pembantu di

keluarga asing, apalagi non muslim. Kendala

keduanya saat pertama tiba di Hong Kong adalah

pada bahasa. Tidak semua warga Hongkong

mengetahui bahasa ingrish. Sedangkan para

majikan, selalu menuntut para pembantunya agar

patuh. Tak pelak, para nakerwan mengalah

dengan berusaha mengerti kantonis. Ilmu yang

didapatkan dari PJTKI, tidak memadai bila

digunakan dalam percakapan keseharian. Ginasih

tergolong pembantu yang cerdas. Belum genap

dua tahun bekerja pada keluarga Huang, dia

dapat berkomunikasi dengan baik.

“Pak ho bai, sap ho bai…!” seru pelayan

pemotong ayam, memberitahukan bahwa pesanan

ayam dengan nomor delapan dan nomor sepuluh

sudah boleh diambil.

Pikiran Ginasih masih diliputi pertanyaan. Dia

heran kenapa teman barunya ini boleh

mengenakan jilbab saat pergi ke pasar,

setahunya majikan di Hongkong tidak suka

pembantu mereka bertingkah neko-neko. Ginasih

pun memberanikan diri bertanya.

“Sri, kok kamu boleh pakai jilbab di

hari kerja. Biasanya kan majikan ngga

ngijinkan?” tanya Ginasih penuh selidik. Teman

barunya itu bernama Sriatun. Dia berasal dari

kota Ngawi, Magetan. Satu kabupaten dengan

Ginasih, bedanya kalau Ginasih dari kelurahan

Takeran.

“Kenapa tidak? Tapi ini memang kemujuran

bagiku.” jawab Sri penuh syukur.

“Kemujuran bagaimana? Majikanmu seorang

Muslimkah?

“Bukan.” jawab Sri mantab.

“Lalu….?” sahut Ginasih penasaran.

“Ya, sama seperti majikanmu. Aku mau percaya

apa saja, ngga masalah. Bagi majikanku, yang

penting dalam hidup itu, bekerja. Begitulah,

mereka bertuhan pada kesibukan.” ungkap sri.

“Oh, gitu to, Sri, berarti mereka atheis,

kalau majikanku sebenarnya juga baik. Mereka

penganut Budha. Sayangnya..,”

“Kenapa?” sahut Sri heran.

“Aku tak boleh sholat, apalagi berjilbab

sepertimu. Bahkan, kemarin ada temanku yang

diinterminite karena ketahuan sedang sholat.”

keluh Ginasih. Ginasih hanya mengerjakan

sholat dengan mencuri-curi waktu dan pakai

jilbab pun hanya pada saat libur. Itupun

tidak dipakainya dari rumah, dan dilepasnya

sebelum memasuki rumah.

Meskipun tak banyak yang Sri ungkapkan, tapi

Ginasih merasa bahagia bertemu dengannya.

Keinginannya untuk mengenakan jilbab semakin

menggebu-gebu. Tapi, dalam pandangan

masyarakat Hongkong, termasuk majikannya,

bahwa Islam itu agama teroris. Hanya sejauh

itu yang mereka ketahui tentang Muslim.

Dikarenakan, mereka tidak mau mempelajari

Islam. Karena arah rumah mereka berbeda,

keduanya pun berpisah.

Dengan tubuh bermandi keringat Ginasih sampai

juga di rumah. Dipindahkannya belanjaan itu ke

dalam kulkas. Selagi tak ada majikan, dia

luangkan sedikit waktu, sekedar rebahan di

sofa ruang tamu. ‘Sekali-kali belaga boss.’

Pikirnya. Dalam benak Ginasih masih dipenuhi

pelbagai pertanyaan. Sri teman barunya itu,

menimbulkan kecemburuan dirinya kepada Tuhan.

*&*&*&*

Malam harinya, meskipun pikirannya masih

galau, dia dapat mnyelesaikan pekerjaannya

dengan baik. Ginasih berjalan ke arah meja

makan, meletakkan sepiring kepiting rasa kare.

Selang lima menit kemudian telah siap;

sepiring tumis kangkung, steam ikan, dan ca

siu, yang dibelinya tadi siang. Melihat menu

yang serba istimewa itu, majikannya memuji

Ginasih habis-habisan.

“wuao…, menu yang sangat bagus.” Mr dan

Mrs Chan, saudara majikannya, turut

berkomentar. Ginasih tersenyum sesaat.

“Ayo sama-sama makan.” ajak majikannya.

“To che, Thai thai. Saya ke dapur dulu

membereskan peralatan kotor.” seraya

mengangguk Ginasih berlalu menuju dapur.

Dari dapur terdengar suara canda dan tawa

mereka.

“Sangat lezat, tumis kangkung ini.” komentar

kedua tamunnya.

“Stem ikannya juga hou wat, hou mei to.”

“Gina..! Colea..!” seru majikannya. Ginasih

bergegas meninggalkan dapur dan beranjak ke

ruang makan. Ginasih agak gregetan dalam hati.

‘Sudah dibilangin makan nanti saja, kok.’

gerutunya. Pekerjaannya sedikit lagi sudah

selesai. Dia tak terbiasa meninggalkan dapur

dalam keadaan kotor.

“Ya, Thai thai. Messia.” tanya Ginasih

dengan raut heran. Saat itu wajah majikannya

tak seceria tadi.

“Niko melei ga?”

“Thau…Thaufat.” jawab Ginasih dengan

bibir gemetar. Dipandanginya sehelai rambut

panjang. Rambut miliknya, karena di rumah itu,

tidak ada yang mempunyai rambut sepanjang itu

selain dirinya. Rambut itu terapit diantara

kedua sumpit majikannya. “Kenapa tak kamu

ikat rambutmu?”

“Tuemcu, Thai thai. Ngo mo sam ka.”

katanya membela diri

“Sudah berapa kali peristiwa seperti ini

terjadi?” Ginasih diam tanpa berani menjawab

sepatah kata. “bawa ke dapur soup ini, mau

kamu buang, terserah.” Ginasih bertambah sedih

hatinya.

Dia menyesali keteledorannya. Dia

berjanji tidak akan lagi ceroboh. Bukan salah

rambutnya, tanpa diperintah, jatuh sendiri ke

dalam soup. Seingatnya, dari bangun pagi tadi,

dia belum melepas ikatan rambut. ‘Namanya juga

lagi sial.’ Gumam Ginasih. Akhir-akhir ini

rambutnya memang sering rontok. Mungkin karena

ketidakcocokan shampoonya.

Ada hal yang dikuatirkan oleh Ginasih.

Majikannya bisa saja berprasangka bahwa rambut

itu dia gunakan sebagai alat untuk mengguna-

gunainya. Ginasih sering mendengar isu, ada

beberapa pembantu diinterminite karena ketauan

mengguna-gunai majikan.

“Aduh, gawat kalau begitu!” serunya

hampir tak sadar. Kalau sampai itu terjadi,

berarti dia kehilangan pekerjaan, sedangkan

keluarganya di kampung masih membutuhkan

uluran tangannya. Melihat kemarahan majkannya

tadi, bisa jadi keesokan paginya, dia

diinterminite. Orang Hongkong tak mengenal

kompromi. Tapi, sesuatu tiba-tiba terlintas di

kepalanya. Ia bergegas ke ruang tamu.

“Thai thai, boleh saya bicara sesuatu?”

kata Ginasih agak ragu.

“Ada apa? Faithi kong ‘a.” jawab

majikannya acuh. Ginasih mulai bicara penuh

semangat.

“Thai Thai, tolong jangan interminite

saya. Saya janji tidak akan mengulanginya

lagi.

“Siapa yang menjaminnya?” Ginasih diam.

“Thai Thai, tolong beri saya kesempatan.

Saya yengsing.”

“Apa kamu berjanji akan menggunduli

rambutmu, supaya tak sehelai rambut pun

tercecer di rumah ini?”

“Jangan, Thai Thai, please!”

“Lalu…? Apa maumu? Pertama kali,

sepiring sayuran yang menjadi korban, aku

biarkan. Kedua kalinya, stem ikan kesukaanku,

aku maafkan kamu. Dan barusan yat po pau yi

thong. Kamu tau harga pau yi di sini sangat

mahal, kan?” Ginasih tentu saja tahu, karena

dia yang setiap hari berbelanja. Tapi dia

lebih memilih diam, daripada berbantahan

dengan majikannya. Bisa rawan. Tapi jika

hanya diam dan diam, majikannya bisa saja

menjatuhkan talaq interminite. Dengan segenap

keberanian Ginasih pun berkata.

“Thai Thai, saya janji akan selalu

mengikat rambut. Tidak hanya mengikat rambut,

saya juga akan selalu menutupinya, saat di

rumah, belanja kepasar, dan juga mengantar

makanan ke kantor.” Ginasih berkata dengan

berapi-api.

“Maksudnya….?” tanya majikannya tak

mengerti.

“Di rumah Gina akan mengenakan kerudung

yang biasa dipakai buat mandi itu.” Ginasih

berlari ke toilet mengambil kerudung mandi dan

menunjukkan kepada majikannya.

“Keluar rumah dengan itu juga? Apa kamu

tidak akan di anggap jisin?”

“Jika keluar rumah, Gina akan pakai yang

terbuat dari kain.” dengan gesit Ginasih

bergegas ke kamarnya dan mengambil sebuah

kerudung, lalu membawanya ke hadapan

majikannya, “gini, Thai Thai. Gini cara

makainya.” Ginasih mempraktekkan cara

mengenakan kerudung, “rambut Gina tak akan

jatuh lagi. Aman kan, Nyonya?”

Majikannya terdiam, tak segera menjawab

pertanyaan Ginasih. Dia memperhatikan wajah

Ginasih dengan kerudung di kepalanya. Ginasih

menunggu dengan hati berdebar-debar, antara

harap dan cemas, layaknya menunggu keputusan

hakim.

“Ternyata pembantuku lebih leng nui, si

man, dan hou dim dengan kerudung itu.” Ginasih

nyaris melompat. ‘Yess…!’ serunya dalam hati.

Ginasih tersenyum mengembang. Dia tidak

mungkin mengatakan alasan sesungguhnya.

Ginasih merasa, lewat sehelai rambut, Allah

telah menjawab doanya.

(Hong Kong, Feb, 2005)





HUJAN



Oleh: Wina



Suara langkah kaki, terdengar mendekati bilik

kamarku. Sepertinya ada sesuatu yang tak

wajar. Bukankah hanya aku yang ada di rumah

ini? Aku yakin semua pintu rumah terkunci

rapat. Aku sendiri yang memeriksanya sebelum

masuk ke peraduan. Mas Harys tidak mungkin

pulang secepat ini. Minggu depan dia baru

menyelesaikan tugasnya. Seandainya pulang

lebih cepat, dia pasti akan menelponku

terlebih dulu. Kurapatkan telinga ke dinding

pintu, dadaku berdegup semakin tak menentu,

menahan rasa takut yang mulai menjalar.

Tubuhku begetar, nafasku hampir berhenti, dan

suara langkah kaki itu pun berhenti pula..



Aku mulai merinding, bulu-bulu tanganku

berdiri. Aku tak bisa menghubungi orang lain ,

karena telpon rumah berada di ruang tamu. Di

kamarku belum sempat kupasang pesawat telpon,

padahal aku telah membelinya dua hari lalu.

Kupikir menunggu Mas Harys pulang.



Bulan tak tampak, sehingga di luar gelap

mencekam. Hujan sejak sore tadi belum reda.

Teringat jelas dalam benakku , tepatnya 2 thn

lalu, ketika aku dan Mas Harys terperangkap

dalam hujan. Kami berteduh di sebuah rumah tua

kosong. Petir bersahutan dan air hujan terus

mengguyur dari atas langit. Kota Situbondo

sangat rawan dengan banjir. Kami berpelukan

tanpa bisa berbuat banyak. Doa selalu kami

panjatkan agar hujan seketika reda, supaya

kami terbebas dari kungkungan hujan .

Akhirnya kami bermalam di rumah tua itu. Waktu

berada dalam kecemasan, semuanya akan menjadi

aman dengan adanya Mas Harys, karena laki-laki

itu begitu menyanyangiku dengan sepenuh hati.

Dia lakukan apa saja untuk kebahagianku. Tapi

saat ini, apa yang bisa kulakukan? Tanpa sadar

bibirku mengucapkan doa-doa, memohon

perlindungan dari Allah. Mungkinkah ada

penjahat yang memasuki rumahku....? Belum

sempat terjawab pertanyan dalam hatiku,

kudengar suara dari luar....



"Ma.., ini aku, Papa." suara itu mengagetkanku

.

"Benarkah Mas Harys, di situ?" tanyaku tak

percaya dengan bibir gemetar.

"Buka pintunya, Ma. Aku basah kuyup karena

hujan." setelah yakin bahwa itu suara Mas

Harys, pintu pun kukuak perlahan. Aku

berhambur dalam peluknya. Kudekap erat

suamiku, kutumpahkan sejuta rasa di dadanya.

"Pa, kenapa tak kasih khabar dulu ke Mama,

suara langkah kaki di luar tadi, kukira orang

lain, papa jahat dech, papa jahat, bikin mama

ketakutan." serbuku seraya memukulkan kedua

tanganku ke dadanya. Suamiku geli,

menertawakanku kemudian.

"Sejak kapan istriku jadi seorang penakut?”

Aku tersipu malu. Kubimbing suamiku ke kamar

mandi , kubantu mengelap tubuhnya yang basah

kuyup karena hujan.



Mas Harys benar, biasanya aku tidak penakut

seperti sekarang ini. Aku sudah terbiasa

ditinggalkannya menjalankan tugas. Sebagai

seorang pilot, Mas Harys lebih banyak di udara

dari pada di darat. Dia hanya menemuiku

diakhir pekan disaat libur. Hari ini rupanya

ada pembatalan penerbangan, karena hujan

lebat dan cuaca yang tidak bersahabat.

Ketakutanku saat ini, mungkin, karena pengaruh

pembuatan film misteri yang sedang digarap

oleh Image production. Di mana, di dalamnya

aku bekerja sebagai asisten sutradara. Tugasku

membantu sutradara mengarahkan para pemain.

Film itu hampir selesai dalam waktu dekat,

tinggal beberapa episode yang belum tergarap,

karena situasi yang tidak memungkinkan. Hampir

tiap hari hujan, menyebabkan syuting tertunda.

Aku sempat mengusulkan ke sutradara supaya

skenerio diubah, dengan mengambil setting

disaat hari hujan. Tapi karena pertimbangan

lain sutradara tak menyetujui usulku. Aku

mengerti alasannya. Para pemain akan

menggerutu atau bahkan meminta honor dobel.

Pertimbangan lain adalah dalam keadaan hujan

alat-alat tekhnisi akan lebih cepat rusak.

Terpaksa syuting pun terbengkalai.



Di ladang kering orang-orang mengharap hujan,

para petani bergembira karena sawah-sawah

mereka segera menghijau. Tapi hujan yang

berlebihan seperti akhir-akhir ini, siapapun

tak mengharapkannya. Kota-kota yang terletak

di dataran rendah, sudah banyak terendam

banjir. Kegiatan di outdoor terpaksa tertunda,

bahkan sawah-sawah yang diharapkan menghijau

pun tak luput dari genangan air. Alam semakin

enggan bersahabat. Aku menghela nafas,

mendesah berat.

"Kenapa, Ma?" tanya suamiku tiba-tiba.

"Ah, tidak." aku menggeleng. .

"Sepertinya ada yang kau pikirkan?"

"Aku hanya berpikir tentang hujan" jelasku apa

adanya.

"Masih risau karena syutingmu yang tertunda

karena hujan?"

"Bukan itu saja. Hujan menyebabkan sebagian

penduduk kehilangan pemukiman, para petani

juga kehilangan hasil panennya, dan...."

"Dan aku pun harus rela tak terbang ke

Singapore hari ini." sahut suamiku. Kami

menertawakan nasib kami. Suamiku mendekatkan

bibirnya di telingaku.... "aku akan mengajak

mama terbang malam ini, bukan ke Singapore

tapi ketempat lain.”

“Terbang kemana?”

“Hanya kita berdua di sana. Aku akan mengajak

mama menggapai gugusan bintang dan memetiknya

satu persatu, setelahnya kita singgah ke

peraduan rembulan, di sana kita nikmati

biasnya yang hangat menyentuh asa kita.

Bagaimana, Ma?"



Kupandangi wajah suamiku, kutatap bola matanya

yang penuh cinta. Aku tau ada yang bergolak

dalam dadanya, aku pun tak tahan mendengar

kidung cinta yang barusan ditembangkannya.

Hujan lebat mengantarkan kami kepercintaan

yang hebat. Suasana dingin tak membuat kami

lelah. Kami terus mendaki bukit dan ngarai.

Akhirnya kami sampai juga ke gugusan bulan.

Aku terbaring di dadanya dengan senyum

bahagia. Kulirik suamiku, dia terpejam

menikmati setiap sentuhanku. Dia orang

terhebat dalam hidupku.





Pagi hari, embun-embun berjatuhan ke tanah

yang masih basah oleh hujan. Kusibakkan

rambutku yang basah oleh air kran. Langit

masih mendung. Mudah-mudahan tidak ada hujan,

seperti perkiraan cuaca di televisi

memberitahukan. Kulihat suamiku sudah siap

dengan pakaian kerjanya. Aku mengagumi dan

begitu bangga memilikinya. Kecupan mesra di

keningku tak pernah dia lupakan sebelum

berangkat kerja. Kubalas dengan menyentuh

lembut bibirnya seraya berkata, "Pa, take care

yah." dia mengangguk kecil dan memelukku

sesaat, kemudian meluncurkan mobilnya.



Entahlah, tiba-tiba aku merasa sangat

kesepian. Baru beberapa detik dia

meninggalkanku, tapi rindu menyeruak kebilik

hatiku dengan sangat. Apa yang terjadi

denganku? Kubalikkan tubuhku ke dalam rumah.

Kuhempaskan ke sofa, tak ada kegiatan lain

yang bisa kulakukan selain menonton TV. Aku

ingin sekali menelpon suamiku.

"Ada apa, Honey?" suara dari seberang

bertanya. Suara milik suamiku di pesawat

telpon. Tentu suamiku tak akan percaya, bila

kujelaskan, aku menelponnya hanya sekedar

menyampaikan kerinduan.

"Pa, bawain aku oleh-oleh dari Singapore."

kilahku.

"Of cource."

"Take care, Pa."

"Thanks, Honey."

Aku lega bisa mendengarkan suaranya. Suara

itu bagai embun di pagi hari ini, begitu sejuk

dan membelaiku dalam damai.



Jam 4;00 sore nanti, dia akan memulai

penerbangan. Dari Jakarta ke Singapore dan

diteruskan dengan penerbangan ke Hongkong. Aku

bisa membayangkan kelelahan suamiku. Enam jam

mengemudikan pesawat besi dan harus

bertanggung jawab atas ratusan nyawa

penumpang. Sebagai penumpang, aku merasa amat

jenuh dengan waktu enam jam dalam pesawat.

Padahal hanya sekedar duduk dan menunggu

pesawat untuk landing . Aku berharap

penerbangannya hari ini sukses seperti hari-

hari sebelumnya.





Menjelang magrib, petir bersahutan tanpa

diundang. 'Astagfirllohalngadzim,' seruku

dalam hati. Petir pertanda akan turun hujan.

Bukankah perkiraan cuaca memberitakan bahwa

hari ini tak ada hujan? Bagaimana nasib Mas

Harys nantinya? Berjuang melawan kabut dan

awan, juga hujan yang terus mengucur dari

langit. Semoga tak ada hujan hari ini. Tapi,

tepat disaat aku selesai menunaikan sholat

Magrhib hujan deras mengucur dari langit. Aku

hanya bisa meminta perlindungan atas suamiku

lewat doa. Aku berharap Allah mendengarkan doa

yang aku panjatkan. Mudah-mudahan, Mas Harys

telah mendarat di Singapore. Mudah-mudahan,

karena hujan penerbangan Singapore-Hongkong

akan dicancel. Aku berharap tak ada hujan di

Singapore saat ini. Usai memberesi peralatan

sholat aku segera mencari informasi tentang

perkiraan cuaca di Singapore.

Aku hubungi pesawat telpon di tempat suamiku

bekerja. Dari seberang bagian informasi

memberitahukan bahwa penerbangan Jakarta-

Singapore tertunda satu jam, dari jam 4;00

mundur hingga jam 5;00 sore. Itu berarti

suamiku masih di udara mengemudikan

pesawatnya.



Sungguh! Aku sangat trauma dengan hujan. Hujan

telah merenggut orang-orang yang kucintai.

Keluargaku terhanyut oleh air bah. Peristiwa

itu terjadi beberapa tahun silam. Ketika aku

masih kecil dan belum mengerti artinya

kehilangan. Aku selamat, karena orang tuaku

menitipkanku ke tetangga yang melakukan

pengungsian terlebih dulu. Ayah dan ibuku

menunggu kakakku pulang dari masjid, padahal

air telah menggenang hampir satu meter. Dan

pada akhirnya semua menjadi terlambat untuk

diselamatkan. Aku harus kehilangan ketiga-

tiganya. Aku Fitry kecil, harus menerima

kenyataan sebagai anak yatim piatu, usiaku

baru lima tahun.



Keluarga Rahmat yang membesarkan dan

mendidikku dengan penuh cinta kasih. Sampai

aku bisa hidup mandiri. Mas Harys suamiku

adalah anak kandungnya. Kebersamaan kami dari

kecil menumbuhkan cinta kasih yang teramat

dalam. Tinggal ibu angkatku yang masih hidup

dan selalu kujenguk seminggu sekali. Wanita

itu begitu tegar. Pak Rahmat yang berprofesi

sama dengan suamiku telah terlebih dulu

meninggalkan kami karena kecelakaan di udara.

Hujan menyebabkan pesawat yang dikemudikannya

ambruk sebelum landing. Aku selalu cemas oleh

hujan, kecuali aku sedang bersama suamiku. Aku

tak ingin, apa yang terjadi pada bapak

angkatku menimpa pada suamiku. Aku ingin hidup

dengannya sampai kami menimang anak cucu

nantinya.


Ah, tadi malam kami sempat membicarakan

tentang anak-anak yang bakal kami miliki. Mas

Harys meminta lima anak dari rahimku. Tentu

saja aku marah-marah karena itu melanggar

program keluarga berencana, dengan istilahnya

KB. "Kita harus membantu pemerintah

menyukseskan program-programnya." jelasku.

Tapi dia tidak mau tahu, malah mendekapku erat

hingga aku tak bisa berbuat banyak kecuali

mengiyakan permintaannya.


Sesaat, kunyalakan pesawat televisi,

barangkali ada kabar menggembirakan kudapatkan

dari sana. Semua chanel mengulas tentang

pemilu dan para kader yang tengah memimpin

demo. Aku benar-benar jenuh dan muak dengan

janji para kader yang hanya manis di bibir

saja. Tiba-tiba ada sisipan berita, mataku

mengawasinya tanpa berkedip sekalipun.

Pesawat, sebuah pesawat hampir jatuh tepat di

perairan dekat singapore. “Jangan ada suamiku

di dalamnya." jeritku histeris. Tak ada yang

mendengar suaraku. Kusimak dengan lebih

seksama. "Berkat kepiawaian seorang pilot yang

telah sukses melakukan penerbangan LN, pesawat

mampu diselamatkan dengan mendarat darurat di

tepi pantai." Kutarik nafas lega. Kulihat

lebih teliti, tampak wajah suamiku di pesawat

televisi. Seorang reporter menyalaminya dan

mengucapkan beribu terimakasih. Kupeluk

pesawat TV di depanku. Kusampaikan terimakasih

dan puji syukur kepada Tuhan. Karena

perlindungan-Nya, kebesaran-Nya , cinta

kasih-Nya, suamiku, dan ratusan nyawa lainnya

selamat dari musibah itu. Televisi kembali

menontonkan rakyat yang tengah melakukan pesta

. Sekali lagi aku muak dan perutku terasa

sangat mulas. Aku muntah-muntah di kamar

mandi. Kepalaku agak pening. Aku ingat, sudah

dua bulan ini tamuku tak datang. Aku tersenyum

simpul. Aku masih ingat kata-kata suamiku tadi

malam. Dia ingin lima anak dari rahimku.

Selain atas kuasa Tuhan, aku yakin

keinginannya untuk memiliki anak-anak yang

lahir dari rahimku adalah sebuah kekuatan,

berjuang agar tetap berada disampingku, agar

aku melahirkan anak-anaknya.



Reda. Hujan reda seketika. Hari telah gelap

kembali, seperti kemarin Aku tak merasa

ketakutan lagi. Aku telah merasa meliliki

seorang teman. Dalam kandunganku telah hidup

satu makluk hasil buah cinta kami. Kubelai

perutku, kubayangkan suamiku tengah tertidur

manja di dekatnya.





Dua hari sudah aku menunggu kepulangan

suamiku. Seharusnya, sore ini dia sudah sampai

di rumah dan membawakan oleh-oleh untukku. Aku

suka mengoleksi boneka kecil kerajinan khas

Singapore. Sebuah mobil mendarat tepat di

halaman rumahku. Bukan mobil suamiku. Aku

menarik nafas resah.

"Nyonya Harys?' sapanya tepat berada di

depanku.

"Ya, benar." jawabku gugup.

"Saya ada khabar tentang suami Nyonya."

"Dia baik-baik saja, bukan?" kataku

meyakinkan.

"Dia menugaskan saya untuk mengantar oleh-oleh

yang Nyonya pesan." jawabnya sembari

mengeluarkan bungkusan kecil dari dalam tas.

"Di mana dia, katakan di mana suami saya saat

ini, mengapa harus anda yang menemui saya?”

kataku mulai panik.

"Dia baik-baik saja, Nyonya.”

“Benarkah?”

“Suami Nyonya, ada di dalam mobil." jawabnya

seraya menunjuk sebuah mobil yang terpakir di

halaman sebelah rumah. Aku segera berhambur ke

sana. Benar, suamiku ada di dalamnya. Aku

menangis haru, kujatuhkan tubuhku dalam

peluknya. Sebuah tangis kebahagiaan, aku masih

sempat menatapnya hari ini.

"Pa, kau jahat, kenapa harus mempermainkanku?"

"Pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku.

Iya, begitu, kan?' katanya seraya mencubit

hidungku. Aku bermanja dalam peluknya.

"Pa , aku begitu takut kehilanganmu."

"Mama, Mama,” keluhnya padaku, “Mama harus

menyerahkan segala sesuatunya kehadirat

Allah." Aku mengangguk. Kami berjalan menuju

rumah. Sore ini tak ada hujan. Aku bahagia tiada tara.


petikan dari  http://nulis-zone.tripod.com/

. .
~***~LadingEMAS~***~

No comments:

Post a Comment