Oleh : Winna Karnie
Udara terasa panas dan gerah. Negeri tercinta
ini masih seperti dulu . Tanganku sibuk
menyeka keringat yang berjatuhan lewat pori-
pori kulit wajah. Terik matahari terasa
membakar kulitku. Hampir empat jam aku
mematung di pintu luar bandara-2 Soekarno-
Hatta. Aku hampir tak dapat menguasai
perasaanku. Bagaimana mungkin dia tak hadir
menjemputku? Mengapa harus Farhan yang datang
dengan langkah tergopoh-gopoh, padahal Ary
lah yang kuharapkan disaat ini.
Rasa kesal, emosi, dan rindu, berdesak-
desakan menjadi satu . Air mataku pun hampir
tak dapat kukuasai. Sumpah serapah keluar dari
mulutku. Kulihat Farhan hanya mengelengkan
kepalanya. Tangannya menenteng koper dan
tasku. Dia tau betul sifatku. Dalam keadaan
emosi seperti ini aku tak suka diganggu gugat.
Taxi meluncur meninggalkan bandara. Kami
terdiam di dalamnya. Entahlah, apa yang
dipikirkan oleh Farhan. Pria ini jauh lebih
muda dariku. Tapi sikapnya begitu dewasa.
Lucu. Tiba-tiba ingatanku mengembara ke akir
tahun lalu. Dulu kami juga terdiam begini.
Saat kami bertemu pertama kali. Masih kuingat
bagaimana pengakuannya. Akulah satu-satunya
gadis yang mampu membuatnya gila. Akulah
gadis yang mengisi dan selalu menghantui
pikirannya selama ini. Tapi, rupanya suratan
menghendaki lain.
Ya Tuhan, mengapa kami Kau pertemukan dengan
jalan berbeda keyakinan. Kami tak kuasa
menentang kehendak-Mu. Aku pun sangat
menyayanginya hingga saat ini. Meskipun telah
ada Ary dalam hidupku. Jelas di ingatanku,
bagaimana dia berusaha keluar dari jeratan
cinta itu. Bagaimana dengan berat hati, dia
memanggilku kakak. Persaudaraan itu tetap
terjalin hingga saat ini. Dia selalu sabar
mendengar keluh kesahku. Aku tak pernah
pedulikan itu.
“Jangan suka melamun." aku terkesiap kaget.
Kuhela nafas, dia tersipu malu. Setahun
lamanya kami dipisahkan oleh lautan, bukit dan
ngarai. Dia masih tampak lugu dan polos
seperti dulu.
"Sapa yang melamun?” kilahku,
“masih lama yah, dimana kau akan mencarikan
aku kos-kosan? Aku pulang ke Semarang satu
minggu kemudian, setelah urusanku beres."
Tanpa sebab aku mulai resah.
"Ditempat yang dulu saja, masih ingat dengan
Bu Wury, kan?" Aku diam dengan raut wajah tak
mengerti. Kulihat kepalanya melongok kearah
depan.
“Nggak begitu ingat, sih” jawabku
sekenanya.
"Tuh, hampir nyampai." jelasnya, telunjuk
jarinya menuding ke sebuah perumahan di Taman
Anggrek. Aku ingat. Bu Wury seorang ibu kos
yang sabar. Sayang sekali, aku tak sempat
membelikan tanda mata untuknya. Aku pun pulang
dadakan, karena harus secepatnya bertemu
dengan Ary. Tapi pria itu entah kemana .
Lenyap dengan tiba-tiba. Nomor rumahnya tak
ada jawaban. Telpon selulernya juga tak aktif.
Kuletakkan koper ke dalam kamar. Farhan masih
menungguku di ruang tamu.
" Far, antar aku ke pantai. Aku
butuh udara segar." kataku setelah berpamitan
dengan ibu kos. Farhan memandangku heran.
"Kau tak istirahat, kau tak
capek?" katanya sembari tersenyum. Senyum itu
manis sekali. Aku menikmatinya meski hanya
sesaat.
*&*&*&
"Kulihat kau tampak resah, tak biasanya kau
tak bicara."
Kutatap laut lepas tanpa batas. Riak kecilnya
sungguh indah. Debu-debu berterbangan
dipermainkan angin. Kebesaran Tuhan. Tapi
Cinta telah menghantar nafsuku untuk
mengingkari kebesaran-Nya. Ya Allah, bagaimana
dia bisa merasakan kegundahanku? Dia selalu
care kepadaku. Ya Tuhan, haruskan aku bicara,
haruskah aku berterus terang kepadanya? Masih
sanggupkah aku menatap sepasang mata itu
seandainya dia tahu tentang keadaanku yang
sebenarnya. Aku bingung. Dia selalu
menasehatiku supaya aku tak terjebak dalam
pergaulan. Dia selalu menandaskan bahwa kawin
hanya untuk nikah. Dia masuk Islam karena
cinta. sedangkan aku mendzolimi diriku karena
cinta. Ya Tuhan, mungkinkah ini suatu hukuman
untukku?
"Salsa, kau dengar suaraku?" sapa Farhan
dengan lembut. Kerongkonganku terasa kelu. Aku
seperti tak punya pita suara untuk menjawab
pertanyaannya. Aku telah menyia-nyiakan pria
di hadapanku ini. “Salsa, katakan sesuatu. Ada
apa? Apa yang bisa kubantu?"
"Farhan, mengapa kau selalu baik padaku ?"
suaraku parau memecah hening. Dia menatapku
dengan teduh, merengkuhku dalam peluknya,
mendekapku tanpa sepatah kata terucap. Lama
kami saling terdiam. Hanya suara ombak yang
terdengar sahdu. Mengiringi tangisku yang
pecah tanpa bisa kuelakkan. Degup nafasnya
terasa berat. Aku tahu apa yang tengah
dirasakannya. Masih ada cinta di sana. Begitu
dalam dia menyembunyikannya. Aku terguguk
pilu. Kucoba bangkit dari peluknya.
"Far, aku hamil." kataku
dengan mata nanar. Pandanganku kosong. Farhan
bergeser dari duduknya. Tangannya yang kekar
mencengkeram kedua lenganku. Farhan sangat
terkejut mendengarnya.
"Bagaimana mungkin,
bagaimana itu bisa terjadi ? Aku sudah sering
mengingatkannya padamu, kan?"
Mata itu tiba-tiba berubah. Tak seteduh tadi.
Aku gemetar di tempatku. Baru pertama kali ini
aku melihat kemarahannya.
Tiga bulan lalu. Semuanya
terjadi begitu cepat. Mengapa pula dia harus
menyelesaikan syuting di Central ? Mengapa
kami harus bertemu, akirnya melepas rindu dan
memadu cinta? Godaan dari pria bule selalu
dapat aku tepis dengan manis. Meski tinggal di
apartement seorang diri aku tak pernah merasa
kesepian. Pekerjaan cukup menyita waktuku.
Berangkat pagi dan pulang sore tak memberiku
kesempatan untuk berpikir tentangnya. Tapi
ketika dia tiba-tiba datang mengunjungiku?
Mengapa Tuhan? Mengapa? Mengapa kami tak kuasa
mengendalikan nafsu. Ataukah itu sudah suratan
hidupku? Mengapa aku tak mengingat-Mu ketika
itu? Cinta telah menyesatkan jalanku. Kutatap
Farhan dengan wajah penuh sesal.
"Aku ikhlas memberikannya, karena aku
mencintainya."
"Bentuk cinta yang bagaimana? Lalu,
bentuk pertanggungjawaban yang bagaimanakah
pula yang akan kau berikan pada Sang Khalik?"
mata Farhan terlihat merah menahan marah.
"Aku bingung, Far. Aku tak menyesal
telah dihamilinya. Tapi aku sangat menyesal
telah melakukan dosa. Zina. Entahlah, hukuman
apa yang lebih pantas atas dosa yang pernah
kuperbuat. Far, apa yang harus kulakukan?"
"Houh..." Farhan menghela nafas . Pandangannya
berubah penuh iba. Apakah aku sepantasnya
dikasihani? Mengapa aku selalu menyusahkannya?
"Ary kah yang selayaknya bertanggung jawab?"
Aku mengangguk.
"Di mana alamatnya , kuantar kau kesana."
"Far, tidak. Ibunya tak pernah
merestui."
"Tapi, dia harus tau kalau anaknya
telah menyebabkan kau hamil.”
"Far, tidak. Ketika kujelaskan di pesawat
telpon, dia telah mencelaku habis-habisan.
Jangan sakiti aku dengan cara itu. Aku lelah ,
Far. Lelah."
"Lalu apa alasan dia tak menjemputmu?"
Aku menggelengkan kepala. Farhan terlihat
kesal dengan sikapku.
"Sehari sebelumnya dia sms padaku,
dia mengajakku menikah secara diam-diam. Tanpa
sepengetahuan ibunya," kucoba tersenyum tipis,
"aku senang dan bahagia tiada tara. Bahkan,
katanya, dia telah memesan sebuah cincin
kawin. Mana aku tahu kenyataannya seperti
ini?"
"Bagaimanapun juga, kau harus kuantar kesana."
Farhan mengajakku meninggalkan tepi pantai.
Aku masih terpaku di tempatku. Matahari mulai
tenggelam di balik cakrawala. Rasanya aku
ingin tenggelam juga bersamanya. Tiba-tiba
terlintas ide konyol. Aku tak boleh menoreh
aib di keluargaku. Apa salahnya aborsi.
"Far, antarkan aku untuk aborsi."
"Gila! Apa kau sudah gila?"
Untuk yang keduakalinya Farhan terbelalak
marah.
" Salsa..., jangan sesatkan
dirimu terlalu jauh. Kau tau.., aku sangat
menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu seperti
ini. Kau akan semakin terhimpit sesal dan dosa
nantinya. Hidup memang tak seindah yang kita
bayangkan. Hidup ini adalah tantangan yang
harus kita hadapi. Kau harus tegar. Tegar!
Hei.., mana Salsa yang dulu, mana salsa yang
selalu tertawa renyah saat bertelpon denganku.
Sal..., jangan mencoba lari dari kenyataan."
ungkap Farhan panjang lebar. Kuhela nafas
panjang. Kujatuhkan kepalaku dalam peluknya.
Aku sangat terharu dengan ungkapannya. Dia
begitu dewasa dan bersahaja.
" Yah.., aku memang bukan Salsa
yang kau kenal dulu. Banyak hal yang tak kau
ketahui selama ini. Jiwaku telah retak. Kau
lihat sampah yang bertumpuk di ujung sana? Dia
masih lebih beruntung daripada diriku.
Ataukah, tidak lebih baik, bila aku mati
bersama anak yang sedang kukandung ini ?
Far.., katakan, masih pantaskah aku hidup di
bumi ciptaan-Nya ini? Sedangkan aku selalu
mendzolimi-Nya. Aku sering menganggap-Nya tak
ada padahal Dia selalu ada bersama kita.
Bersama curahan kasih yang tak pernah ada
hentinya?" Farhan menyeka air mataku dengan
jemarinya. Kubiarkan sebagai tanda
terimakasih. Mengapa aku tak menyadarinyadari
dulu? Mengapa mata hatiku buta? Berilah
setitik cahaya terang. Ya.., Allah! Mengapa
harus Farhan yang ada bersamaku disaat aku
kesulitan seperti ini? Mengapa bukan Ary?
Apakah dia tengah sibuk dengan syutingnya
hingga tak sempat menjemputku? Ataukah, sibuk
dengan jumpa persnya? Ataukah pula, karena
ibunya telah tau rencana kami sehingga tak
mengijinkannya keluar rumah? Ary bukan tipe
seperti itu. Juga tidak mungkin, karena gadis
lain dia melupakanku begitu saja.
Gerimis mengguyur kota Jakarta,
sejak tiga hari aku tinggal disini. Kuhabiskan
sisa waktuku di rumah Bu Wuri. Sesekali
kulewatkan canda tawa bersamanya. Wanita baya
itu tau bagaimana menghibur hatiku. Farhan
juga tak pernah absen mengunjungiku. Sekedar
ngobrol guna melelehkan dan menghangatkan
suasana hatiku. Tapi hari ini, sampai senja
hampir lenyap dia tak datang kepadaku. Aku
mulai memikirkannya. Dua pria membuat
pikiranku tak jenak akir-akir ini.
*&*&*&
"Tumben sesore ini baru datang. Darimana
ajah, Far?" Tanyaku tanpa basa basi.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan suara
lesu.
“Aku baru saja memfacial wajah Bu Wury.”
jawabku jujur.
"Kuantar kau ke rumah sakit." katanya dengan
tiba-tiba. Wajahnya tampak murung. Akirnya
luluh juga dia. Pikirku dalam hati.
"Jadi kau mau mengantarku untuk
aborsi?" kataku dengan mata penuh binar. Dalam
hati aku berteriak girang. Tapi, kuamati
pandangan mata Farhan aneh sekali. Tak seperti
biasanya. Kucoba bertanya dengan pelan.
"Far, kau knapa sih?" diam tak
ada jawaban, "Farhan..," dia masih membisu,
menatapku dengan kosong, "Farhan..., Far...,
kau kenapa?" seruku seraya menepuk-nepuk
pipinya secara bergantian. “Ikut aku, atau
kau akan menyesal seumur hidup.” Katanya
dingin. Akhirnya aku pun menurut saja ketika
dia menggandengku ke luar rumah.
Kami meluncur ke sebuah rumah
sakit di Jakarta Pusat. Kami saling
membisu. Bibir kami bagai terkunci. Dalam
hatiku dipenuhi gejolak yang saling tarik-
menarik. Aborsi tidak. Aborsi tidak. Haruskah
kubunuh anakku sendiri? Ibuku tak pernah
menjahatiku, mengapa aku harus menjahati
anakku sendiri? Serigala dan harimau saja tak
bakal menikam anaknya sendiri. Mereka adalah
binatang. Sedangkan aku? Aku dibekali pikiran
dan akal sehat. Haruskah aku menjerumuskan
diriku kepada kehinaan yang tak lebih baik
daripada binatang? Ya.. Allah, berilah
petunjuk atas pergumulan hati ini.
"Far, kita kembali ke Bu Wury saja." kataku
ketika kami mulai menginjak halaman rumah
sakit. Wajahku mulai pucat pasi. Farhan tak
memperdulikan diriku. Aku mencoba bertahan
untuk tak berjalan. "Far, aku berjanji akan
melahirkan anak ini." Farhan terus menyeret
langkahku menyusuri koridor rumah sakit.
Aku mulai gugup, peluh berjatuhan karena rasa
takut yang menyerangku. "aku tak akan pernah
aborsi! Far... , dengar kataku. Aku berjanji."
Farhan acuh tak acuh denganku. Aku kebingungan
dengan sikapnya. Kemarin, dia melarangku
aborsi. Tapi sekarang dia seperti kerasukan
syetan. "berhenti, Far. Berhenti." teriakku
histeris. "aku ingin pulang."
Langkah kami terhenti. Tepat di sebuah ruangan
yang tertulis Vip A32. Sepertinya bukan
ruangan untuk aborsi. Tertulis Gawat darurat
di pintu masuknya.
Seorang suster mempersilahkan kami masuk. Aku menarik nafas lega. Farhan tak membawaku untuk aborsi. Apa yang akan dilakukannya diruangan ini? Apakah ada saudaranya yang kecelakaan? Tanyaku dalam hati. Kulihat ada sosok terbaring dengan perban di sana-sini. Di sebelahnya tergantung tranfusi darah. Farhan melangkah mendekatinya.
Aku pun mengikutinya dari belakang. Farhan
terpaku di tempatnya. Seperti patung hidup.
Kucoba mendekat lagi agar terlihat jelas.
Aku terduduk lemas di sisi pembaringan.
Benarkah dia Ary? Mengapa Kau pertemukan aku
dan dia dalam keadaan seperti ini? Ya...
Robb...., ada apa di balik ini semua?
"Ary..., bangun, Sayang. Ini aku,
Salsa. Buah hati kita juga ada bersamaku.
Bersama kita." kuraih jari-jemarinya.
Kuletakkan tepat di perutku, "rasakan getar
candanya di dalam sana, Sayang." air mataku
tumpah tanpa bisa kutahan. Hatiku bagai
teriris-iris sembilu.
Samar-samar kulihat tubuh Ary mulai bergerak.
Matanya mulai terbuka. Kusentuh lembut jemari
tangannya. Ada setitik airmata jatuh ke
pipinya. Kuseka dengan tanganku. Baru pertama
kali ini aku melihatnya menangis.
"Maafkan aku, Salsa." katanya dengan suara
lirih. Kukecup perlahan keningnya sebagai
jawaban. Kuberikan semangat untuk berjuang
melawan maut. Tapi tak berapa lama mata itu
terpejam lagi. Kulit tubuhnya mulai terasa
dingin seperti es. Aku panik. Aku menangis
histeris. Kupeluk tubuh yang akirnya tanpa
nyawa. Setelahnya aku hanya bisa mematung di
tempatku. Suster menutupkan kain putih di
wajah kekasihku. Jiwaku yang telah retak
jangan Kau jadikan serpihan-serpihan, ya
Allah.
Ternyata, tanpa sepengetahuanku Farhan
nekad mengunjungi alamat Ary. Dia mendapatkan
alamat itu dari buku agenda yang lupa kutaruh
di meja tamu. *&*&*&
Di luar jendela kamar, seorang wanita tua baya
memandang kami penuh haru. Dia adalah calon
nenek dari anak yang sedang kukandung.
petikan dari http://nulis-zone.tripod.com/
. .
No comments:
Post a Comment