Monday, October 11, 2010

Cermin Yang Retak

Oleh : Winna Karnie

Udara terasa panas dan gerah.  Negeri tercinta

ini masih seperti dulu . Tanganku sibuk

menyeka keringat yang berjatuhan lewat pori-

pori kulit wajah. Terik matahari terasa

membakar kulitku. Hampir empat jam aku

mematung di pintu luar bandara-2 Soekarno-

Hatta. Aku hampir tak dapat menguasai

perasaanku. Bagaimana mungkin dia tak hadir

menjemputku? Mengapa harus Farhan yang datang

dengan langkah  tergopoh-gopoh, padahal Ary

lah yang kuharapkan  disaat ini.

Rasa kesal, emosi, dan rindu,  berdesak-

desakan menjadi satu . Air mataku pun hampir

tak dapat kukuasai. Sumpah serapah keluar dari

mulutku. Kulihat Farhan hanya mengelengkan

kepalanya. Tangannya menenteng koper dan

tasku. Dia tau betul sifatku. Dalam keadaan

emosi seperti ini aku tak suka diganggu gugat.

Taxi meluncur meninggalkan bandara. Kami

terdiam di dalamnya. Entahlah, apa yang

dipikirkan oleh Farhan. Pria ini jauh lebih

muda dariku. Tapi sikapnya begitu dewasa.

Lucu. Tiba-tiba ingatanku mengembara ke akir

tahun lalu. Dulu kami juga terdiam begini.

Saat kami bertemu pertama kali. Masih kuingat

bagaimana pengakuannya. Akulah satu-satunya

gadis yang mampu membuatnya gila. Akulah

gadis yang mengisi dan selalu menghantui

pikirannya selama ini.  Tapi, rupanya suratan

menghendaki lain.

Ya Tuhan, mengapa kami Kau pertemukan dengan

jalan berbeda keyakinan. Kami tak kuasa

menentang kehendak-Mu. Aku pun sangat

menyayanginya hingga saat ini. Meskipun telah

ada Ary dalam hidupku. Jelas di ingatanku,

bagaimana dia berusaha keluar dari jeratan

cinta itu. Bagaimana dengan berat hati, dia

memanggilku kakak. Persaudaraan itu tetap

terjalin hingga saat ini. Dia selalu sabar

mendengar keluh kesahku. Aku tak pernah

pedulikan itu.

 “Jangan suka melamun." aku terkesiap kaget.

Kuhela nafas, dia tersipu malu. Setahun

lamanya kami dipisahkan oleh lautan, bukit dan

ngarai. Dia masih tampak lugu dan polos

seperti dulu.

             "Sapa yang melamun?” kilahku,

“masih lama yah, dimana kau akan mencarikan

aku kos-kosan? Aku pulang ke Semarang satu

minggu kemudian, setelah urusanku beres."

Tanpa sebab aku mulai resah.

"Ditempat yang dulu saja, masih ingat  dengan

Bu Wury, kan?" Aku diam dengan raut wajah tak

mengerti. Kulihat kepalanya melongok kearah

depan.

      “Nggak begitu ingat, sih” jawabku

sekenanya.

"Tuh, hampir nyampai." jelasnya, telunjuk

jarinya menuding ke sebuah perumahan di Taman

Anggrek. Aku ingat. Bu Wury seorang ibu kos

yang sabar. Sayang sekali, aku tak sempat

membelikan tanda mata untuknya. Aku pun pulang

dadakan, karena harus secepatnya  bertemu

dengan Ary. Tapi pria itu entah kemana .

Lenyap dengan tiba-tiba. Nomor rumahnya tak

ada jawaban. Telpon selulernya juga tak aktif.

Kuletakkan koper ke dalam kamar. Farhan masih

menungguku di ruang tamu.

              " Far, antar aku ke pantai. Aku

butuh udara segar." kataku setelah berpamitan

dengan ibu kos. Farhan memandangku heran.

               "Kau tak istirahat, kau tak

capek?" katanya sembari tersenyum. Senyum itu

manis sekali. Aku menikmatinya meski hanya

sesaat.

      *&*&*&



"Kulihat kau tampak resah, tak biasanya kau

tak bicara."

Kutatap laut lepas tanpa batas. Riak kecilnya

sungguh indah. Debu-debu berterbangan

dipermainkan angin. Kebesaran Tuhan. Tapi

Cinta telah menghantar nafsuku untuk

mengingkari kebesaran-Nya. Ya Allah, bagaimana

dia bisa merasakan kegundahanku? Dia selalu

care kepadaku. Ya Tuhan, haruskan aku bicara,

haruskah aku berterus terang kepadanya? Masih

sanggupkah aku menatap sepasang mata itu

seandainya dia tahu tentang keadaanku yang

sebenarnya. Aku bingung. Dia selalu

menasehatiku supaya aku tak terjebak dalam

pergaulan. Dia selalu menandaskan bahwa kawin

hanya untuk nikah. Dia masuk Islam karena

cinta. sedangkan aku mendzolimi diriku  karena

cinta. Ya Tuhan, mungkinkah ini suatu hukuman

untukku?

"Salsa, kau dengar suaraku?" sapa Farhan

dengan lembut. Kerongkonganku terasa kelu. Aku

seperti tak punya pita suara untuk menjawab

pertanyaannya. Aku telah menyia-nyiakan pria

di hadapanku ini. “Salsa, katakan sesuatu. Ada

apa? Apa yang bisa kubantu?"

 "Farhan, mengapa kau selalu baik padaku ?"

suaraku parau memecah hening. Dia menatapku

dengan teduh, merengkuhku dalam peluknya,

mendekapku tanpa sepatah kata terucap. Lama

kami saling terdiam. Hanya suara ombak yang

terdengar sahdu. Mengiringi tangisku yang

pecah tanpa bisa kuelakkan. Degup nafasnya

terasa berat. Aku tahu apa yang tengah

dirasakannya. Masih ada cinta  di sana. Begitu

dalam dia menyembunyikannya. Aku terguguk

pilu. Kucoba bangkit dari peluknya.

                      "Far, aku hamil." kataku

dengan mata nanar. Pandanganku kosong. Farhan

bergeser dari duduknya. Tangannya yang kekar

mencengkeram kedua lenganku. Farhan  sangat

terkejut mendengarnya.

                      "Bagaimana mungkin,

bagaimana itu bisa terjadi ? Aku sudah sering

mengingatkannya padamu, kan?"

Mata itu tiba-tiba berubah. Tak seteduh tadi.

Aku gemetar di tempatku. Baru pertama kali ini

aku melihat kemarahannya.                    

                                             

                         

               Tiga bulan lalu. Semuanya

terjadi begitu cepat. Mengapa pula dia harus

menyelesaikan syuting di Central ? Mengapa

kami harus bertemu, akirnya melepas rindu dan

memadu cinta? Godaan dari pria bule selalu

dapat aku tepis dengan manis. Meski tinggal di

apartement seorang diri aku tak pernah merasa

kesepian. Pekerjaan cukup menyita waktuku.

Berangkat pagi dan pulang sore tak memberiku

kesempatan untuk berpikir tentangnya. Tapi

ketika dia tiba-tiba datang mengunjungiku?

Mengapa Tuhan? Mengapa? Mengapa kami tak kuasa

mengendalikan nafsu. Ataukah itu sudah suratan

hidupku? Mengapa aku tak mengingat-Mu ketika

itu? Cinta telah menyesatkan jalanku. Kutatap

Farhan dengan wajah penuh sesal.

"Aku ikhlas memberikannya, karena aku

mencintainya."

          "Bentuk cinta yang bagaimana? Lalu,

bentuk pertanggungjawaban yang bagaimanakah

pula yang akan kau berikan pada Sang Khalik?"

mata Farhan terlihat merah menahan marah.

           "Aku bingung, Far. Aku tak menyesal

telah dihamilinya. Tapi aku sangat menyesal

telah melakukan dosa. Zina. Entahlah, hukuman

apa yang lebih pantas atas dosa yang pernah

kuperbuat. Far, apa yang harus kulakukan?"

"Houh..." Farhan menghela nafas . Pandangannya

berubah penuh iba. Apakah aku sepantasnya

dikasihani? Mengapa aku selalu menyusahkannya?

"Ary kah yang selayaknya bertanggung jawab?"

Aku mengangguk.

"Di mana alamatnya , kuantar kau kesana."

          "Far, tidak. Ibunya tak pernah

merestui."

          "Tapi, dia harus tau kalau anaknya

telah menyebabkan kau hamil.”

"Far, tidak. Ketika kujelaskan di pesawat

telpon, dia telah mencelaku habis-habisan.

Jangan sakiti aku dengan cara itu. Aku lelah ,

Far. Lelah."

"Lalu apa alasan dia tak menjemputmu?"

 Aku menggelengkan kepala. Farhan terlihat

kesal dengan sikapku.

           "Sehari sebelumnya dia sms padaku,

dia mengajakku menikah secara diam-diam. Tanpa

sepengetahuan ibunya," kucoba tersenyum tipis,

"aku senang dan bahagia tiada tara. Bahkan,

katanya, dia telah memesan sebuah cincin

kawin. Mana aku tahu kenyataannya seperti

ini?"

"Bagaimanapun juga, kau harus kuantar kesana."

Farhan mengajakku meninggalkan tepi pantai.

Aku masih terpaku di tempatku. Matahari mulai

tenggelam di balik cakrawala. Rasanya aku

ingin tenggelam juga bersamanya. Tiba-tiba

terlintas ide konyol. Aku tak boleh menoreh

aib di keluargaku. Apa salahnya aborsi.

"Far, antarkan aku untuk aborsi."

"Gila! Apa kau sudah gila?"

Untuk yang keduakalinya Farhan terbelalak

marah.

              " Salsa..., jangan sesatkan

dirimu terlalu jauh. Kau tau.., aku sangat

menyayangimu. Aku tak ingin melihatmu seperti

ini. Kau akan semakin terhimpit sesal dan dosa

nantinya. Hidup memang tak seindah  yang kita

bayangkan. Hidup ini adalah tantangan yang

harus kita hadapi. Kau harus tegar. Tegar!

Hei.., mana Salsa yang dulu, mana salsa yang

selalu tertawa renyah saat bertelpon denganku.

Sal..., jangan mencoba lari dari kenyataan."

ungkap Farhan panjang lebar. Kuhela nafas

panjang. Kujatuhkan kepalaku dalam peluknya.

Aku sangat terharu dengan ungkapannya. Dia

begitu dewasa dan bersahaja.

             " Yah.., aku memang bukan Salsa

yang kau kenal dulu. Banyak hal yang tak kau

ketahui selama ini. Jiwaku telah retak. Kau

lihat sampah yang bertumpuk di ujung sana? Dia

masih lebih beruntung daripada diriku.

Ataukah, tidak lebih baik, bila aku mati

bersama anak yang sedang kukandung ini ?

Far.., katakan, masih pantaskah aku hidup di

bumi ciptaan-Nya ini? Sedangkan aku selalu

mendzolimi-Nya. Aku sering menganggap-Nya tak

ada padahal Dia selalu ada bersama kita.

Bersama curahan kasih yang tak pernah ada

hentinya?" Farhan menyeka air mataku dengan

jemarinya. Kubiarkan sebagai tanda

terimakasih. Mengapa aku tak menyadarinyadari

dulu? Mengapa mata hatiku buta? Berilah

setitik cahaya terang. Ya.., Allah! Mengapa

harus Farhan yang ada bersamaku disaat aku

kesulitan seperti ini? Mengapa bukan Ary?

Apakah dia tengah sibuk dengan syutingnya

hingga tak sempat menjemputku? Ataukah,  sibuk

dengan jumpa persnya? Ataukah pula, karena

ibunya telah tau rencana kami sehingga tak

mengijinkannya keluar rumah? Ary bukan tipe

seperti itu. Juga tidak mungkin, karena gadis

lain dia melupakanku begitu saja.

           Gerimis mengguyur kota Jakarta,

sejak tiga hari aku tinggal disini. Kuhabiskan

sisa waktuku di rumah Bu Wuri. Sesekali

kulewatkan canda tawa bersamanya. Wanita baya

itu tau bagaimana menghibur hatiku. Farhan

juga tak pernah absen mengunjungiku. Sekedar

ngobrol guna melelehkan dan menghangatkan

suasana hatiku. Tapi hari ini, sampai senja

hampir lenyap dia tak datang kepadaku.  Aku

mulai memikirkannya. Dua pria membuat

pikiranku tak jenak akir-akir ini.

*&*&*&



"Tumben  sesore ini baru datang. Darimana

ajah, Far?" Tanyaku tanpa basa basi.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan suara

lesu.

“Aku baru saja  memfacial wajah Bu Wury.”

jawabku jujur.

"Kuantar kau ke rumah sakit." katanya dengan

tiba-tiba. Wajahnya tampak murung. Akirnya

luluh juga dia. Pikirku dalam hati.

            "Jadi kau mau mengantarku untuk

aborsi?" kataku dengan mata penuh binar. Dalam

hati aku berteriak girang. Tapi, kuamati

pandangan mata Farhan aneh sekali. Tak seperti

biasanya. Kucoba  bertanya dengan pelan.

             "Far, kau knapa sih?" diam tak

ada jawaban, "Farhan..," dia masih membisu,

menatapku dengan kosong, "Farhan..., Far...,

kau kenapa?" seruku seraya menepuk-nepuk

pipinya secara bergantian.  “Ikut aku, atau

kau akan menyesal seumur hidup.” Katanya

dingin. Akhirnya aku pun menurut saja ketika

dia menggandengku ke luar rumah.

              Kami meluncur ke sebuah rumah

sakit di Jakarta Pusat.        Kami saling

membisu. Bibir kami bagai terkunci. Dalam

hatiku dipenuhi gejolak yang saling tarik-

menarik. Aborsi tidak. Aborsi tidak. Haruskah

kubunuh anakku sendiri? Ibuku tak pernah

menjahatiku, mengapa aku harus menjahati

anakku sendiri? Serigala dan harimau saja tak

bakal menikam anaknya sendiri. Mereka adalah

binatang. Sedangkan aku? Aku dibekali pikiran

dan akal sehat. Haruskah aku menjerumuskan

diriku kepada kehinaan yang tak lebih baik

daripada binatang? Ya.. Allah, berilah

petunjuk atas pergumulan hati ini.          

"Far, kita kembali ke Bu Wury saja." kataku

ketika kami mulai menginjak halaman rumah

sakit. Wajahku mulai pucat pasi. Farhan tak

memperdulikan diriku. Aku mencoba bertahan

untuk tak berjalan. "Far, aku berjanji akan

melahirkan anak ini." Farhan terus menyeret

langkahku menyusuri koridor rumah sakit.

 Aku mulai gugup, peluh berjatuhan karena rasa

takut yang menyerangku. "aku tak akan pernah

aborsi! Far... , dengar kataku. Aku berjanji."

Farhan acuh tak acuh denganku. Aku kebingungan

dengan sikapnya. Kemarin, dia melarangku

aborsi. Tapi sekarang dia seperti kerasukan

syetan. "berhenti, Far. Berhenti." teriakku

histeris. "aku ingin pulang."

Langkah kami terhenti. Tepat di sebuah ruangan

yang tertulis Vip A32. Sepertinya bukan

ruangan untuk aborsi. Tertulis Gawat darurat

di pintu masuknya.

Seorang suster mempersilahkan kami masuk. Aku menarik nafas lega. Farhan tak membawaku untuk aborsi. Apa yang akan dilakukannya diruangan ini? Apakah ada saudaranya yang kecelakaan? Tanyaku dalam hati. Kulihat ada sosok terbaring dengan perban di sana-sini. Di sebelahnya tergantung tranfusi darah. Farhan melangkah mendekatinya.


Aku pun mengikutinya dari belakang. Farhan

terpaku di tempatnya. Seperti patung hidup.

Kucoba mendekat lagi agar terlihat jelas.

 Aku terduduk lemas di sisi pembaringan.

Benarkah dia Ary? Mengapa Kau pertemukan aku

dan dia dalam keadaan seperti ini? Ya...

Robb...., ada apa di balik  ini semua?

             "Ary..., bangun, Sayang. Ini aku,

Salsa. Buah hati kita juga ada bersamaku.

Bersama kita." kuraih jari-jemarinya.

Kuletakkan tepat di perutku, "rasakan getar

candanya di dalam sana, Sayang." air mataku

tumpah tanpa bisa kutahan. Hatiku bagai

teriris-iris sembilu.

Samar-samar kulihat tubuh Ary mulai bergerak.

Matanya mulai terbuka. Kusentuh lembut jemari

tangannya. Ada setitik airmata jatuh ke

pipinya. Kuseka dengan tanganku. Baru pertama

kali ini aku melihatnya menangis.

"Maafkan aku, Salsa." katanya dengan suara

lirih. Kukecup perlahan keningnya sebagai

jawaban. Kuberikan semangat untuk berjuang

melawan maut. Tapi tak berapa lama mata itu

terpejam lagi. Kulit tubuhnya mulai terasa

dingin seperti es. Aku panik. Aku menangis

histeris. Kupeluk tubuh yang akirnya tanpa

nyawa. Setelahnya aku hanya bisa mematung di

tempatku. Suster menutupkan kain putih di

wajah kekasihku. Jiwaku yang telah retak

jangan Kau jadikan serpihan-serpihan, ya

Allah.

      Ternyata, tanpa sepengetahuanku Farhan

nekad mengunjungi alamat Ary. Dia mendapatkan

alamat itu dari buku agenda yang lupa kutaruh

di meja tamu.  *&*&*&

Di luar jendela kamar, seorang wanita tua baya

memandang kami penuh haru. Dia adalah calon

nenek dari anak yang sedang kukandung.

petikan dari  http://nulis-zone.tripod.com/

. .
~***~LadingEMAS~***~

No comments:

Post a Comment