Sunday, July 21, 2013

SHEIKH SITI JENAR


SEJARAH SYEH SITI JENAR [Guru kpd Shaikh Hamzah Fansuri]

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun. 


MEMBONGKAR MISTERI MAKAM SYEKH SITI JENAR DI JEPARA



Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.

Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.




KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH 
adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. 
Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah].
 Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.
WallahuÁlam.

http://pengumpulhikmah.blogspot.com/2013/02/sejarah-syeh-siti-jenar-yang-sebenarnya.html




. .
~***~LadingEMAS~***~

Monday, July 8, 2013

Perbezaan di Antara Al-Quran, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi


Apakah Perbezaan di Antara Al-Quran, Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi

أًلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad SAW. keluarga serta para sahabat dan pengikut yg istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.

Sahabat yang dirahmati Allah,
Marilah sama-sama kita meneliti perbezaan di antara al-Quran, hadis qudsi dan hadis nabawi untuk lebih memahami terhadap sumber penting di dalam ajaran Islam.

Al-Quran :

Al-Quran adalah kalam Allah SWT atau firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan lafaz dan makna yg membacanya menjadi suatu ibadah.

Maka kata “kalam” yg termaktub dalam ta’rif tersebut merupakan kelompok jenis yg mencakupi seluruh jenis kalam. Ia disebut kalamullah sebab disandarkan kepada Allah yg menunjukkan secara khas sebagai firman-Nya, bukan kalam (kata-kata) manusia, jin dan malaikat.

Firman Allah SWT maksudnya :
 “Sesungguhnya Kamilah yang berkuasa mengumpulkan al-Quran itu (dalam dadamu), dan menetapkan bacaannya (pada lidahmu); Oleh itu apabila Kami telah menyempurnkan bacaannya (kepadamu, dengan perantaraan Jibril), maka bacalah menurut bacaannya itu.” 
(Surah Al-Qiyamah ayat 17-18)

Maksudnya : “Sesungguhnya al-Quran ini memberi petunjuk ke jalan yang amat betul (ugama Islam), dan memberikan berita yang mengembirakan orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal-amal soleh, Bahawa mereka beroleh pahala Yang besar.”
(Surah Al-Isra’ ayat 9)

Secara khas, al-Quran menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW. Maka jadilah ia sebagai sebuah identiti. Dan sebutan al-Quran tidak terhad kepada sebuah kitab dengan seluruh kandungannya, tapi termasuklah juga bahagian daripada ayat-ayatnya. Maka jika kalian mendengar satu ayat al-Quran dibaca misalnya, kalian dibenarkan mengatakan bahawa seseorang itu sedang membaca al-Quran.

Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua, setelah al-Quran. Dari segi periwayatannya hadis ada yang disampaikan secara mutawatir dan bukan-mutawatir (masyhur dan ahad).

Namun, kenyataannya hadis yang disampaikan secara bukan-mutawatir (masyhur dan ahad) jumlahnya lebih banyak dari pada hadis yang disampaikan secara mutawatir.

Hadis terbagi dua iaitu hadis qudsi dan hadis nabawi.

Hadis Qudsi

Hadis qudsi adalah hadis yang di sampaikan oleh Rasulullah SAW disandarkan kepada Allah SWT. Maksudnya, Rasulullah SAW meriwayatkannya bahawa itu adalah kalam Allah. 
Maka, Rasulullah SAW. menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafaz dari Rasulullah SAW. sendiri.

Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, dia meriwayatkannya dari Allah dengan disandarkan kepada Allah dengan mengatakan, “Rasulullah SAW. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya,” atau ia mengatakan, “Rasulullah SAW. mengatakan, ‘Allah SWT telah berfirman atau berfirman Allah SWT’.”

Contoh Pertama :
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya, “Tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafkah, baik di waktu malam mahupun siang hari ….” (Hadis Riwayat Bukhari).

Contoh Kedua :
Dari Abu Hurairah bahawa Rasulullah SAW berkata,
 “Allah Taala berfirman, ‘Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan, bila dia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu …’.”
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).


Hadis Nabawi

Menurut istilah, pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, mahupun sifat.

Contoh yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW.
Nabi SAW bersabda maksudnya : “Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan, setiap orang bergantung pada niatnya ….”
(Hadis Riwayat Bukhari).

Contoh yang berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana cara mengerjakan solat.
Nabi SAW bersabda yang maksudnya : "Solatlah seperti kamu melihat aku solat.”
(Hadis Riwayat Bukhari).

Juga, mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji, dalam hal ini Nabi SAW bersabda yang bermaksud :
  “Ambillah dariku manasik hajimu.” (Hadis Riwayat Muslim).

Adapun yang berupa persetujuan adalah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya, seperti makanan biawak yang dihidangkan kepadanya.

Dan, persetujuannya dalam satu riwayat, Rasulullah SAW mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam solat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad.
 Setelah pulang, mereka menyampaikan hal itu kepada Rasulullah  SAW  lalu Rasulullah SAW  berkata, “Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian?”

Mereka pun menanyakan, dan orang itu menjawab,
 “Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya.” 
Maka Rasulullah SAW  menjawab,
 “Katakan kepadanya bahawa Allah pun menyenangi dia.” 
(Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Yang berupa sifat adalah riwayat seperti bahawa Rasulullah SAW selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor, dan tidak juga suka mencela.

Perbezaan Al-Quran dengan Hadis Qudsi :

Ada beberapa perbezaan antara al-Quran  dengan hadis qudsi, dan yang terpenting adalah sebagai berikut.

1. Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Rasulullah  SAW dengan lafaz-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditentang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti al-Quran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu surah sekalipun. Tentangan itu tetap berlaku, kerana al-Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menentang dan tidak pula untuk mukjizat.

2. Al-Quran hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah SWT berfirman. Adapun hadis qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan. Maka dikatakan, Allah SWT telah berfirman atau Allah SWT berfirman. Dan, terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, kerana Nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. SWT Maka, dikatakan Rasulullah SAW  mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.

3. Seluruh isi al-Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak. Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang dhaif.

4. Al-Quran dari Allah, baik lafaz mahupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah dan lafaznya dari Rasulullah SAW.  Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi bukan dalam lafaz. Oleh sebab itu, menurut sebahagian besar ahli hadis, diperbolehkan meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.

5. Membaca al-Quran merupakan ibadah, kerana itu ia dibaca dalam solat.  Firman Allah SWT maksudnya : “Maka, bacalah apa yang mudah bagimu dalam al-Quran itu.” 
(Surah al-Muzamil ayat 20).

Nilai ibadah membaca al-Quran juga terdapat dalam hadis, Nabi SAW bersabda maksudnya : “Sesiapa membaca satu huruf dari al-Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.”
(Hadis Riwayat Tirmizi dan Ibnu Mas’ud).

Adapun hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam solat. Allah memberikan pahala membaca hadis qudsi secara umum saja. Maka, membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca al-Quran bahawa pada setiap huruf mendapatkan sepuluh kebaikan.

Perbezaan antara Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi :

Hadis nabawi itu ada dua iaitu tauqifi dan taufiqi.

Pertama Tauqifi :
Yang bersifat tauqifi iaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bahagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.

Kedua Taufiqi.
Yang bersifat taufiqi iaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap al-Quran, kerana ia mempunyai tugas menjelaskan al-Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bahagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Bahagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.

Dari sini, jelaslah bahawa hadis nabawi dengan kedua bahagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya yang bermaksud : 
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (Surah an-Najm ayat  3–4).

Jenis-jenis hadis nabawi secara ringkasnya terbagi 5 jenis iaitu :

1. Hadis Mutawatir

2. Hadis Sahih

3. Hadis Hassan Sahih

4. Hadis Dhaif

5. Hadis Palsu.

1. Hadis Mutawatir :

Hadis Mutawatir ialah nas hadis yang diketahui/diriwayatkan oleh beberapa bilangan orang yang sampai menyampai perkhabaran (Al-Hadis) itu, dan telah pasti dan yakin bahawa mereka yang sampai menyampai tersebut tidak bermuafakat berdusta tentangnya. Ini kerana mustahil terdapat sekumpulan periwayat dengan jumlah yang besar melakukan dusta.

Hadis Mutawatir, iaitu hadis yang memiliki banyak sanad dan mustahil perawinya berdusta atas Nabi Muhammad SAW, sebab hadis itu diriwayatkan oleh banyak orang dan disampaikan kepada banyak orang. Contohnya, "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka. " 
(Hadis Riwayat Bukhari, Muslim, Ad Darimi, Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmizi,. Abu Ha'nifah, Tabrani, dan Hakim).

Menurut para ulama hadis, hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh lebih dari seratus orang sahabat Nabi dengan seratus sanad yang berlainan. Oleh sebab itu jumlah hadis Mutawatir tidak banyak. Keseluruhan daripada ayat-ayat al-Quran adalah mutawatir, manakala terdapat sebahagian hadis sahaja yang mutawatir. Hadis yang tidak mencukupi syarat-syarat mutawatir dikenali sebagai Hadis Ahad.

Hadis Mutawatir terbagi dua:

1. Mutawatir Lafzi, yakni perkataan Nabi,
2. Mutawatir Amali, yakni perbuatan Nabi.

 2. Hadis Sahih :

Hadis shahih adalah hadis yang sanad-nya bersambung sampai kepada Nabi SAW  seluruh periwayatnya adil dan dhabit, terhindar dari syadz (kejanggalan) dan ‘illat (penyakit). Ini adalah istilah paling tinggi dalam pernyataan kesahihan sesuatu hadis.

3. Hadis Hassan Sahih :

Hadis ini adalah hadis yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil (yang bersambung-sambung sanadnya) yang musnad jalan datangnya (sampai kepada Nabi SAW) yang tidak cacat dan tiada mempunyai keganjilan.

4. Hadis Dhaif :

Hadis dhaif adalah hadis yang tidak mencukupi syarat-syarat hadis sahih sebagaimana diterangkan melalui kajian para ulama hadis. Ini menjadikan hadis dhaif adalah hadis yang tidak dapat dipastikan adakah ia benar-benar bersumber daripada Rasulullah SAW. Para ulama hadis menegaskan bahawa hadis dhaif tidak digunakan dalam soal hukum-hakam dan aqidah.

5. Hadis Palsu :

Hadis palsu pula ialah hadis yang sememangnya rekaan dan disalah anggap sebagai hadis daripada Rasulullah SAW.

Hadis qudsi pula adalah  maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafaznya dari Rasulullah SAW. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah SWT  adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafaznya. Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafaznya juga dari Allah, tidak ada lagi perbezaan antara hadis qudsi dan al-Quran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditentang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.

Sahabat yang dimuliakan,
Semoga dengan penjelaskan di atas secara ringkas jelaslah kepada kita apakah yang perbezaan di antara al-Quran, hadis qudsi dan hadis nabawi . Di harapkan kita sama-sama dapat memahami dan melaksanakan sumber utama rujukan dalam Islam iaitu al-Quran, hadis qudsi dan hadis nabawi dalam kehidupan kita.

Nabi SAW bersabda maksudnya :
 “Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kamu sekelian satu peninggalan yang selagi kamu berpegang-teguh dengannya maka selagi itulah kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu; Kitab Allah dan Sunnah NabiNya”.
 (Hadis riwayat Imam al-Hakim dari Ibnu ‘Abbas)


WallahHu'Alam.

[Sumber...]


. .
~***~LadingEMAS~***~