Thursday, July 7, 2011

Sheikh Hamzah Fanshuri ~ Syair

Syair Sheikh Hamzah Fanshuri

DIPANJANGKAN OLEH SAUDARA KELANA FAKIR...

Agar gambaran dari ciri-ciri tersebut jelas di sini akan dikemukakan contoh beberapa bait dari ikat-ikatan syair yang dimulai dengan baris “Thayr al-`uryan unggas sulthani”. Ikat-ikatan ini menggambarkan jiwa seseorang yang telah faqir, tak memiliki apa-apa selain kedekatan dengan dan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung (kadang-kadang Hamzah Fansuri menggunakan kata unggas, nuri atau burung pingai). Kata al-`uryan, arti harafiahnya ialah telanjang, maksudnya jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan pada Tuhannya.

Pemakaian tamsil burung bagi jiwa yang telah mengalami penyucian diri (thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky (1993), diilhami oleh alegori Fariduddin al-`Aththar yang terkenal Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung)[15]; yang kedua ialah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang hakikat kejadian yang sering ditransformasikan secara simbolik dari cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberi kesan keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa. Gambaran tersebut dijumpai dalam versi Melayu Hikayat Kejadian Nur Muhammad.[16]

Pencapaian burung dalam sajak tersebut dapat disetarakan dengan pencapaian tiga puluh ekor burung dalam Manthiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-Aththar, yang—setelah melakukan penerbangan jauh dan sukar melalui tujuh wadi atau lembah (kerohanian)—pada akhirnya berjumpa dengan Simurgh—raja diraja burung—di puncak bukit Qaf. Simurgh adalah lambang hakikat ketuhanan dan juga lambang diri rohani manusia. Sedangkan puncak bukit adalah lambang pencapaian tertinggi di jalan kerohanian, yaitu qurb, kekariban dan kedekatan dengan Tuhan.[17]

Berikut adalah ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83) sebagaimana yang dimaksud:


(Diilhami karya `Aththar Mantiq al-Tayr)
ABDUL HADI WM
Thayr al-`uryan[1] unggas sultani[2]
Bangsanya nur al-rahmani[3]
Tasybihnya Allah ‘Subhani!’[4]
Gila dan mabuk akan rabbani
Unggas itu terlalu pingai[5]
Warnanya terlalu bisai[6]
Rumahnya tiada berbidai
Duduknya da’im[7] di balik tirai
Awalnya bernama ruhi
Millatnya[8] terlalu sufi
Tubuhnya terlalu suci
Mushafnya[9] besar suratnya kufi
Arasy Allah akan pangkalannya
Habib Allah[10] akan taulannya
Bayt Allah akan sangkarannya
Menghadap Tuhan dengan sopannya
Sufinya bukannya kain
Fi `l-Makkah da’im bermain
Ilmunya zahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin
Kitab Allah dipersandangnya
Ghaib Allah akan tandangnya
Alam Lahut[11] akan kandangnya
Pada da`irah Hu[12] tempat pandangnya
Zikir Allah kiri kanannya
Fikir Allah rupa badannya
Surbat Tauhid aakan minumannya
Da’im bertemu dengan Tuhannya
Suluhnya terlalu terang
Harinya tiada berpetang
Jalannya terlalu henang
Barang mendapat dia terlalu menang
Cahayanya itu tiada berha`il[13]
Bayn Allah dan bayn al-`amil[14]
Syariatnya terlalu kamil
Barang yang mungkir menjadi jahil
Jika kau dapat asal ilmunya
Engkaulah yang amat tertahunya
Alam ini engkaulah empunya
Di sana sini engkaulah sukunya
Ilmunya tiada berbagai
Fardlunya yogya kaupakai
Tinggalkan ibu dan bapai (maksudnya: bapak)
Menyembah Tuhan jangan kau lalai
Ilmunya ilmu yang pertama
Madzhabnya madzhab ternama
Cahayanya cahaya yang lama
Ke dalam surga bersama-sama
Ingat-ingat hai anak dagang
Nafsumu itu lawan berperang
Anggamu[15] jadikan sarang
Citamu satu jangan bercawang
Siang hari hendaklah kau sha’im[16]
Malamnya yogya kau qa’im
Kurangkan makan lagi dan na’im
Nafi dan isbat kerjakan da’im[17]
Tuhan kita itu yang punya alam
Menimbulkan Hamzah yang sudah karam
Ishqinya[18] jangan kau padam
Supaya washil [19]dengan laut dalam

~*~*~*~*~*~*~*~



SYAIR SI BURUNG PINGAI
(SYAIR SI BURUNG PUNGGUK)
Gubahan Hamzah Fansuri


Hamzah sesat di dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Akan kiblatnya picek dan jawadan
Inilah lambat mendapat Tuhan

Unggas pingai bukannya balam
Berbunyi siang dan malam
Katanya akal ahl al-alam
Hamzah Fansuri sudahlah kalam

Tuhan hamba yang punya alam
Timbulkan Hamzah yang kalam
Ishkinya jangankan padam
Supaya warit di laut dalam

http://syairmenginspirasi.blogspot.com/2018/01/syair-si-burung-pingai-syair-si-burung.html

~*~*~*~*~*~*~*~

III
Fariduddin al-`Aththar
RINGKASAN MANTIQ AL-THAYR
Segenap burung dari seluruh dunia, yang dikenal maupun tidak, suatu ketika berkumpul. Mereka mengeluh,
“Di dunia ini tak ada negeri yang tak memiliki raja. Bagaimana kerajaan burung bisa tak memiliki raja seorang pun sampai sekarang? Keadaan ini tak bisa kita biarkan berlangsung terus. Kita harus bersama-sama berusaha dan pergi mencari seorang raja buat kita, karena tak adalah negeri yang pemerintahannya baik dan teratur rapi tanpa seorang raja.”

Mereka pun mulai bersidang untuk memecahkan persoalan itu. Burung Hudhud demikian tertarik dan dengan penuh harapan majulah ia ke depan, mengambil tempat di tengah-tengah sidang para burung itu. Sebuah hiasan terpampang di dadanya yang menandakan bahwa ia telah menguasai jalan ilmu pengetahuan rohani; jambul di kepalanya adalah mahkota kebenaran, dan ia pun telah menguasai pengetahuan baik dan buruk.

“Saudaraku para burung sekalian,” kata Hudhud. “Aku adalah salah seorang di antara mereka yang telah mengecap rahmat Tuhan. Aku adalah utusan dari alam gaib. Aku memiliki pengetahuan Ketuhanan dan rahasia makhluk-makhluk-Nya. Bila ada burung seperti aku dengan paruh bertanda nama Tuhan, Bismillah, pantaslah burung seperti itu kalian ikuti karena orang harus mempunyai pengetahuan yang luas mengenai rahasia-rahasia yang gaib. Namun hari-hari bersliweran tak putus-putusnya dan aku tak punya sangkut paut lagi dengan apa dan siapa pun.
   Seluruh diriku telah diliputi oleh cinta kepada Baginda Raja. Aku bisa mendapatkan air dengan naluriku, dan begitu banyak rahasia kehidupan lain telah kuketahui. Aku telah bercakap-cakap dengan nabi Sulaiman, beserta pengikut-pengikutnya yang utama. Yang mengherankan ialah biasanya dia tak pernah bertanya dan tak pernah ingat lagi kepada siapa saja yang pernah mengunjungi istananya, namun kepadaku sehari saja aku jauh dari sisinya dikirimnya utusan ke mana-mana untuk mencariku, sehingga kemuliaanku tak pernah berkurang karenanya.
    Akulah yang mengirimkan surat-suratnya, dan aku pulalah sahabatnya yang paling setia. Burung yang telah dimuliakan oleh sang nabi memperoleh anugerah mahkota di atas kepalanya. Dapatkah burung yang bisa bercakap-cakap seperti itu rontok bulu-bulunya dalam debu? Bertahun-tahun lamanya sudah aku menjelajahi lautan dan daratan, mengarungi puncak-puncak gunung dan dasar lembah. Aku sanggup menerobos ruang yang sesak dilanda banjir dahsyat. Aku senantiasa mengiringi nabi Sulaiman setiap kali bepergian dan aku telah mengenal batas-batas dunia.”

“Aku kenal raja itu dengan baik, tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaslah dirimu dari rasa malu, sombong dan ingkar. Dia pasti bisa melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri sendiri; mereka yang demikian itu akan bebas dari baik dan buruk karena berada di jalan kekasihnya. Bermurah hatilah sepanjang hidupmu. Sekarang angkatlah kakimu dari bumi dan terbanglah dengan gembira menuju istana sang raja.
Namanya Simurgh. Dia adalah raja diraja sekalian burung. Dia dekat kepada kita, namun kita jauh darinya. Tempat semayamnya sukar sekali dicapai dan tak ada lidah yang sanggup menyebut namanya. Di hadapan baginda bergantungan ratusan ribu benang sinar terang dan gelap, dan di dalam dunia yang fana maupun baka tak seorang pun yang dapat menaklukkan kerajaannya. Dialah raja yang berdaulat dan mandi kesempurnaan.
   Dia tak pernah memperlihatkan seluruh dirinya, juga di tempatnya bersemayam. Karena itu tak adalah pengetahuan atau kepandaian yang bisa mengetahuinya. Jalan itu tiada dikenal, dan tak seorang pun memiliki kesabaran yang cukup buat menjumpainya. Walaupun begitu ribuan makhluk senantias merindukannya selama mereka hidup. Pun jiwa yang paling murni tak dapat menguraikannya, pikiran pun tak dapat menggambarkan: dua alat penglihatan manusia ini buta di hadapannya.
   Kearifan tak dapat mencapai kesempurnaannya dan manusia yang paham pun tak mampu melihat keindahannya. Seluruh makhluk ingin mencapai kesempurnaan dan keindahan ini melalui khayalannya.
   Tapi bagaimanakah kau bisa menjejakkan kaki di jalan itu dengan pikiran? Bagaimana kau bisa mengukur bulan dengan ikan? Demikianlah telah ribuan kepala bolak-balik pergi ke sana, seperti bola yang berputar-putar di lapangan, dan hanya ratap tangis rindu mereka yang terdengar.
Beribu daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Jangan bayangkan perjalanan ini singkat; orang harus memiliki hati singa untuk dapat menempuh jalan yang luar biasa ini, karena begitu panjangnya dan lautnya rancam serta dalam pula.
   Kau harus berusaha sekuat tenaga, disertai senyum dan sesekali menangislah tersedu-sedu.
Seperti halnya aku, menemukan jejaknya saja sudah merasa bahagia. Jejaknya sangat berarti, dan hidup tanpa dia akan menyebabkan kita diliputi penyesalan.
   Seseorang tak boleh menyembunyikan jiwanya dari kekasihnya, dia harus menjaga dirinya baik-baik agar jiwanya dapat dibawa menuju istana sang raja. Bersihkan tanganmu dari kotoran hidup ini bila kau ingin disebut orang yang beramal. Panggillah kekasihmu sebagai orang yang mulia. Bila kau patuh dan tunduk kepadanya, dia akan memberikan seluruh hidupnya kepadamu.”
   “Dengar! Ada lagi yang mentakjubkan. Pada mulanya Simurg terbang pada malam hari di tengah gelap gulita di negeri Cina. Selembar bulunya jatuh di situ, hingga seluruh dunia tercengang melihat keindahannya. Orang-orang mulai menggambar bulunya yang indah itu, dan dari gambar bulunya itulah tersusun berbagai sistem pemikiran, sehingga akhirnya kacau-balau karena begitu banyaknya. Bulu Simurgh yang jatuh itu sekarang masih tersimpan di negeri itu.
   Itulah sebabnya hadith nabi mengatakan: “Carilah ilmu pengetahuan sampai ke negeri Cina sekalipun.”
“Namun demikian pemunculan Simurgh yang pertama kali itu tidaklah begitu membingungkan dibanding Wujudnya yang "RAHSIA".
   Tanda perwujudannya ini merupakan lambang kebesarannya. Seluruh makhluk yang bernyawa di dunia ini pasti memancarkan bayang-bayangnya. Oleh sebab dalam pemunculannya yang pertama kali tanpa ekor maupun kepala, tanpa ujung dan pangkal, maka tak perlulah kiranya kuceritakan lebih banyak mengenai dia. Sekarang, bersiap-siaplah kalian untuk mengarungi Jalan menuju istananya!”
Mendengar cerita Hudhud itu, burung-burung terpesona dan ramailah mereka membicarakan keagungan sang raja. Dan terdorong oleh keinginannya untuk menjumpai Simurgh, supaya kedaulatan kerajaan burung bisa ditegakkan lagi, mereka menjadi tak sabar untuk segera menghadap Simurgh.
    Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi bersama-sama, berjanji satu sama lain saling bersahabat dan melawan diri masing-masing sebagai musuhnya. Namun ketika mereka sadar bahwa perjalanan yang akan mereka tempuh demikian panjang dan penuh penderitaa, hati mereka pun bimbang. Sambil mengatakan bahwa mereka tak punya maksud buruk, dengan cara masing-masing mereka mengemukakan alasan.
   Burung Kenari berkata: “Ambillah pelajaran dari nasibku. Seluruh umat manusia terpesona oleh warna bulu Simurgh, lalu badanku ini yang mereka kurung. Maka penuhlah hidupku diliputi sedih dan rindu, padahal buat terbang di bawah kepak sayap sang Simurgh saja aku pun tak sanggup!”
   Burung Merak menyahut: “Dulu aku hidup bersama Adam dan Hawa di sorga, namun akhirnya aku terusir bersama mereka. Keinginanku ialah pulang kembali ke tempat asalku. Sebab itulah tak ada keinginanku bertualang mencari maharaja Simurgh.”

   Menyahut pula Unggas: “Aku telah biasa hidup dalam kesucian, dan sudah terbiasa berenang di air. Yang lain tak kurindukan lagi. Aku tak sanggup keluar dari genangan air, dan tak bisa hidup di tempat yang kering kerontang!”

   Lalu berkata Garuda: “Aku sudah biasa hidup senang di gunung. Bagaimanakah aku akan sanggup meninggalkan tempat semayamku yang menyenangkan?”
   Kemudian burung Gelatik menyambung: “Aku hanseekor burung mungil dan lemah. Takkan mungkin burung sekecil aku ini sanggup mengembara sejauh itu.”
   Menyahut pula burung Elang: “Saudara-saudaraku yang tercinta, kalian sudah tahu bukan bahwa kedudukanku tinggi sekali di sisi raja? Mana mungkin aku meninggalkan kedudukan semulia itu?”
   Seekor burung yang lain berkata: “O Hudhud karena kau lebih mengetahui jalan menuju temapt raja yang kau ceritakan itu, dan kau yang menginginkan kami menyertaimu, sedang bagi kami jalan itu gelap gulita, sebaiknya kau sendirilah yang pergi. Dalam kegelapan semacam itu, apalagi banyak sekali bahaya yang mengancam sepanjang perjalanan, pasti kami tak bisa menyertai perjalananmu menghadap raja.”
   Mendengar apa yang dikatakan burung-burung itu, Hudhud berkata: “Ingat, aku tak boleh lalai menyampaikan nasihatku yang baik kepada kalian semua. Niatku suci. Apa yang menyebabkan kalian semua mencari alasan yang bermacam-macam, apakah hanya karena terbiasa hidup enak? Dan mengapa harus kita biarkan terlantar cita-cita kita yang suci ini karena terikat kesenangan? Azam yang kuat dan hati yang teguh serta sabar, akan mampu memusnahkan segala kesulitan dan menjadikan dekat segala yang jauh.”
   Mendengar jawaban Hudhud ini bertanyalah seekor di antara burung-burung itu: “Lalu dengan cara bagaimana dan melalui jalan apa saja agar kita sampai ke tempat yang jauh dan sulit itu? Dan dengan perlengkapan apa pula kita bisa sampai ke istana ‘maharaja Simurgh?”
   Hud-hud pun menjawab: “Kita harus menyeberangi tujuh lembah, baru kita akan sampai di tempat maharaja Simurgh. Tak ada yang bisa lagi kembali ke dunia bilamana telah menempuh perjalanan yang maha jauh itu, dan mustahil pula kita bisa menyebutkan berapa banyak rintangan yang akan kita temui. Sabarlah, bertaqwalah kepada Tuhan, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu kalian akan tetap berada dalam diri kalian buat selama-lamanya.”
Lembah pertama adalah Lembah Pencarian,
kedua Lembah Cinta,
ketiga Lembah Pemahaman,
keempat Lembah Kebebasan dan Kelepasan,
kelima Lembah Kesatuan Sejati,
keenam Lembah Ketakjuban 
dan ketujuh Lembah Kefakiran dan Kefanaan. Di balik itu tak ada lagi apa-apa.”
   Mendengar petunjuk yang diberikan Hudhud ini kepala burung-burung tunduk terkulai, dan rasa pilu mulai menekan hati mereka. Sekarang mereka mengerti betapa sukarnya perjalanan itu.
   Lebih-lebih bagi makhluk seperti mereka yang kecil tak berarti bagaikan busur yang mudah patah bila ditarik terlalu kencang. Mereka diliputi bayangan ajal yang akan mereka temui. Namun burung-burung yang lain, tanpa mengacuhkan penderitaan yang akan mereka alami, akhirnya memutuskan untuk segera berangkat mengarungi jalan yang MahaPanjang itu.
   Bertahun-tahun lamanya mereka mengarungi gunung dan lembah, dan sebagian besar dari umur mereka dihabiskan dalam perjalanan. Tapi bagaimana mungkin menceritakan seluruh peristiwa dan kejadian yang mereka alami, tanpa mengikuti perjalanan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri kesulitan yang dihadapi burung-burung itu? Marilah kita ikuti perjalanan jauh mereka, dengan demikian kita mengetahui penderitaan mereka.

   Pada akhirnya cuma sedikit dari mereka itu yang benar-benar sampai ke tempat yang teramat mulia itu di mana Simurgh membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, hampir semuanya sirna dan lenyap. Banyak yang hilang di lautan; yang lain ada yang mendapat kecelakaan di puncak gunung yang tinggi, dibunuh rasa haus yang tak tertahankan; yang lain lagi sayapnya hangus dan hatinya kering terbakar matahari; sedang yang lain lagi mampus diterkam harimau dan macan tutul; yang lain lagi mati karena teramat lelah di gurun dan hutan yang buas, bibir mereka kering pecah-pecah dan tubuh mereka ludes di telan panas.
    Beberapa lagi menjadi gila dan saling membunuh satu sama lain memperebutkan butir-butir padi atau jagung; yang lain lunglai oleh derita dan kepayahan, terkapar di jalan, tak sanggup terbang lebih jauh lagi; yang lain kebingungan dan silau melihat benda bermacam-macam yang memikat mata, berhenti di tempat di mana mereka melihat benda itu, terbius; dan banyak pula yang terhenti karena godaan kenikmatan atau keinginan buat mengecap berbagai kepuasan badaniah, sehingga lupa pada cita-citanya semula yang luhur, yaitu menemui rajanya.
   Maka di luar ribuan burung yang sirna itu, tinggalah cuma tiga puluh ekor yang berhasil menempuh perjalanan itu. Dan walaupun mereka sampai juga, mereka masih bimbang, takut dan padam semangatnya, tanpa bulu dan sayap sehelai pun yang tinggal.
Kini mereka berdiri di muka gapura istana Simurgh yang tak terlukiskan dan tak terpahami hakekatnya.
   Itulah Wujud yang tak dapat dicerna akal maupun pengetahuan. Kemudian sinar kepuasan menyala terang di hadapan mereka, dan ratusan kehidupan sirna dalam sekejap mata tersiram oleh cahaya-Nya. Setelah itu mereka melihat ribuan matahari, sinarnya berbeda satu sama lain, beribu-ribu bulan dan bintang yang indah permai, dan semua yang mereka lihat itu membuat mereka merasa takjub dan terpesona bagaikan pusaran atom.
Serentak mereka berseru:
 “O, Kau yang lebih gemilang dari Surya! Matahari padam oleh sinar-Mu dan menjelma atom, bagaimana pulakah dengan kami yang kecil ini? Jauh dan penuh derita perjalanan yang telah kami tempuh, adakah kami akan sia-sia? Kami telah meninggalkan diri kami dan bebas dari belenggu benda-benda dunia, akan gagalkah kami bertemu raja kami? Betapa kecilnya kami di sini dan tak tahu apakah kami ini ada atau tidak.”

   Burung-burung yang tak berdaya menyerupai ayam sekarat itu kemudian merasa putus asa. Demikian lama mereka menunggu jawaban. Tiba-tiba dalam sekejap mata pintu pun terbuka dan muncullah sang pengawal istana. Dipandangnya burung-burung itu dan tahulah dia bahwa jumlah mereka tinggal tigapuluh ekor dari ribuan yang bersama-sama melakukan perjalanan.

Pengawal berkata,
“Dari manakah kalian datang, o burung-burung? Apa yang kalian lakukan di sini? Siapa saja nama kalian? Betapa sengsaranya kalian, di manakah rumah kalian? Apa yang bisa kalian kerjakan sebagai makhluk yang lemah di tempat ini?”


“Kami datang kemari,” ujar mereka, “untuk menghadap raja kami Simurgh. Karena begitu rindu dan cintanya kami kepada baginda, beginilah akhirnya kami kebingungan dan pusing. Dulu ketika kami berangkat jumlah kami ribuan, dan kini kami hanya tinggal tiga puluh ekor. Kami tak yakin raja kami akan memperlakukan kami penuh penghinaan seperti ini, karena perjalanan yang kami tempuh demikian sukar dan penuh penderitaan. Oh, tidak! Baginda harus menyambut kami dan menerima kami dengan penuh kasih sayang!”

Pengawal menjawab, “O, burung-burung yang kebingungan dan kesulitan, apakah kau ada atau tidak, raja tetap ada dan abadi. Ribuan makhluk di dunia tak lebih dari semut di depan gapuranya, apalagi kalian. Kalian kemari tak membawa sesuatu apa pun, kecuali ratap tangis dan sedu sedan. Kembali sajalah kalian ke tempat kalian datang, o makhluk yang hina dina!”

Mendengar itu mereka terkulai dan heran. Sekalipun demikian, setelah berpikir sejenak, mereka berkata lagi, “Apakah baginda akan menolak kami seraya menghina? Dan bilamana demikian memang sikap baginda, tak mungkinkah penghinaannya berubah jadi penghormatan? Majnun pernah berkata “Bila seluruh umat manusia di bumi ini menyanyikan puji-pujian bagiku, aku takkan menerimanya; aku lebih suka penghinaan Leila. Sebuah penghinaan yang diberikan Leila bagiku jauh lebih baik dari ribuan pujian dari perempuan yang lain.”

  “Cahaya kebesarannya telah tersingkap,” ujar pengawal. “Dan semua nyawa akan hangus. Bila roh sirna oleh ratusan dukacita, pahala apa yang akan diperoleh? Anugerah apa yang akan kalian terima dalam sekejap ini?”

Terbakar oleh api cinta burung-burung itu berkata,
 “Bagaimana laron bisa mengelak dari nyala lilin apabila dia ingin menyatu dengan cahaya lilin? Sahabat yang kami cari pasti membuat hati kami senang bilamana kami dikabulkan berkumpul dengannya. Bila kami sekarang ditolak buat berjumpa, apalagi yang harus kami lakukan? Kami laksana laron yang ingin menyatu dengan nyala lilin. Kami mohon bukan lantaran dungu, karena tujuan kami adalah mensucikan diri, dan kami yakin ucapan kami ini akan membuat hatinya senang serta berterima kasih karenanya. Bukankah bagindatelah berkata, barangsiapa yang menyerahkan seluruh hatinya pada nyala apinya, takkan ada kesulitan yang merintangi dirinya?”

   Setelah pengawal selesai menguji ketabahan mereka, kemudian pintu itu terbukalah. Sesaat mereka menyingkir ke samping. Kemudian seratus tabir satu persatu tersingkap di hadapan mereka dan tampaklah dunia baru di hadapan mereka. Cahaya dari segala cahaya bersinar terang dan duduklah mereka semua seraya tunduk di hadirat baginda yang mulia.
   Mereka memperoleh kalam buat mereka baca; dan setelah mereka membaca dan merenunginya dalam-dalam, barulah mereka paham keadaan yang sebenarnya. Hati mereka tenang dan damai, lepas dari segala kesulitan, dan setelah itu barulah mereka menyadari bahwa Simurgh tinggal bersama mereka. Dan kehidupan baru bersama Simurgh telah mereka kecap. Seluruh amal dan perbuatan mereka selama ini lenyap tak berbekas.
   Matahari kebesaran sang raja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, dan tiap sinar memantulkan wajah mereka tiga puluh ekor banyaknya (si-murgh) dari dunia luar yang telah terserap Simurgh yang bersemayam dalam diri mereka. Mereka merasa takjub, karena sebelumnya mereka tak menyangka bahwa mereka akan tetap sebagai diri mereka.
   Akhirnya ketika mereka merenungi dalam-dalam, tahulah bahwa merekalah Simurgh itu sendiri dan bahwa Simurgh artinya tiga puluh ekor burung.
Ketika mereka menatap Simurgh mereka lihat bahwa Simurgh benar-benar yang ada dihadapan mereka, dan bilamana mereka mengalihkan mata mereka sendiri adalah Simurgh. Dan bilamana keduanya saling memandang, diri mereka dan Dia, tahulah mereka bahwa mereka dan Simurgh adalah satu dan wujud yang sama jua. Hal ini tak pernah mereka dengar sebelumnya.
   Kemudian mereka tafakkur dan tak lama sesudah itu mereka mohon kepada Simurgh tanpa menggunakan lidah, agar mewahyukan kepada mereka rahasia kesatuan dan kepelbagaian wujud. Simurgh, pun tanpa mengucapkan sepatah kata, menjawab: “Matahari kebesaranku adalah sebuah cermin. Dia yang melihat dirinya sendiri akan melihat jiwa dan tubuhnya, dan akan melihatnya dengan sempurna. Karna kalian datang sebanyak tigapuluh ekor, si-murgh, maka kalian akan melihat tigapuluh ekor burung dalam cermin ini. Bila empat puluh atau lima puluh ekor yang datang, yang akan kau lihat sama.
   Walaupun sekarang kalian benar-benar mengalami perubahan, kalian lihat diri kalian sendiri tetap sebagaimana diri kalian sebelum ini.
“Dapatkah penglihatan seekor semut mencapai bintang Soraya yang jauh? Dan dapatkah serangga kecil ini mengangkat tempat pijaknya? Pernah kau lihat seekor nyamuk mengangkat seekor gajah dengan giginya? Segala yang kau ketahui, segala yang telah kau lihat, segala yang telah kau katakan atau kau dengar – semua ini bukan itu lagi. Bilamana kalian telah menyeberangi lembah jalan kerohanian dan bilamana kalian telah memenuhi kewajiban dengan baik, kalian akan menjadi seperti ini berkat tindakanku; dan kalian sanggup melihat lembah hakikat dan kesempurnaanku. Kalian, yang jumlahnya tiga puluh ekor, takjub, tercengang dan kagum. Tapi aku lebih dari tiga puluh ekor burung. Aku adalah hakekat yang sesungguhnya dari Simurgh yang sebenarnya. Leburkan diri kalian dengan bangga dan penuh sukacita ke dalam aku, dan di dalam aku kalian akan menemukan diri kalian.”
   Setelah itu burung-burung itupun sirna buat selama-lamanya di dalam Simurgh – bayang-bayangnya musnah ditelan sang matahari, dan khatam.
   Apa yang kau dengar semua ini atau apa yang kau lihat dan kau ketahui bukan awal dari segala yang harus kau ketahui, dan puing-puing kehidupan di dunia ini bukanlah tempat tinggal yang harus kau rindukan. Carilah batang pohon, dan jangan khawatir apakah cabang-cabangnya itu ada atau tidak.
   Ribuan generasi telah lewat. Burung-burung yang baka itu telah pasrah meleburkan dirinya dalam kefanaan. Tak seorang pun, tua atau muda, bisa menguraikan dengan tepat apa yang disebut baka dan mati itu. Seperti bilamana segala peristiwa jauh dari mata kita, bagaimana mungkin kita menguraikannya? Bila pembaca ingin penjelasan lebih jauh dengan amsal-amsal mengenai kebakaan yang terjadi setelah fana, aku akan menulis buku yang lain.
   Selama kita terbelenggu oleh benda-benda dunia, kita takkan sampai ke Jalan itu. Namun bilamana dunia tak lagi membelenggu, kau akan sampai seakan-akan memasuki dunia mimpi, dan akhirnya akan tahu bahwa kau mendapatkan rahmat yang tak terkira. Janin insan terpelihara dengan baik hanya oleh cinta dan kasih sayang sehingga kelak bisa menjadi orang yang pandai dan saleh.
   Pengetahuan inilah yang harus dituntut orang. Kemudian ajal datang dan segala yang kau miliki lenyap, tenggelam. Sehabis itu kau jadi debu jalanan. Berkali-kali seseorang itu fana; tapi bila orang berhasil mengetahui rahasia-rahasia kehidupan yang hakiki, akhirnya ia akan menerima kebakaan, dan akan mendapatkan kehormatan dalam keadaan hina. Tahukan kau apa yang kau miliki? Masuklah ke dalam dirimu dan bercerminlah! Selama kau tak paham akan ketiadaanmu, dan selama kau tak menyadari kebanggaan semu, kesombongan dan cintamu yang berlebih-lebihan pada dirimu sendiri, selama itu pula kau takkan mencapai puncak kebakaan. Di Jalan itu kau akan terjerumus dalam kehinaan, namun kemudian bangun penuh kehormatan.
(Abdul Hadi W. M. Sastra Sufi: Sebuah Antologi 1985)
________________________________________
[1] Thayr al-`uryan = burung yang faqir, tamsil bagi keadaan jiwa yangfana’ dalam cinta ilahi.
2 Sultani = Sultan adalah perumpamaan kepada Tuhan sebagai penguasa sekalian alam.
Unggas Sultani adalah jiwa seorang ahli makrifat yang diliputi pengetahuan ketuhanan.
[3] Nur al-rahmani = Cahaya Yang Maha Pengasih. Artinya mendapatkan cahaya ketuhanan.
[4] Subhani = Maha Terpuji Aku (Tuhan)! Ucapan teofani Bayazid al-Bhistami.
[5] Pingai = Indah keemasan.
[6] Bisai = elok, molek mempesona.
[7] Da’im = selalu, selamanya.
[8] Millat = tingkat pencapaiannya dalam agama.
[9] Musshaf = kitab. Kufi = nama huruf tegak dalam kaligrafi Arab, biasa ditulis dengan garis tebal.
[10] Habib Allah = gelar untuk Nabi Muhammad s.a.w.
[11] Alam Lahut = Alam ketuhanan.
[12] Da`irah Hu = Lingkaran Hu (Dia). Istilah untuk menyebut majlis zikir ahli tasawuf.
[13] Ha’il = rintangan, hijab, tirai.
[14] Bayn Allah dan bayn al-`amil = antara Tuhan dan orang yang amalnya baik.
[15] Angga = anggota badan. Maksudnya seluruh tubuhnya.
[16] Sha`im = berpuasa.
[17] Qa’im = menegakkan salat, maksudnya salat tahajjud. Na’im = tidur. Nafi dan isbat = penidakan dan peneguhan, maksudnya kalimah La ilaha ill Allah. La ilaha = naïf; ill Allah = isbat.
[18] `Ishq = cinta, berahi.
[19] Washil = dekat, hampir, menyatu.

http://www.facebook.com/home.php?sk=group_109001245784543&view=doc&id=220385827979417

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~


SYAIR PERAHU
Gubahan Hamzah Fansuri

inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah

wahai muda kenali dirimu
ialah perahu tamsil tubuhmu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akhirat jua kekal diammu

hai muda arif-budiman
hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan
itulah jalan membetuli insan

perteguh jua alat perahumu
hasilkan bekal air dan kayu
dayung pengayuh taruh di situ
supaya laju perahumu itu

sudahlah hasil kayu dan ayar
angkatlah pula sauh dan layar
pada beras bekal jantanlah taksir
niscaya sempurna jalan yang kabir

perteguh jua alat perahumu
muaranya sempit tempatmu lalu
banyaklah di sana ikan dan hiu
menanti perahumu lalu dari situ

muaranya dalam, ikanpun banyak
di sanalah perahu karam dan rusak
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak

ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang

muaranya itu terlalu sempit
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit
sempurnalah jalan terlalu ba’id

baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh
anginnya keras ombaknya cabuh
pulaunya jauh tempat berlabuh

lengkapkan pendarat dan tali sauh
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh
la ilaha illallahu akan tali yang teguh

Barang siapa bergantung di situ
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju
selamat engkau ke pulau itu

la ilaha illallahu jua yang engkau ikut
di laut keras dan topan ribut
hiu dan paus di belakang menurut
pertetaplah kemudi jangan terkejut

Laut Silan terlalu dalam
di sanalah perahu rusak dan karam
sungguhpun banyak di sana menyelam
larang mendapat permata nilam

Laut Silan wahid al qohhar
riaknya rencam ombaknya besar
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar

itulah laut yang maha indah
ke sanalah kita semuanya berpindah
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah

Silan itu ombaknya kisah
banyaklah akan ke sana berpindah
topan dan ribut terlalu azamah
perbetuli pedoman jangan berubah

laut Kulzum terlalu dalam
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam
perbaiki na’am, siang dan malam

ingati sungguh siang dan malam
lautnya deras bertambah dalam
anginpun keras, ombaknya rencam
ingati perahu jangan tenggelam

jikalau engkau ingati sungguh
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh

sampailah ahad dengan masanya
datanglah angin dengan paksanya
belajar perahu sidang budimannya
berlayar itu dengan kelengkapannya

wujud Allah nama perahunya
ilmu Allah akan dayungnya
iman Allah nama kemudinya
yakin akan Allah nama pawangnya

thaharah dan istinja nama lantainya
kufur dan masiat air ruangnya
tawakkal akan Allah juru batunya
tauhid itu akan sauhnya

salat akan nabi tali bubutannya
istigfar Allah akan layarnya
Allahu Akbar nama anginnya
subhan Allah akan lajunya

Wallahu a’lam nama rantaunya
iradat Allah nama bandarnya
qodrat Allah nama labuhannya
surga jannatan naim nama negerinya

karangan ini suatu madah
mengarangkan syair tempat berpindah
di dalam dunia janganlah tam’ah
di dalam kubur berkhalwat sudah

kenali dirimu di dalam kubur
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur

di dalam dunia banyaklah mamang
ke akhirat jua tempatmu pulang
janganlah disusahi emas dan uang
itulah membawa badan terbuang

tuntuti ilmu jangan kepalang
di dalam kubur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang

tongkatnya lekat tiada terhisab
badanmu remuk siksa dan azab
akalmu itu hilang dan lenyap
tanpa ada tujuan yang tetap

Munkar wa Nakir bukan kepalang
suaranya merdu bertambah garang
tongkatnya besar terlalu panjang
cabuknya banyak tiada terbilang

kenali dirimu, hai anak dagang
di balik papan tidur telentang
kelam dan dingin bukan kepalang
dengan siapa lawan berbincang

la ilaha illallahu itulah firman
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian
iman tersurat pada hati insap
siang dan malam jangan dilalaikan

la ilaha illallahu itu terlalu nyata
tauhid ma’rifat semata-mata
memandang yang gaib semuanya rata
lenyapkan ke sana sekalian kita

la ilaha illallahu itu janganlah kau permudah-mudah
sekalian makhluk ke sana berpindah
da’im dan ka’im jangan berubah
khalak di sana dengan La ilaha illallahu

la ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan
siang dan malam jangan kau sunyikan
selama hidup juga engkau pakaikan
Allah dan rasul juga yang menyampaikan

la ilaha illallahu itu kata yang teguh
memadamkan cahaya sekalian rusuh
jin dan syaitan sekalian musuh
hendak membawa dia bersungguh-sungguh

la ilaha illallahu itu kesudahan kata
tauhid ma’rifat semata-mata
hapuskan hendak sekalian perkara
hamba dan Tuhan tiada berbeda

la ilaha illallahu itu tempat mengintai
medan yang kadim tempat berdamai
wujud Allah terlalu bitai
siang dan malam jangan bercerai

la ilaha illallahu itu tempat musyahadah
menyatakan tauhid jangan berubah
sempurnalah jalan iman yang mudah
pertemuan Tuhan terlalu susah

https://syairmenginspirasi.blogspot.com/2018/01/syair-perahu.html

~*~*~*~*~*~*~*~

SYAIR IKAN TONGKOL
Gubahan Hamzah Fansuri

ikan tunggal bernama fadhil
dengan air daim ia washil
isyqinya terlalu kamil
di dalam laut tiada bersahil

ikan itu terlalu ali
bangsanya nurur-rachmani
angganya rupa insani
da'im bermain di lautan baqi

bismil-lahi akan namanya
ruhul-lahi akan nyawanya
wajhul-lahi akan mukanya
zhahir dan batin da'im sertanya

Nurul-lahi nama bapainya
khalqul-lahi akan sakainya
raja sulaiman akan pawainya
da'im bersembunyi dalam balainya

empat bangsa akan ibunya
shummun bukmun akan tipunya
kerjaan Allah yang ditirunya
mengenal Allah dengan ilmunya

Fana fil-lahi akan sunyinya
inni all-lah akan bunyinya
memakai dunia akan ruginya
radhi kan mati da'im pujinya

tarkud-dunya akan labanya
menuntut dunia akan maranya
abdul-wachid asal namanya
da'im anal-haqq akan katanya

kerjanya mabuk dan 'asyiq
ilmunya sempurna fa'iq
mencari air terlalu shadiq
didalam laut bernama khaliq

ikan itulah terlalu zhahir
diamnya da'im di dalam air
sungguh pun ia terlalu hanyir
washilnya da'im di laut halir

ikan achmaq bersuku-suku
mencari air ke dalam batu
olehmu taqshir mencari guru
tiada ia tahu akan jalan mutu

jalan mutu terlalu ali
itulah ilmu ikan sultani
jangan kau ghafil jauh mencari
washilnya da'im di laut shafi

jalan mutu yogya kau pakai
akan air jangan kau lalai
tinggalkan ibu dan bapai
supaya dapat syurbat kau rasai

hamzah syahranawi sungguhpun hina
tiada ia radhi akan thur sina
diamnya da'im di laut cina
bermain-main dengan gajah mina

https://syairmenginspirasi.blogspot.com/2018/01/syair-ikan-tongkol.html

~*~*~*~*~*~*~*~


Syair Burung Unggas
Gubahan Hamzah Fansuri

Unggas itu yang amat burhana
Daimnya senantiasa di dalam astana
Tempatnya bermain di Bukit Tursina
Majnun dan Laila adalah di sana

Unggas itu bukannya nuri
Berbunyi ia syahdu kala hari
Bermain tamasya pada segala negeri
Demikianlah murad insan sirri

Unggas itu bukannya balam
Senantiasa berbunyi siang dan malam
Tempatnya bermain pada segala alam
Di sanalah tamasya melihat ragam

Unggas tahu berkata-kata
Sarangnya di padang rata
Tempat bermain pada segala anggota
Ada yang bersalahan ada yang sekata

Unggas itu terlalu indah
Olehnya banyak ragam dan ulah
Tempatnya bermain di dalam Ka’bah
Pada bukit Arafah kesudahan musyahadah

Unggas itu bukannya meuraka
Senantiasa bermain di dalam surga
Kenyataan mukjizat tidur dan jaga
Itulah wujud meliputi rangka

Unggas itu terlalu pingai
Senantiasa main dalam mahligai
Rupanya elok sempurna bisai
Menyamarkan diri pada sekalian sagai

Unggas itu bukannya gagak
Bunyinya terlalu sangat galak
Tempatnya tamasya pada sekalian awak
Itulah wujud menyatakan kehendak

Unggas itu bukannya bayan
Senantiasa berbunyi pada sekalian aiyan
Tempatnya tamasya pada sekalian kawan
Itulah wujud menyatakan kelakuan

Unggas itu bukannya burung
Senantiasa berbunyi di dalam tanglung
Tempat tamasya pada sekalian lurung
Itulah wujud menyatakan Tulung

Unggas itu bukannya Baghdadi
Senantiasa berbunyi di dalam jawadi
Tempatnya tamasya pada sekalian fuadi
Itulah wujud menyatakan ahli

Unggas itu yang wiruh angkasamu
Nantiasa asyik tiada kala jemu
Menjadi dagang lagi ia jamu
Ialah wujud menyatakan ilmu

Thairul aryani unggas sulthani
Bangsanya nurur rahmani
Tasbihatallah subhani
Gila dan mabuk akan rabbani

Unggas itu terlalu pingai
Warnanya terlalu terlalu bisai
Rumahnya tiada berbidai
Dudujnya daim di balik tirai

Putihnya terlalu suci
Daulahnya itu bernama ruhi
Miladnya terlalu sufi
Mushafnya bersurat kufi

Arasy Allah akan pangkalnya
Janibullah akan tolannya
Baitullah akan sangkarnya
Menghadap Tuhan dengan sopannya

Sufinya bukannya kain
Fi Mekkah daim bermain
Ilmunya lahir dan batin
Menyembah Allah terlalu rajin

Kitab Allah dipersandangkannya
Ghaibullah akan pandangnya
Alam Lahut akan kandangnya
Pada ghairah huwa tempat pandangnya

Zikrullah kiri kanannya
Fikrullah rupa bunyinya
Syurbah tauhid akan minumnya
Dalam bertemu dengan Tuhannya

https://syairmenginspirasi.blogspot.com/2018/01/syair-burung-unggas.html

~*~*~*~*~*~*~*~


SYAIR SIDANG FAKIR
(SYAIR DAGANG)
Gubahan Hamzah Fansuri

Sidang fakir empunya kata
Tuhanmu zahir terlalu nyata
Jika sungguh engkau bermata
Lihatlah dirimu rata-rata

Kenal dirimu hai anak jamu
Jangan kau lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat bagiku ramu
Supaya terkenal ketinggian ada-Mu

Jika kau kenal dirimu baqi
Elokmu itu tiada berbagi
Hamba dan Tuhan da‘im berdamai
Memandang dirimu jangan kau lalai

Kenal dirimu hai anak dagang
Nafikan dirimu jangan kau sayang
Nafi ithbat bagiku bintang
Supaya mudah engkau datang

Dengarkan sini hai anak datu
Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam muhith dengan nyata
Inilah tamsil engkau dan rata

Jika terpandang olehmu firman
Pada kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Furqân
Wa Huwa ma‘akum pada ayat Qur‘an
Wa huwa bi kulli syai‘in muhîth terlalu ‘aiyân

Syariat Muhammad ambilkan suluh
Ilmu hakikat bagiku pertubuh
Nafsumu itu bagiku bunuh
Mangkanya dapat sekaliannya luruh

Mencari dunia berkawan-kawan
Oleh nafsu yang khabit kamu tertawan
Nafsumu itu bagiku lawan
Mumkin sampai engkau bangsawan

Mahbubmu itu tiada berha‘il
Pada fa ainamâ tuwallû jangan kau ghâfil
Fa samma wajhul-L âhi sempurna wasil
Inilah jalan orang yang kâmil

Kekasihmu zhâhir terlalu terang
Kedua alam nyata terbentang
Ahlul-ma‘rifah terlalu menang
Wasilnya dâ‘im tiada berselang

Hapuskan akal dan rasamu
Lenyapkan badan dan nyawamu
Pejamkan hendak kedua matamu
Di sana lihat peri rupamu

Adamu itu bagiku sering
Supaya dapat ke negeri yang hening
Seperti Ali tatkala berperang
Melepaskan Daldal tiada berkekang

Hamzah miskin orang ‘uryâni
Seperti Ismail menjadi qurbâni
Bukannya ‘Ajam lagi ‘Arabî
Senantiasa wasil dengan Yang Bâqî

https://syairmenginspirasi.blogspot.com/2018/01/syair-sidang-fakir-syair-dagang.html

~*~*~*~*~*~*~*~


Qubur Sheikh Hamzah Fansuri




SEJARAH HIDUP HAMZAH FANSURI

SEJARAH HIDUP HAMZAH FANSURI

A. Riwayat Hidup Syekh Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal ke-17.[26] Tahun lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti. Riwayat hidup Syekhpun sedikit sekali diketahui. Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Kejian terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya di Aceh pada tahu 1637. Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa Syekh hidup sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.

Barginsky mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi Aceh. Kunjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati istana dia melihat Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang berwajah kenabian dengan menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini seorang pejabat istana seperti Syamsuddin Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani menegur Sultan yang sedang menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan purnama. Bargansky memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, sedang pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai yang ketika itu menjabat perdana menteri. Keberanian tokoh kerohanian itu untuk menegur Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan kritik yang ditujukan kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan praktek keagamaan dan kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh termasuk Sultan.[27]
Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga.[28] Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur.[29] Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”[30]


Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.[31]
Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.[32]

Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT.[33] Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.[34]

Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud[???]). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.[35] Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.[36]

Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dengan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa.[37] Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu”[38]
Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis.[39] Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. 
Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.[40]
Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.

Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata mahu kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.[41]

Hamzah Fansuri telah berhasil mengukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.
Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.[42]

Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai tercermin sebagai berikut:
“Aho segala kamu anak ‘alim
Jangan bersbubhat dengan yang zalim
Karena Rasul Allah sempurna hakim
Melarang kita sekalian khadim”

Kepedulian Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah kenyataan dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat itu. Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan mereka untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan bengunan”.[43] 
Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya.

Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekal yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.[44]

B. Kepenyairan Syekh Hamzah Fansuri
1. Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.

Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.[45]

Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.[46]

https://alperakani.wordpress.com/2011/01/16/sejarah-hidup-hamzah-fansuri/


~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
     Tasawuf  merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia, unsur  tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian muslimin Indonesia. Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan Tarekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Indonesia. Ia menyebutkan seorang pengembang Arab Syekh Abdullah Arif  sebagai pembangun Negara Islam pertama di Aceh pada tahun 1177 M.[2] Lebih jauh lagi, ia menjelaskan kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama masuknya Islam ke nusantara, yang terbesar sekali jasanya adalah para sufi bukan golongan lainnya. Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Dinamisme, maupun Budha-isme dan Hindu-isme karena tertarik pada ajaran sufi itu sendiri.[3]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abu Yazid Al-Busthami), hulul (Al-Hallaj), dan wahdah al-wujud (Ibnu Arabi).[4] Para pengarang muslim di Indonesia adalah penyebar Islam sekaligus sufi. Pelopornya adalah Hamzah Fansuri.[5]
 Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu ulama nusantara yang diakui oleh para ilmuan. Kepopuleran Hamzah disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya dalam bidang tasawuf. Berkat usaha Hamzah, tasawuf menjadi terkenal di nusantara.
Hamzah Fansuri bukan hanya dikenal sebagai tokoh sufi, budayawan, dan sastrawan, tetapi dia juga seorang pembaharu yang memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam perkembangan Islam. Hamzah Fansuri adalah tokoh yang membawa konsep wujudiyyah Ibnu Arabi ke nusantara.[6]
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Hamzah Fansuri ?
2.      Apa saja ajaran-ajaran Hamzah Fansuri ?
3.      Bagaimana konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri ?
4.      Apa saja karya-karya Hamzah Fansuri ?
C.     Tujuan
1.      Menjelaskan siapa itu Hamzah Fansuri.
2.      Menjelaskan ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3.      Menjelaskan konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4.      Menjelaskan karya-karya Hamzah Fansuri.
D.    Manfaat
1.      Mengetahui siapa Hamzah Fansuri.
2.      Mengetahui ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3.      Mengetahui konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4.      Mengetahui karaya-karya Hamzah Fansuri.

http://hanslakomesem.blogspot.my/2015/02/makalah-tasawuf-modern-hamzah-fansuri.html

~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~*~


HAMZAH AL-FANSURI: BIOGRAFI, KARYA, DAN PENGARUHNYA TERDAHAP PERADABAN ISLAM DI NUSANTARA




Kita tidak asing lagi dengan Syekh Hamzal al-Fansuri. Beliau dikenal sebagai salah satu perlopor sastra melayu. Puisi-puisinya banyak diperbincangkan dan menjadi rujukan sastrawan-sastrawan setelahnya.
Syeikh Hamzah Fansuri diakui salah seorang pujangga Islam yang sangat populer di zamannya (Abad 16 dan 17), sehingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusasteraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai tokoh kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.
Syekh Hamzah Fansuri, selain sebagai penyair atau pujangga, juga merupakan salah satu tokoh sufi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syeikh Syamsuddin Sumatrani adalah termasuk tokoh sufi yang sefaham dengan al-Hallaj, faham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Disebabkan paham sufinya tersebut, Syekh dari Aceh ini banyak mendapatkan kritik dan perlawanan dari golongan yang tidak sepaham dengannya. 
Makalah ini akan membahas mengenai biografi dan karya-karya Hamzah Fansuri. Juga pemikiran, dan pengaruhnya dalam sejarah peradaban Indonesia.

B.       Biografi

makalah hamzah fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan[bila] sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang [Makam Syeikh berada di Ujung Pancu Kecamatan Peukan Bada, Kota Banda Aceh.].[1] Tetapi dari syair dan dari namanya sendiri menunjukkan bahwa sudah sekian lama beliau berdominasi di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunan mereka pantas digelari Fansur.
Pada ahli cenderung memahami dari syair-syairnya bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.[2]
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.

C.     Karya-karya Hamzah Fansuri

Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
a. Syair burung pingai
b. Syair dagang
c. Syair pungguk
d. Syair sidang faqir
e. Syair ikan tongkol
f. Syair perahu
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
a. Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
b. Syarbul ‘asyiqiin
c. Al-Muhtadi
d. Ruba’i Hamzah al-Fansuri

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970

- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966

- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967

- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[3]

Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi) [4].

  1. Pemikiran dan Pengaruh Hamzah Fansuri


Makam Syeikh Hamzah Fansuri



Hikayat Aceh ~Rahasia Hamzah Fansuri




Sheikh Siti Jenar [Cucunya Rasulullah, Guru kpd Sheikh Hamzah Fansuri]




https://www.youtube.com/watch?v=A09q0nelXic


Sejarah ~Syeikh Siti Jenar, dibalik FITNAH

KISAH SHEIKH SITI JENAR


https://www.walisembilan.com/mengenal-sejarah-syeikh-siti-jenar-yang-sebenarnya/

~*~*~*~*~*~*~*~

Hamzah Fansuri dan Syair-Syair Tasawufnya

Karya sastrawan sufi Nusantara belum banyak diteliti dan dikaji. Padahal peranan dan pengaruh mereka sangat besar bagi perkembangan bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu. Lesunya kajian filologi di Indonesia dewasa ini mungkin merupakan salah satu penyebabnya. Tak mengherankan sebagian besar karya penulis lama Nusantara, khususnya penulis sufi, masih berupa naskah dan belum cukup banyak yang dialihaksarakan dan diterbitkan. Lagi pula selama beberapa puluh tahun belakangan ini, kebijakan pendidikan kita tidak memberi perhatian serius terhadap pelajaran sejarah kebudayaan dan tradisi intelektual bangsanya sendiri.

Karya-karya Hamzah Fansuri lebih beruntung. Hampir semuanya telah dijumpai dalam bentuk transliterasinya. Bahkan sudah muncul pula beberapa kajian yang cukup luas dan mendalam.[1] Namun masalahnya bukan hanya apakah ada kajian atau tidak. Selagi ajaran tasawuf sang sufi masih diperdebatkan dengan sengitnya, selama itu pula peranan dan kedudukannya sebagai tokoh spiritual dan keagamaan akan tetap diperdebatkan. Begitu pula sumbangannya terhadap bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu.

Tujuan tulisan ini bukanlah untuk menyulut kembali perdebatan sengit yang telah lama muncul di sekitar pemikiran tasawufnya.[2] Dengan kesadaran bahwa kepenyairan dan kesufian Hamzah Fansuri tidak dapat diabaikan, begitu pula peranannya dalam sejarah intelektual dan kerohanian, kami akan coba membahas segi-segi khusus dari kepenyairannya.


Sebagai penyair

Hamzah Fansuri adalah seorang tokoh intelektual dan kerohanian terkemuka pada zamannya. Dia dilahirkan di tanah Fansuri atau Barus dan diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 dan 17.[3] Sejak akhir abad ke-16 tanah kelahirannya masuk ke dalam wilayah ke Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Ali Hasjmy,[4]bersama saudaranya, Ali Fansuri, dia mendirikan sebuah dayah (pesantren) besar di daerah Singkil, tidak jauh dari tempat kelahirannya.

Mula-mula Hamzah Fansuri belajar tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dan dalam tarekat ini pula dia dibaiat.[5] Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam seperti Bagdad, Mekah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta mengembangkan ajaran tasawuf sendiri. Ajaran tasawuf yang dikembangkannya banyak dipengaruhi oleh pemikiran wujudiyah Ibn `Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin `Iraqi. Sedangkan karangan-karangan sastranya banyak dipengaruhi oleh Fariduddin al-Aththar, Jalaluddin al-Rumi dan Abdur Rahman al-Jami.

Jika benar Syekh al-Fansuri wafat pada 1630 atau 1636, sebagaimana diduga beberapa sarjana, berarti dia menyaksikan mekarnya Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam besar di Asia Tenggara di bawah pemerintahan dua rajanya yang masyhur, Sultan Sayyid al-Mukammil (1590-1603) dan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu Aceh Darussalam menjadi pusat penulisan kitab keagamaan, ilmu pengetahuan dan sastra. Bahasa Melayu memainkan peranan penting sebagai bahasa komunikasi intelektual mendampingi bahasa Arab.

Risalah tasawuf Syekh al-Fansuri yang dijumpai ada tiga, yaitu Syarab al-`Asyiqin (Minuman Orang Berahi), Asrar al-`Arifin (Rahasia Ahli Makrifat) dan al-Muntahi.[6] Kitabnya Syarab al-`Asyiqin oleh al-Attas[7] dianggap sebagai karyanya yang pertama. Di samping itu ia dianggap pula sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru. Versinya yang lain diberi judul Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Ahli Tauhid)[8]. Sedangkan syair-syair tasawufnya yang dijumpai tidak kurang dari 32 ikat-ikatan atau untaian.[9] Syair-syairnya dianggap sebagai “syair Melayu” pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya.[10] Syamsudin al-Sumatrani (wafat pada 1630) menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba`i, yaitu sajak empat baris dengan dua misra’.[11]

Pada pembacaan pertama terhadap sajak-sajaknya, akan segera terlihat beberapa ciri yang menonjol, yang di antaranya kemudian menjadi semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Pertama, pemakaian penanda kepengarangan seperti faqir, anak dagang, anak jamu, ‘asyiq dan lain-lain, yang kesemuanya ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat rohani (maqam) tertinggi di jalan kerohanian atau ilmu suluk.

Kedua, banyak petikan ayat Quran, Hadis, pepatah dan kata-kata Arab, yang beberapa di antaranya telah lama dijadikan metafora, istilah dan citraan konseptual penulis-penulis sufi Arab dan Persia seperti Bayazid al-Bisthami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi, Fariduddin al-`Aththar, Jalaluddin al-Rumi, Fakhrudin `Iraqi dan lain-lain. Tidak kurang 1.200 kata-kata Arab dijumpai dalam 32 ikat-ikatan syair Hamzah Fansuri (Tasawuf Yang Tertindas, 219-227). Ini menunjukkan derasnya proses Islamisasi yang untuk pertama kalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad ke-16. Maka pantaslah negeri Aceh menyandang sebutan Serambi Mekah.

Di antara istilah dan ungkapan dari Quran dan Hadis yang dijadikan metafora pinjaman, citraan konseptual dan pusat renungan sufi ialah al-bayt al-ma`mur (Q 52:4) untuk menyebut Kakbah dan kalbu; qaba qawsayn awadna (53:9) = jarak lingkaran dua busur, menggambarkan dekatnya Tuhan dengan manusia; ayna-ma tuwallu fa-tsamma wajh Allah (Q 2:115) = ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah; kuntu kanzan, dari Hadis Qudsi “Kuntu kanzan makhfiyyan. . .” = Aku perbendaharan tersembunyi, merujuk pada alam ketuhanan (`alam al-lahut) ketika Tuhan hendak melahirkan ciptaan-Nya.[12]

Ketiga, dalam setiap bait terakhir ikat-ikatan syairnya sang sufi selalu mencantumkan nama diri dan takhallus-nya, yaitu nama julukannya yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau kota tempat dia dibesarkan.[13] Di situ penyair juga mengungkapkan tingkat dan bentuk pengalaman kerohanian yang diperolehnya di jalan tasawuf. Pada saat yang sama semua yang diungkapkan penyair dalam sajaknya adalah pengalaman pribadinya. Di sini penyair benar-benar menekankan pentingnya individualitas dalam penciptaan puisi (Teeuw 1994; Tasawuf Yang Tertindas, 136-146).

Keempat, sudah tentu kita jumpai pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan penyair-penyair sufi Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasan kesufian mereka berkenaan dengan cinta, kemabukan mistikal, fana’, makrifat, tatanan wujud dan lain-lain. Misalnya, tamsil seperti anggur atau arak kemabukan mistik dan gelas anggur; burung (roh), ikan yang menyatu dengan lautan, yang merujuk pada persatuan mistik; kekasih, yang lebih sering disebut Mahbub; lautan dan ombak, kapal atau markab, yang berlayar ke Bandar Tauhid; bukit rantang atau puncak gunung tempat seorang `asyiq bertemu dengan Kekasihnya; perjalanan malam menggunakan obor dan suluh (Muhammad), Kakbah dan lain sebagainya. Tamsil-tamsil bercorak Arab-Persia ini ditransformasikan ke dalam lingkungan budaya dan alam kehidupan Melayu. Anggur diubah menjadi arak dan serbat, gelas anggur diubah menjadi takir (tempat makan dari daun pisang).

Selain itu terdapat cukup banyak tamsil yang diambil dari alam kehidupan dan budaya Melayu, seperti kayu, kapur barus, perahu dengan perlengkapannya. Tamsil atau citraan-citraan simbolik ini dijadikan sarana untuk menggambarkan pengalaman kesufian penyair di sekitar maqam (peringkat rohani) dan ahwal (keadaan rohani) yang dicapai seorang penempuh jalan kerohanian (suluk). Semua itu menunjukkan luasnya pengetahuan penyair atas sastra Arab dan Persia, serta keakraban penyair dengan budaya masyarakatnya.

Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi (pilihan kata), rima dan unsur-unsur puitik lainnya, syair-syair Hamzah Fansuri menciptakan suasana ekstase (wajd) dalam pembacaannya, tidak kurang seperti suasana yang tercipta pada saat para sufi melakukan wirid, zikir dan sama’, yaitu konser musik kerohanian yang disertai dengan zikir, nyanyian dan pembacaan sajak.

Ciri lain dapat ditambahkan. Sebagaimana puisi penyair sufi pada umumnya, syair-syair Hamzah Fansuri memadukan metafisika, logika dan estetika secara seimbang.[14] Ini menunjukkan bahwa pengetahuan intuitif, rasional dan empiris sama-sama penting perannya dalam penciptaan puisi. Peringkat makna, yang merupakan dimensi batin sajak, berkaitan dengan metafisika dan etika sufi. Dalam peringkat makna inilah pesan moral dan kerohanian syair diletakkan. Peringkat surah (bentuk luar), yang merupakan dimensi lahirnya, mengacu pada estetika sufi. Dalam estetikanya penyair sufi memandang bahwa citraan yang diambil dari alam indrawi dapat dijadikan sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju alam kerohanian (pengalaman religius sufistik). Selanjutnya ungkapan puitik dan citraan-citraan simbolik itu diuntai dalam urutan yang logis.

Agar gambaran dari ciri-ciri tersebut jelas di sini akan dikemukakan contoh beberapa bait dari ikat-ikatan syair yang dimulai dengan baris “Thayr al-`uryan unggas sulthani”. Ikat-ikatan ini menggambarkan jiwa seseorang yang telah faqir, tak memiliki apa-apa selain kedekatan dengan dan cinta yang mendalam pada Tuhan. Kata al-thayr artinya burung (kadang-kadang Hamzah Fansuri menggunakan kata unggas, nuri atau burung pingai). Kata al-`uryan, arti harafiahnya ialah telanjang, maksudnya jiwa manusia yang tak merasa memiliki apa pun selain keterpautan pada Tuhannya.

Pemakaian tamsil burung bagi jiwa yang telah mengalami penyucian diri (thadkiya’ al-nafs), pertama-tama seperti dikatakan Braginsky (1993), diilhami oleh alegori Fariduddin al-`Aththar yang terkenal Mantiq al-Thayr (Musyawarah Burung)[15]; yang kedua ialah Hikayat Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah konsep sufi tentang hakikat kejadian yang sering ditransformasikan secara simbolik dari cahaya berkilauan dan mutiara menjadi burung pingai, untuk memberi kesan keindahan dan kepermaiannya yang luar biasa. Gambaran tersebut dijumpai dalam versi Melayu Hikayat Kejadian Nur Muhammad.[16]

Pencapaian burung dalam sajak tersebut dapat disetarakan dengan pencapaian tiga puluh ekor burung dalam Manthiq al-Thayr (Musyawarah Burung) karya Fariduddin al-Aththar, yang—setelah melakukan penerbangan jauh dan sukar melalui tujuh wadi atau lembah (kerohanian)—pada akhirnya berjumpa dengan Simurgh—raja diraja burung—di puncak bukit Qaf. Simurgh adalah lambang hakikat ketuhanan dan juga lambang diri rohani manusia. Sedangkan puncak bukit adalah lambang pencapaian tertinggi di jalan kerohanian, yaitu qurb, kekariban dan kedekatan dengan Tuhan.[17]

Berikut adalah ikat-ikatan XIV (MS Jak. Mal. 83) sebagaimana yang dimaksud:



Thayr al-`uryan unggas sulthani

Bangsanya nur al-rahmani

Tasbihnya Allah `Subhani’

Gila dan mabuk akan rabbani



Unggas itu terlalu pingai

Warnanya sempurna bisai

Rumahnya tiada berbidai

Duduknya da’im di balik tirai



Awwalnya bernama ruhi

Millatnya terlalu sufi

Tubuhnya terlalu suci

Mushafnya besar suratnya kufi



`Arasy Allah akan pangkalannya

Habib Allah akan taulannya

Bayt Allah akan sangkarannya

Menghadap Tuhan dengan sopannya



Sufinya bukannya kain

Fi al-Makkah da’im bermain

`Ilmunya zahir dan batin

Menyembah Allah terlalu rajin



Kitab Allah dipersandangnya

Ghayb Allah akan tandangnya

`Alam Lahut akan kandangnya

Pada da’irah Hu tempat pandangnya



Dzikr Allah kiri-kanannya

Fikr Allah rupa badannya

Syurbat tawhid akan minumannya

Da’im bertemu dengan Tuhannya



Suluhnya terlalu terang

Harinya tiada berpetang

Jalannya terlalu henang

Barang mendapat dia terlalu menang



. . .



`Ilmunya `ilmu yang pertama

Madzhabnya madzhab ternama

Cahayanya cahaya yang lama

Ke dalam surga bersama-sama



Ingat-ingat hai anak dagang

Nafsumu itu lawan berperang

Anggamu jadikan sarang

Citamu satu jangan bercawang



Siang hari hendaknya kau sha’im

Malam hari yogya kau qa’im

Kurangkan makan lagi dan na’im

Nafi dan itsbat jangan kau padam



Tuhan kita yang (em)punya `alam

Menimbul(kan) Hamzah yang sudah karam

`Isyqi-nya jangan kau padam

Supaya washil dengan laut dalam



(Catatan kata-kata Arab dan Melayu Lama: Nur al-rahmani = Cahaya Yang Rahman; Subhani = Maha Terpuji Aku (Bayazid al-Bisthami); pingai = cemerlang keemasan; bisai = elok, anggun; bidai = tirai penutup pintu dari rotan; da’im = selalu; ruhi = roh; millat = aliran agama; mushhaf = musyaf Quran; habib Allah = kekasih Tuhan; bayt Allah = rumah Tuhan; Fi al-Makkah = di negeri Mekah; `Alam lahut = alam ketuhanan; da`irah Hu = lingkaran Dia; syurbat tawhid = minuman tauhid; sha’im = berpuasa; qa’im = salat, maksudnya salat tahajjud; nafi itsbat = meniadakan dan mengiyakan, merujuk pada kalimat La ilaha illa Allah; `isyqi = cinta ilahi; washil = hampir, menyatu, maksudnya menyatu dengan lautan hakikat wujud).

Perkataan “Cahayanya cahaya yang lama” dapat dirujuk pada konsep Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyah, yaitu lambang hakikat sejati diri manusia, pertama-tama sebagai makhluk kerohanian dan kedua sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan sekaligus hamba-Nya. Adapun perkataan “ilmunya `ilmu yang pertama“ dapat dirujuk pada konsep sufi tentang pengetahuan primordial yang diperoleh manusia ketika masih berupa roh dan belum diturunkan sebagai makhluk jasmani (Hari Alastu), sebagaimana dinyatakan Quran 7: 172:
 “A-lastu bi rabbikum? Qalu bala syahidna”, artinya “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku bersaksi.” Ini merupakan pengakuan tauhid yang pertama. Dalam sajaknya penyair menyebut Tauhid sebagai “suluh yang terang” dan “jalan yang henang”.

Halangan terbesar dalam mencapai makna terdalam tauhid ialah hawa nafsu. Oleh sebab itu penyair menyatakan agar hawa nafsu dijadikan sebagai lawan berperang. Memerangi hawa nafsu disebut mujahadah atau jihad besar. Cara memeranginya ialah dengan memperbanyak ibadah dan melakukan penyucian diri di jalan agama.

Tema pencarian diri dalam syair ini dapat dihubungkan tema yang sama dalam sajaknya yang lain:


Ketahui hai anak Adam

Engkaulah haqiqat `alam

`Isyqi-mu jangan kau padam

Supaya dapat berpayung iram


. . .


Campurkan yang empat alam

Hancurkan di laut dalam

Syari’at Nabi yang khatam

Kerjakan da’im siang dan malam



“Payung iram” ialah payung kehormatan raja-raja. Sang Sufi hendak menyatakan bahwa jalan cinta (`isyq) akan membawa seorang ahli suluk mencapai hakikat dirinya dan dengan demikian mengenal kemuliaan dirinya sebagai hakikat ciptaan. Ini bisa dirujuk pada pendapat Rumi yang menyatakan bahwa Cinta merupakan cara paling tinggi dalam mencapai pengetahuan hakikat, sebab cintalah yang membawa pencinta menyeberangi keraguan menuju kepastian (haqq al-yaqin) dan menembus rupa lahir menuju hakikat yang batin.”[18]

Empat alam adalah empat anasir jasmani manusia, yaitu tanah, air, api dan udara. Di jalan cinta empat unsur jasmani ini dilebur dalam lautan wujud kerohanian. Dengan demikian ia menjadi bagian utuh dari kepribadian kita. Menurut para sufi semakin seseorang itu mencintai Tuhan, semakin taat pula dia menjalankan perintah-Nya. Misalnya sebagaimana dinyatakan sufi abad ke-8, Rabi’ah al-Adawiyah, Cinta adalah landasan ketaatan kepada Tuhan.”[19]

Memang, cinta dan pencarian diri—dua gagasan yang saling berkaitan—adalah tema penting dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Luluhnya diri jasmani (nafsu lahir) ke dalam diri rohani, merupakan tanda bahwa seorang ahli suluk telah mengenal hakikat dirinya. Pencapaian semacam itu disebut juga fana’ (hapus), dan sering disamakan dengan persatuan mistik (unio-mystika), yaitu menetapnya perasaan bersatu seorang `asyiq terhadap sang Mahbub di dalam batinnya. Hamzah Fansuri menyatakan dengan ungkapan lain dalam Ikat-ikatan XXVI MS Jak. Mal. 83:



Hamzah Syahr Nawi terlalu hapus

Seperti kayu sekalian hangus

Asalnya laut tiada berarus

Menjadi kapur di dalam barus



Diri jasmani ditamsilkan sebagai batang kayu, kehangusannya melambangkan kefanaannya, sedangkan kapur (kamfer) yang merupakan substansi kayu barus melambangkan diri rohani, hakikat yang tersembunyi di dalam diri jasmani.


Anak dagang, perahu dan laut

Tamsil anak dagang sangat banyak dijumpai dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Ia terutama berfungsi sebagai penanda kepengarangan atau kesufian. Sebagai penanda ia sering dipertukarkan dengan penanda lain seperti faqir dan anak jamu (orang yang bertamu). Alangkah serasinya apabila penanda ini dihubungkan dengan citraan simbolik perahu dan kapal serta laut. Pemakaian tamsil anak dagang dan faqir, diambil dari Quran dan Hadis. Di samping itu ia memiliki konteks sejarah, khususnya dengan penyebaran agama Islam dan pembentukan kebudayaannya di Nusantara.

Sebagaimana telah diketahui, agama Islam tersebar dan berkembang pesat di Asia Tenggara bersamaan dengan pesatnya kegiatan perdagangan antarpulau dan benua, terutama sejak abad ke-13 setelah berdirinya kerajaan Samudra Pasai pada 1272. Pada mulanya kegiatan tersebut hanya melibatkan pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia, tetapi kemudian melibatkan pula banyak pedagang Nusantara yang telah memeluk agama Islam. Sejak itu berdagang atau merantau jauh dari kampung halaman untuk melakukan urusan dunia, menjadi “budaya” orang Islam Nusantara dari Aceh sampai Makassar, dari Banten sampai Ternate, dari Malaka sampai Madura dan dari Padang dan Kalimantan sampai pesisir Jawa.

Kata dagang memang berarti merantau dan menjadi orang asing di sebuah negeri. Ia diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, yang bunyinya, “Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ‘abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (“Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azab kubur.”) Dalam syairnya Hamzah Fansuri menulis:



Hadis ini daripada Nabi al-Habib

Qala kun fi al-dunya ka’annaka gharib

Barang siapa da’im kepada dunia qarib

Manakan dapat menjadi habib



(Ik. VIII, MS Jak. Mal. 83)



Kekasih Tuhan dipertentangkan dengan orang yang mencintai dunia secara berlebihan. Dagang atau faqir sejati menurut penyair ialah dia yang karib dengan Tuhannya dan asing serta tak merasa terpaut pada dunia. Kata gharib, yang oleh penulis Melayu diterjemahkan menjadi dagang, berarti “Orang atau diri yang asing terhadap dunia,”[20] yaitu seorang ahli suluk yang menyadari bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang pergi merantau dan singgah sementara untuk mengumpulkan bekal. Kampung halamannya yang sejati bukan di dunia ini. Imam al-Ghazali dalam Kimiya-i Sa`adah mengatakan: “Dunia ini adalah sebuah pentas atau pasar yang disinggahi oleh para musafir dalam perjalanannya menuju ke negeri lain. Di sini mereka membekali diri dengan berbagai bekal agar supaya tujuan perjalanan tercapai.”[21]

Dalam kaitan ini Hamzah Fansuri menulis:



Pada dunia nin jangan kau amin

Lenyap pergi seperti angin

Kuntu kanzan tempat yang batin

Di sana da’im yogya kau sakin



Lemak manis terlalu nyaman

Oleh nafsumu engkau tertawan

Sakarat al-mawt sukarnya jalan

Lenyap di sana berkawan-kawan



Hidup dalam dunia upama dagang

Datang musim kita ’kan pulang

La tasta’khiruna sa’atan lagi kan datang

Mencari ma`rifat Allah jangan alang-alang



(Ik. XX , MS. Jak. Mal. 83)



Catatan: La tasta’khiruna sa`atan (Q 34:30) = tak dapat ditunda waktunya. Di lihat dari sudut agama anak dagang diberi arti positif oleh penyair. Ia adalah orang yang menyadari secara mendalam bahwa realitas sebenarnya kehidupan tidak berada di alam fenomena yang senantiasa berubah, melainkan di dalam Tuhan yang kekal. Tanda anak dagang sejati ialah cinta dan penyerahannya yang penuh kepada Tuhan, dan keyakinannya yang teguh terhadap ikhtiar dirinya dalam mengatasi segala kesukaran hidup.

Sama dengan gagasan dagang adalah gagasan faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata kepada Tuhan. Ada dua ayat Quran yang dijadikan rujukan, yaitu Q 2:268 dan Q 35:15. Dalam Q 2:268, dinyatakan lebih kurang, “Setan mengancammu dengan ketiadaan milik (al-faqr) dan menyuruhmu melakukan perbuatan keji. Tetapi Allah menjanjikan ampunan dan karunia kepadamu dari-Nya sendiri dan Allah mahaluas pengetahuan-Nya.” Adapun dalam Q 35:15 dinyatakan, “Hai manusia! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.”[22]

Ibn `Arabi, sufi abad ke-12 dari Andalusia, mengatakan bahwa karena Tuhan Mahakaya dan Maha Mencukupi (al-ghani), Dia tidak tergantung kepada siapa pun. Sebaliknya manusia yang pada hakikatnya tidak memiliki apa-apa (al-faqr), maka dia memerlukan (fuqara’) Tuhan. Keberadaan manusia, menurut tafsir ayat ini, tidak pernah bebas dari kewujudan Tuhan. Maka perkataan faqir kemudian diartikan kepada seseorang yang benar-benar terpaut kepada Tuhan, sebagai ganti dari ketidakterpautannya pada dunia.[23]

Mengikuti pengertian ini Hamzah Fansuri menyatakan bahwa faqir yang sejati ialah Nabi Muhammad SAW. Dalam seluruh aspek kehidupannya beliau benar-benar hanya tergantung kepada Tuhan. Ini ditunjukkan pada keteguhan imannya. Kata sang penyair:



Rasul Allah itulah yang tiada berlawan

Meninggalkan tha’am (tamak) sungguh pun makan

‘Uzlat dan tunggal di dalam kawan

Olehnya duduk waktu berjalan



(Ik. V, MS Jak. Mal. 83)



Perkataan ”`Uzlat dan tunggal di dalam kawan” dapat ditafsirkan bahwa, walaupun Nabi Muhammad SAW seorang yang gemar berzuhud, tetapi beliau tidak meninggalkan kewajibannya dalam kegiatan sosial. Sedangkan perkataan “Olehnya duduk waktu berjalan” dapat ditafsirkan bahwa walaupun hatinya hanya terpaut pada Tuhan, beliau tetap aktif mengerjakan urusan dunia dengan penuh kesungguhan dan pengabdian. Kata duduk, yaitu tidak bergerak atau berjalan, dapat ditafsirkan bahwa keyakinannya kepada Allah SWT sangat teguh. Jika ditafsirkan demikian maka gagasan faqir tidak dapat disamakan dengan asketisme pasif dan eskapisme.

Dalam kaitan ini penyair menyatakan dalam syairnya:



Dunia nin jangan kau taruh-taruh

Supaya dekat mahbub yang jauh

Indah sekali akan galuh-galuh

Ke dalam api pergi berlabuh



Hamzah miskin hina dan karam

Bermain mata dengan Rabb al-‘Alam

Selamnya sangat terlalu dalam

Seperti mayat sudah tertanam



(Ik. II MS Jak. Mal. 83)



Seorang faqir diumpamakan sebagai galuh-galuh, serangga seperti laron, yang selalu terpikat pada cahaya dan berani mengorbankan dirinya dalam api karena keinginannya bersatu atau mendekatkan (qurb) diri dengan cahaya. Para penyair sufi tidak henti-hentinya menggunakan citraan simbolik ini, karena seorang faqir adalah seorang yang berani mengorbankan diri untuk bersatu dengan Cahaya Yang Satu.

Anak dagang juga digambarkan sebagai anak mu’alim yang tahu jalan. Cintanya yang mendalam dan imannya yang teguh, memberinya pula pengetahuan diri yang mendalam. Hamzah Fansuri menulis:



Kenali dirimu hai anak dagang

Jadikan markab (kapal) tempat berpulang

Kemudi tinggal jangan kau goyang

Supaya dapat dekat kau pulang



Fawq al-markab (di geladak kapal) yogya kau jalis (duduk)

Sauhmu da’im baikkan habis

Rubing syari`at yogya kau labis

Supaya jangan markabmu palis



Jika hendak engkau menjeling sawang

Ingat-ingat akan ujung karang

Jabat kemudi jangan kau mamang

Supaya betul ke bandar kau datang



Anak mu`allim tahu akan jalan

Da’im berjalan di laut nyaman

Markabmu tiada berpapan

Olehnya itu tiada berlawan



(Ik. XVIII, MS Jak. Mal. 83)



Dalam syairnya yang lain (ikat-ikatan XVII) tamsil anak dagang diganti anak jamu:



Dengarkan hai anak jamu

Unggas itu sekalian kamu

`Ilmunya yogya kau ramu

Supaya jadi mulia adamu



Selanjutnya dalam ikat-ikatan tersebut anak jamu diumpamakan sebagai unggas yang tinggal dalam kandang syariat dan memiliki berbagai kelengkapan rohani:



`Ilm al-yaqin nama `ilmunya

`Ayn al-yaqin hasil tahunya

Haqq al-yaqin akan lakunya

Muhammad nabi asal gurunya



Syari`at akan tirainya

Tariqat akan bidainya

Haqiqat akan ripainya (ripinya)

Ma`rifat akan isainya (isinya)



Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir oleh penyair bukanlah orang miskin biasa dalam artian papa dan menderita, serta tak berpengetahuan. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi, sufi abad ke-11, dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf mengatakan, “Ibn al-Jalla mengatakan, ‘Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu.’ Perkataan ini mengandung arti yang sama dengan firman Tuhan, ‘Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’”[24]

Sedangkan Ali Utsman al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, mengatakan dengan mengutip seorang sufi, “Laysa al-faqr man khala min al-zad, inna-ma alfaqr man khala min al-murad, yakni “Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, “Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni “Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.”[25]

Dalam ikat-ikatan XIX Hamzah Fansuri menggambarkan bahwa seorang faqir merupakan pribadi yang elok sebab telah memfanakan seluruh potensi dirinya (akal, rasa, diri jasmani, nyawa) ke dalam tujuan spiritual kehidupan.



Sidang faqir empunya kata

Tuhanmu zahir terlalu nyata

Jika sungguh engkau bermata

Lihatlah dirimu rata-rata



. . .



Kekasihmu zahir terlalu terang

Pada kedua `alam nyata terbentang

Ahl al-Ma`rifa terlalu menang

Washilnya da’im tiada berselang



Hapuskan `aqal dan rasamu

Lenyapkan badan dan nyawamu

Pejamkan hendak kedua matamu

Sana kau lihat permai rupamu



Adamu itu yogya kau serang

Supaya dapat negeri yang henang

Seperti `Ali tatkala perang

Melepas Duldul tiada berkekang



Hamzah miskin orang`uryani

Seperti Isma`il jadi qurbani

Bukannya `Ajami lagi `Arabi

Nentiasa washil dengan Yang Baqi



`Uryan arti harfiahnya ialah telanjang, maksudnya orang yang hatinya tulus. Dalam bait tersebut Hamzah Fansuri menyamakan faqir dengan pribadi Nabi Ismail AS yang sedia mengurbankan nyawa dan dirinya dalam memenuhi perintah Tuhan. Seorang faqir adalah pribadi universal yang tidak terikat lagi oleh warna kulit, ras dan kebangsaan.

Sejak lama telah muncul anggapan luas bahwa tasawuf atau tarekat yang diajarkan Hamzah Fansuri mengabaikan syariat. Namun dalam beberapa bait syairnya Hamzah Fansuri justru menekankan betapa pentingnya syariat. Sebagai contoh dalam bait berikut:



Syari`at Muhammad terlalu `amiq (dalam)

Cahayanya terang di negeri Bayt al-`athiq

Tandanya ghalib sempurna thariq (jalan)

Banyaklah kafir menjadi rafiq (kawan)



Bayt al-`athiq itulah bernama Ka`bah

`Ibadat di dalamnya tiada berhelah

Tempatnya ma`lum di tanah Mekkah

Akan qiblat Islam menyembah Allah



(Ik. IV MS Jak. Mal. 83)



Dikatakan bahwa syari`at mengandung makna yang dalam dan di dalamnya membentang jalan yang sempurna menuju Tuhan. Bahkan menurut para sufi syari`at itu merupakan jalan besar, sedang tariqat merupakan lorong kecil.[26]


Syair Hamzah Fansuri



Pengaruh puisi sufi

Sebagai penyair besar dan pencetus syair, Hamzah Fansuri tidak hanya memengaruhi perkembangan sastra Melayu abad ke-17 dan ke-18, tetapi juga sesudahnya. Syair, sebagai bentuk puisi empat baris berpola bunyi akhir a-a-a-a, sangat digemari oleh penulis Nusantara sampai abad ke-20. Penanda kepenyairan faqir, dagang dan sejenis juga berkembang menjadi konvensi sastra Melayu. Bahkan penanda ini tidak hanya dipakai dalam penulisan syair tasawuf dan keagamaan, tetapi juga dalam syair hikayat, kisah pelipur lara dan penulisan karya bercorak sejarah. Sebagai contoh ialah bagian permulaan Syair Perang Makassar, yang ditulis oleh Encik Amin pada akhir abad ke-17 seusai perang tersebut:



Mohonkan ampun gharib yang faqir

Menyatakan asma di dalam syair

Maka patik pun berbuat sindir

Kepada negeri asing supaya lahir[27]



Tetapi berbeda dari penggunaannya dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang memperlihatkan kepercayaan diri yang kuat dan penuh percaya diri, dalam syair-syair sesudahnya penggunaan tersebut cenderung disertai nada iba dan getir, serta rasa kurang percaya diri.[28] Misalnya dalam Syair Negeri Mekah dan Medina (anonim):



Amma ba`du inilah nazam

Tiadalah faqir berpanjang kalam

Hati yang safi menjadi kelam

Sebab bercinta siang dan malam



. . .



Inilah nazam faqir yang gharib

Dalam percintaan dibawa nasib[29]



Nada mengiba juga terlihat dalam bait-bait permulaan Syair Dagang, karangan seorang penulis abad ke-17 yang berasal dari Minangkabau:



Kita di dunia hendaklah jaga

Inilah negeri tempat berniaga

Carilah dagangan yang banyak harga

Barang yang laku di negeri surga



Seperti dagang kita di dunya

Utang piutang miskin dan kaya

Tatkala di akhirat negeri yang kaya

Di sinilah tempat menerima dia



Sementara nyawa belumlah hilang

Carilah dagangan jangan kepalang

Itulah mudik dibawa pulang

Ke dalam akhirat negeri yang tenang[30]



Bandingkan bait-bait dalam syair Hamzah Fansuri yang menunjukkan kepercayaan diri yang besar dari penulisnya:



Hamzah Fansuri anak dagang

Da’im bersuhbat dengan hulubalang

Penuh dan pepak tahu berperang

Barang kerjanya jangan kau larang[31]



Perubahan nada pada pengucapan penanda anak dagang memperlihatkan adanya pergeseran peranan pengarang atau penyair pada akhir abad ke-17, khususnya sejak para sufi mengalami tekanan karena ajaran mereka dianggap berseberangan dengan paham para fuqaha’ (ahli fiqih). Pada masa Hamzah Fansuri seorang penulis dan ahli tasawuf memiliki kebebasan cukup besar, sebab bisa menjadi pemimpin yang mandiri dalam lingkungan masyarakat luas. Tetapi sesudah itu para penulis Melayu tergantung kepada para pelindungnya, raja atau bangsawan. Dengan adanya perubahan itu pula maka penekanan terhadap individualitas dalam penulisan karya sastra, sebagaimana telah dirintis Hamzah Fansuri pada abad ke-16 dan murid-muridnya pada abad ke-17, menjadi berkurang. Hal ini kentara dengan jarangnya penyair Melayu pada abad ke-18 mencantumkan nama diri dan takhallus-nya dalam syair-syair yang mereka karang.

Namun pengaruh jejak kepenyairan Hamzah Fansuri berlanjut hingga abad ke-20, khususnya pada beberapa karya penyair Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Amir Hamzah. Dengan munculnya kedua penyair ini individualitas kembali ditekankan, sebab bagi Pujangga Baru “Mengarang adalah mengungkapkan gerakan sukma.”[32] Meskipun tidak semua sajak Sanusi Pane memiliki afinitas dengan karya penyair Melayu klasik, namun sajaknya "Dibawa Gelombang” akan mengingatkan pembaca pada syair Hamzah Fansuri yang juga menggunakan tamsil perahu:



Alun membawa bidukku pelahan

Dalam kesunyian malam waktu

Tidak berpawang tidak berkawan

Entah kemana aku tak tahu



Jauh di atas bintang kemilau

Seperti sudah berabad-abad

Dengan damai mereka meninjau

Kehidupan bumi yang kecil amat



Aku bernyanyi dengan suara

Seperti bisikan angin di daun

Suaraku hilang dalam udara

Dalam laut yang beralun-alun[33]



Memang pola bunyi akhir sajak tersebut a-b-a-b seperti pantun, namun puitikanya adalah puitika syair. Bandingkan dengan bait-bait syair Hamzah Fansuri yang menggunakan tamsil perahu:



Jika hendak engkau menjeling sawang

Ingat-ingat akan ujung karang

Jabat kemudi jangan kau mamang

Supaya betul ke bandar datang



Anak mu`allim tahu akan jalan

Da’im berlayar di laut nyaman

Markabmu tiada berpapan

Olehnya itu tiada berlawan[34]



Lebih menonjol lagi, tentu saja pengaruh puisi sufi Melayu terhadap Amir Hamzah, terutama tamsil-tamsil dan estetika sufistiknya. Di sini akan ditunjukkan salah satu contoh syair Melayu yang menggunakan citraan simbolik wayang karangan penyair abad ke-17 Abdul Jamal dan membandingkannya dengan sajak “Sebab Dikau” karangan penyair abad ke-20 Amir Hamzah. Abdul Jamal, murid Hamzah Fansuri yang terkemuka, menulis:



Wahdat itulah bernama bayang-bayang

Di sana nyata wayang dan dalang

Mahbub-nya lingkup pada sekalian padang

Musyahadah di sana jangan kepalang[35]





Dalam "Sebab Dikau" Amir Hamzah juga menulis dengan tamsil yang mirip:



Maka merupa di datar layar

Wayang warna menayang rasa

Kalbu rindu turut menurut

Dua suka esa–mesra–



Aku boneka engkau boneka

Penghibur dalang mengatur tembang

Di layar kembang bertukar pandang

Hanya selagu, sepanjang dendang[36]





Dari uraian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri adalah penyair Melayu klasik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan puisi Melayu dan besar pula jasanya bagi pertumbuhan bahasa serta kebudayaan Melayu.






* Abdul Hadi W.M. adalah penyair dan pengajar di Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta. Buku puisinya antara lain Tergantung pada Angin (1982), Meditasi (1982) dan Madura, Luang Prabhang (2006); buku esainya antara lain Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik (1999) dan Tasawuf Yang Tertindas (2001).

Tulisan ini pernah dipresentasikan di seri Kuliah Umum Islam dan Mistisisme Nusantara di Teater Salihara, 21 Juli 2012.



[1] Di antara kajian yang penting tentu saja ialah disertasi J. Doorenbos De Geschriften van Hamzah Pantsoeri (1933); tesis Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970); penelitian bersama G.W.J. Drewes dan L. Brakel, Poems of Hamzah Fansuri (1986). Juga karangan L. Brakel seperti “Hamza Fansuri: Notes on Yoga Practice, Lahir dan Zahir, the Taxallos, a difficult passage in the Kitab al-Muntahi, Hamza’s likely place of birth and Hamza’s imagery” (JMBRAS vol. 52/1-1963:73-98). Karangan-karangan V.I. Braginsky seperti ”Once More on the Origin of Syair” (Majalah Ilmu-ilmu Humaniora. UGM Yogya, Maret 1991); ”Puisi Sufi: Perintis Jalan: Analisis Syair-Syair Hamzah Fansuri tentang Kekasih, Anggur dan Laut” (Ceramah Sudut Penulis di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992.

[2] Nuruddin al-Raniry, ulama dan penulis abad ke-17, mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri adalah tokoh pembawa ajaran tasawuf dalalah (sesat), zindiq dan mulhid (kafir). Sejak itu ajaran Hamzah Fansuri menjadi sumber perdebatan sengit. Beberapa sarjana modern ikut mengkafirkan Hamzah Fansuri, misalnya Winstedt (1923), Van Nieuwenhuijze (1955), Harun Hadiwijono 1975); sedangkan A.H. Johns (1967) menyebut Hamzah Fansuri sebagai penganut panteisme. Yang membela kesufian Hamzah Fansuri antara lain ialah Syed Muhammad Naquib al-Attas (1970), V.I. Braginsky (1992). Lihat Abdul Hadi W.M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2001),159-160. Selanjutnya ditulis Tasawuf Yang Tertindas.

[3] Di antara peneliti yang menganggap Hamzah Fansuri hidup sampai sekitar 1630-1636 ialah Kraemer (1921), Doorenbos (1933), Winstedt (1969), Ali Hasjm (1984, 1986) (Tasawuf Yang Tertindas, 118).

[4] Baca Ali Hasjmy, “Hamzah Fansuri Sastrawan Sufi Abad XVII” dalam Abdul Hadi W.M. & L.K. Ara, ed., Hamzah Fansuri, Penyair Sufi Aceh (Jakarta: Lotkala).

[5] Dinyatakan dalam bait penutup Ikat-ikatan Syair I (MS Jak.Mal. 83):



Hamzah nin `ilmunya zhahir

Ustadhnya Sayyid `Abd al-Qadir

Mahbubnya terlalu hadir

Dengan dirinya ‘nantiasa satir



[6] Telah ditransliterasi oleh J. Doorenbos (1933), Syed Muhammad Naquib al-Attas (1971). Lihat catatan no. 1.

[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University Malay Press, 1970).

[8] Ditransliterasi oleh Edwar Djamaris. Lihat Abdul Hadi W. M. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya (Jakarta: Mizan, 1995).

[9] Empat manuskrip itu ialah Cod. Or. Leiden 2016 (31 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3372 (15 ikat-ikatan); Cod. Or. Leiden 3374 (8 ikat-ikatan); dan Naskah Jakarta atau Jak. Mal. 83 (30 ikat-ikatan) (Tasawuf Yang Tertindas,198).

[10] Baca Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Origin of the Malay Sha`ir (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968); V. I. Braginsky, “Once More on the Origin of Sya`ir”. Majalah Ilmu-ilmu Humaniora. Yogyakarka: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1991. Braginsky, “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Analisis Sillar-syair Hamzah Fansuri tentang Kekasih, Anggur dan Laut.) Ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur 27-28 Oktober 1992.

[11] Baca, Ali Hasjmy, Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri oleh Syamsudin al-Sumaterani (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1975).

[12] Petikan ayat suci itu bukan sekadar tempelan. Ia sering berfungsi sebagai metafora pinjaman untuk memperkuat pernyataan penyair. Kadang-kadang dijadikan landasan utama penciptaan puisi. Tetapi peran terpenting ialah sebagai cahaya atau petunjuk bagi penyair dalam mengungkapkan pengalaman sufistiknya. Kata sang sufi: “Qur’an itu ambilkan dalil/Pada mizan Allah supaya tsaqil/Jika kau ambil syari`at akan wakil/Pada kedua `alam engkaulah jamil” (Ik. IV, MS Jak. Mal. 83) Ikat-ikatan XX terbanyak memuat potongan ayat Quran, diambil dari 12 surat (Tasawuf Yang Tertindas, 219-227).

10Takhallus nama julukan yang lazim digunakan para penulis Arab dan Persia, khususnya penulis sufi dan khususnya pula sejak abad ke-13. Penyair Persia biasa mencantumkan nama diri dan takhallus-nya apabila menulis ghazal, yaitu pada bait terakhir setiap untaian ghazal-nya. Kata takahllus berasal dari bahasa Arab, dari akar kata kh l, yang artinya ’menjadi bebas’. Berdasarkan hal ini takhalluas digunakan sebagai pembebasan diri. Lihat Henry Blochman, The Prosody of the Persian According to Saifi, Jami and Other Writers (St. Leonard-Amsterdam: Ad Orienttem Ltd and Philo Press, 1970), 91.

[14] Seyyed Hosein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Cambridge: Golgonoza Press, 1987),129-130.

[15] Mantiq al-Thayr adalah alegori sufi yang besar pengaruhnya terhadap sastra Islam Persia, Urdu dan Melayu. Burung-burung yang gelisah, lambang roh manusia yang rindu pada asal-usul kerohaniannya, bersidang untuk mencari jalan keluar dari keadaan kacau yang dialami masyarakat burung karena tidak mempunyai pemimpin. Berdasarkan petunjuk burung Hudhud, akhirnya mereka sepakat melakukan penerbangan ke puncak gunung Qaf, tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam. Perjalanan yang sangat sukar itu harus ditempuh melalui tujuh wadi atau lembah kerohanian, yaitu lembah talab (pencarian), lembah `isyq (cinta berahi), lembah ma`rifa , lembah istighna (kepuasan), lembah tawhid, lembah hayrat (ketakjuban), lembah fana, faqir dan baqa’. Dalam penerbangan itu hanya tiga puluh ekor yang sampai ke tujuan. Mereka heran, bingung dan akhirnya sadar bahwa Simurgh (artinya tiga puluh) tidak lain adalah diri mereka sendiri. Lihat M. Jawad Shakur (ed.), Manthiq al-Thayr (Tehran: Kitabfurush-I Tehran, 1962). Juga edisi C. Nott dalam bahasa Indonesia terjemahan Hartojo Andangdjaja, Musyawarah Burung (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). Pada bagian awal versinya yang asli terdapat uraian ringkas tentang Nur Muhammad. Kaitan syair Hamzah Fansuri dengan karya Fariduddin al-`Aththar dapat dilihat dalam Ikat-ikatan J XXXI, “Astananya di puncak gunung / Jalannya banyak berlurung-lurung / Pada rahmatnya kau minta tulung / Supaya dapat ke dalam tudung.”

[16] Edwar Djamaris, Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 112-117.

[17] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: The University of North Carolina Press, 1981), 421.

[18] Reza Arasteh, Rumi, the Persian, The Sufi (London: Routledge and Kegan Paul, 1974), 80.

[19] S.H. Nadeem, A Critical Apreciation of Arabic Mystical Poetry (Lahore: Islamic Book Services, 1979), 18-19.

[20] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Concluding Postscript to the Origin of the Malay Sha`ir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1971), 8.

[21] Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan, terjemahan Haidar Bagir (Bandung: Mizan,1984), 39.

[22] Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an (Brentwood Maryland: Amana Corp, 1983). 109 dan 1157-1158.

[23] B.A. Dar, What Should then to be Done O Peoples of the East, English Rendering of Iqbal’s Pas Chih Bayad Kard Ay Aqwam-i Sharq” (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 1977), 61.

[24] A.J. Arberry, The Doctrine of the Sufis, terjemahan Kitab al-Ta`arruf li Madzhabi ahl al-Tashawwuf karya Ibn Abi `Ishaq al-Kalabadzhi (Lahore: S.H. Muhammad Ashra, 1976), 118.

[25] R.A. Nicholson, The Kashf al-Mahjub: The Oldest Persian Treatise on Sufism karya `Ali Utsman Al-Hujwiri (New Delhi: Taj Company, 1982), 35.

[26] J.S. Tirmingham, The Sufi Orders in Islam (Oxford: Oxford University Press,1973), 5.

[27] C. Skinner, Syair Perang Mengkasar, VKI, XL (The Hague: Martinus Nijhoff, 1963) 26-27.

[28] G.L. Koster. Roaming Through Seductive Gardens: Reading in Malay Narrative (Disertasi Rijkuniversiteit Leiden, 1993), 93. Selanjutnya ditulis Roaming Through Seductive Gardens.

[29] Roaming Through Seductive Gardens, 95.

[30] Tasawuf Yang Tertindas, 182.

[31] Ik. XXIX, MS Jak. Mal. 83.

[32] Baca, A. Teeuw, Antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994).

[33] Sanusi Pane, Madah Kelana (Jakarta: Balai Pustaka, 1932), 16.

[34] Ik. XVIII MS, Jak. Mal. 83.

[35] J. Doorenbos, De Geschriften van Hamzah Pantsoeri (Leiden: NV VH Betteljes & Terpstra, 1922), 71.

[36] A. Teeuw, Modern Indonesian Literature, Vol. I (The Hague: Martinus Nijhoff, 1979), 99.

WallahHu'Alam

~*~*~*~*~*~*~*~


“TAUHID-KASIH” DARI SYEIKH HAMZAH FANSURI

Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17

Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh ajaran sufi dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang. Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. 
Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Al Wujud” yang dikembangkan dan dipraktekkan oleh Al Hallaj. 
Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. 
Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada abad ke-17. 
Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli mengatakan ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan). Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam.

Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang zuhud dan banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.

Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian di Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrasyah) di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel). Di tempat kelahirannya ini pula kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid, tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.

Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan. Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Hallaj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.

Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud yang melibatkan ahli-ahli tasawuf, ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin, yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.

Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, 
Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan penulis penganut paham Wahdat Al Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja. Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar dan dibunuh.

Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.

Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. 
Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.

Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.

Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari), menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern. Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.

Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan, ras, serta agama.

Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri

Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu.

Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:

“Sidang Faqir empunya kata, Tuhanmu Zahir terlalu nyata. Jika sungguh engkau bermata, lihatlah dirimu rata-rata”.

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau mengenali dirinya sendiri setiap saat.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu, suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi. Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra. Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9:

“Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu. Pejamkan hendak kedua matamu, di sana kaulihat permai rupamu”.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan sufi apa pun harus dimulai dengan “hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “No-Mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran Ilahi. Untuk mencapai kondisi “No-Mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa). 

Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh Hamzah Fansuri.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14:

“Hamzah Fansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah, akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.

Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri. Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). 
Proses pencarian Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi, akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri. Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri, sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.

Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda, pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri. Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama, karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1 di bait 11:

“Hamzah miskin orang terbebaskan, seperti Nabi Ismail menjadi qurban. Fansuri bukannya Persia lagi Arabi, selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.

Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih

Pandangan kesufian Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh Beliau:

“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata, Tauhid ma’rifat semata-mata, Hapuskan kehendak sekalian perkara, Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”

Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat semata-mata,” 
suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu Keadaan Murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.

Namun, tentu saja, untuk mencapai Keadaan Murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi ketika “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” 
Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu Keadaan Murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?

Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab Kelima:

“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.

“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….

“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih…………..”

Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Syeikh Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad SAW sendiri. Syeikh Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. 

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut itu satu bentuk, yaitu air.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih). Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul, jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.

Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih. Kemudian Syeikh Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula.”

Relevansi Ajaran Syeikh Hamzah Fansuri

Pesan-pesan yang dibawa Syeikh Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Syeikh Hamzah Fansuri sangat menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya “berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahluk-Nya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:

“Rahman itulah yang bernama semesta, Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja. Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya sama: dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.”

Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan Syeikh Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh fanatisme sempit. 
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah, atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira menurut pemahaman saya tentang pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.

Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang.

Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. 
Kita telah terkena propaganda dari kaum fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. 
Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.

Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Syeikh Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul “Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:

“Ilmunya ilmu yang pertama, mazhabnya mazhab ternama, cahayanya cahaya yang lama, ke dalam syurga bersama-sama.”

Di dalam syair ini, Syeikh Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Syeikh Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab Kasih”. 

Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi, kesimpulan Syeikh Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama atau kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.

Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “Surga-Kasih” dari Syeikh Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluk-Nya. Amin.

Oleh Ahmad Yulden Erwin

Pustaka:

A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.

Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.

Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

https://www.oneearthmedia.net/ind/2009/02/%E2%80%9Ctauhid-kasih%E2%80%9D-dari-syeikh-hamzah-fansuri/

~*~*~*~*~*~*~*~

MAKALAH

TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI
~*~*~*~
DosenPembimbing :
Dr. Mashum. M.Ag.

Disusunoleh :
Munawarotun (E03214013)
Moh.Husnan(E032114012)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
JURUSAN TAFSIR HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2014
~*~*~*~
KATA PENGANTAR
Segala puji allah yang telah memberikan kesehatan dan ilmu, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah TASAWUF MODERN HAMZAH FANSURI, makalah ini dibuat dengan harapan bermanfaat buat kita semua.
Pada kesempatan ini, saya ingin ucapkan terima kasih kepada Bpk.Dr. H. Mashum, M. Ag yang telah memberikan pengetahuan melalui tugas makalah ini.
Saya menyadari makalah ini jauh dari dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


Surabaya, 30 Oktober 2014

~*~*~*~*~*~*~*~

DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ………………………………………………................. ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. …….....iii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. ………1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………2
C. Tujuan ……………………………………………………….. ………2
D. Manfaat …………………………………………………….... ………2
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Hamzah Fansuri…………………………… ………..4
B. Ajaran Hamzah Fansuri …………..………………………… ………8
C. Konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri ...…………………….. ……...10
D. Karya-karya Hamzah Fansuri ……………………………………....16
III. PENUTUPAN
A. Kesimpulan …………………………………………………. ……...21
B. Saran ………………………………………………………... ……...22
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... ……….

~*~*~*~*~*~*~*~

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia, unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, bahkan hingga saat ini pun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian muslimin Indonesia. 
Hal ini terbukti dengan semakin maraknya kajian Islam di bidang ini dan juga melalui gerakan Tarekat Muktabarah yang masih berpengaruh di masyarakat.[1]
Hawash Abdullah menyebutkan beberapa bukti tentang besarnya peranan para sufi dalam penyebaran Islam pertama kalinya di Indonesia.
 Ia menyebutkan seorang pengembang Arab Syekh Abdullah Arif sebagai pembangun Negara Islam pertama di Aceh pada tahun 1177 M.[2] Lebih jauh lagi, ia menjelaskan kalau kita mau meneliti secara jujur, maka kita akan berkesimpulan bahwa di tahun-tahun pertama masuknya Islam ke nusantara, yang terbesar sekali jasanya adalah para sufi bukan golongan lainnya. 
Hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya dari Animisme, Dinamisme, maupun Budha-isme dan Hindu-isme karena tertarik pada ajaran sufi itu sendiri.[3]
Menurut Azyumardi Azra, tasawuf yang pertama kali menyebar dan dominan di Nusantara adalah yang bercorak falsafi, yakni tasawuf yang sangat filosofis dan cenderung spekulatif seperti konsep al-ittihad (Abu Yazid Al-Busthami), hulul (Al-Hallaj), dan wahdah al-wujud (Ibnu Arabi).[4] Para pengarang muslim di Indonesia adalah penyebar Islam sekaligus sufi. Pelopornya adalah Hamzah Fansuri.[5]
Syekh Hamzah Fansuri adalah salah satu ulama nusantara yang diakui oleh para ilmuan. Kepopuleran Hamzah disebabkan kealiman dan ketinggian ilmunya dalam bidang tasawuf. 
Berkat usaha Hamzah, tasawuf menjadi terkenal di nusantara.
Hamzah Fansuri bukan hanya dikenal sebagai tokoh sufi, budayawan, dan sastrawan, tetapi dia juga seorang pembaharu yang memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam perkembangan Islam. Hamzah Fansuri adalah tokoh yang membawa konsep wujudiyyah Ibnu Arabi ke nusantara.[6]
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Hamzah Fansuri ?
2. Apa saja ajaran-ajaran Hamzah Fansuri ?
3. Bagaimana konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri ?
4. Apa saja karya-karya Hamzah Fansuri ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan siapa itu Hamzah Fansuri.
2. Menjelaskan ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3. Menjelaskan konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4. Menjelaskan karya-karya Hamzah Fansuri.
D. Manfaat
1. Mengetahui siapa Hamzah Fansuri.
2. Mengetahui ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
3. Mengetahui konsep wujudiyyah Hamzah Fansuri.
4. Mengetahui karaya-karya Hamzah Fansuri.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Hamzah Al-Fansuri
Nama Hamzah Al-Fansuri di nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lain-lain seirama dengan Al-Hallaj. Syekkh Hamzah Al-Fansuri diakui sebagai salah satu pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah. 
Kesusastraan melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di nusantara dari abadnya hingga ke abad kini. Dalam buku-buku mengenai sejarah mengenai Aceh, namanya selalu diuraikan dengan panjang lebar.[7] Dede Maurexa pernah mengatakan dalam “Seminar Masuknya Islam ke Indonesia” sebagai berikut,
“Memerhatikan ulama-ulama Islam bermunculan pada Zaman dahulu berasal dari Fansuri juga misalnya Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Abdul Murad, Syekh Burhanuddin (murid Syekh Abdur Rauf Al-Fansuri) semua asal barus, Syamsuddin Pasai adalah murid dari Hamzah Fansuri. Ini membuktikan, ternyata dalam abad ke-16 saja telah tergambar dengan jelas tempat para ulama besar itu berada yang masih masyhur sampai sekarang.”[8]
Para pengkaji seperti Dorenboos (1933), Al-Attas (1970), Drewes dan Brakel (1986) dan lain-lain tak dapat menafikan bahwa Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasilkan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam bahasa melayu tinggi atau baku, bahasa yang kelak dipilih menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. 
Kecermelangan gaya penulisannya diakui sulit ditandingi oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia juga adalah pemula penyair Islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembara keilmuan dan filsafat, serta pembaru keilmuan pada zamannya.[9]
Meskipun keberadaan Al-Fansuri diyakini para ahli, tahun dan tempat kelahirannya hingga sekarang masih belum diketahui. Ketidakjelasan riwayat Al-Fansuri ini disebabkan tidak dimasukkannya nama Al-Fansuri dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yaitu Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin yang ditulis atas perintah Sultan.[10]
Kapan dan di mana Hamzah Fansuri dilahirkan tidak diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Barus pada akhir abad ke -16 Barus merupakan sebagian dari Kerajaan Aceh. Syekh Muhammad Naquib al-Attas (1965) dan Teuku Iskandar (1966) menyebutkan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus atau Fansur kira-kira pada abad ke-16 Masehi. 
Kedua ahli ini mengutip sebagian syair karya Hamzah Fansuri yang menjelaskan kelahiran tokoh ini sebagai berikut,
Hamzah Fansuri di negri Melayu,
Tempatnya kapur di dalam kayu . . .
atau Hamzah ini asalnya Fansuri ( Hassan, 1987 : 26 )[11]
Konon kemudian nama Fansuri digabungkan di belakang namanya menjadi Hamzah Fansuri. Penggabungan nama tempat asal sebagai gelar ini lazim pada waktu itu, seperti Abdul Qadir Al-Jailani, Abdur Rauf As-Singkel, dan Syamsuddin As-Sumatrani.[12]
Ulama berbeda pendapat tentang tempat kelahiran Hamzah Fanshuri pada penafsiran mereka akan salah satu syair Syekh Hamzah Fansuri berikut :
Hamzah nur asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
Daripada Abdul Qadir Sayyid Jailani.
Ada yang berpendapat bahwa “Syahru Nawi” (pada bait kedua) adalah “Bandar Ayuthia”, ibu kota kerajaan Siam pada zaman silam. Pendapat lain bahwa Syahru Nawi adalah nama lama dari tanah Aceh sebagai peringatan bagi seorang Pangeran Siam bernama Syahir Nuwi yang datang ke Aceh pada zaman dahulu, kemudian membangun Aceh sebelum datangnya Islam.[13]
Dalam syairnya yang lain disebutkan bahwa Hamzah Fansuri hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H. = 1589-1604 M.) :
Hamba mengikat syair ini,
Di bawah hadlarat raja wali,
Syah alam raja yang adil,
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja arif lagi mukammil.
Dalam sajak yang lain, yang diciptakan Hamzah waktu sedang berada di kota Quddus (Baital Maqdis/Darussalam) Palestina, dijelaskan bahwa tanah airnya adalah Tanah Aceh :
Hamzah gharib Uanggas Quddusi,
Akan rumahnya Baitul Makmuri,
Kursinya sekalian kapuri,
Di negeri Fansyuri minal asyjari.
Waktu sedang di rantau (kota Quddus/Palestina), Hamzah menerangkan bahwa rumahnya (tempat lahirnya) di Baitul Makmur, nama lain dari Aceh Darussalam, tegasnya di kampong Oboh Simapng Kiri (Singkel) yang telah berubah namanya menjadi “Negeri Fansuri”, semenjak Hamzah mendirikan Dayah (pusat pendidikan Islam) di kampung tersebut.[14]
Tampaknya, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa. Bahasa yang dikuasainya adalah bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahsa Melayu. Ini dapat diketahui dari kalimatnya,
“Amma Ba’du: Adapun kemudian daripada itu maka ketahui olehmu, hai saudaraku, bahwa al-faqir al-haqir adh-dhaif al-khalif Hamzah Fanshuri radhialluhu anhu, hendak menanyakan jalan kepada Allah dengan bahasa jawa dalam kitab ini saat sampai segala hamba yang tidak tahu bahwa bahasa Arab dan Farsi memahaminya.”[15]

B. Ajaran Tasawuf Hamzah Al-Fansuri
Pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri tentang Tasawuf banyak banyak dipengaruhi oleh Ibnu Arabi dalam paham Wahdah Al-Wujudnya.[16] Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia lainnya yaitu Abu Yazid Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd Al-Baghdadi, Ahmad Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn Arabi dan Al-Iraqi untuk menopang pemikiran tasawufnya.[17] Di antara ajaran-ajarannya adalah :

a. Allah. Allah adalah Dzat yang mutlak dan qadim, sebab Dia adalah yang pertama dan pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher mausia sendiri, dan bahwa Allah sendiri tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainnama tuwallu fa tsamma wajhu’llah” ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah SWT. di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi menafsirkan “wajah Allah SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan, seerti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal. Dalam salah satu syairnya Al-Fansuri berkata,
“Mahbubmu itu tiada berha’il,
Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil,
Fa tsamma wajhullah sempurna wasil,
Inilah jalan orang yang kamil.”

Hamzah Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti ubun- ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.[18]

b. Hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (mazzhar, kenyataan lahir) dan ada yang merupakan isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan , kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digammbarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali ke lautan.
Penggambaran yang pernah dilakukan Fansuri berupa jasad dan rohani diungkapkannya dengan syair,
“Hamzah Fansur di dalam Mekah,
Mencari Tuhan di Baitul Kabah,
Di Barus Kudus terlalu payah,
Akhirnya dapat di dalam rumah.”
Syair Fansuri yang lain adalah,
“Hamzah gharib,
Akan rumahnya baitul ma’muri,
Kursinya sekalian kafuri,
Di negeri Fansur minal asyjari.”
Kata-kata Fansuri ini merupakan sindiran terhadap Abu Yazid Al-Bustami yang mengatakan bahwa Tuhan berada di dalam jubahnya.[19]

c. Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang palih penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran langsung dari Dzat yang mutlak. Ini menunjukkan adanya semacam kesatuan antara Allah dan Manusia.

d. Kelepasan. Manusia sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna), tetapi karena ia lalai, pandangannya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam semesta ini adalah palsu dan bayangan.[20]

C. Konsep Wujudiyah Hamzah Fansuri
Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah suatu paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu Arabi yang memandang bahwa alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan , yang berarti yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan, yang diciptakan Tuhan pada hakekatnya tidak mempunyai wujud.
Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 memperkenalkan ajaran tasawuf wujudiyyah. Disebut wujudiyyah karena membicarakan wujud Tuhan dan wujud manusia atau makhluk-Nya yang lain. Ajaran ini mendapat tantangan dari banyak ulama yang hidup pada masa itu, karena dianggap sesat dan menyimpang dari ajaran syari’at. Hamzah Fanzuri mendapat perlindungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), sehingga ajarannya sempat berkembang di masa Aceh. Ajaran tasawuf seperti yang diajarkan Hamzah Fansuri ini terlebih dahulu muncul di Arab dan sekitarnya. Menurut Canon Sell, ajaran tasawuf yang ekstrem ini muncul sekitar abad kesembilan dan permulaan abad kesepuluh. Ajaran ini dipelopori oleh Al-Bayazid dari Bistam dan Al-Junayd dari Baghdad. Pengikut Al-Junayd yang terkenal adalah Al-Hallaj yang terkenal dengan ucapannya “onna alhag” (saya yang benar atau saya Tuhan). Ucapannya ini mendapat tantangan keras dari ulama ortodoks dan dianggap sebagai ucapan sesat. Sebagai konsekuensi dari ucapannya ini, Al-Hallaj dibunuh secara kejam. Walaupun sudah dibunuh, ajaran Al-Hallaj masih diikuti dan dipelajari. Di antara pengikutnya adalah Ibnu Arabi. Melalui Ibnu Arabi inilah Hamzah Fansuri mempelajari konsep wujudiyyah.
Dalam ajaran tasawuf wujudiyah, ditemukan adanya aspek-aspek yang sama dengan konsep wahdah al-wujud dari Husin bin Umar Al-Hallaj dan Abu Bakar Muhammad bin Ali Muhyi Al-din Al-Hatimi Al-Andalusi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Arabi. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan seolah-olah sama dengan makhluk-Nya (ittihad) atau Tuhan dapat menitis dan menjelma kepada semua benda ciptaan-Nya. Berdasarkan pandangan ini, banyak peneliti barat yang mengartikan wahdah al-wujud kedua tokoh tersebut dengan panteisme. Panteisme merupakan paham yang menganggap bahwa Tuhan adalah semua benda atau sebaliknya semua benda adalah Tuhan. Dengan demikian, menurut paham ini, makhluk sama dengan Tuhan. Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak serjana banyak yang tidak menyetujui bahwa konsep wahdah al-wujud sebagai paham panteisme karena paham keesaan dianut pengikut wahdah al-wujud itu mempunyai arti yang lebih, yaitu aspek rohaniah yang amat tinggi, (al-sir fi al-sir). Bagi seseorang yang menjalani taswuf yang sempurna memang dapat merasakan hakikat rantai-rantai rohaniah dengan Tuhan, tetapi manusia bisa sulit memikirkan hal itu karena kebenaran yang ada merupakan kebenaran rasa dzauq dan kasyaf yang merupakan hasil pencapaian dari amalan tasawuf seseorang itu.
Walaupun banyak dipengaruhi tokoh tasawuf yang ekstrem, baik yang berasal dari Parsi maupun Arab, Hamzah Fansuri dianggap sebagai seorang ahli tasawuf yang berhasil menjalani tasawufnya. Sebagian besar renik-renik ajarannya merupakan pengalaman pribadi. Dalam membicarakan hubungan antara manusia dengan Tuhan, Hamzah Fansuri selalu menggunakan kias dan ibarat, seperti kutipan berikut,
“Ada ahli hakikat dua bagi : setengah beranak Beristri dan berumah bertanaman, tetapi tiada hatinya lekat kepada tanaman dan pada anak istrinya di rumah. Apabila hatinya tiada lekat kepada sekalian itu, tiada hijab paddanya sungguh pun ia beranak beristri berumah bertanaman. Jikalau rumahnya dan tanamannnya, tiada ia duka. Jika kerajaan Sulaiman dan Iskandar diberi Allah Taala akan dia pun tiada ia suka, karena hina dan mulia sama padanya, tiada ia melihat dirinya melainkan Allah Subhanahu wa Taala juga, karena pada ahli hakikat, wujud sekalian alam, wujud Allah. Apabila sekalian Allah, niscaya daripada-Nya.
Seperkara lagi ketika ia memandang di luar dirinya, barang dilihatnya dirinya. Jika dilihatnya barang dipandangnya dirinya juga dipandangnya karena pada ahli hakikat alam dengan dirinya esa juga, tiada dua tiga,. Apabila alam sekalian dengan dirinya esa, niscaya baraang dilihatnya, seperti sabda Rasulullah SAW “Ra’itu rabbi bi ‘annirabbi” artinya kulihat Tuhanku dengan mata rahmat Tuhanku.”
Kutipan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dengan Tuhan di mata Hmazah Fansuri sanngat erat seperti hubungan dua orang kekasih. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan Al-Hallaj, yang menganggap Tuhan sebagai kekasihnya.[21]
Orang banyak menyanggah Fansuri karena paham wihdatul wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya.[22] Akan tetapi, Tuduhan bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan sesat telah dibuktikan oleh beberapa ahli bahwa tuduhan itu tidak benar. Di antaranya disebutkan dalam sajak-sajaknya. Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau penngikutnya-pengikutnya yang menyelewengkan ajaran tasawuf yang benar.

Pencarian terhadap Tuhan yang dilakukan olah Hamzah Fansuri menujukkan bahwa seorang sufi lebih meletakkan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Seorang sufi menginginkan agar manusia itu berdaulat pada dirinya, bebas melakukan pilihan dengan segala resikonya. Keinginan ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia itu ditakdirkan Tuhan untuk menjadi khlafiah di muka bumi ini. Perjumpaan dengan Tuhan tidak dating dengan sendirinya, melainkan harus direalisasikan melalui pembentukan diri dan pencarian diri. Hamzah Fansuri mengatakan bahwa “Wujud dirinya esa juga”. Ungkapan ini harus diartikan sebagai tahap terakhir perjalanan seorang sufi, yakni makrifat. Dalam makrifat, kehendak Tuhan dan kehendak manusia telah menyatu. Kata “wujud” tidak dapat diartikan sebagai ada secara fisik, meainkan keberadaan atau eksistensi.
Seseorang yang telah mencapai tahap makrifat akan mampu memancarkan sifat-sifat ilahi yang diberikan kepadnya. Kehendak Tuhan telah menyatu dengan kehendak dirinya dan tidak berpisah dengan Tuhan.
Kesalahan dalam melihat paham wujudiyyah yang diajarkan Hamzah Fansuri sebagai menyimpang dari ajaran Islam agaknya bersumber dari kenyataan bahwa paham itu melahirkan kaum zindiq yang menyimpang dari ajaran agama. Dalam sajak-sajaknya, Hamzah Fansuri menunjukkan bahwa ia tidak sepaham dengan kaum zindiq, yakni golongan wujudiyyah yang berhaluan mulhidah (menyimpang dari kebenaran). Hamzah Fansuri tetap berpegang pada wujudiyyah murni dan belum menyimpang muwahhidah (kesatuan dengan Tuhan).
Beberapa bait yang dikutip dan dipetik dari Syair Perahu akan menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri tidak meninggalkan rukun iman dan tauhid,
“Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan suatu syair terlalu indah
membetuli jalan tempat berpindah
di sanalah I’tikad dibetuli sudah

Wahai muda kenali dirimu
ialah perahumu tamsil dirimu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akherat jua bekal hidupmu

Hai muda arif budiman
hasilkan kemudi dengan pedoman
alat perahumu jua kerjakan
itulah jalan membetuli insan

Ingati sungguh siang dan malam
lautnya bertambah deras dalam
angin pun keras ombaknya rencam
ingati perahu jangan tenggelam
Sampailah ahad dengan masanya
datanglah angin dengan paksanya
berlayar perahu sidang budimannya
berlayar itu dengan kelengkapannya

Wujud Allah nama perahunya
ialah Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudianya
yakin akan Allah nama pawangnya

Tuntuti ilmu jangan kepalang
di dalam kabur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana datang
menanyakan jikalau ada sembahyang

Kenal dirimu hai anak Adam
tatkala di dunia terangnya alam
sekaranng di kubur tempatu kelam
tiadalah berbeda siang malam
Dalam petikan sajak yang indah ini, Hamzah Fansuri dengan tepat memilih imaji simbolik di samping pertualangan yang mampu membawa pembaca ke suasana ektase seperti dalam zikir.[23]

Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut :
1. Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam.
2. Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad yang pada hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3. Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan ), yang pada hakekatnya khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4. Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan dengan jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan kerinduan kepada mati.
5. Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna.
6. Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi Allah).[24]

D. Karya Hamzah Fansuri

Karya Hamzah Fansuri ditulis dalam bentuk sya’ir dan prosa. Syair-syair Hamzah Fansuri dianggap sebagai tonggak perkembangan sastra religious di Nusantara. Penggunaan bahasa melayu dalam syairnya membuat bahasa ini menjadi bahasa resmi pengembangan ilmu pengetahuan dan perdagangan.[25] Windstet (1969:141) dan al-Attas (1970:178 ) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan orang pertama kali menulis ilmu tasawuf dalam bentuk syair.[26]
Di antara karya Hamzah Fansuri yg berbentuk syair adalah :
1. Syair Burung Pingai
2. Syair Dagang
3. Syair Sidang Fakir
4. Syair Ikan Tongkol
5. Syair Perahu
6. Syair Burung Pungguk
7. Thair al-‘Uryan
Syair Burung Pingai
Syair Burung Pingai bercerita tentang burung pingai yang melambangkan jiwa manusia dan juga Tuhan. Syair ini mengibaratkan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam syair ini, Hamzah mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dengan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam. Syair ini sepertinya dipengaruhi oleh mantiq al-thair karangan al-Athar. Hamzah menjelaskan hakikat keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan filsafat sufistik ia mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk dalam kebersatuannya dengan Tuhan sehingga Tuhan mewarnai keseluruhan wujudnya.
Syair Perahu
Syair Perahu melambangkan tubuh manusia sebagai perahu yang berlayar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Jika manusia kuat memegang keyakinan la ilaha illa Allah, maka dapat dicapai tahap yang melebur perbedaan antara Tuhan dan hamba-Nya.
Syair Dagang
Syair Dagang berbeda dengan syair-syair Hamzah lainnyayang bersifat mistis dan melambangkan hubungan Tuhan dan manusia. Syair dagang menceritakan tentang kesengsaraan seorang anak yang hidup di rantau.
Karangan-karangan Hamzah Fansuri yang berbentuk prosa (kitab ilmiyah) adalah :
1. Asrar al-Arifin fi Bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tauhid
2. Syarab al-‘Asyiqin
3. Al-Muntari
4. Al-Muhtadi
5. Ruba’I Hamzah Fansuri

Asrar al-Arifin fi Bayan ‘ilmu al-Suluk wa al-Tauhid
Dalam pendahuluan kitab ini, dinytakan bahwa manusia dijadikan Allah dari tiada dan diberi rupa lengkap dengan telinga, hati, serta nyawa dan budi. Oleh karena itu, manusia hendaknya mencari Tuhan dengan mengenal makrifat kita. Dalam upaya menolong umat agar mengenal makrifat Allah, sifat, dan asma-Nya, Hamzah Fansuri mengarang 15 bait syair serta dengan syarahnya. Hamzah Fansuri, dalam syair itu, menjelaskan bahwa Tuhan kitalah yang mempunyai zat. Zat iru tidak berpisah dengan sifat-Nya. Selanjutnya, disebutkan bahwa di antara sifat-Nya yaitu hayat, ilmu, iradat, kodrat, kalam, sami’ (mendengar), dan bashir (melihat). Dijelaskan pula bahwa makrifat Allah itu sama dengan haqiqah Muhammad yang juga disebut dengan nur Muhammad. Setelah smpurna mengetahui dan mengenal Dia, perlu mengajarkan syariat.

Syarab al-‘Asyiqin
Kitab ini juga dikenal dengan Zinat al-Muwafidin (perhatian segala orang yang muwahidi). Syarab al-‘Asyiqin terdiri atas tujuh bab. Hamzah Fansuri mengarang kitab ini dalam bahasa Jawi (melayu) bagi orang yang tidak mengerti bahasa Arab dan Persi. Bab 1 menyatakan perbuatan syariat. Bab 2 menyatakan bahwa tarekat tiada lain daripada hakikat karena tarekat itu permulaan hakikat. Bab 3 menyatakan bahwa hakikat adalah kesudahan jalannya. Bab 4 menyatakan bahwa manusia yang sudah mencapai tataran makrifat mengetahui rahasia nabi serta sifatnya. Bab 5 menyatakan kenyataan zat Tuhan yang maha tinggi dan tidak dapat dipikirkan. Bab 6 menyatakan sifat Allah SWT yang sudah dijelaskan dalam bab 4. Bab 7 menyatakan berahi dan syukur.
Al-Muntahi

Al-muntahi merupakan pedoman bagi manusia yang sudah arif dalam ajaran wujudiyyah. Dalam kitab ini, Hamzah Fansuri mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, hadis, ucapan para sufi, dan penyair untuk menjelaskan Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya).[27]

Karya-karya Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana. Yang banyak membicarakan tentang Hamzah Fansuri adalah Prof. Muhammad Naquib Al-Attas dengan beberapa judul bukunya yang berkaitan dengan Fansuri. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Muhammad Naquib Al-Attas mempelajari biografi Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph. D masing-masing. Karya prof. Muhammad Naquib di antaranya :

1. The Misticism of Hamzah Fansuri (disertasi 1996), University of Malaya Press 1970.
2. Raniri and Wujudiyyah, IMBRAS, 1966.
3. New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967.
4. The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968.
Adapun J. Doorenbos pernah menyalin Syair Perahu dari De Geschriften dan Hamzah Fansuri kemudian dikumpulkan oleh Sultan Taqdir Ali Syahbana yang dimuatnya dalam buku “Puisi Lama”.[28]


[1] Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag., Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 241.
[2] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas, 1930, hlm. 10.
[3] Ibid, hlm. 15.
[4] Sholihin, Anwar, op.cit., hlm. 242
[5] Drs. Samsul Munir Amin, M. A., Ilmu Tasawuf, Jakarta: Terun Grafica, 2012, hlm.
[6]
[7] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2010, hlm. 340.
[8] Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya : Al-Ikhlas, 1930, hlm. 35.
[9] Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag. Dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 244.
[10] Abdul Hadi W. M., Hamzah Al-Fansuri, Bandung : Mizan, 1995, hlm. 14.
[11] Dr. Edward Jamaris dan Drs. Saksono Prijanto, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarata : Booklet budaya, 1995/1996, hlm. 1.
[12] Ibid.;
[13] Abdullah, op. cit., hlm. 36.
[14] Abdul Hadi W. M. dan L. K. Ara, Hamzah Fanshuri Penyair Sufi Aceh, Jakarta : Lotkala, 1984, hlm. 6-7.
[15] Abdullah, op. cit., hlm. 38.
[16] Anwar, op. cit., hlm. 342.
[17] Abdul Hadi W. M, Hamzah Fansuri: Risalah tasawuf dan Puisi-puisinya, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 20-21.
[18] Anwar, op. cit., hlm. 342-343.
[19] Ibid,hlm. 343-344.
[20] Solihin dan Anwar, op. cit. hlm. 248-249.
[21] Djamaris, Prijanto, op. cit., hlm. 6-8.
[22] Anwar, op. cit., hlm. 341
[23] Djamaris, Prijanto, op. cit., hlm. 9-11.
[24] T. Ibrahim Alfiyan, Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, hlm. 8.
[25]
[26]
[27]
[28] Abdullah, op. cit., hlm. 37-38.

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah salah seorang tokoh sufi di Indonesia. Fansuri juga melahirkan banyak karya-karya yang berkaitan dengan tasawuf. Dari penjelasan yang sudah dikemukakan di makalah ini, bisa dapat diambil beberapa benang merah sebagai berikut,
1. Tasawuf menjadi bagian penting dalam perkembangan Islam di Indonesia dengan bukti-bukti yang ada. Bahkan, orang Indonesia yang awalnya non-Islam bersedia masuk Islam karena tertarik dengan ajaran tasawuf.
2. Salah satu ulama sufi Indonesia yang terkenal adalah Hamzah Fansuri.
3. Waktu dan tempat Hamzah Fansuri dilahirkan masih belum diketahui dengan pasti, karena riwayat tentang Fansuri tidak dimasukkan ke dalam dua sumber penting sejarah Aceh, yaitu Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin.
4. Ulama berbeda pendapat tentang tempat kelahiran Hamzah Fansuri karena berbedanya penafsiran mereka terkait salah satu syair Hamzah Fansuri.
5. Hamzah Fansuri adalah seorang ahli bahasa, yaitu bahasa Arab, bahasa Farsi, dan bahasa Melayu, seorang sufi dan seorang pembaharu Islam di Indonesia.
6. Pemikiran-pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh Abu Yazid Al-Busthami, Mansur Al-Hallaj, Fariduddin Attar, Junayd Al-Baghdadi, Ahmad Al-Ghazali, Jalal Al-Din Al-Rumi, Al-Maghribi, Mahmud Shabistari, Al-Iraqi dan Al-Jami. Di antara mereka Al-Busthami dan Al-Hallaj adalah idola Fansuri.
7. Ajaran-ajaran Hamzah Fansuri di antaranya adalah yang berkaitan dengan Allah, hakikat wujud dan penciptaan, manusia, dan kelepasan. Pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang terkenal adalah wujudiyah.
8. Konsep wujudiyah Fansuri mendapat banyak banyak tantangan dari ulama yang semasa dengannya, karena ajarannya dianggap menyimpang dari ajaran syari’at. Akan tetapi, Hamzah Fansuri bisa membuktikan bahwa ajarannya tidak menyimpang dengan mengarang beberapa syair.
9. Hamzah Fansuri memiliki banyak karangan, baik yang berbentuk prosa maupun syair. Karangan yang berbentuk prosa adalah Asrar al-‘Arifin fi Bayan ‘Ilmu Suluk wa al-Tauhid, Syarab al-‘Asyiqin, Al-Muntari, Al-Muhtadi, dan Ruba’I Hamzah Fansuri. Karangan yang berbentuk syair adalah Syair Burung Pingai, syair Dagang, Syair Sidang Fakir, Syair Ikan Tongkol, Syair Perahu, Syair Burung Pungguk, dan Thair al-‘Uryan.
B. Saran
Penjelasan tentang Hamzah Fansuri, ajaran-ajarannya, dan karya-karyanya sudah dijelaskan dalam makalah ini. Dari adanya makalah ini diharapkan pembaca bisa mendapat pencerahan siapa Hamzah Fansuri, apa karya-karya, dan bagaiman ajaran-ajarannya, sehingga tidak ada salah pemahaman tenatang Hamzah Fansuri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas. 1930.
Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia. 2010.
Hadi W.M, Abdul, L.K, Ara, Hamzah Fansuri Sang Penyair Sufi Aceh, Jakarta: Lotkala. 1984.
Djamaris, Edwar, Prijanto, Saksono, Hamzah Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniri, Jakarta: Bokklet Budaya. 1995.

Petikan: http://hanslakomesem.blogspot.com/2015/02/makalah-tasawuf-modern-hamzah-fansuri.html

WALLAHU'ALAM.



Rujukkan..
https://tanwir.my/siapakah-syeikh-hamzah-fansuri/

http://telapaksireh.blogspot.com/2013/05/hamzah-fansuri.html

http://syairfansuri.blogspot.com/

http://uthman-elmuhammady.blogspot.com/

. .
~***~LadingEMAS~***~

No comments:

Post a Comment