Thursday, January 27, 2011

ILMU ~ Ada-adab menuntutnya & Displinnya

Tata Cara Menuntut Ilmu
Jumat, 04 Januari 2008 21:25


Sesiapa belum menekuni dasar-dasar ilmu, niscaya tidak akan bisa menguasai ilmu yang diinginkan. Sesiapa yang ingin mendapatkan ilmu langsung sekaligus, maka ilmu itu akan hilang dari dia secara sekaligus pula. Ada sebuah ungkapan: "Penuh sesaknya ilmu yang didengarkan secara berbarengan akan menyesatkan pemahaman." Dari sini, maka harus ada pendasaran terhadap setiap ilmu yang ingin engkau kuasai dengan cara menekuni dasar-dasar ilmu dan kitab yang ringkas pada seorang guru yang mumpuni, bukan dengan cara otodidak saja serta harus berjenjang dalam belajar.
Allah SWT berfirman (yang artinya), "Dan Al-Qur'an itu telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan[faham] kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian." (Al-Israa': 106).

"Berkatalah orang-orang kafir: 'Mengapa Al-Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?' Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)." (Al-Furqaan: 32).

"Orang-orang yang telah kami beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ...." (Al-Baqarah: 121).

Dasar ilmu itu didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah juga pada beberapa kaedah yang diambil dari hasil penelitian dan pengamatan yang sempurna terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ini adalah yang paling penting yang harus dikuasai oleh seorang penuntut ilmu.

Sebagai contoh adalah kaidah: "Di mana ada kesulitan di situ ada kemudahan." Kaedah ini bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Dalil dari Al-Qur'an di antaranya sebagai berikut. ".... Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ...." (Al-Hajj: 78).
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Rasulullah saw. kepada Umran bin Hushain:
  "Solatlah dengan berdiri, lalu jika engkau tidak mampu maka dengan duduk, dan kalau tidak mampu juga maka dengan berbaring." (HR Bukhari).
Juga, sabda beliau, "Kalau saya perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu, maka kerjakanlah semampu kalian." (HR Bukhari dan Muslim).

Ini adalah sebuah kaedah yang jika engkau membawakan seribu masalah yang bermacam-macam, niscaya engkau akan bisa menghukuminya berdasarkan pada kaedah ini. Namun, seandainya engkau tidak mengetahui sebuah kaidah, engkau akan sulit memecahkan meskipun hanya dua permasalahan sekalipun.

Berikut ini beberapa perkara yang harus engkau perhatikan pada setiap disiplin ilmu yang hendak engkau pelajari.

1. Menghafal kitab ringkasan tentang ilmu tersebut.
2. Menguasainya dengan bimbingan guru yang ahli di bidangnya.
3. Tidak menyibukkan diri dengan kitab-kitab besar yang panjang lebar merinci permasalahan sebelum menguasai pokok permasalahannya.
4. Tidak pindah dari satu kitab ke kitab lainnya tanpa ada sebab (tuntutan), karena ini termasuk sifat bosan.
5. Mencatat faidah dan kaidah ilmiah.
6. Membulatkan tekad untuk menuntut ilmu dan meningkatkan keilmuannya, serta penuh perhatian dan mempunyai keinginan keras untuk bisa mencapai derajat yang lebih tinggi sehingga bisa menguasai kitab-kitab besar dan panjang lebar dengan sebuah dasar yang kokoh.

Pertama, Menghafal Kitab yang Ringkas tentang Ilmu Tersebut

Misalnya, kalau engkau menginginkan mempelajari ilmu nahwu, hafalkanlah kitab yang ringkas tentang nahwu. Kalau baru mulai belajar, engkau bisa menghafalkan Al-Ajrumiyyah, karena kitab ini jelas dan lengkap. Lalu, lanjutkan ke matan Alfiyah karya Imam Ibnu Malik, karena kitab ini adalah inti sari ilmu nahwu.

Dalam ilmu fiqih, hafalkanlah kitab Zaadul Mustaqni', karena kitab ini telah disyarah (diulas), diberi catatan kaki, dan diajarkan, meskipun sebagian matan yang lain ada yang lebih baik dari satu sisi, namun kitab ini lebih baik dari sisi banyaknya permasalahan yang terdapat padanya, juga dari sisi sudah diberi syarah dan catatan kaki.

Dalam ilmu hadits, hafalkanlah 'Umdatul Ahkaam, dan kalau mau lebih, hafalkanlah Buluughul Maraam. Dan, kalau engkau baru memilih salah satu di antara keduanya, hafalkanlah Buluughul Maraam saja, karena kitab ini lebih baik dan haditsnya lebih banyak, juga karena pengarangnya Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menjelaskan derajat haditsnya, yang hal ini tidak terdapat pada kitab 'Umdatul Ahkam. Walaupun sebenarnya derajat hadits pada kitab 'Umdatul Ahkam sangat jelas, karena kitab ini tidak memasukkan kecuali hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Dalam ilmu tauhid, yang terbaik adalah kitab Tauhid karya Syaikul Islam Muhammad bin 'Abdul Wahhab. Dan, akhir-akhir ini sudah ada yang menakhrij hadits-haditsnya serta menjelaskan yang dha'if pada sebagiannya.

Dalam bab nama dan sifat Allah, yang terbaik adalah kitab Al-Aqiidah al-Waasithiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Kitab ini lengkap, penuh berkah dan faedah. Dan, begitu seterusnya, ambillah dalam setiap disiplin ilmu kitab yang ringkas, lalu hafalkanlah.

Kedua, Menghafalnya dengan Bimbingan Guru yang Ahli di Bidangnya

Mintalah keterangan kitab yang engkau pelajari kepada seorang guru yang baik, ahli, dan amanah. Hal ini agar lebih selamat dari penyimpangan pemahaman. Juga, engkau akan lebih mudah dalam memahami dan lebih cepat.

Imam Ash-Shafadi berkata: "Oleh karena itu, para ulama berkata: 'Janganlah kamu belajar dari seorang shahafi (orang yang belajarnya otodidak) juga jangan dari mush-hafi (orang yang belajar baca Al-Qur'an secara otodidak).' Maksudnya, jangan kamu belajar Al-Qur'an dari seseorang yang hanya belajar lewat mush-haf, dan jangan belajar hadits dan ilmu lainnya dari orang yang belajarnya otodidak."

Oleh karena itu, kita dapati ribua biografi para ulama dari zaman ke zaman dalam berbagai dimensi ilmu selalu penuh memuat nama-nama guru dan murid-muridnya, baik yang sedikit maupun banyak. Dan, lihatlah para ulama yang banyak gurunya, sehingga ada di antara mereka yang gurunya mencapai ribuan, sebagaimana biografi ulama bujangan dalam kitab Al-Isfaar.

Tidak disarankannya belajar secara otodidak atau kepada orang yang belajarnya otodidak dimaksudkan untuk terhindar dari bacaan atau pemahaman yang menyimpang. Dan, tidak disarankannya belajar tanpa guru jika kitab yang engkau baca tidak ada keterangnnya. Adapun kalau kitab itu ada keterangannya seperti mush-haf Al-Qur'an yang terdapat pada zaman sekarang, maka urusannya lain. Karena, hal itu sudah jelas. Tetapi, jika kitab yang engkau baca itu tidak ada penjelasannya atau keterangannya, hendaknya engkau didampingi oleh seorang guru agar terhidar dari bacaan atau pemahaman yang salah.

Ketiga, Tidak Menyibukkan Diri dengan Kitab-Kitab Besar dan Panjang

Ini masalah yang penting bagi pelajar, yaitu hendaknya dia menguasai kitab-kitab yang ringkas terlebih dahulu, baru nanti masuk pada kitab-kitab yang besar. Tetapi, ada sebagian pelajar yang bersikap aneh, dia mempelajari kitab yang besar, lalu apabila duduk di sebuah majelis ilmu, dia berkata, "Telah berkata pengarang kitab ini, berkata pengarang kitab itu, dan seterusnya." Ini untuk menunjukkan bahwa dia banyak membaca kitab. Bagi pelajar pemula, ini langkah yang tidak tepat. Kami nasihatkan, mulailah dari kitab yang kecil dan ringkas, lalu apabila sudah engkau kuasai dengan baik, barulah engkau menyibukkan diri dengan kitab-kitab yang besar dan panjang.

Keempat, Jangan Berpindah dari Satu Kitab ke Kitab Lainnya tanpa Ada Sebab

Berpindah dari satu kitab ke kitab lainnya, baik kitab yang ringkas atau yang tebal-tebal, merupakan penyakit yang berbahaya, yang akan bisa memutus pelajaran seseorang serta membuang-buang waktunya. Kecuali, hal itu ada sebabnya, misalnya engkau tidak menemukan guru yang bisa mengajarkan kitab itu, tetapi menemukan guru lain yang bagus dan amanah yang mengajarkan kitab ringkas lainnya.

Kelima, Mencatat Faedah dan Kaidah Ilmiah

Ini juga perkara yang penting. Kalau ada sebuah faedah yang hampir-hampir tidak pernah terbayangkan di pikiran atau jarang disebut dan dibahas atau ada perkara baru yang perlu untuk diketahui hukumnya, segeralah menulis dan mencatatnya, jangan berkata:
 "Itu sesuatu yang saya ketahui dengan baik, tidak perlu mencatatnya, insya Allah saya tidak akan lupa." Karena, engkau akan sangat cepat melupakannya.

Adapun mengenai kaidah, pahamilah dengan baik serta bersungguh-sungguhlah dalam memahami apa yang disebutkan para ulama tentang alasan sebuah hukum. Karena, semua alasan yang berhubungan dengan hukum masalah fiqih bisa dianggap sebuah kaidah karena merupakan dalil dari sebuah hukum. Alasan dan sebab ini sangat banyak dan setiap sebab mencakup banyak permasalahan lainnya. Misalkan kalau ada yang berkata, "Apabila ada orang yang ragu-ragu apakah air ini suci atau najis, maka hukumnya didasarkan pada yang diyakininya." Ini merupakan sebuah hukum sekaligus sebuah kaidah, karena pada dasarnya segala sesuatu itu sama dengan keadaan sebelumnya. Jadi, apabila Anda ragu-ragu tenang kejanisan sesuatu yang suci, maka pada dasarnya ia suci. Atau sebaliknya, ragu-ragu tentang sucinya sesuatu yang najis, maka pada dasarnya najis. Karena, pada dasarnya segala sesuatu tetap pada keadaan semula.

Oleh karena itu, seandainya seseorang setiap kali menemukan alasan hukum semacam ini, lalu memahaminya dan menguasainya, kemudian digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan, maka ini merupakan sebuah faidah yang besar bagi dirinya maupun orang lain.

Keenam, Membulatkan Tekad untuk Menuntut Ilmu dan Meningkatkannya, Penuh Perhatian dan Mempunyai Keinginan Keras untuk Bisa Mencapai Derajat yang di Atasnya sehingga Bisa Menguasai Kitab-Kitab Besar dan Pnjang Lebar dengan Sebuah Dasar yang Kokoh

Seorang pelajar hendaknya membulatkan tekad untuk menuntut ilmu. Jangan tengok kanan, tengok kiri. Sehari belajar, sehari untuk buka toko, besoknya lagi untuk jualan sayuran. Perbuatan ini tidak disarankan.

Selama engkau masih yakin bahwa belajar adalah jalan hidupmu, maka bulatkan tekad dan konsentrasikan pikiranmu padanya, serta bertekadlah untuk bisa terus maju, jangan jalan di tempat. Pikirkanlah apa yang sudah engkau kuasai dari berbagai dalil dan permasalahan sehingga engkau bisa semakin naik tingkat sedikit demi sedikit.

Ketahuilah, bahwa mempelajari kitab-kitab yang ringkas kemudian baru kitab-kitab yang panjang yang dibuat untuk pendasaran dalam belajar oleh para ulama berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung perbedaan madzhab dan tergantung pula dengan ilmu yang dikuasai oleh para ulama di daerah tersebut. Juga, keadaan ini berbeda antara satu murid dengan yang lainnya karena perbedaan tingkat kepahaman, kekuatan atau lemahnya persiapan, bebal atau encernya otak.
WallahHu'Alam.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc
(Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).


~*~*~*~

Adab Seorang Pelajar (Murid) terhadap Gurunya
Jumat, 04 Januari 2008 21:28
AddThis

Dasar keilmuan itu tidak dapat diperoleh dengan belajar sendiri dari kitab, namun harus bimbingan seorang guru ahli yang akan membuka pintu-pintu ilmu baginya, agar engkau selamat dari kesalahan dan ketergelinciran. Karena itu, hendaknya engkau menjaga kehormatannya, yang mana itu adalah tanda keberhasilan, kesuksesan, serta engkau akan bisa mendapatkan ilmu dan taufiq.

Jadikanlah gurumu orang yang engkau hormati, hargai, agungkan, dan berlakulah yang lembut. Berlakulah penuh sopan santun kepadanya saat duduk bersama, berbicara kepadanya, saat bertanya dan mendengar pelajaran, bersikap baik saat membuka lembaran kitab di hadapannya. Jangan banyak bicara dan berdebat dengannya. Jangan mendahuluinya, baik dalam bicara maupun saat jalan. Jangan banyak berbicara kepadanya dan jangan memotong pembicaraannya, baik di tengah-tengah pelajaran maupun lainnya.

Jangan ngotot bisa mendapatkan jawaban darinya. Jauhilah banyak bertanya terutama sekali kalau di tengah khalayak ramai, karena itu akan membuatmu berbangga diri, namun bagi gurumu akan membuat bosan.
Janganlah engkau memanggilnya hanya dengan namanya saja, atau hanya dengan gelarnya saja. Jangan sebut namanya karena itu lebih sopan. Jangan memanggil dengan mengatakan: "Kamu," juga jangan memanggilnya dari jarak jauh, kecuali kalau terpaksa.
Sebagaimana tidak layak bagimu memanggil bapak kandungmu: "Wahai fulan," atau "wahai bapakku fulan," maka hal itu juga tidak pantas bagi gurumu. Selalulah bersikap hormat terhadap majelis ilmu, dan nampakkanlah kegembiraan dan bisa mengambil faidah saat belajar.

Perhatikanlah apa yang disebutkan oleh Allah Ta'ala tentang sikap yang sopan terhadap Rasulullah, orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia. "Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain) ...." (An-Nuur: 63).

Ada dua pendapat tentang tafsir ayat ini. Pertama, janganlah kalian memanggil Rasulullah dengan menyebut namanya, sebagaimana kalian saling memanggil antara sesama kalian. Penafsiran ini yang dimaksud penulis dalam kajian ini. Kedua, janganlah kalian menjadikan seruan Rasulullah saw. kepada kalian seperti seruan kalian kepada sesama, tetapi kalian harus menjawabnya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Jika engkau mengetahui kesalahan atau kebimbangan gurumu, janganlah jadikan itu alasan untuk meremehkannya, karena itulah yang akan menjadi sebab engkau tidak akan memperoleh ilmu, dan siapakah orangnya yang tidak pernah salah?

Hati-hati, jangan sampai membuat gusar guru Anda, hindari perang urat saraf dengannya, dalam artian jangan menguji kemampuan ilmiah maupun ketabahan guru Anda. Dan, kalau engkau ingin pindah belajar kepada guru lain, maka mintalah izin kepadanya, karena sikap ini lebih menunjukkan bahwa engkau menghormatinya, serta lebih bisa membuatnya mencintai dan menyayangimu.

Dan, masih banyak adab sipan santun lainnya yang bisa diketahui secara fithrah oleh orang yang diberi taufik oleh Allah Ta'ala untuk bisa menjaga kehormatan gurumu yang merupakan "ayahmu dalam beragama" atau apa yang disebut oleh sebagian undang-undang denan nama "persusuan etika". Dan penamaan oleh sebagian ulama dengan "ayah dalam agama" lebih layak. Sedang meninggalkan penamaan itu lebih baik. Dan ketahuilah bahwa dengan kadar engkau menjaga kehormatan gurumu, maka engkau akan mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan, sebaliknya kalau engkau meremehkannya, maka itu tanda kegagalan.

Peringatan penting: Saya memohon kepada Allah, semoga melindungimu dari perbuatan orang 'ajam (non-Arab), juga dari ahli thariqat serta ahli bid'ah yang ada pada zaman ini. Di antaranya sikap tunduk yang keluar dari adab-adab yang syar'i, misalnya menjilati tangan guru, mencium pundaknya, memeang tangan kanan guru dengan kedua tangannya saat bersalaman seperti keadaan orang tua yang menyayangi anaknya, begitu juga menundukkan badan saat bersalaman, serta menggunakan kalimat yang menghinakan diri, seperti panggilan: "Wahai tuanku, majikanku," atau lafaz lainnya yang digunakan oleh para pembantu atau budak. Lihatlah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Basyir al-Ibrahimi al-Jazairi (wafat tahun 1380 H) dalam kitab Al-Basha-ir karena pembahasannya sangat bagus.

Modal Utama Seorang Pelajar adalah dari Gurunya

Guru adalah teladan dalam akhlaknya yang baik dan perangainya yang mulia. Adapun mengenai masalah belajar darinya, maka itu hanyalah sebuah laba belaka. Hanya saja, janganlah kecintaanmu kepada gurumu menjatuhkanmu pada perbuatan tercela tanpa engkau sadari, padahal semua orang yang melihatmu mengetahuinya, jangan ikuti gaya suara dan nadanya, juga jangan ikuti gaya jalan dan gerakannya, karena syaikhmu menjadi seseorang yang mulia dengan ilmunya, oleh karena itu jangan ikuti dia dalam hal seperti ini.

Ini sangat penting, kalau memang gurumu itu berakhlak mulia dan berperangai yang bagus, saat itu jadikan dia sebagai penutan. Namun, kadang-kadang seorang guru bukan begitu atau mungkin ada sedikit kekurangan dalam akhlaknya, maka jangan ikuti dia. Jangan beralasan kalau engkau punya seorang guru yang berakhlak jelek lalu engkau mengikutinya, hanya dengan alasan bahwa dia itu gurumu.

Aktivitas Guru dalam Menyampaikan Pelajarannya

Aktivitas seorang guru (dalam menyampaikan pelajaran) haruslah sebatas kemampuan pelajar dalam mendengarkan, konsentrasi, dan bisa mengikuti pelajaran darinya. Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai menjadi penyebab terputusnya ilmunya karena rasa malas, patah semangat, menyerah dan pikiran yang melayang ke mana-mana.

Imam Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Hak semua ilmu itu hendaknya tidak diberikan kecuali kepada yang mencarinya, jangan diberikan kecuali kepada yang menginginkannya. Kalau seorang guru sudah melihat adanya patah semangat pada murid-muridnya, maka hendaklah dia diam, karena sebagian ulama mengatakan, 'Aktivitas orang yang bicara itu harus sebatas kepahaman mendengar'." Kemudian beliau meriwayatkan dari Zaid bin Wahab berkata, berkata 'Abdullah: "Bicaralah kepada orang yang masih memperhatikanmu dengan pandangan mata mereka, tetapi kalau engkau sudah melihat tanda kebosanan, maka berhentilah." (Lihat Al-Jami' [I/330]).

Mencatat Penjelasan Guru saat Belajar

Hal ini berbeda antara satu guru dengan guru lainnya, maka pahamilah masalah ini. Dan ini ada adab-adab dan syaratnya. Adapun adabnya adalah engkau harus memberitahukan kepada gurumu bahwa engkau akan menulis atau engkau telah menulis sesuatu yang engkau dengar sendiri. Adapun syaratnya adalah engkau harus memberitahukan bahwa apa yang engkau tulis itu adalah apa yang kamu dengar pada saat beliau menerangkan pelajaran.

Pada zaman ini seorang murid boleh jadi tidak butuh untuk mencatat keterangan guru saat pelajaran, karena sekarang sudah ada kaset rekaman, yang akan merekam segala yang dikatakan guru dari awal sampai akhir, yang dengan itu engkau tinggal mencatat dari rekaman hal yang engkau anggap penting untuk dicatat. Dan engkau harus memberitahukan gurumu bahwa engkau akan mencatat, juga kalau engkau ingin merekam maka beri tahukan dulu, karena barangkali sang guru tersebut tidak ingin mencatat ucapannya sedikit pun.

Hindari Belajar kepada Ahli Bid'ah

Hindari belajar dari ahli bid'ah yang dungu, yang aqidahnya menyeleweng, tertutupi oleh mendung khurafat, memperturutkan hawa nafsu, namun dia menamakannya mengikuti logika akal dengan berpaling dari nash. Padahal, bukankah akal itu ada pada (mengikuti) nash? Ahli bid'ah ini berpegang pada hadits yang dha'if, menjauhi hadits yang shahih. Mereka juga dinamakan ahli syubhat dan ahlul ahwa' (orang yang mengikuti hawa nafsu), oleh karena itu Abdullah bin Mubarak menamakan ahli bid'ah dengan orang-orang rendahan.

Berkata Imam Adz-Dzahabi: "Apabila engkau mengetahui seorang ahli kalam yang mubtadi' (ahli bid'ah) berkata: 'Tinggalkanlah Al-Qur'an dan As-Sunnah dan pakailah akal,' maka ketahuilah bahwa dia itu Abu Jahal (biangnya kebodohan). Apabila ada ahli thariqat yang berkata: 'Tinggalkan dalil naqli dan akal sekaligus dan pakailah perasaan dan naluri, maka ketahuilah bahwa dia itu iblis yang menyamar sebagai manusia atau merasuk ke tubuh manusia, kalau engkau takut maka larilah, namun kalau engkau berani, lawan dia, tindihlah dadanya, lalu bacakan ayat kursi dan cekiklah." (Siyar A'lamin Nubala' [IV/472]).

Ahli bid'ah itu berpegang pada hadits yang dha'if dan menjauhi hadits yang shahih. Kebanyakan mereka adalah kalangan tukang cerita atau ahli menasihati, yang banyak mencekoki otak kaum muslimin dengan hadits-hadits dha'if dengan harapan bisa membangkitkan semangat manusia dalam beribadah, baik dengan kabar gembira maupun dengan peringatan. Ambil sebuah contoh, saat membahas firman Allah: "Katakanlah: 'Dialah Allah Yang Mahaesa." (Al-Ikhlas: 1). Dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda: 'Sesungguhnya Allah menciptakan dari setiap huruf surat qulhuwallaah 1000 burung, setiap burung mempunyai 1000 lisan, semuanya berdoa dan bertasbih kepada orang yang membaca surat tersebut'." Siapakah kira-kira yang mengatakan ucapan ini? Dan, masih banyak perkara-perkara yang aneh dan ganjil yang disebutkan pada bab keutamaan amal perbuatan tertentu.

Adapun mengenai ucapan Imam Adz-Dzahabi bahwa agama orang-orang shufi semuanya berasal dari perasaan dan naluri, yang nampak bahwa beliau melihat langsung kemungkaran mereka, sehingga beliau bersikap keras dalam menjelek-jelekkan sifat mereka. Apabila engkau pergi ke sebagian negeri muslim, akan engkau temukan keanehan pada diri mereka, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama dulu dan sekarang, yaitu mereka shalat seperti orang gila, memukul-mukul gendang dan memukulkan tongkat ke tanah, lalu mereka mengambil cambuk, lalu bertahlil dan membaca dzikir ala mereka, kemudian berguling-guling di tanah, barang siapa yang paling banyak terkena debu, maka dialah yang paling kuat dan paling bagus, dan itu merupakan bukti bahwa dia adalah seorang murid yang paling baik.

Imam Adz-Dzahabi berkata: "Saya membaca tulisan Syaikh Muwaffaquddin Ibnu Qudamah, beliau berkata: 'Saya dan saudaraku, Abu 'Umar, mengikuti kajian yang diajarkan oleh Ibnu Abi Ashrun, namun akhirnya kami tidak mengikuti pelajarannya lagi. Lalu saya mendengar saudaraku berkata: 'Setelah itu saya menemuinya, dan dia berkata: 'Kenapa kalian tidak lagi mengikuti pelajaranku?' Saya jawab: 'Sesungguhnya kami dengar orang-orang berkata bahwa engkau adalah seorang Asy'ari,' maka dia berkata: 'Demi Allah, saya bukan orang Asy'ari.' begitulah ceritanya."

Dari Imam Malik, ia berkata: "Ilmu tidak boleh dipelajari dari empat orang, yaitu orang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun banyak meriwayatkan hadits, yang kedua ahli bid'ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, ketiga orang yang berdusta saat berbicara dengan orang lain meskipun dia tidak berdusta dalam meriwayatkan hadits, keempat orang shaleh ahli ibadah namun tidak memahami apa yang dia katakan." (Siyar A'lamin Nubala' [VIII/67], Al-'Uqaili dalam Adh-Dhu'afa [I/13], dan Ar-Rumahurmuzi dalam Al-Muhaddits al-Fashil [II/430]).

Wahai para pelajar, kalau engkau dalam kelapangan dan bisa memilih, janganlah belajar kepada ahli bid'ah dari kalangan Syi'ah, Khawarij, Murji-ah, Qadariyyah, Quburiyyin (para pengagung kuburan), dan ahli bid'ah lainnya. Karena, kamu tidak akan pernah mencapai derajat para ulama yang mereka bersih aqidahnya, kuat hubungan dengan Allah, shahih pandangannya, dan mengikuti Sunnah, kecuali dengan menjauhi ahli bid'ah dan kebid'ahan mereka.

Kisah-kisah dari para ulama salaf sangat banyak yang berhubungan dengan menghindar dan menjauhi ahli bid'ah. Hal ini bertujuan sebagai peringatan dari kejahatan mereka serta menghalangi tersebarnya bid'ah itu, juga melemahkan semangat mereka sehingga akan patah semangat dalam menyebarkan perbuatan bid'ahnya. Karena, kalau Ahlus Sunnah berkawan dengan mereka, maka ini mengindikasikan sebuah tazkiyah (rekomendasi) pada mereka dalam pandangan orang-orang yang masih pemula dalam belajar atau bagi orang-orang awam.

Wahai para pelajar, ikutilah jejak para ulama salaf. Hati-hatilah, jangan sampai para ahli bid'ah mencelakakanmu. Karena, sesungguhnya mereka banyak membuat jalan-jalan untuk menjegalmu. Mereka bungkus semua itu dengan ucapan yang manis seperti madu, padahal sebenarnya ia adalah madu yang pahit dan kucuran air mata, indah kilit luarnya, tipuan dengan khayalan belaka, mempertontonkan karamah, menjilati tangan serta mencium pundak. Tidaklah semua itu kecuali bara perbuatan bid'ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan bisa menjeratmu dalam lingkaran syaitannya. Demi Allah, tidaklah orang yang buta bisa menuntun dan menunjukkan untuk memimpin orang-orang buta sepertinya.

Adapun kalau belajar kepada ulama Ahlis Sunnah, maka benar-benar isaplah madu dari mereka, jangan tanyakan lagi, semoga Allah memberimu taufiq kepada jalan kebenaran, agar engkau mampu meraup warisan para nabi secara murni. Kalau tidak demikian, maka tangisilah agama ini bagi yang masih bisa menangis. Semua yang saya sebutkan ini adalah pada saat bisa memilih antara belajar dengan Ahlus Sunnah atau ahli bid'ah, adapun kalau engkau belajar pada sekolah formal yang tidak ada pilihan lagi bagimu, maka berhati-hatilah serta berlindunglah kepada Allah dari kejelekannya. Jangan karena ini, engkau mundur dari belajar, saya takut ini termasuk mundur dari tengah kancah medan pertempuran. Saat itu tidak ada kewajiban bagimu kecuali engkau benar-benar selektif menerima ilmunya, lalu engkau jauhi kejelekannya serta membongkar kedoknya.

Ketahuilah bahwasannya ahli bid'ah akan bertambah banyak dan memperoleh kemenangan karena sedikitnya ilmu dan merajalelanya kajahilan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menanggapi tentang mereka dengan mengatakan: "Sesungguhnya golongan ini akan menjadi banyak apabila kebodohan telah merajalela, demikian juga banyaknya orang-orang yang bodoh, di sisi lain tidak didapati ahli ilmu yang paham tentang sunnah Nabi dan berusaha mengikutinya yang menampakkan cahayanya, bisa melenyapkan gelapnya kesesatan, dan membuka tabir yang penuh dengan kebohongan, syirik, dan tipu daya." (Lihat Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah [I/6]).

Maka dari itu, jika engkau sudah banyak menguasai ilmu, hendaklah engkau hancurkanlah bid'ah beserta ahlinya dengan argumen dan penjelasan dari Anda.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa

~*~*~*~

Adab Seorang Pelajar dalam Kehidupan Ilmiahnya
Rabu, 30 Januari 2008 22:52


Hal-hal yg perlu diperhatikan dalam bahasan ini adalah sebagai berikut.

Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu

Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral dalam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.

Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.

Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.

Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.

Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.

Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan Muslim).

Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang diberi. Jangan arahkan pandanganmu, juga jangan ulurkan tanganmu untuk meminta kepunyaan orang lain. Sampai-sampai kalau ada orang yang tidak memiliki air (untuk wudhu) lalu ada yang memberinya, maka dia tidak harus menerimanya, tetapi dia boleh bertayamum. Hal ini untuk menghindari jangan sampai dia berhutang budi kepada orang lain. Padahal, wudhu dengan air itu hanya wajib bagi yang mampu mendapatkan air saja. Oleh karena itu, para ulama membedakan antara orang yang mendapatkan orang yang menjual air dengan yang memberinya air, mereka mengatakan, "Kalau ada yang menjual air kepadamu, maka kamu wajib membelinya, karena kalau kamu membelinya, maka itu tidak berakibat engkau berhutang budi kepadanya, karena engkau telah memberi harganya, namun jika ada yang memberimu, maka engkau tidak wajib menerimanya, karena engkau akan berutang budi kepadanya, yang akan mengikat dirimu. Akan tetapi, jika yang memberimu air itu tidak meminta balas budi, bahkan mungkin dia berterima kasih kepadamu karena engkau mau menerima pemberiannya, atau karena yang memberimu adalah orang tertentu yang biasanya tidak harus membalas budi dalam pemberiannya, seperti saudara kepada saudaranya, maka hukum itu tidak berlaku karena sebabnya sudah hilang. Yang penting di sini bahwa termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau menginginkan kepunyaan orang lain.

Antusias dalam Menuntut Ilmu

Jika engkau tahu sebuah kalimat yang iucapkan oleh Khalifah Ali bin Abu Thalib: "Nilai setiap orang tergantung pada apa yang dia kuasai." (Lihat Faidhul Qadiir [IV/110]). Ada yang mengatakan: "Tidaklah ada satu kalimat pun yang lebih bisa memberikan semangat bagi penuntut ilmu daripada kalimat ini." Maka, waspadalah terhadap kesalahan orang yang berkata: "Generasi awal tidaklah meninggalkan apa pun untuk yang sesudahnya," akan tetapi lafazh yang benar adalah: "Berapa banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya." Maka, kewajibanmu adalah memperbanyak belajar Sunnah Nabawiyah, dan curahkan kemampuanmu dalam menuntut, menimba, serta meneliti ilmu. Karena, setinggi apa pun ilmumu, engkau harus tetap ingat bahwa: "Berapa banyak yang masih ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi selanjutnya."

Seseorang yang menguasai ilmu fiqih dan ilmu syariat niscaya akan mempunyai nilai lebih daripada orang yang mahir dalam memperbaiki kabel yang rusak atau lainnya. Hal ini karena keduanya sama-sama menguasai sebuah bidang tertentu, hanya saja ada bedanya antara yang pandai dalam ilmu agama dengan yang pandai dalam ilmu dunia. Dari sini kita ketahui bahwa nilai setiap orang adalah tergantung dari apa yang dia kuasai. Telah disebutkan di atas bahwa "tidak ada ucapan yang lebih bisa memberi semangat bagi penuntut ilmu daripada ucapan ini."
Perkataan yang diambil oleh Syaikh tersebut tidaklah benar, karena kalimat yang paling bisa memberikan semangat belajar para penuntut ilmu adalah firman Allah (yang artinya),
    ".... Katakanlah: 'Adaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ...." (Az-Zumar: 9).
Juga, firman-Nya, "... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...." (Al-Mujaadilah: 11).
Dan, sabda Nabi saw., "Sesiapa yang dikehendaki oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agama." (HR Bukhari dan Muslim).
Dan, sabda beliau pula, "Ulama adalah pewaris para nabi." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad, dan Ad-Darimi).
Dan, nash lainnya yang menganjurkan untuk menuntut ilmu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang dikatakan oleh Ali bin Abu Thalib adalah sebuah kalimat yang mengandung makna yang luas, hanya saja itu bukan perkataan yang terbaik dalam hal anjuran menuntut ilmu.

Ucapan Syaikh: "Perbanyaklah ...," maksudnya adalah sebuah anjuran agar engkau memperbanyak mendapatkan warisan Rasulullah saw. yang berupa ilmu. Karena, para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Sesiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak dari warisan tersebut.

Kemudian, ketahuilah bahwasannya warisan Rasulullah ada yang berupa Al-Qur'an dan ada yang berupa As-Sunnah. Apabila warisan itu berupa Al-Qur'an, engkau tidak perlu lagi melihat sanadnya, karena Al-Qur'an sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Adapun jika berupa As-Sunnah, maka yang harus engkau lihat pertama kali adalah apakah Sunnah itu shahih dari Rasulullah atau tidak.

Perkataan Syaikh selanjutnya: "Curahkan kemampuanmu," maksudnya adalah kemampuan dalam meneliti. Karena, ada sebagian orang yang hanya mengambil zhahir dan umumnya nash tanpa meneliti lagi apakah zhahirnya nash itu yang dimaksud oleh hadits ini ataukah tidak, apakah keumuman nash itu dikhususkan atau tidak. Orang yang tidak menelitinya akan mempertentangkan antara satu hadits dengan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai ilmu tentang masalah ini. Ini banyak terjadi di kalangan pelajar yang masih muda, yang banyak perhatian terhadap Sunnah Rasulullah saw. Biasanya salah seorang di antara mereka dengan cepatnya mengambil hukum dari hadits tersebut, atau dengan cepatnya dia menghukumi pada sebuah hadits. Ini adalah sebuah bahaya yang sangat besar.

Perkataan Syaikh: "Setinggi apa pun ilmumu tetaplah ingat bahwa masih sangat banyak yang ditinggalkan oleh generasi pertama untuk generasi berikutnya."
Ini sebuah perkataan yang bagus, namun ada yang lebih bagus dari itu, yaitu kita katakan, "Setinggi apa pun ilmumu, tetaplah ingat firman Allah: 'Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Mahamengetahui.' (Yusuf: 76)
'Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'."

Dalam biografi Ahmad Ibnu Abdul Jalil yang tertulis dalam Tarikh Baghdad oleh Al-Khatib al-Baghdadi, beliau menyebutkan seuntai syair:
"Tidaklah orang mulia itu seperti orang hina
dan tidak pula orang yang cerdik itu semacam orang yang bodoh.
Nilai seseorang itu setiap kali dia bisa menguasai sesuatu dengan baik.
Inilah yang diputuskan oleh Imam Ali bin Abu Thalib."

Meninggalkan Kampung Halaman untuk Menuntut Ilmu

Sesiapa yang tidak pernah pergi untuk menuntut ilmu, maka dia tidak akan didatangi untuk ditimba ilmunya. Barang siapa yang tidak pernah pergi dalam masa belajarnya untuk mencari guru serta menimba ilmu dari mereka, maka dia tidak akan didatangi untuk belajar darinya. Karena, para ulama dahulu yang telah melewati masa belajar dan mengajar mempunyai banyak tulisan, karangan-karangan ilmiah, dan pengalaman-pengalaman yang sulit ditemukan di dalam kitab.

Maksud perkataan Syaikh di atas: bahwa orang yang tidak pernah bepergian untuk menuntut ilmu, maka tidak perlu didatangi (untuk ditimba ilmunya).

Dan jauhilah cara belajarnya orang-orang shufi, yang hanya duduk di tempat. Mereka lebih mengutamakan ilmu khark (ilmu yang diambil langsung dengan cara menembus hijab antara dia dengan Allah, ini dalam persangkaan mereka, yang biasa dinamakan dengan ilmu laduni, pent.) daripada ilmu yang diambil dari lembaran-lembaran kitab. Pernah dikatakan kepada sebagian orang di antara mereka: "Mengapa engkau tidak berangkat untuk mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq? Maka dia menjawab: "Apa gunanya mendengarkan hadits dari 'Abdurrazzaq bagi orang yang bisa mendengar secara langsung dari Allah Ta'ala." Ada lagi yang mengatakan:
Jika orang-orang itu berbicara kepadaku dengan ilmu yang diambil dari lembaran kitab.
Maka saya menandingi mereka dengan ilmu yang diambil langsung dari Allah Ta'ala."
Oleh karena itu, jauhilah mereka. Karena, mereka tidak pernah menolong Islam dan tidak pernah melawan orang-orang kafir. Bahkan, di antara mereka ada yang menjadi bencana dan bumerang bagi agama Islam.

Orang-orang shufi mengaku bahwasannya Allah langsung berbicara dengan mereka dan memberikan wahyu kepada mereka, serta mengaku bahwasannya Allah SWT mengunjungi mereka demikian juga sebaliknya. Ini adalah salah satu kepercayaan khurafat mereka.

Ungkapan Syaikh yang terakhir diambil dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang ahli kalam, beliau berkata: "Orang-orang ahli kalam itu tidak pernah menolong Islam, juga tidak pernah menghancurkan ahli falsafah." Maksudnya, ahli kalam itu tidak pernah membela agama Islam yang dibawa oleh Muhammad saw., mereka pun tidak pernah melawan ahli falsafah yang menjelek-jelekkan agama Islam. Bukti akan hal ini bahwasannya ahli kalam itu mengubah beberapa nash dari zhahirnya, mereka menakwilkannya kepada makna lain atau membuat makna yang baru.
Mereka mengaku bahwasannya hal itu didasari pada akal yang sehat. Ahli falsafah pun mengatakan kepada mereka: "Kalian menakwilkan ayat dan hadits tentang sifat Allah Ta'ala, padahal keduanya sangat jelas, kalau begitu biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan asma dan sifat Allah jauh lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang hari kebangkitan. Maka, jika kalian boleh menakwilkan nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, maka biarkanlah kami menakwilkan ayat-ayat tentang hari kebangkitan, bahkan biarkan juga kami mengingkari hari kebangkitan secara total." Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah hujjah yang sangat kuat bagi ahli falsafah (ahli filsafat, red.) terhadap ahli kalam, karena memang tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Syaikh telah menyerang orang-orang shufi, dan mereka memang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Karena, sebagian orang shufi ada yang sampai batas kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah. Sampai ada di antara mereka yang meyakini bahwasannya dirinya adalah Allah. Salah seorang di antara mereka mengatakan: "Tidaklah yang berada di dalam pakaian ini kecuali Allah," maksudnya adalah dirinya sendiri. Ada lagi yang berkata:
"Tuhan itu adalah hamba dan hamba itu adalah tuhan.
Duhai sekiranya aku tahu siapakah yang harus diberi beban kewajiban."

Maksudnya, tidak ada perbedaan antara keduanya. Dan, masih banyak lagi khurafat yang mereka ucapkan, namun kita juga seharusnya mengonsentrasikan serangan kepada ahli kalam yang merampas kesempurnaan Allah dengan ucapan-ucapan serta mengingkari sifat-Nya atas dasar akal mereka.

Para ulama yang berbicara tentang masalah pergi belajar belum menjumpai perkembangan teknologi yang ada saat ini. Saat ini kaset rekaman bisa dijadikan sebagai ganti dari pergi menuntut ilmu, meskipun pergi menuntut ilmu tetap lebih besar faidahnya. Karena, kalau engkau pergi kepada seorang alim, maka dia akan memperoleh ilmu, adab, dan akhlaknya. Juga, kalau engkau langsung melihatnya saat berbicara, engkau akan dapat lebih mudah terpengaruh dengannya.

Menjaga Ilmu dengan Mencatatnya

Curahkan kemampuanmu untuk menjaga ilmu dengan mencatatnya, karena dengan mencatat akan aman dari hilangnya ilmu itu, juga bisa mempersingkat waktu kalau ingin membahasnya saat dibutuhkan, terutama beberapa masalah ilmiah yang terdapat bukan pada tempat yang selayaknya. Dan di antara faidahnya yang paling besar adalah saat sudah berusia lanjut dan kekuatan badan sudah melemah, maka engkau masih mempunyai ilmu yang masih bisa ditulis tanpa harus membahas dan menelaahnya kembali.

Betapa banyak masalah-masalah penting tetapi tidak tercatat dengan alasan bahwa insya Allah saya tidak akan lupa. Tetapi, ternyata akhirnya dia pun lupa. Maka, dia berangan-angan seandainya dulu mencatatnya.

Oleh karena itu, catatlah ilmu, terutama faidah-faidah penting yang terdapat bukan pada tempat yang sewajarnya, juga mutiara-mutiara ilmu yang mungkin engkau lihat dan dengar yang engkau khawatir akan hilang serta hal lainnya, karena hafalan itu bisa melemah dan orang bisa saja lupa.

Berkata Imam Asy-Sya'bi, "Apabila engkau mendengar sesuatu, maka catatlah meskipun di dining." (Diriwayatkan oleh Khaitsamah). Apabila sudah terkumpul pada dirimu catatan tersebut, maka urutkanlah dalam kitab atau buku saku sesuai dengan judulnya, karena itu akan sangat membantumu pada saat-saat mendesak, yang para ulama besar pun terkadang sulit untuk mendapatkannya.

Menjaga Ilmu dengan Mengamalkannya

Jagalah ilmumu dengan cara mengamalkan dan mengikuti Sunnah Rasulullah saw. Al-Khatib al-Baghdadi berkata, "Seseorang yang mempelajari hadits wajib untuk mengikhlaskan niatnya dalam belajar dan bertujuan mencari wajah (ridha) Allah, dan janganlah ia jadikan ilmu itu sebagai sarana untuk mencapai kedudukan yang tinggi, jangan pula digunakan untuk mencari jabatan, karena telah daang ancaman bagi orang yang menjual ilmunya untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Telah datang ancaman bagi orang yang menuntut ilmu namun tidak ikhlas karena Allah, yaitu dia tidak akan mendapatkan bau surga, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Khatib al-Baghdadi, bahwa seharusnya seorang penuntut ilmu itu mengikhlaskan niatnya, yaitu berniat melaksanakan perintah Allah dan mencari pahala dalam belajarnya, menjaga dan membela syariat Allah, dan bertujuan menghilangkan kebodohan dari dirinya sendiri, juga orang lain. Semua itu menunjukkan adanya keikhlasan, bukan bertujuan mendapatkan kehormatan, kemuliaan, martabat, dan jabatan.

Jika ada yang bertanya, "Setiap orang yang belajar di perguruan tinggi pasti bertujuan mendapatkan ijazah, yang karena itulah banyak kita lihat sebagian mereka menempuh cara-cara kotor demi memperoleh ijazah tersebut, misalnya ijazah palsu dan semisalnya." Kita jawab, "Bukankah mungkin saja orang itu belajar di perguruan tinggi dengan niat yang ikhlas, dia bertujuan untuk memberikan manfaat bagi sesama, karena pada zaman ini orang yang tidak mempunyai ijazah tidak akan bisa menjadi guru atau yang sejenisnya dari lembaga-lembaga yang membutuhkan ijazah.

Dan, jika ada yang mengatakan, "Saya ingin mendapatkan ijazah agar bisa mengajar di perguruan tinggi, karena tanpa ijazah saya tidak mungkin bisa mengajar di perguruan tinggi." Atau, kalau ada yang berkata, "Saya ingin memperoleh ijazah agar saya bisa menjadi seorang dai, karena pada zaman ini seseorang tidak mungkin bisa menjadi dai kecuali kalau memiliki ijazah." Kalau memang niatnya semacam ini, maka insya Allah itu adalah niat yang baik, yang tidak akan merusak belajar ilmu syar'i. Adapun kalau urusan ilmu duniawi, maka terserah engkau berniat apa saja selama masih dihalalkan oleh Allah. Seandainya ada orang yang belajar ilmu teknik dan berkata, "Saya ingin menjadi insinyur agar nanti gajiku sebesar sepuluh ribu real." Apakah ini haram? Tidak! Karena, itu ilmu duniawi, semacam pedagang yang berniat agar mendapatkan untuk yang banyak.

Hindarilah sikap berbangga dan menyombongkan diri, juga jangan sampai tujuanmu dalam belajar hadits adalah untuk mencari jabatan, memperbanyak pengikut, serta mendirikan majelis ilmu. Karena, kebanyakan penyakit yang merasuki para ulama adalah dari sisi ini.

Jadikanlah hafalanmu terhadap hadits Rasulullah sebagai hafalan ri'ayah (menjaga ajaran agama), bukan sekadar menghafal untuk meriwayatkannya, karena perawi ilmu itu banyak, namun yang mampu menjaga dan mengamalkannya itu hanya sedikit. Dan betapa banyak orang yang datang untuk belajar tetapi seperti orang yang tidak datang, juga betapa banyak orang yang berilmu seerti orang bodoh dan orang yang menghafal hadits namun sama sekali tidak memahaminya, apabila di dalam menyampaikan ilmunya, menyampaikan hukumnya seperti orang yang kehilangan ilmu dan pengetahuannya.

Maksud menjaga ri'ayah adalah memahami makna hadits, mengamalkan, lalu menjelaskannya kepada orang lain. Sebenarnya tujuan dari belajar Al-Qur'an dan As-Sunnah itu untuk memahami maknanya, sehingga bisa mengamalkan serta mendakwahkannya, namun Allah SWT menjadikan manusia itu bermacam-macam. Ada di antara mereka yang hanya bisa meriwayatkan namun tidak tahu maknanya, kecuali makna yang sangat jelas yang tidak butuh dijelaskan lagi, namun hafalannya sangat kuat. Ada lagi orang yang diberi karunia mudah memahami tetapi lemah dalam hafalan. Namun, ada sebagian manusia yang memiliki keduanya, yaitu kekuatan hafalan dan kefahaman, namun ini sangat jarang.

Rasulullah telah menggambarkan tentang orang-orang yang diberi oleh Allah SWT ilmu sebagai air hujan yang menyirami bumi, maka bumi yang terkena air hujan itu ada tiga macam. (HR Bukhari dan Muslim)
Pertama, tanah tandus yang menelan air namun tidak bisa menumbuhkan rerumputan. Ini permisalan bagi orang yang sama sekali tidak memperhatikan ilmu. Dia tidak mengambil manfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.

Kedua, tanah yang bisa menyerap air namun tidak bisa menumbuhkan tanaman. Ini permisalan bagi orang yang memperhatikan ilmu, seperti para perawi hadits, mereka mampu menahan air sehingga orang lain bisa minum dan mengairi sawah untuk menanam, namun mereka sendiri tidak bisa melakukan apa-apa kecuali sekadar menghafalkannya.

Ketiga, tanah subur yang mampu menyerap air dan menumbuhkan tanaman. Ini permislaan bagi orang yang diberi oleh Allah ilmu dan kefahaman. Mereka bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain.

Maka, seharusnya seseorang yang belajar ilmu agama bersikap berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah sebisanya serta mempraktikkan sunnah pada dirinya, sebagaimana firman Allah, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suriteladan yang baik bagimu ...." (Al-Ahzaab: 21).

Firman-Nya yang lain, "Ikutilah aku, iscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." (Ali Imran: 31).

Menjaga Hafalan

Jagalah ilmumu dari waktu ke waktu, karena kalau tidak dijaga maka akan hilang meski bagaimanapun hebatnya ilmu itu.

Dari Abdullah bin Umar bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya permisalan orang yang menghafal Al-Qur'an semacm pemilik unta yang ditambatkan, kalau dia menjaganya (mengikatnya), maka dia tidak akan pergi, namun jika dilepas, maka dia akan pergi." (HR Bukhari, Muslim, dan Malik dalam Al-Muwaththa').

Berkata Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr r.a., "Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang tidak menjaga ilmunya, niscaya ilmu itu akan hilang, karena ilmu mereka pada saat itu hanyalah Al-Qur'an. Kalau Al-Qur'an saja yang dimudahkan oleh Allah dalam menghafalnya bisa hilang kalau tidak dijaga, maka bagaimana dengan ilmu lainnya? Dan sebaik-baik ilmu adalah manakala pokoknya dikuasai betul, sementara cabang-cabangnya dipelajari dan bisa mengantarkannya untuk taat kepada Allah serta bisa menunjukkan kepada perbuatan yang diridhai-Nya."

Sebagian ulama berkata, "Setiap kemuliaan yang tidak didukung dengan ilmu, maka akan berakhir pada kehinaan." (Ini adalah ucapan Al-Akhnas bin Qais).

Mendalami Ilmu dengan Mengeluarkan Cabang Ilmu dari Pokoknya

Pelakunya adalah orang yang mampu tafaqquh (mendalami ilmu) menghubungkan hukum-hukum syar'i dari sumbernya. Dalam hadits Abdullah bin Mas'ud bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah memberi cahaya pada wajah orang yang mendengar ucapanku lalu menghafalnya dan memeliharannya, kemudian menyampaikannya sebagaimana dia dingar, betapa banyak orang yang bisa menghafal ilmu namun tidak memahaminya, dan betapa banyak orang yang menghafal ilmu, lalu dia menyampaikannya kepada orang yang lebih paham dari dia." (HR Tirmidzi).

Orang yang paham ialah orang yang mengetahui rahasia syariat Islam serta tujuan dan hikmah-hikmahnya, sehingga dia sanggup mengembalikan cabang-cabang ilmu kepada pokoknya dan mampu menerapkan segala sesuatu di atas hukum asalnya. Sehingga, dengan cara seperti itu, dia mendapatkan kebaikan yang banyak.

Berkata Ibnu Khair tentang pemahaman hadits di atas, "Dalam hadits ini ada keterangan bahwa ilmu itu adalah kemampuan mengambil dalil dan mengetahui makna sebuah ucapan dengan cara memahaminya, yang mana hal ini mengandung kewajiban memahami dan mendalami makna hadits serta mengeluarkan ilmunya yang masih tersimpan."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim, banyak mempunyai kepahaman dalam h al ini. Barang siapa yang membaca kitab-kitab kedua imam tersebut, maka dia bisa mengetahui cara yang benar dalam memahami ilmu syar'i.

Di antara keunikan perkataan Imam Ibnu Taimiyyah adalah apa yang beliau katakan saat berada di majelis tafaqquh (pendalaman ilmu), beliau berkata, "Amma ba'du, dulu kami berada di majelis tafaqquh fiddin, lalu kami menganalisa dalil-dalil syar'i secara penggambaran masalah, penetapan masalah, pendasaran hukum dan perinciannya, maka ada sebuah pembicaraan mengenai ..., lalu saya berkata, 'Laa haula wala quwwata illa billaah, hal ini didasari atas satu pokok pembahasan dan dua pasal'."

Ketahuilah--semoga Allah memberi petunjuk kepadamu--bahwasannya memahami dan mendalami ilmu syar'i itu harus didahului dengan berpikir (tafakkur), karena sesungguhnya Allah Ta'ala menyeru kepada hamba-Nya bukan hanya di situ ayat agar bergerak dan memutar pandangan yang tajam untuk berpikir tentang langit dan bumi, juga memusatkan perhatiannya untuk melihat dirinya sendiri dan juga keadaan alam sekitarnya, untuk membuka kekuatan akal pikiran, sehingga bisa memperkuat imam dan memperdalam hukum serta memperoleh kemenangan ilmiah, sebagaimana firman Allah, "Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir." (Al-Baqarah: 219). Juga, firman-Nya, "Katakanlah: 'Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?' Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)." (Al-An'am: 50).

Dari sini diketahui bahwasannya memahami (tafaqquh) ilmu syar'i itu lebih jauh jangkauannya daripada sekadar berpikir, karena memahami ilmu syar'i itu merupakan hasil dari berpikir, kalau tidak maka sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun." (An-Nisaa': 78).

Namun, memahami ilmu syar'i ini dibatasi dengan dalil dan juga harus dihalangi dari mengikuti hawa nafsu. Allah Ta'ala berfirman, "Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah: 120).

Pernah Imam Syafi'i bertamu kepada Imam Ahmad, dan beliau adalah murid Imam Syafi'i. Imam Ahmad banyak memuji Imam Syafi'i di hadapan keluarganya. Lalu, tatkala disuguhkan makan malam, Imam Syafi'i menghabiskannya dan mengembalikan piring dalam keadaan kosong. Maka, keluarga Imam Ahmad pun heran dengan Imam Syafi'i. Bagaimana beliau menghabiskan seluruh makanan, padahal menurut Sunnah Rasulullah, seseorang seyogyanya hanya makan sedikit saja, sebagaimana sabda Rasulullah, "Cukuplah bagi seorang anak Adam makan beberapa suapan yang cukup untuk menegakkan tulang rusuknya, dan jika harus makan lebih, maka sepertiga perutnya untuk makanan, sepertiga untuk menuman, dan sepertiga untuk napasnya." (HR Tirmidzi). Namun, Imam Syafi'i memakan semuanya. Kemudian Imam Ahmad masuk menemui keluarganya dan Imam Syafi'i tidur. Ketika malam, beliau tidak mengambil air wudhu, dan tatkala adzan fajar beliau keluar untuk shalat namun tidak mengambil air wudhu. Tatkala pagi hari keluarga Imam Ahmad berkata kepada beliau: "Bagaimana engkau sangat memuji Imam Syafi'i, padahal dia memakan habis seluruh makanan, lalu tidur kemudian pada pagi hari tidak mengambil air wudhu, bagaimana ini?" Maka, Imam Ahmad berkata, "Saya akan memberitahukan kepada kalian." Maka, beliau bertanya kepada Imam Syafi'i perihal tersebut, sehingga beliau menjawab: "Adapun mengenai masalah makanan, saya tidak menemukan makanan yang lebih halal daripada makanan Imam Ahmad, maka saya ingin memenuhi perutku dengannya, adapun masalah saya tidak shalat tahajud karena memikirkan ilmu lebih baik daripada shalat tahajud, saya semalam sedang berpikir dan menyimpulkan hukum dari perkataan Rasulullah: 'Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh si burung kecil (An-Nughair)!'[*] seratus atau seribu faidah (hukum). Adapun mengenai saya tidak meminta air wudhu untuk shalat shubuh, untuk apa saya minta air padahal saya masih dalam keadaan punya wudhu'." Kemudian, Imam Ahmad menyebutkan jawaban itu kepada keluarganya, sehingga mereka berkata: "Sekarang baru terjawab teka-tekinya!" (*: HR Bukhari dan Muslim).

Wahai para pelajar, hiasilah dirimu dengan selalu berpikir dan menganalisis, juga hiasilah dirimu dengan memahami dan mendalami ilmu syar'i, semoga engkau mampu meneruskan jenjang dari hanya sebagai orang yang sekadar faqih (memahami hukum-hukum agama) kepada jenjang orang yang faqihun nafsi (menyimpulkan hukum-hukum agama sendiri), sebagaimana yang diistilahkan oleh para fuqaha, yaitu orang yang mampu menghubungkan hukum syar'i dengan sumber aslinya. Atau, dengan istilah lain jenjang orang yang faqihul badan sebagaimana dalam istilah ahli hadits.

Oleh karena itu, maka arahkanlah pandanganmu kepada dalil-dalil yang ada untuk menyimpulkan cabang-cabang hukum dari pokoknya, dengan benar-benar memperhatikan seluruh kaidah yang ada, serta perhatikan juga kaidah syariat Islam yang bersifat umum, seperti kaidah maslahat, menghilangkan segala mudharat dan kesulitan, mendatangkan kemudahan, menutup pintu-pintu hilah (cari-cari alasan) serta menutup segala jalan menuju perbuatan yang haram.

Demikianlah engkau akan mendapatkan jalan petunjukmu selama-lamanya, karena ini akan menolongmu pada saat-saat sulit, juga sebagaimana yang telah saya katakan bahwasannya wajib bagimu berupaya untuk memahami nash-nash syar'i dan memandang dengan jeli hal-hal yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut, juga merenungi tujuan syariat ini. Kalau engkau tidak memahami masalah ini, maka waktu belajarmu itu akan sia-sia belaka, dan engkau berhak tetap dinamakan orang yang jahil. Kemampuan inilah yang sebenarnya bisa dijadikan ukuran yang jeli tentang sampai di mana engkau mampu menguasai ilmu syar'i.

Seorang ahli fiqih (faqih) adalah orang yang apabila menghadapi permasalahan yang muncul yang tidak terdapat nashnya, maka dia bisa menetapkan hukumnya. Ahli balaghah (sastra Arab) yang sebenarnya bukanlah sekadar orang yang dapat menyebutkan macam dan perincian bab-babnya, namun dia adalah orang yang kepiawaian balaghahnya mengalir saat membaca kitabullah atau lainnya, mampu mengeluarkan simpanan ilmunya ini dan berbagai segi baik saat dia menulis atau berceramah. Demikian juga hal ini berlaku dalam semua disiplin ilmu.

Oleh karena itu, seharunya setiap orang bisa menerapkan ilmunya pada kehidupan nyata, dengan pengertian kalau ada sebuah permasalahan baru, maka dia bisa mengetahui hukumnya dengan melihat pada dalilnya. Juga setiap kali dia mengetahui sesuatu bisa menerapkannya dalam ucapan dan perbuatannya sehari-hari.

Bersandar kepada Allah dalam Menuntut Ilmu

Jangan gusar apabila engkau belum bisa menguasai salah satu cabang ilmu. Karena ada sebagian cabang ilmu yang tidak bisa dipahami oleh sebagian ulama besar, di antara mereka ada yang berterus terang mengatakannya sebagaimana diketahui dalam biografinya. Mereka itu adalah Imam Al-Ashma'i tidak mengerti ilmu 'arudh (ilmu tentang syair Arab), Ar-Ruhawi--seorang ahli hadits--tidak menguasai ilmu khat, Imam Ibnu Shalah tidak bisa menguasai ilmu manthiq, Abu Muslim an-Nahwi tiak ilmu sharaf, Imam Asy-Suyuthi tidak menguasai ilmu matematika, demikian juga Imam Abu Ubaidah, Muhammad bin 'Abdul Baqi al-Anshari, Abul Hasan al-Qathi'i, Abu Zakaria Yahya bin Ziyad al-Farra', dan Abu Hamid al-Ghazali, kelima irang ini tidak menguasai ilmu nahwu.

Wahai pelajar, lipat gandakan semangat, pusatkanlah perhatianmu kepada Allah dalam berdoa, berserah diri, dan pasrah di hadapan Allah. Dulu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kalau kesulitan memahami tafsir salah satu ayat, beliau sering berdoa: "Ya Allah, wahai Dzat yang mengajarkan Adam dan Ibrahim, ajarkanlah kepadaku. Wahai Dzat yang memberikan kepahaman kepada Sulaiman, pahamkanlah aku,"[*] sehingga beliau dapat memahaminya. (*: Lihat Majmuu'al Fatawa [IV/38]).

Amanah Ilmiah

Wajib bagi seorang pelajar untuk benar-benar menjaga amanah ilmiah, baik saat belajar, menuntut ilmu, bekerja, ataupun saat menyampaikan ilmu. Karena, keberhasilan sebuah umat tergantung pada kebaikan amalnya, dan kebaikan amalnya tergantung pada kebenaran ilmunya, dan kebenaran ilmunya adalah manakala ulamanya bersikap amanah dalam hal yang mereka lihat dan paparkan. Barang siapa yang berbicara pada salah satu bidang ilmu tanpa adanya rasa amanah, maka dia telah mengotori ilmu itu sendiri dengan nanah, dan menghalangi keberhasilan umat ini dengan batu sandungan.

Sesuatu yang sangat penting bagi seorang pelajar adalah mempunyai rasa amanah ilmiah, dia harus amanah dalam menukil dan menyifati (memaparkan) sesuatu. Tidak menambahi dan tidak mengurangi, karena kebanyakan manusia tidak terlalu perhatian pada masalah amanah. Ada yang kalau menyifati sesuatu, dia menyampaikan sesuatu dan membuang yang tidak disenangi, juga saat menukil ucapan ulama, dia menukil yang dia senangi dan membuang lainnya. Sebagaimana ucapan penyair:
"Rabb-mu tidak mengatakan pada kelompok pertama bahwa mereka itu mabuk.
Namun Rabb-mu berkata: 'Celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat'."

Dia membuang terusan ayat tersebut:
"(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Maa'uun: 5).

Ini merupakan sebuah batu sandungan dan penipuan dalam dunia ilmiah, karena kewajiban seseorang itu kalau menukil dan menyifati (memaparkan) haruslah dengan penuh amanah. Dan bukankah tidak akan membahayakanmu kalau nantinya dalil tersebut berbeda dengan pendapatmu, karena wajib bagimu untuk mengikuti dalil yang ada. Lalu engkau menyampaikannya kepada umat, sehingga umat ini bisa mengetahui perkara yang sebenarnya.

Tidak adanya rasa amanah bisa menjadikan pelakunya menjadi fasik, yang tidak boleh diterima kabar dan beritanya, karena dia (dianggap) seorang penipu.

Setiap kelompok penuntut ilmu tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang (mereka) dalam menuntut ilmu bukan bertujuan untuk berakhlak yang mulia, juga tidak untuk memberi manfaat kepada orang lain dengan ilmu yang mereka pelajari. Orang-orang yang semisal mereka ini tidak akan mempunyai sifat amanah, jadi mereka tidak pernah merasa berdosa untuk meriwayatkan apa yang sebenarnya tidak mereka dengar, ataupun juga menceritakan hal yang tidak mereka ketahui. Inilah yang menjadikan para ulama besar mengkritisi para perawi hadits.

Hendaklah dibedakan antara orang yang berlebih-lebihan dalam perkataannya dengan orang yang hanya mengatakan apa yang diketahuinya, sehingga para penuntut ilmu bisa mengetahui kadar ilmiah apa yang mereka baca, tidak lagi samar bagi mereka, juga bisa diketahui kepastian apakah dia jujur atau dusta, atau kuat mana antara jujur dan dustanya, ataukah mungkin memiliki kadar yang sama.

Kejujuran

Tutur kata yang jujur merupakan tanda kewibawaan, kemuliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian cita-cita, kuatnya akal, kecintaan antar-sesama, senangnya kebersamaan, dan penjagaan terhadap din. Oleh karena inilah kejujuran menjadi fardhu 'ain (kewajiban bagi setiap individu), maka alangkah meruginya orang yang tidak memilikinya, dan barang siapa yang tidak jujur, maka dia berarti telah mengotori jiwa dan ilmunya dengan penyakit.

Kejujuran di sini hampir mirip dengan masalah amanah ilmiah. Karena, amanah ilmiah hanya akan terwujud dengan adanya kejujuran, sedangkan kejujuran sebagaimana yang dikatakan Syaikh di sini adalah sebagai tanda kewibawaan, kemuliaan jia, dan juga kebersihan hati. Maka, jika dengan kedustaan saja bisa berhasil, maka tentunya dengan kejujuran akan lebih menjamin keberhasilan, dan kebohongan itu tidak akan berlangsung lama, karena dengan cepat akan terungkaplah kebohongannya.

Kejujuran pasti akan berakibat baik, maka dari itu milikilah sikap jujur itu. Dan jika engkau takut bahwa kejujuran itu akan bisa membahayakanmu, maka sabarlah. Karena, sesungguhnya kejujuran itu menghantarkan kepada kebaikan, dan kebaikan akan menghantarkan ke Surga, dan jika seseorang selalu berbuat jujur, maka Allah akan mencatat di sisi-Nya bahwa dia adalah seorang yang jujur.

Maka, janganlah engkau mengatakan: "Sesungguhnya Allah mengharamkan ini," padahal Allah tidak mengharmkannya; "Allah mewajibkan itu," padahal tidak. Dan jangan pula mengatakan: "Si Fulan yang seorang alim berkata begini," padahal tidak. Jauhilah olehmu berkata semacam itu.

Sebagian ulama mengecualikan bahwa ada dusta yang diperbolehkan, yaitu dusta untuk tauriyah[*]. Akan tetapi, tidak perlu ada pengecualian dalam hal ini, karena tauriyah sebenarnya adalah kejujuran, kalau sudah kita lihat dari sisi pembicaraannya. Sebagai contoh adalah perkataan Nabi Ibrahim a.s. kepada seorang raja yang zalim: "Ini adalah saudariku," maksud beliau adalah istrinya, Sarah. (*: Tauriyah adalah mengucapkan sebuah lafaz yang mengandung dua arti, yang mendengar lafaz itu menyangka salah satu maknanya, padahal yang diinginkan oleh pembicara adalah makna yang lain, pen.).

Perkataan ini tidak terhitung sebagai kebohongan, meskipun Nabi Ibrahim a.s. berudzur saat dimintai syafa'at dengan alasan karena dia pernah berdusta sebanyak tiga kali, akan tetapi dia berdusta untuk menghadapi orang yang zalim dan melampaui batas, padahal sebenarnya beliau saat itu telah berkata jujur.

Sebagian ulama mengecualikan juga dusta yang dibolehkan sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa tidak boleh dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu dalam peperangan, untuk mendamaikan manusia, dan perkataan seorang wanita terhadap suaminya atau suami terhadap istrinya. (Lihat Syarh an-Nawawi 'ala Shahihi Muslim [XII/45], bab "Bolehnya Dusta dalam Peperangan").

Akan tetapi, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hal ini masuk pada bab tauriyah, bukan termasuk dalam dusta yang sebenarnya, sebab peperangan adalah tipu daya, yakni dengan cara memperlihatkan kepada musuh bahwa engkau akan menuju sebuah arah padahal yang engkau tuju adalah arah yang lain, atau trik-trik lainnya.

Demikian juga dalam masalah mendamaikan antara sesama manusia, janganlah engkau berdusta, tetapi katakanlah: "Seandainya ada yang bertanya kepadamu: 'Apakah dia menggunjingku?' Maka jawablah bahwa dia tidak pernah menggunjingmu sedikit pun'."

Begitu juga masalah kebolehan dusta bagi seorang wanita terhadap suaminya. Yang dimaksud adalah secara tauriyah, bukan benar-benar berdusta. Pendapat ini tidaklah jauh dari kebenaran, karena kebohongan akan mengantarkan pada kemaksiatan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw. dan tidak akan mengantarkan pada kebaikan.

Imam Al-Auza'i berkata, "Pelajarilah kejujuran sebelum engkau mempelajari ilmu."

Waqi' berkata, "Ilmu ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang jujur."

Maka dari itu, pelajarilah kejujuran terlebih dahulu sebelum engkau mempelajari ilmu. Kejujuran adalah mengatakan sesuatu sesuai dengan kenyataan dan keyakinan yang ada, kejujuran ini hanya ada satu cara, sedangkan kedustaan banyak cara dan ragamnya, namun bisa disimpulkan menjadi tiga hal, yaitu (sebagai berikut).

1. Dusta Seorang Penjilat
Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan dan juga keyakinan yang sebenarnya. Contohnya orang yang mencari muka terhadap orang yang dia ketahui sebagai orang fasik dan ahli bid'ah, namun dia katakan sebagai orang yang istiqamah untuk mencari muka (perhatian) darinya.
2. Dusta Orang Munafik
Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan keyakinan, namun sama dengan kenyataan, sebagaimana orang munafik, mereka mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus Sunnah.
3. Dusta Orang Dungu
Maksudnya adalah kedustaan yang berbeda dengan kenyataan namun serasi dengan keyakinan, seperti orang yang percaya akan keshalehan orang sufi yang mubtadi' (ahli bid'ah), lalu dia menyebutnya sebagai wali.

Perisai bagi Seorang Pelajar

Perisai seorang ulama adalah ucapan: "Saya tidak tahu," dan tirainya akan dirobek oleh kesombongan tidak mau mengucapkannya, juga ucapannya: "Katanya." Berdasarkan prinsip ini, maka kalau setengah ilmu adalah ucapan "saya tidak tahu," maka setengah kebodohan adalah ucapan "katanya atau saya kira."

Ini benar dan ini juga sebagai pelengkap penjelasan sebelumnya, bahwa seseorang itu wajib berkata "saya tidak tahu," apabila memang tidak tahu. Ini tidak akan membahayakannya, bahkan akan menambah kepercayaan orang lain kepadanya.

Adapun ucapan Syaikh: "Setengah kebodohan adalah ucapan saya kira atau katanya," ini juga benar. Karena, sebagian orang awam banyak yang ditanya hukum ini halal atau haram. Dia menjawab, "Saya kira ini haram." Bolehkah kita percaya pada ucapan orang awam? Tidak boleh, oleh karena itu betapa banyak manusia yang diberi fatwa oleh orang-orang awam dengan fatwa yang salah, terutama sekali saat musim haji.

Menjaga Modal Utamanya, yaitu Waktu dan Umur Mu

Pergunakanlah selalu waktumu untuk belajar, selalulah bekerja, jangan menganggur dan malas, beradalah di tempat kerja jangan berada di tempat begadang malam. Jagalah waktumu dengan selalu bekerja keras, belajar, berkumpul dengan para guru, menyibukkan diri dengan membaca maupun mengajar, merenung, menelaah, menghafal, dan meneliti. Terutama pada saat masih muda yang ketika itu engkau masih sehat. Manfaatkanlah waktu yang sangat berharga ini agar engkau mampu mendapatkan derajat ilmu yang tinggi, karena waktu muda adalah waktu yang bagus untuk kosentrasi hati dan pikiran, karena masih sedikit untuk memenuhi kehidupan dan kepemimpinan, juga saat beban dan tanggungan masih ringan.

Oleh karena itu, Umar bin Khaththab berkata, "Belajarlah kalian sebelum menjadi pemimpin." Karena, seseorang kalau sudah menjadi pemimpin akan banyak urusannya, lalu pikirannya pun bercabang, sehingga konsentrasinya pun buyar. Saat dia ingin mengerjakan sesuatu tiba-tiba ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak dari yang akan dia kerjakan sebelumnya, maka dia pun harus mengurungkan niatnya. Oleh karena itu, sungguh-sungguhlah engkau belajar mumpung masih memiliki waktu longgar. Jadikanlah lembaran-lembaran kitab itu menjadi rutinitas pandangan matamu. Ketahuilah bahwasannya kalau engkau telah terbiasa dengan sungguh-sungguh dalam belajar, maka ini akan menjadi kebiasaanmu.

Jadikanlah penelitianmu itu terarah dengan baik, jangan asal comot dari sana-sini. Jadikanlah penelitianmu secara runut dari yang sangat penting ke yang penting terlebih dahulu, sehingga engkau mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan setiap permasalahan dari kaidahnya, serta mampu mengeluarkan cabang dari pokoknya.

Jangan sampai engkau suka menunda-nunda pekerjaan, jangan katakan, "Nanti kalau sudah selesai dari pekerjaan ini ... nanti kalau sudah pensiun ... atau lainnya." Namun, bergegaslah sebelum engkau terkena untaian bait syair Abu Thahhan al-Qaini:
"Tubuhku membungkuk oleh karena sudah tua,
sehingga sekarang saya seakan-akan orang merunduk untuk mendekati binatang buruan.
Saya berjalan sangat lambat,
sehingga orang lain menyangka akan terikat padahal tidak."

Berkata Usamah bin Munqidz:
"Pada umur 80 tubuhku sudah dikuasai oleh kelemahan.
Dan lemahnya kaki serta tanganku sangat menyusahkanku.
Kalau saya menulis, maka tulisanku seperti tulisan orang yang gemetar.
Saya heran dengan lemahnya tanganku, padahal hanya untuk memegang pena.
Padahal dahulu mampu menancapkan tombak di leher singa.
Katakanlah kepada orang yang ingin berumur panjang.
Ini adalah kesudahan dari orang yang berumur panjang."

Namun, jika engkau bersegera belajar, maka itu adalah bukti bahwa engkau benar-benar mempunyai cita-cita yang besar dalam menuntut ilmu.

Istirehat

Luangkanlah sedikit waktumu untuk istirehat di taman ilmu dengan menelaah kitab-kitab tsaqafah umum, karena hati itu harus diistirahatkan sewaktu-waktu. Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib bahwasannya beliau berkata, "Rilekkanlah hatimu dengan mempelajari keunikan ilmu dan hikmah, karena hati itu bila merasa bosan (jenuh) sebagaimana badan." (Lihat Kasyful Khafa' [I/524]).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang hikmah dilarangnya shalat sunnah di semua waktu, "Larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu terdapat banyak manfaatnya, yaitu untuk mengistirahatkan jiwa beberapa saat dari lelahnya ibadah, sebagaimana bisa juga istirahat dengan tidur atau lainnya, oleh karena itu Mu'adz bin Jabal berkata, 'Sesungguhnya saya mengharapkan pahala dengan tidurku sebagaimana saya juga berharap pahala saat aku terjaga'." (Majmu' Fatawa [XXIII/187]).

Syaikhul Islam juga berkata, "Bahkan termasuk hikmah larangan menjalankan shalat sunnah di sebagian waktu adalah untuk mengistirahatkan jiwa saat waktu terlarang agar jiwa bisa semangat lagi saat menjalankan shalat, karena jiwa itu akan bersemangat untuk menjalankan ibadah yang tadinya dilarang, juga akan rajin untuk menjalankan shalat setelah beristirahat. Wallaahu a'lam." (Majmu' Fatawa [XXIII/217]).

Dari sini harus kita ketahui bahwasannya merilekkan hati dan memberinya sedikit waktu untuk istirahat agar nantinya bisa semangat lagi adalah sesuatu yang disyariatkan seperti dalam sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya jiwamu punya hak atasmu begitu juga Rabb-mu mempunyai hak atasmu serta keluarga dan istrimu pun juga mempunyai hak atsmu, maka berikanlah hak mereka masing-masing." (HR Bukhari). Sebenarnya hadits inilah timbangan utama yang bisa membuat hati menjadi tenang, bukan apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali, dan lainnya. Seandainya Syaikh berdalil dengan hadits ini, pasti akan semakin jelas permasalahannya.

Kami temukan hal semacam ini dalam kitab-kitab adab belajar dan juga kitab sejarah. Sebagai sebuah contoh kitab Adab al-Mu'allimin oleh Imam As-Suhnun (hlm. 104), Ar-Risalah al-Mufashshalah oleh Al-Qabishy (hlm. 135-137), Asy-Syaqa'iq an-Nu'maniyyah (hlm. 120), Abjadul 'Ulum (I/195-196), Alaisa ash-Shubbu Biqariib oleh Thahir Ibnu 'Asyur, Fatawa Rasyid Ridha (1212), Mu'jamul Buldan (III/102), dan Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/318-320, 329).

Pembetulan dan Melancaran Bacaan

Bersungguh-sungguhlah untuk membetulkan bacaanmu kepada seorang guru yang mumpuni agar engkau terbebas dari penyelewengan, kesalahan, dan perubahan kata. Apabila engkau amati biografi para ulama, terutama para pakar ahli hadits, niscaya akan engkau dapatkan jumlah yang tidak sedikit, mereka membaca kitab-kitab besar di banyak majelis dan selama berhari-hari untuk sekadar membetulkan bacaan kepada seorang guru yang mumpuni.

Poin ini sangat penting, yaitu memantapkan ilmu dan meluruskannya agar menancap di hati, karena itulah ilmu yang sebenarnya. Dan itu harus dilakukan dengan seorang guru (syaikh) yang mumpuni, adapun guru karbitan (pura-pura jadi syaikh), maka hindarilah dia, karena dia akan banyak membahayakanmu.

Pemantapan ilmu itu ada cara tersendiri dalam setiap disiplin ilmunya. Kadang-kadang engkau dapati ada seorang guru yang bisa menguasai ilmu fara'idh namun tidak menguasai hukum seputar shalat, juga ada orang yang menguasai ilmu bahasa namun tidak menguasai ilmu syar'i. Maka, mantapkanlah ilmumu dari seorang alim yang menguasainya selagi hal itu tidak membahayakanmu, misalnya kalau engkau mendapatkan seseorang yang sangat menguasai ilmu bahasa Arab namun dia menyeleweng dalam aqidah dan akhlaknya, maka orang semacam ini tidak selayaknya kita berguru kepadanya, karena hal itu akan membuat banyak orang tertipu, mereka akan menyangka bahwasannya dia itu berada di atas kebenaran. Kita harus belajar kepada orang lain yang aqidahnya lurus dan akhlaknya baik, meskipun sebenarnya orang tadilah yang paling menguasai ilmu tersebut.

Al-Hafidz Ibnu Hajar membaca Shahih al-Bukhari dalam sepuluh majelis, dan setiap majelis selama sepuluh jam. Beliau juga membaca Shahih Muslim dalam empat majelis sekitar dua hari hari lebih sedikit.

Kalau begitu berapa jamkah itu semua? Seratus jam! Allaahul musta'an (hanya kepada Allah kami memohon pertolongan). Namun, itu hanya membaca saja tanpa keterangan dan pemahaman.

Pekerjaan ini beliau slesaikan pada hari Arafah tepatnya pada hari Jumat tahun 813 H. Beliau juga membaca Sunan Abu Dawud dalam empat majelis dan Mu'jam ath-Thabrani ash-Shaghir hanya dalam satu majelis antara shalat dhuhur dan ashar. Begitu juga guru beliau, Imam Al-Fairuz Abadi, saat berada di Damaskus beliau membaca Shahih Muslim dengan bacaan cermat (tepat) pada gurunya, Ibnu Jahbal, selama tiga hari. Ada banyak kisah aneh, lagi menakjubkan, tentang hal semacam ini dari Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Mu'taman as-Saji, Ibnul Abar, dan selain mereka yang akan sangat panjang kalau disebutkan satu per satu, cukup lihat saja di dalam kitab Siyar A'lamin Nubala' oleh Imam Adz-Dzahabi (XVIII/277-279, XIX/310, XXI/253), juga Thabaqaat asy-Syaafi'iyyah karya Imam As-Subki (IV/30), Al-Jawaahir wad-Durar oleh Imam As-Sakhawi (I/103), Fat-hul Mughiits (II/46), Sadzaraatudz Dzahab (VIII/121, 206), Hulaashatul Atsar (I/72-73), Fihris al-Fahaaris oleh Al-Kattani dan Taajul Aruus (I/45-46). Maka, jangan sampai engkau melupakan bagianmu dalam hal itu.

Menelaah Kitab-Kitab Besar

Menelaah kitab-kitab yang besar adalah perkara yang sangat penting agar memperoleh banyak ilmu pengetahuan, meluaskan pemahaman, mengeluarkan hal-hal tersembunyi dari lautan faedah ilmiah dan istimewa, berpengalaman dalam mencari titik-titik pembahasan dan masalah-masalah ilmiah serta bisa mengetahui cara para ulama dalam karya ilmiah dan istilah mereka. Dahulu para ulama selalu menulis pada akhir bacaan mereka kalimat: "Sampai di sini," agar tidak ada yang terlewatkan saat ingin mengulangi kembali, terutama kalau sudah lama ditinggalkan.

Pembahasan ini masih perlu dirinci. Karena, menelaah kitab-kitab besar bisa bermanfaat bagi seorang pelajar namun bisa juga membahayakannya. Kalau dia seorang pelajar yang masih pemula, maka menelaah kitab-kitab besar semacam itu akan membawa kehancuran pada dirinya, gambarannya semacam orang yang tidak pandai berenang lalu terjun ke dalam air. Namun, kalau dia orang yang sudah berilmu, namun masih ingin menambah ilmu pengetahuannya lagi, maka menelaah kitab-kitab besar ini adalah sesuatu yang baik.

Adapun menulis lafaz "Sampai di sini", ini adalah sesuatu yang baik, yang mengandung dua faedah: (1) agar engkau tidak lupa aya yang sudah engkau baca, (2) agar orang lain mengetahui bahwa engkau sudah menguasainya, maka dia akan semakin percaya kepadamu.

Bertanya dengan Baik

Beradablah yang baik ketika bertanya, mendengarkan, memahami jawaban dengan baik, dan setelah mendapatkan jawaban janganlah engkau mengatakan, "Ustadz Fulan berkata begini dan begitu," karena ini adalah adab yang hina dan mengadu domba antar-para ulama, jauhilah hal ini. Dan jika memang hal itu harus engkau lakukan, maka jelaskanlah dalam bentuk pertanyaan, katakanlah, "Apa pendapat Anda tentang fatwa semacam ini," dan jangan engkau sebutkan namanya.

Berkata Imam Ibnul Qayyim, "Apabila engkau belajar kepada seorang ulama, maka bertanyalah dengan tujuan agar engkau mengetahui jawabannya, bukan untuk membantahnya." (Lihat Miftah Darus Sa'adah [hlm. 168]).

Beliau juga berkata, "Ilmu itu mempunyai enam tingkatan: (1) bertanya dengan baik, (2) mendengarkan dengan baik, (3) memahami dengan baik, (4) menghafal, (5) mengajarkan, (6) mengamalkan dan menjaga adab-adabnya. Dan, inilah buah dari sebuah ilmu. Kemudian, beliau menerangkan satu per satu dengan sebuah penjelasan yang penting.

Pertama, bertanya dengan baik. Ini kalau memang butuh bertanya, kalau tidak butuh, jangan bertanya. Namun, kalau Anda mau bertanya dengan maksud agar orang lain mengetahui meskipun Anda sendiri sudah mengetahui, maka boleh, bahkan orang yang bertanya semacam ini sama saja dengan mengajarkan ilmu kepada mereka. Karena, Rasulullah saw. tatkala didatangi oleh Jibril a.s., lalu beliau bertanya tentang Islam, iman, dan ihsan, serta tanda-tanda hari kiamat, maka Rasulullah saw. bersabda, "Dia itu Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan ajaran agama kalian." (HR Muslim). Namun, jika dia bertanya agar dipuji oleh orang lain, ini adalah sebuah sikap yang salah. Juga merupakan sebuah kesalahan kalau ada yang mengatakan, "Saya tidak ingin bertanya karena malu."

Kedua, mendengarkan dengan baik (cukup jelas).

Ketiga, memahami dengan baik (cukup jelas).

Keempat, menghafal. Mengahafal ini ada dua macam.
1. Sesuatu yang secara tabiat diberikan oleh Allah Ta'ala kepada orang yang dikehendaki-Nya. Kadang ada orang yang menghadapi sebuah masalah, lalu mempelajarinya dan menghafalnya, dan tidak pernah melupakannya.

2. Menghafal dengan usaha, maksudnya seseorang melatih diri untuk menghafal dan mengingat-ingat apa yang telah dihafalkannya. Kalau orang ini sering mengulang-ulang, maka akan mudah baginya menghafalkannya.

Kelima, mengajarkan. Dalam pandanganku (editor isi: Abu 'Azzam, red) bahwa ini adalah tingkatan yang keenam, dan yang kelima adalah mengamalkan ilmunya. Dia harus mengamalkan ilmunya untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum memperbaiki orang lain, lalu baru mengajarkan kepada orang lain. Rasulullah saw. bersabda, "Mulailah dari dirimu sendiri kemudian keluargamu." Oleh karena itu, amalkanlah dahulu sebelum mengerjakannya. Namun, bisa saja engkau mengatakan bahwa mengajarkannya termasuk mengamalkan ilmu, karena di antara cara mengamalkan ilmu adalah engkau laksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allah Ta'ala dengan cara menyebarkan dan mengajarkannya.

Diskusi dengan tanpa Perdebatan

Jauhilah perdebatan karena akan menjadi bencana. Adapun berdiskusi dalam kebenaran adalah kenikmatan, sebab akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang bathil, mana yang kuat dan tidak. Diskusi ini didasari atas saling manasihati, kasih sayang, dan keinginan menyebarkan ilmu. Adapun perdebatan hanyalah ingin menang, riya, mencari kesalahan, sombong, yang penting menang, permusuhan, dan membodohi orang yang memang bodoh. Maka, jauhilah perdebatan ini, juga jauhilah orang yang suka berdebat, niscaya engkau akan selamat dari dosa dan perbuatan haram.

Saudaraku ..., hendaknya engkau mencari kebenaran, baik saat berdebat dengan orang lain ataupun saat merenung sendirian, kalau kebenaran itu sudah nampak, maka segeralah mengatakan saya dengar dan saya akan menaatinya. Oleh karena itu, para sahabat menerima hukuman Rasulullah saw. tanpa membantah sedikit pun, juga mereka tidaklah mengatakan bagaimana pendapatmu tentang hal ini dan itu. Ada seorang yang berdebat dengan Abdullah bin Umar, lalu dia berkata, bagaimana pendapatmu? Maka, beliau menjawab, "Jadikanlah ucapanmu (bagaimana pendapatmu) di negeri Yaman." Karena, orang tersebut memang berasal dari Yaman.

Tatkala orang-orang Irak bertanya kepada beliau tentang darah nyamuk, apakah boleh membunuh nyamuk ataukah tidak, maka beliau menjawab, "Subhanallah, orang-orang Irak ini membunuh cucu Rasulullah, lalu mereka datang untuk bertanya tentang darah nyamuk?" Tidak diragukan lagi bahwa orang semacam ini hanyalah ingin berdebat saja.

Mengulangi Pelajaran

Bergembiralah dengan mengulangi pelajaran dan mendiskusikannya bersama orang-orang yang cerdas, karena hal ini terkadang bisa lebih baik daripada menelaah ilmu sendiri. Juga, bisa mengasah otak dan membuat kuatnya ingatan, dengan tetap bersikap sportif, lembut, dan menjauhi kecurangan, tidak berbuat zalim, kacau, dan serampangan. Namun, berhati-hatilah karena mengulang pelajaran ini akan mengungkap cela orang yang tidak serius, juga kalau mengulangi pelajaran bersama orang yang rendah ilmunya dan otaknya tumpul bisa menjadi sebuah penyakit. Adapun kalau engkau mengulangi pelajaran dengan sendirian, maka memang itu harus engkau lakukan, dalam sebuah ungkapan, "Menghidupkan ilmu itu adalah dengan cara mengulang-ulangnya."

Selalu Hidup Bersama Al-Qur'an dan As-Sunnah serta Cabang-Cabang Ilmunya

Karena, Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah semacam dua sayap burung, maka jangan sampai salah satu sayap itu terputus.

Ini adalah salah satu adab belajar. Seorang pelajar harus selalu besanding dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sebagaimana seekor burung yang tidak bisa terbang kecuali dengan dua sayap, apabila salah satu dari keduanya patah, maka dia tidak akan bisa terbang lagi. Kalau begitu, janganlah engkau selalu memperhatikan As-Sunnah lalu meremehkan Al-Qur'an. Atau sebaliknya, memperhatikan Al-Qur'an namun meremehkan As-Sunnah.

Ada lagi perkara yang ketiga yang harus diperhatikan, yaitu perkataan para ulama, meskipun ini sudah tercakup dalam ucapan Syaikh: "Dan cabang-cabang ilmu keduanya. Janganlah engkau meremehkan perkataan para ulama, karena mereka lebih dalam ilmunya daripada ilmumu, juga mereka mempunyai kaidah-kaidah syara' yang tidak engkau ketahui." Oleh karana itulah para ulama apabila menguatkan salah satu pendapat, mereka selalu mengatkan, "Kalau memang ini sudah ada yang mengatakannya, maka inilah pendapat kami. Namun, kalau belum ada yang mengucapkannya, maka kami pun tidak mengatakannya."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah apabila berpendapat sesuatu yang beliau sendiri belum mengetahui ada yang berpendapat demikian--padahal beliau sangat luas ilmunya--, maka beliau mengatakan, "Saya berpendapat demikian jika ada yang sudah berpendapat demikian." Jangan mengambil pendapatnya sendiri, lalu berkata, "Saya bisa memahami sendiri Al-Qur'an, tidak perlu melihat pendapat orang lain." Ini adalah sebuah kesalahan.

Menyempurnakan Ilmu Alat dalam setiap Disiplin Ilmu

Engkau tidak akan pernah menjadi seorang pelajar yang bagus selagi tidak menyempurnakan ilmu alat dalam setiap disiplin ilmu, sampaipun kalau si unta masuk ke lubang jarum. Dalam bidang fiqih harus menguasai ilmu fiqih dengan ushul fiqih. Dalam ilmu hadits antara ilmu riwayah dengan dirayah, dan begitu seterusnya. Kalau tidak demikian, maka jangan menyusahkan diri. Allah Ta'ala berfirman, "Orang-orang yang telah beri al-kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya ...." (Al-Baqarah: 121).

Dari ayat ini diambil pelajaran bahwa seorang pelajar janganlah meninggalkan sebuah disiplin ilmu sehingga menguasainya dengan baik.

Yang dimaksud dengan tilawah di sini adalah membaca lafaz dan memahami maknanya serta mengamalkannya. Karena, diambil dari kata "talaahu" yang artinya adalah mengikutinya. Orang-orang yang telah diturunkan kepada mereka kitab tidak mungkin dinamakan ahli kitab kecuali kalau mereka membacanya dengan sebenar-benarnya.

Yang dimaksud ilmu riwayah adalah meriwayatkan sanad dan rawi hadits, sedangkan yang dimaksud dirayah adalah memahami maknanya.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu 'Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa
~*~*~*~

Hal-Hal yang perlu Dihindari dalam Menuntut Ilmu
Jumat, 15 Februari 2008 21:43
AddThis

Jangan Berkhayal
Jangan sampai engkau berhayal, yang mana di antaranya adalah engkau mengaku mengetahui sesuatu yang tidak engkau ketahui, atau mengaku menguasai sesuatu yang sebenarnya tidak engkau kuasai. Jika engkau melakukan itu, niscaya akan menjadi tabir tebal yang menghalangimu dari mendapatkan ilmu.

Ini benar ... terkadang ada sebagian orang yang memperlihatkan dirinya seakan-akan dia itu seorang ulama yang luas wawasannya. Kalau dia ditanya, maka akan diam sebentar seakan-akan sedang merenung, kemudian dia mengangkat kepala seraya berkata, "Terdapat dua pendapat dalam masalah ini."

Janganlah engkau mengaku menjadi seorang ulama yang bisa memberi fatwa, padahal sebenarnya engkau tidak mempunyai ilmu sama sekali. Karena, perbuatan ini adalah kebodohan dan kesesatan. Oleh karena itu, Syaikh berkata, "Jika engkau melakukan itu, niscaya akan menjadi tabir tebal yang menghalangimu dari mendapatkan ilmu."

Jangan Sampai Engkau Menjadi "Abu Syibr" (yang Dangkal Ilmunya)

Dikatakan bahwa ilmu itu ada tiga tingkatan, barang siapa yang berada pada tingkatan pertama, maka dia akan sombong, dan barang siapa yang berada pada tingkatan yang kedua, maka dia akan tawadhu', dan barang siapa yang berada pada tingkatan ketiga, maka dia akan mengetahui bahwa dirinya itu tidak punya ilmu.

Orang yang pertama itu sombong karena belum mengenal hakikat dirinya. Orang kedua bersikap tawadhu', namun dia masih memandang dirinya sebagai orang yang berilmu, sedangkan orang yang ketiga akan mengetahui bahwa dirinya itu bodoh, yang tidak mengetahui apa pun. Namun, yang ketiga ini apakah dia itu terpuji atau tercela? Jikalau engkau memandang bahwa dirimu itu orang yang bodoh, maka sudah pasti engkau tidak akan berani untuk berfatwa. Oleh karena itu, sebagian pelajar tidak pernah bisa bersikap tegas, dia selalu brkata, "Masalah ini tampaknya demikian atau ada kemungkinan bermakna demikian." Oleh karena itu, selagi Allah Ta'ala memberikan ilmu kepadamu, maka anggaplah dirimu sebagai orang yang berilmu, tegaslah dalam menjawab sebuah masalah, jangan jadikan orang yang bertanya menjadi korban banyak kemungkinan, jika itu engkau lakukan maka engkau tiak akan bisa memberi faedah kepada orang lain, namun orang yang tidak memiliki ilmu yang mapan, maka seharusnya dia mengaku tidak mempunyai ilmu.

Sudah Menyampaikan Ilmu sebelum Mempunyai Keahlian

Hindarilah menyampaikan ilmu sebelum punya keahlian, karena itu merupakan cela dalam ilmu dan amal. Dikatakan: "Barang siapa yang menyampaikan ilmu sebelum waktunya, maka sungguh dia telah menjatuhkan dirinya dalam kehinaan."

Termasuk hal yang wajib untuk dihindari adalah menyampaikan ilmu sebelum dia memiliki keahlian untuk hal itu. Karena, perbuatan itu adalah sebagai bukti atas beberapa hal.

1. Perasaan ta'ajjub pada dirinya sendiri, dikarenakan dia memandang dirinya sebagai seorang yang berilmu.
2. Itu menunjukkan kebodohannya serta ketidakpahamannya dalam menghadapi masalah ini, dikarenakan apabila orang lain melihat dia sudah berani menyampaikan ilmu, maka mereka akan menanyakan kepadanya banyak masalah yang nantinya akan membongkar kedoknya.
3. Kalau dia menyampaikan ilmu sebelum punya keahlian pasti dia akan mengatakan atas nama Allah sesuatu yang tidak dia ketahui, karena kebanyakan orang yang punya maksud dan tujuan seperti ini, dia tidak peduli meskipun harus menghancurleburkan ilmu itu sendiri dan yang penting dia menjawab semua pertanyaan.
4. Seseorang itu apabila sudah menyampaikan ilmu kebanyakan tidak lagi mau menerima kebenaran, karena dengan kebodohannya dia menyangka bahwa jika dia tunduk kepada orang lain meskipun dia benar adalah bukti bahwa dia bukan orang yang ahli dalam bidang ilmiah.

Pura-Pura Pandai

Hati-hati terhadap apa yang dijadikan penghibur oleh orang-orang yang bangkrut dalam dunia ilmiah, yaitu dia mempelajari satu atau dua masalah, lalu apabila dia berada di majelis ilmu yang di dalamnya ada orang yang terpandang, maka dia selalu melontarkan dua permasalahan tadi. Betapa seringnya perbuatan seperti ini menimbulkan cela, setidak-tidaknya orang lain akan mengetahui jati dirinya yang sebenarnya. Saya telah menerangkan permasalahan ini dan yang semisalnya dalam kitab At-Ta'alum.

Ada seseorang yang datang bertanya kepada seorang ulama yang terkenal dengan keilmuannya tentang suatu masalah yang dia sudah membahasnya dan menelitinya dengan berbagai dalil dan silang pendapat antara para ulama yang ada. Lalu dia berkata kepada seorang ulama yang hebat: "Apa pendapatmu tentang masalah begini dan begitu?" Lalu, apabila si ulama menjawab, "Haram," misalnya, maka dia pun mengatakan, 'Lalu, bagaimana dengan sabda Rasulullah yang berbunyi demikian, juga bagaimana dengan ucapan imam Fulan demikian." Lalu, dia pun melontarkan dalil-dalil yang tidak diketahui oleh ulama tersebut, karena seorang ulama sekalipun tentu tidak dapat menguasai semua masalah. Tujuan orang itu adalah ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih pandai daripada ulama tersebut. Dari sini, maka orang-orang awam akan membicarakannya, "Kemarin si Fulan berada di Majelis ulama Fulan, lalu dia tidak bisa menjawab pertanyaannya."

Ini terjadi pada sebagian ulama dan penuntut ilmu pada saman ini, dia memiliki ilmu tertentu seperti menekuni kitab nikah dan menelitinya dengan baik, namun kalau dia beralih ke bab jual beli yang letaknya sebelum kitab nikah, dia sama sekali tidak mengetahuinya. Banyak orang sekarang yang pura-pura pandai dalam ilmu hadits, dia berkata, "Si Fulan meriwayatkan dari Fulan, dan dalam hadits ini ada sanad yang terputus, dan sebab terputusnya adalah demikian." Namun, kalau engkau tanya dia tentang salah satu ayat Al-Qur'an, dia tidak bisa menjawabnya.

Hanya Mengisi Kekosongan Kertas

Sebagaimana engkau juga jangan sampai menulis kitab yang tidak bermakna serta tidak memenuhi delapan tujuan karya tulis, yang paling terakhir adalah jangan menulis hanya untuk mengisi kekosongan kertas. Maka, hati-hatilah dari menulis sebuah kitab sebelum engkau benar-benar ahli dan sudah memperoleh alat-alatnya secara sempurna serta sudah matang secara ilmiah dalam bimbingan para gurumu. Karena, engkau akan menulis sebuah cela dan menampakkan kehinaan pada dirimu.

Adapun bagi orang-orang yang memang sudah ahlinya, dan sudah sempurna ilmunya serta banyak ilmu yang diketahuinya dengan mempelajari kitab-kitab yang besar dan menghafal kitab yang kecil, juga dia bisa mengingat semua permasalahannya, maka menulis sebuah kitab baginya adalah perbuatan yang sangat mulia sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama.

Jangan lupakan ucapan Al-Khathib al-Baghdadi, "Barang siapa yang menulis kitab, maka berarti dia telah menjadikan akal pikirannya dalam sebuah nampan yang dia tawarkan kepada orang lain."

Syarat-syarat yang disebutkan oleh Syaikh ini tidak mungkin terpenuhi pada saat ini. Karena, saat ini kita banyak menemukan beberapa kitab yang ditulis oleh orang-orang yang tidak dikenal sebagai ulama. Seandainya engkau menelaah apa yang mereka tulis, akan engkau dapati bahwa kitab itu tidak keluar dari orang yang sudah mapan keilmuannya, hanya berisi banyak nukilan yang kadang-kadang disandarkan pada yang mengakatannya dan terkadang tidak. Yang penting kita tidak terlebih dahulu berbicara tentang niat, karena niat itu hanya Allah yang mengetahuinya, namun kita katakan, "Tunggulah waktunya ... tunggulah waktunya."

Kalau nanti engkau sudah memiliki ilmu dan kemampuan, maka berilah ulasan kitab-kitab tersebut dengan sebaik-baiknya, karena memang sebagiannya belum terdapat dalil-dalilnya secara lengkap.

Sikap Anda terhadap Kesalahan Para Ulama Terdahulu

Apabila engkau mendapatkan kesalahan seorang ulama, maka janganlah engkau senang untuk bisa merendahkan martabatnya, namun senanglah karena engkau bisa membenarkan kesalahannya. Karena, orang yang jujur akan mamastikan bahwa tidak ada seorang ulama pun yang lepas dari kesalahan dan kealpaan, terutama ulama yang banyak karya ilmiahnya.

Tidak ada orang yang senang untuk meremehkannya dengan kesalahan ini kecuali orang yang berlagak pandai, orang semacam ini ingin menyembuhkan sakit pilek malah mengakibatkan sakit lepra.

Ya ... memang harus diingatkan kesalahan atau kelalaian seorang ulama yang sudah dikenal tentang keilmuan dan keutamaannya, namun jangan sampai hal itu berakibat mengurangi kehormatannya yang akan bisa membuat orang lain terpedaya.

Sikap seseorang terhadap kesalahan para ulama, baik yang hidup sebelumnya atau yang semasa dengan dia ada dua cara.
(1) Meluruskan kesalahannya. Seseorang wajib mengingatkan sebuah kesahalan orang lain meskipun dia seorang ulama besar, baik dia hidup semasa dengannya atau sebelumnya, karena menjelaskan kesalahan seseorang adalah hal yang wajib. Dan, jangan sampai menghilangkan sebuah kebenaran hanya karena menghormati orang yang mengatakan kebatilan, karena menghormati kebenaran itu lebih diutamakan.
 (2) Terkadang ada orang yang menyebutkan kesalahan ulama semasanya atau yang sebelumnya dengan tujuan membongkar aibnya, bukan untuk mnejelaskan kebenaran. Ini hanya terjadi dari orang yang punya penyakit hasad dalam hatinya. Dia berharap bisa menemukan sebuah pendapat yang lemah atau kesalahan orang lain, lalu dia menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, engkau jumpai ahli bid'ah melecehkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mereka mencari-cari sesuatu yang paling bisa digunakan untuk mencelanya, lalu mereka menyebarkannya dan menghinanya. Mereka katakan, "Ibnu Taimiyah menyelisihi ijma' tatkala mengatakan bahwa thalaq tiga sekaligus dihitung satu. Ini adalah pendapat yang aneh, dan barang siapa yang berpendapat aneh (sendiri), maka dia akan masuk neraka. Dia juga menghukumi bahwa seorang suami jika mengatakan kepada istrinya: "Engkau saya cerai," maka dia harus membayar kaffarah (denda) sumpah, padahal dia tidak bersumpah sama sekali dan hanya mengatakan, "Jikalau engkau berbuat begini, maka engkau saya ceraikan."
Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa Allah masih terus berbuat, dan pendapat ini mempunyai konsekuensi bahwasannya ada yang qadim selain Allah, karena semuanya ini terjadi dengan perbuatan Allah, maka jika perbuatan Allah itu qadim, maka yang terjadi akibat perbuatan itu pun qadim, sehingga dengan demikian dia telah mengatakan adanya dua ilah. Juga ucapan semisalnya yang mereka ambil dari sebagian ketergelinciran beliau, lalu mereka menyebarkannya di tengah-tengah masyarakat.
Padahal, yang benar dalam semua masalah ini adalah beliau. Namun, karena mereka itu adalah orang yang hasad lagi pendendam--na'udzubillaah min dzalik--maka lain lagi urusannya.

Oleh karena itu, sikapmu terhadap kesalahan ulama sebelummu hendaklah didaari dengan tujuan mencari kebenaran. Karena, barang siapa yang tujuannya mencari kebenaran, maka akan diberi taufiq untuk menerima kebenaran tersebut. Adapun orang yang bertujuan untuk membongkar kesalahan orang lain, seperti orang yang mencari-cari kesalahan saudaranya, maka orang semacam itu akan dicari-cari kesalahannya oleh Allah. Dan barang siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah, maka Allah akan membongkar aibnya walaupun dia sembunyi di dalam rumah ibunya.

Orang yang jujur adalah orang yang mampu berkata adil. Orang semacam ini kalau menelaah ucapan para ulama niscaya akan mengetahui bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali mempunyai kesalahan dan kelalaian, terutama orang yang banyak menulis karya-karya ilmiah dan banyak berfatwa. Oleh karena itu, sebagian orang berkata, "Barang siapa yang banyak berbicara, akan banyak kesalahannya, dan barang siapa yang sedikit bicaranya, akan sedikit kesalahannya."

Menolak Syubhat

Jangan jadikan hatimu seperti bunga karang laut yang bisa menerima apa pun yang mendatanginya. Hindarilah syubhat pada dirimu, juga orang lain, karena syubhat itu sangat menyambar-nyambar dan hati itu lemah, dan orang yang paling banyak menebarkan syubhat adalah para ahli bid'ah, maka hati-hatilah terhadap mereka.

Ini adalah wasiat yang disampaikan oleh Imam Ibnu Taimiyah kepada murid beliau, Imam Ibnul Qayyim, beliau berkata, "Jangan jadikan hatimu seperti bunga karang laut, yang bisa menerima semua yang masuk padanya, namun jadikanlah seperti kaca bersih, dia bisa menampakkan apa yang ada di belakangnya tanpa harus terpengaruh dengan apa pun yang mengenainya."

Kebanyakan orang tidak mempunyai ketetapan hati dan dia selalu memikirkan berbagai syubhat. Alangkah benarnya perkataan para ulama, "Seandainya kita menuruti berbagai syubhat aqliyah, maka tidak akan ada satu pun nash yang selamat, pasti semuanya menjadi ragu-ragu dan penuh dengan berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, para sahabat Nabi mengambil makna zhahir Al-Qur'an dan As-Sunnah dan tidak merenung sambil berkata, "Kalau ada yang bertanya begini bagaimana?"

Berjalanlah sesuai dengan zhahir Al-Qur'an, karena yang zhahir itulah pokok makna Al-Qur'an. Tatkala engkau melihat sejarah Rasulullah bersama para sahabatnya, niscaya akan engkau jumpai bahwa mereka memahami sesuatu sesuai dengan zhahirnya. Saat Rasulullah mengatakan kepada para sahabat bahwa Allah Ta'ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, apakah mereka mengatakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara turun Allah? Apakah langit itu cukup bagi-Nya? Apakah mereka menanyakan seperti itu? Tidak ...!

Oleh karena itu, saya nasihatkan kepada kalian agar jangan memikirkan hal-hal tersebut, terutama sekali pada masalah ghaib, karena akal manusia akan bimbang kalau terus memikirkannya dan tidak akan pernah mengetahui hakikatnya. Biarkanlah dia sesuai dengan zhahirnya. Katakan: "Kami dengar dan kami imani serta kami percayai." Karena, yang ada di balik itu masih lebih besar lagi. Inilah sebenarnya yang selayaknya dilakukan oleh penuntut ilmu.

Hindari Kesalahan

Jauhilah lahn (kesalahan), baik dalam kata-kata maupun tulisan. Karena, kata-kata dan tulisan yang disampaikan tanpa kesalahan akan nampak agung dan bersih. Juga akan nampak manisnya sebuah makna yang terpancar dari kata-kata indah tanpa salah. Umar bin Khaththab mengatakan,
 "Belajarlah bahasa Arab, karena itu akan menambah kewibawaanmu." [1] Diceritakan bahwa para ulama salaf terdahulu biasa mumukul anak mereka karena kesalahan bahasa. Imam Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ar-Rahabi, beliau berkata, "Saya mendengar sebagian sahabat kami berkata, 'Apabila ada seseorang yang sering salah menyalin tulisan dari tulisan orang yang sering salah, dan tulisan itu juga disalin oleh orang yang sering salah, maka jadilah tulisan itu bahasa Persia'." [2]

[1] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'ab (1765) dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Al-Jami' (1067).
[2] Lihat Al-Jami' (1064).

Al-Mubarrid berkata:
"Ilmu nahu bisa membetulkan lisan orang yang salah.
Dan orang akan dihormati apabila dia tidak salah bicara.
Apabila engkau menginginkan ilmu yang paling utama.
Maka yang paling utama adalah yang bisa meluruskan lisanmu."
(Bait syair ini bukan ucapan Al-Mubarrid, namun ucapan Ishaq bin Khalaf al-Baharani. Lihat Al-Kamil [II/536-537]).

Dari sini, maka jangan percayai ucapan Al-Qasim bin Mukhaimirah rhm., "Belajar nahu itu awalnya hanya akan menyibukkan diri dan berakhir dengan kezaliman."

Juga, jangan percayai ucapan Bisyir al-Hafi rhm. tatkala ada yang berkata kepadanya, "Belajarlah ilmu nahu."
Dia menjawab, "Nanti saya akan tersesat."
Dia berkata lagi, "Katakanlah 'Ali telah memukul 'Amr."
Bisyr berkata, "Wahai saudaraku, kenapa 'Ali memukulnya?"
Dia menjawab, "Wahai Abu Nashr (panggilan Bisyr al-Hafi) 'Ali tidak memukulnya, namun ini adalah sebuah kaidah dasar yang dijadikan contoh."
Maka, Bisr pun berkata, "Berarti ilmu ini awalnya adalah kebohongan, saya tidak membutuhkannya."
Kedua kisah ini diriwayatkan oleh Al-Khathib dalam kitab Iqtidha' al-'Ilmi al-'Amal.

Aborsi Pemikiran

Hindarilah aborsi pemikiran, yaitu melahirkan buah pikiran sebelum matang.

Maknanya, janganlah engkau tergesa-gesa menyampaikan ilmu yang engkau dapatkan, terlebih-lebih kalau masalah yang akan engkau sampaikan itu berbeda dengan pendapat kebanyakan ulama atau menyelisihi kandungan dalil lain yang shahih, karena sebagian orang ada yang ingin menempuh jalan pintas, tatkala dia dapati sebuah hadits, maka dia akan langsung mengambilnya, meskipun hadits tersebut dha'if (lemah) dan bertentangan dengan hadits yang shahih, kemudian menyampaikannya kepada khalayak umum, sehingga mereka menyangka bahwa dia telah mencapai sebuah tingkatan ilmu yang belum dicapai oleh selainnya. Oleh karena itu saya katakan, "Jika engkau melihat sebuah hadits yang menunjukkan kepada sebuah hukum yang menyelisihi hadits-hadits yang shahih, yang seharusnya jadi landasan inti hukum dan diterima oleh umat, maka janganlah engkau tergesa-gesa menyampaikannya, demikian halnya jika hadits tersebut menyelisihi pendapat jumhur, jangan tergesa-gesa engkau mengatakannya. Namun, jika memang itulah yang benar, maka engkau wajib menyampaikannya.

Israiliyyat Gaya Baru

Hindarilah israiliyyat gaya baru yang sengaja dihembuskan oleh para orientalis dari kalangan Yahudi dan Nasrani, karena hal itu lebih berbahaya daripada israiliyyat zaman dulu. Israiliyyat yang ada pada zaman dahulu ini telah jelas urusannya bagi kita dengan penjelasan dari Rasulullah dan keterangan para ulama. Adapun israiliyyat gaya baru yang merasuki pemikiran Islam seiring dengan majunya kebudayaan dan era globalisasi, ini adalah kejelekan yang nyata dan serangan yang sangat mematikan. Sebagian umat Islam saat ini sudah menjadikannya sebagai jalan hidup, adapun yang lainnya ada yang tunduk patuh padanya. Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai engkau terjerumus ke dalamnya. Semoga Allah melindungi umat Islam dari keburukannya.

Yang dimaksud oleh Syaikh di atas adalah pemikiran-pemikiran yang merasuki tubuh umat Islam lewat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ini bukanlah israiliyyat yang berupa berita, namun ini berupa sebuah pemikiran yang banyak masuk pada kitab sastra atau lainnya. Di antara pemikiran ini ada yang masuk pada masalah muamalah, ibadah, serta pernikahan. Sehingga, ada sebagian orang yang mengingkari poligami, padahal banyak para ulama yang mengatakan bahwa poligami itu lebih utama daripada monogami. Mereka mengingkari poligami dan mengatakan bahwa syariat ini hanya untuk masa lampau. Orang semacam itu tidak memahami bahwa poligami pada zaman sekarang ini lebih dibutuhkan dari pada zaman dahulu, karena saat ini jumlah wanita sangat banyak, juga banyaknya fitnah sehingga wanita butuh untuk bisa menjaga kemaluannya.

Hindarilah Debat ala Bizantium (Debat Kusir)

Maksudnya adalah debat kusir, yang tidak menghasilkan apa-apa. Dulu orang-orang Bizantium memperdebatkan tentang jenis mlaikat, padahal saat itu musuh sudah ada di pintu gerbang negeri mereka, sehingga akhirnya musuh-musuh itu menghancurleburkan mereka. Beginilah sebuah perdebatan dalam urusan yang sepele menjadikan mereka tidak bisa mendapatkan jalan petunjuk.

Petunjuk salaf dalam masalah ini adalah menahan diri dari banyak permusuhan dan perdebatan, dan sering melakukannya adalah tanda kurangnya wara'. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan al-Bashri tatkala beliau mendengar orang-orang berdebata, "Mereka itu orang-orang yang bosan beribadah, maka mereka menjadi enteng berbicara dan berkurang rasa wara' mereka, oleh mereka itu mereka selalu berbicara." [3] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az-Zuhd dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah.

[3] Riwayat Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (II/157) dan Ibnu Abi 'Ashim dalam Az-Zuhd (I/272).

Debat kusir harus dihindari, adapun perdebatan yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang didasari dengan sikap saling menghormati dan tidak berlebih-lebihan, maka itu diperintahkan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang artinya), "Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ..." (An-Nahl: 125).

Perdebatan seperti yang dicontohkan oleh Syaikh di atas yang dilakukan oleh orang-orang Bizantium yaitu perdebatan tentang jenis malaikat adalah sesuatu yang tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena, pertanyaan itu di luar batas kemampuan akal kita. Kita hanya mengetahui dari apa yang telah diberi tahu oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti malaikat tercipta dari cahaya, mereka memiliki tubuh dan sayap, mereka juga bisa naik dan turun.

Termasuk perdebatan ini adalah seperti yang dilakukan oleh ahli kalam, yaitu perdebatan mereka tentang berbagai masalah aqidah. Misalnya, apakah kalam Allah itu sifat fi'liyah atau dzatiyah? Apakah kalam Allah itu baru atau qadim? Apakah Allah turun ke langit dunia itu secara hakikat ataukah hanya kiasan? Apakah jari-jari Allah itu hakikat ataukah sekadar kiasan? Dan seterusnya. Wahai ikhwah sekalian, sesungguhnya pembahasan semacam ini hanya akan mengeraskan hati dan akan menghilangkan keagungan dan kemuliaan Allah dari hatinya. Sangat disayangkan kalau ada yang membahas sifat Allah seakan-akan dia sedang membahas jasad yang mati, subhanallah! Padahal, sebelumnya kalau dia mendengar nama Allah akan merinding bulu kuduknya karena mengingat keagungan dan kemuliaan-Nya.

Semua perdebatan semacam ini tidak ada manfaatnya, tirulah para sahabat yang tidak mempertanyakan hal-hal semacam ini, karena apabila mereka menanyakan dan membahasnya hanya akan berakibat kerasnya hati. Namun, jika nama Allah masih agung dan mulia di dalam hatimu dan engkau tidak membahas masalah-masalah tersebut, maka ini akan menjadikan-Nya lebih Agung dan Mulia. Perhatikanlah hal ini karena inilah sebuah kebenaran.

Tidak Ada Kelompok Tidak juga Parti yang Dapat Dipersembahkan Wala' dan Bara' Kepadanya

Identitas seorang muslim adalah taat dan takwa kepada Allah Ta'ala dan cinta perdamaian, wahai para penuntut ilmu, semoga Allah memberikan berakah pada diri dan ilmumu, tuntutlah ilmu dan amalkanlah, kemudian dakwahkanlah sesuai dengan cara para ulama salaf.

Janganlah engkau suka keluar masuk pada berbagai jama'ah, karena berarti engkau akan keluar dari tempat yang lapang menuju sebuah tempat yang sangat sempit, semua yang ada dalam Islam adalah merupakan manhaj hidup, kaum muslimin adalah satu jama'ah, sedangkan tangan Allah berserta jama'ah. Dalam Islam tidak dikenal sistem fanatik golongan. Saya berlindung kepada Allah dan saya berdoa kepada-Nya agar jangan sampai kalian berpecah-belah, sehingga kalian akan menjadi mangsa berbagai kelompok, golongan, dan madzhab-madzhab bathil, yang mana dengan semua itu engkau memasang bendera wala' dan bara'.

Jadilah seorang pelajar muslim yang sesungguhnya, yang mengikuti atsar dan meneladani sunnah, berdakwah atas dasar bashirah ilmu dengan tetap mengakui keutamaan para ulama yang terdahulu. Karena, fanatik golongan ini punya sistem dan cara tersendiri yang belum pernah dikenal oleh para ulama salaf, yang mana ini adalah penghalang terbesar dari menuntut ilmu serta mampu memecah-belah dari persatuan umat Islam. Sudah berapa banyak fanatik golongan ini mampu melemahkan kekuatan dan persatuan umat Islam? Serta menjadikan banyak kesengsaraan bagi kaum muslimin? Oleh karana itu, hati-hatilah dari fanatik golongan yang sudah banyak kejahatan dan keburukannya. Berbagai golongan itu tidak ada bedanya dengan paralon saluran air yang hanya bisa mengumpulkan air kotor lalu membuangnya begitu saja, kecuali hanya orang yang dirahmati oleh Allah sajalah yang bisa tetap berpegang teguh dengan manhaj Rasulullah dan para sahabatnya.

Imam Ibnul Qayyim tatkala menerangkan tentang ciri-ciri orang yang ahli ibadah berkata, "Ciri yang kedua bahwasannya mereka tidak menisbatkan diri dengan sebuah nama tertentu. Maksudnya tidaklah mereka dikenal oleh masyarakat dengan sebuah nama tertentu, yang sudah menjadi lambang bagi ahli thariqat shufiyyah. Juga, termasuk ciri mereka adalah tidak terikat dengan amal perbuatan tertentu yang akhirnya mereka akan dikenal dengan amal perbuatan tersebut. Karena, ini semua adalah sebuah cacat dalam beribadah dikarenakan ibadah itu hanya bersifat sektoral.

Adapun orang yang melakukan ibadah secara universal, maka dia tidak akan pernah dikenal dengan amal salah satu ibadah sjaa, karena dia memenuhi panggilan semua bentuk ibdah. Dia bisa memberikan sumbangsih pada semua sektor ibadah. Dia tidak terikat dengan simbol dan lambang nama, baju, sistem, dan cara tertentu. Bahkan, kalau ditanya tentang siapa gurunya? Dia menjawab, "Rasulullah saw." Tentang manhajnya? Dia menjawab, "Ittiba', mengikuti jejak Rasulullan." Tentang pakaiannya? Dia menjawab, "Pakaian ketakwaan." Tentang madzhabnya? Dia menjawab, "Menghukumi dengan sunnah Rasulullah." Tentang tujuan dan harapannya? Dia menjawab, "Menginginkan wajah Allah." Tentang perjuangannya? Dia menjawab, "Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat ...." (An-Nur: 36-37). Tentang nasabnya? Dia menjawab, "Bapak saya adalah Islam, saya tidak mempunyai bapak yang lain. Saat orang-orang membanggakan sebagai keturunan Bani Qais dan Bani Tamim." Tentang makanan dan minumannya? Dia menjawab, "Apa urusanmu dengan dia?" Dia memiliki sepatu dan tempat minumnya, dia bisa minum air dan memakan rumput sampai akhirnya akan bertemu dengan pemiliknya:
Alangkah meruginya apabila umur telah habis.
Dan waktu telah pergi antara hinanya kelemahan dan kemalasan.
Padahal, orang lain telah menempuh jalan keselamatan.
Dan mereka secara perlahan telah menuju pada cita-cita yang tinggi.

Kemudian beliau berkata, "Merekalah simpanan Allah di mana pun mereka berada." Simpanan seorang raja adalah sesuatu yang disembunyikannya sendiri untuk keperluannya saja dan tidak pernah diberikan kepada orang lain. Demikian juga simpanan seseorang adalah sesuatu yang disimpan untuk keperluan dan hajatnya pribadi. Ahli ibadah yang universal tadi tatkala tertutupi dari pandangan orang lain, mereka tidak dipandang penting, mereka juga tidak menisbatkan diri dengan nama, madzhab, guru, dan baju tertentu, maka merekalah simpanan Allah yang tertutup rapat.

Mereka adalah makhluk yang paling jauh dari malapetaka, karena sering kali malapetaka itu terjadi karena terkait dengan simbol tertentu, dengan mengikat diri dengan cara tersebut. Itulah yang bisa memutus hubungan dengan Allah tanpa mereka sadari. Anehnya, merekalah yang biasa disebut dengan ahli ibadah, padahal merekalah orang yang terputus hubungannya dengan Allah dengan sebab keterkaitan mereka dengan semua itu. Seorang ulama pernah ditanya tentang (nama lain dari) sunnah. Maka, beliau menjawab, "Tidak mempunyai nama lain, kecuali As-Sunnah." Maksudnya bahwa Ahlus Sunnah tidaklah mempunyai nama lain yang mereka menisbatkan diri kepadanya melainkan hanya As-Sunnah.

Sebagian orang ada yang terikat dengan cara berpakaian orang lain, ada lagi yang duduk di sebuah tempat yang tidak mungkin ia duduk pada tempat lainnya, ada yang berjalan dengan cara tertentu yang ia tidaka akan berjalan dengan cara lain atau dalam hal pakaian dengan cara khusus atau juga menjalankan ibadah tertentu yang ia tidak akan melakukan ibadah lainnya meskipun lebih tinggi derajatnya, juga ada yang terikat dengan guru tertentu yang mana ia tidak akan pernah belajar kepada yang lainnya, meskipun guru lain itu lebih dekat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Mereka semua terhalang untuk mendapatkan tujuan tertinggi, mereka telah terikat dengan adat, sistem, keadaan, istilah-istilah tertentu yang menghalangi mereka dari ittiba' secara murni, maka mereka pun meninggalkannya. Kedudukan mereka paling jauh dari ittiba'. Engkau akan melihat sebagian di antara mereka beribadah kepada Allah dengan cara riyadhah, menyendiri dan mengosongkan hati. Orang ini menganggap bahwa menuntut ilmu akan memutus jalan beribadah. Apabila disampaikan kepadanya tentang mencintai karena Allah dan memusuhi karena Allah, memerintahkan berbuat kebaikan dan melarang berbuat kemunkaran, dia akan menganggap ini sebagai sesuatu yang jelek. Apabila ada di antara anggota mereka yang melakukannya, maka akan segera dikeluarkan dari kelompok mereka. Mereka adalah orang yang paling jauh dari Allah meskipun yang paling dianggap dekat.

Ini adalah pembahasan yang penting, yaitu masalah hendaknya seorang penuntut ilmu terbebas dari fanatisme kelompok dan golongan, yang akan mempersembahkan wala' dan bara' terhadapnya. Hal ini tanpa diragukan lagi adalah menyelisihi madzhab salaf, karena para ulama salaf yang shaleh tidak memiliki fanatisme golongan, semuanya hanya ada satu kelompok, yaitu yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya, ".... Dia (Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu ...." (Al-Hajj: 78). Tidak boleh ada fanatisme golongan, wala' dan bara' kecuali yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Sebagian orang ada yang fanatik pada kelompok tertentu, dia telah menetapkan manhaj kelompoknya, lalu mencari-cari dalil untuk mendukung pendapatnya, yang malahan dalil itu membantah pendapatnya sendiri, dia menyesatkan orang yang tidak masuk dalam kelompoknya, orang semacam ini membuat sebuah kaidah: "Barang siapa tidak masuk kelompoknya berarti musuhnya."

Pendapat ini sangat jelek, karena ada orang yang tidak masuk dalam kelompokmu namun dia juga bukan musuhmu, juga kalau ia adalah lawanmu dalam mencari kebenaran, maka sebenarnya dia adalah kawanmu, berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Tolonglah saudaramu, baik dia menzalimi ataupun yang dizalimi." (HR Bukhari).

Tidak ada fanatisme golongan dalam Islam. Oleh karena itu, tatkala muncul kelompok dan golongan dalam tubuh umat Islam, maka umat pun berpecah-belah dan muncul berbagai macam cara dan sistem yang berbeda, yang akhirnya sebagian mereka menyesatkan sebagian yang lainnya dan memakan daging saudaranya.

Sebgai sebuah contoh saat ini ada sebagian pelajar yang berguru pada salah seorang syaikh, lalu orang ini membela gurunya, baik dia benar atau salah, adapun guru lainnya disesatkan dan dibid'ahkan. Dia berpendapat bahwa hanya gurunyalah yang berbuat kebaikan adapun yang lainnya mungkin orang bodoh atau orang yang suka berbuat kerusakan. Ini adalah sebuah kesalahan besar. Ambil kebenaran dari mana pun datangnya, dan apabila engkau tertarik pada salah seorang guru, maka belajarlah padanya, namun ini bukan berarti engkau membelanya, baik benar maupun salah, juga bukan berarti engkau menyesatkan dan melecehkan yang lain.

Hal-Hal yang Merusak Adab-Adab Ini

Wahai saudaraku ... semoga Allah menjaga kita semua dari kesalahan .... Apabila engkau membaca adab pelajar muslim ini dan engkau juga telah mengetahui sebagian dari perangai yang merusaknya, maka ketahuilah bahwa perkara yang paling merusak adab ini adalah:

1. Menyebarkan rahasia.
2. Menyitir ucapan suatu kaum, lalu disampaikan kepada kaum yang lain.
3. Kasar dan berlebihan dalam ucapan maupun perbuatan.
4. Banyak bersenda gurau.
5. Ikut campur urusan orang lain.
6. Dengki.
7. Hasad (iri).
8. Berburuk sangka.
9. Duduk bersama ahli bid'ah.
10. Berjalan menuju tempat yang haram.

Jauhilah semua perbuatan tercela ini dan perbuatan-perbuatan yang semisalnya, dan janganlah engkau melangkahkan kaki menuju ke tempat yang terlarang, jika engkau melanggar ini, maka berarti engkau orang yang lemah agama, tidak berbobot, tukang main-main, ahli ghibah (mengumpat) dan ahli namimah (adu domba), lalu bagaimana mungkin engkau bisa menjadi seorang pelajar yang handal yang mempunyai ilmu serta mampu mengamalkannya?

Semoga Allah meluruskan langkah-langkah kita, dan semoga Dia menganugerahkan semuanya dengan ketakwaan dan kebaikan dunia dan akhirat. Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada nabi kita, Muhammad saw., keluarga dan sahabat beliau.
WallahHu'Alam.

Bakr bin 'Abdullah Abu Zaid
25/10/1408 H

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu 'Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa
~*~*~*~

Merealisasikan Ilmu dengan Amal Perbuatan
Jumat, 15 Februari 2008 21:41
AddThis

Tanyalah pada dirimu sendiri tentang tanda-tanda ilmu yang bermanfaat, apakah tanda-tanda di bawah ini ada pada dirimu? (1) Mengamalkannya, (2) tidak suka dipuji dan menyombongkan diri kepada orang lain, (3) semakin tawadhu' setiap kali bertambah ilmu, (4) menjauhi cinta kedudukan, popularitas, dan keduniaan, (5) tidak mengklaim dirinya berilmu, (6) berprasangka buruk kepada dirinya sendiri namun berprasangka baik kepada orang lain agar tidak mencela mereka.

Ini adalah ciri-ciri ilmu yang bermanfaat.

Tunaikanlah zakat ilmu, yaitu dengan menegakkan kebenaran, memerintahkan kepada yang ma'ruf, mencegah yang munkar, menimbang antara yang maslahat dengan mudharat, menyebarkan ilmu, suka memberi manfaat dan pertolongan serta kebaikan bagi umat Islam dalam musibah yang menimpa mereka.

Dari Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Apabila anak Adam meninggal dunia, maka akan terputus amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah (amal yang pahalanya selalu mengalir), ilmu yang bernamfaat, atau anak shaleh yang mendoakannya." (HR Muslim dan lainnya). Sebagian ulama berkata, "Tiga perkara ini tidak mungkin bisa terkumpul pada diri seseorang kecuali pada seorang ulama yang mengajarkan ilmunya." Karena, kalau dia mengajarkan ilmu, itu merupakan shadaqah dan orang yang belajar kepadanya adalah anaknya. Maka, perhatikanlah adab ini karena ini adalah buah dari ilmumu. Dan karena keagungan ilmu inilah, maka dia akan semakin bertambah dengan semakin banyak didermakan namun akan berkurang kalau disimpan. Jangan engkau berdalih dengan rusaknya zaman dan banyaknya orang-orang fasiq dan kecilnya manfaat dari sebuah nasihat lalu engkau tidak menjalankan kewajiban menyampaikan ilmu. Kalau itu yang engkau lakukan, maka itu akan menjadikan orang-orang fasiq memperoleh kesempatan emas agar benar-benar bisa meninggalkan perbuatan mulia dan mengangkat bendera kehinaan.

Zakat ilmu itu bisa dengan beberapa cara. Pertama, menyebarkan ilmu. Sebagaimana seseorang bershadaqah denan hartanya, maka seorang yang berilmu bersedhaqah dengan ilmunya. Bahkan, shadaqahnya orang yang berilmu lebih kekal dan sedikit biaya. Sisi lebih kekalnya karena barangkali ada sebuah kalimat saja yang disampaikan oleh seorang ulama, namun didengar oleh orang banyak. Sampai saat ini kita masih bisa mengambil manfaat dari hadits Abu Hurairah ini, tetapi tidak bisa sama sekali mengambil manfaat satu dirham pun yang diinfakkan oleh para khalifah pada masa beliau.

Demikian juga kita bisa mengambil manfaat dari kitab dan ilmu para ulama. Zakat ini tidak akan mengurangi ilmu, bahkan akan semakin menambahnya. Berkata seorang penyair: "Ilmu itu akan semakin bertambah dengan menginfakkannya. Dan akan berkurang jika engkau rapat menyimpannya."

Juga, di antara zakat ilmu adalah mengamalkannya, karena dengan mengamalkannya, maka ini merupakan cara mendakwahkannya. Orang yang meniru seorang ulama karena amal perbuatannya lebih banyak daripada yang menirunya karena ucapannya. Dan ini merupakan zakat dari ilmu tersebut, karena orang lain akan mengambil manfaatnya.

Di antara zakat ilmu juga adalah menegakkan kebenaran. Ini merupakan salah satu cara menyebarkan ilmu, karena menyebarkan ilmu itu kadang-kadang ada waktu aman, kadang-kadang pada waktu genting. Saat genting itulah seseorang harus menegakkan kebenaran.

Juga, di antara menunaikan zakat ilmu adalah memerintahkan kepada kebenaran dan mencegah dari kemunkaran. Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan zakat ilmu, karena orang yang memerintahkan pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran pasti dia itu mengetahui mana yang baik dan mana yang munkar, lalu dia menjalankan kewajibannya atas apa yang telah dia ketahui.

Yang dimaksud dengan sesuatu yang ma'ruf adalah semua yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, sedangkan munkar adalah semua yang dilarng oleh Allah dan rasul-Nya. Amar ma'ruf nahi munkar ini dengan tetap menimbang antara maslahat dan mudharatnya, karena kadang-kadang merupakan tindakan yang bijak apabila engkau tidak mencegah sebuah kemunkaran karena ada maslahat yang lebih besar. Oleh karena itu, seseorang harus memandang pada maslahat dan mudharat ini.

Perkataan Syaikh: "Menyebarkan ilmu dan senang memberi manfaat kepada orang lain." Maksudnya engkau menyebarkan ilmu dengan segala cara, baik dengan ucapan maupun tulisan atau juga dengan cara lainnya. Pada zaman kita sekarang ini Allah telah memudahkan banyak jalan untuk menyebarkan ilmu, maka engkau harus mempergunakan kesempatan ini untuk menyebarkan ilmu yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu. Karena, Allah telah mengambil janji setia kepada ahli ilmu untuk menjelaskannya kepada orang lain dan jangan sampai menyimpannya.

Adapun perkataan Syaikh: "Sebagian ulama berkata: 'Menyampaikan ilmu itu merupakan shadaqah jariyah bagi seorang ulama dan orang yang belajar kepadanya adalah anaknya'." Ini merupakan sebuah kesalahan, yang benar bahwa yang dimaksud dengan "shadqah jariyah" adalah bershadaqah dengan harta benda. Adapun bershadaqah dengan ilmu, maka telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau setelahnya: "Atau ilmu yang bermanfaat." Adapun sabda beliau: "Atau anak shaleh." Yang dimaksud adalah anak keturunannya, bukan anak didiknya.

Sedangkan membawa hadits tersebut pada makna bahwa orang berilmu yang mengajarkan ilmunya itu sebagai shadaqah yang kekal, yang akan bisa diambil manfaat sepeninggalnya, lalu murid-muridnya adalah anak-anaknya, maka ini adalah sebuah penafsiran yang sangat sempit terhadap hadits ini.

Sebenarnya hadits ini menunjukkan pada tiga jenis amalan yang bisa diambil manfaatnya oleh seseorang setelah meninggal dunia, yaitu "shadaqah jariyah". Shadaqah itu ada yang bersifat langgeng dan ada yang bersifat temporer. Misalnya, jika engkau memberikan makanan kepada orang faqir, maka ini adalah shadaqah, tetapi itu shadaqah yang bersifat temporer, namun jika engkau membuat sebuah sumur yang dimanfaatkan untuk minum oleh umat Islam, maka inilah "shadaqah jariyah" (shadaqah yang pahalanya selalu mengalir).

Sebaiknya Syaikh mengatakan: "Karena berkahnya ilmu." Bahasa ini lebih tepat karena ilmu itu akan semakin bertambah dengan semakin banyak disampaikan.

Kemuliaan para Ulama

Berhias diri dengan keagungan para ulama dengan cara menjaga ilmu dan mengagungkannya serta menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Dengan kadar apa yang engkau curahkan untuk ini semua maka engkau akan mampu memperoleh dan mengamalkannya, juga sebaliknya dengan kadar engkau meremehkannya, maka sebatas itu juga akan hilang kemuliaan itu darimu, wala haula wala quwwata illa billaah.

Oleh karena itu, berhati-hatilah jangan sampai engkau turuti kemauan orang-orang yang sombong dan jangan sampai engkau dikendalikan oleh orang-orang bodoh, sehingga engkau lunak dalam memberi fatwa, memutuskan hukum, dan penelitian atau teguran. Serta janganlah engkau berusaha mendapatkan kenikmatan dunia dengan ilmumu dan janganlah engkau berdiri di pintu-pintu mereka serta jangan pula kau sampaikan ilmu ini pada yang bukan ahlinya meskipun dia orang yang berkedudukan tinggi.

Menjaga dan mengagungkan ilmu memanglah sebuah keagungan dan kemuliaan, karena seseorang apabila menjaga ilmunya dari perbuatan hina dan dari menginginkan kepunyaan orang lain, maka ini akan lebih mulia dan lebih agung bagi dirinya. Adapun mengenai seseorang tidak boleh membawa ilmu ini kepada para pengagung kenikmatan dunia, juga tidak menyampaikan kepada yang bukan ahlinya, meskipun dia berkedudukan tinggi, maka perkataan ini perlu diperinci. Yaitu, kalau engkau menyampaikan ilmu tersebut kepada para pengagung kemewahan dunia namun mereka bisa mengambil manfaatnya, maka itu adalah sesuatu yang baik, dan ini masuk dalam kategori amar ma'ruf nahi munkar. Adapun kalau mereka menghina ulama yang menyampaikan ilmu kepada mereka, maka tidak selayaknya ia melakukannya, karena itu adalah penghinaan bagi dirinya sekaligus bagi ilmu yang diembannya. Misalnya ada seorang ulama yang datang kepada mereka, lalu dia menyampaikan beberapa masalah ilmiah, namun mereka mencemooh, maka saat itu tidak layak baginya untuk duduk bersama mereka, karena ini adalah penghinaan bagi dirinya sekaligus bagi ilmu yang dibawanya. Adapun kalau dia berbicara kepada mereka, dan tanggapan mereka baik serta mereka mau menerimanya, maka dalam keadaan seperti ini dia wajib melakukan dakwah kepada mereka. Jadi, tergantung pada keadaan masing-masing.

Pergunakanlah mata dan pikiranmu untuk membaca biografi para ulama yang telah lampau, maka engkau akan mengetahui sebuah usaha keras dalam menjaga kehormatan ulama ini, terutama kitab yang membahas masalah ini, seperti kitab Min Akhlaaqil Ulama' oleh Muhammad Sulaiman, dan kitab Al-Islam bainal Ulama' wal Hukkaam oleh 'Abdul 'Aziz al-Badri, dan kitab Manaabijul Ulama' fil Amri bil Ma'ruf wan Nahyi 'anil Munkar oleh Faruq as-Samurrai.

Dan, saya berharap engkau akan mengetahui lebih banyak dari apa yang telah mereka sebutkan dalam kitab Izzatul Ulama'--semoga Allah memudahkan penyelesaiannya dan penerbitannya. Dahulu para ulama selalu mendiktekan syair Al-Jurjani 'Ali bin 'Abdul 'Aziz (wafat tahun 392 H) sebagaimana akan kita lihat pada orang-orang yang menulis biografinya.

Kitab terbaik dalam masalah ini sepengetahuanku adalah kitab Raudhatul Uqala' oleh Al-Busni. Meskipun kecil, di dalamnya banyak terkandung faedah dan nasihat para ulama ahli hadits dan lainnya. Kitab ini dulu adalah kurikulum dalam sekolah saat kami masih belajar, yang banyak memberi manfaat bagi siswa.

Awal dari syair yang dimaksud itu adalah sebagai berikut.
"Mereka mengatakan pada dirimu bahwa engkau seorang pengecut.
Sebenarnya yang mereka lihat adalah orang yang mundur dari sebuah kehinaan.
Saya melihat orang-orang kalau ada yang mendekatinya akan terasa hina dalam pandangan mereka.
Dan orang yang merasa tinggi jiwanya maka akan terhormat.
Seandainya para ulama menjaga ilmunya, maka ilmu itu akan menjaganya.
Dan seandainya mereka mau mengagungkannya dalam jiwa mereka, maka mereka akan menjadi terhormat."

Maksudnya, dia akan menjadi terhormat dalam pandangan manusia, bila mau menjaganya. Namun mereka menghinakannya dan memberikannya pada semua orang.

Memelihara Ilmu

Apabila engkau sudah menduduki jabatan, ingatlah bahwa tali yang mengantarkanmu ke arah itu adalah ilmu yang telah engkau peroleh. Dengan karunia Allah lalu dengan sebab ilmu yang engkau pelajarilah engkau dapat mencapai derajat ini, bisa menjadi seorang guru, ahli fatwa, dan hakim, serta lainnya. Oleh karena itu, tempatkanlah ilmu tersebut pada tempatnya yang layak dan jagalah kehormatannya dengan tetap mengamalkannya. Hindarilah jalan orang-orang yang tidak mengharapkan pahala dari Allah, yaitu orang-orang yang tujuan pokok mereka adalah menjaga kursi jabatannya, mereka melipat lisan-lisan mereka dari mengucapkan kebenaran, juga suka basa-basi karena cintanya pada kekuasaan. Jagalah harga dirimu dengan tetap menjaga agamamu, serta jagalah kehormatanmu dengan perbuatan hikmah, ilmu, dan strategi yang bagus. "Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu, jagalah Allah saat senang, niscaya Allah akan menjagamu saat sulit."

Mudarah Bukan Mudahanah

Mudahanah adalah akhlak tercela, adapun mudarah bukan tercela, jangan mencampuradukkan antara keduanya, sehingga sikap mudahanahmu akan menjadikanmu bersikap munafik secara terang-terangan. Oleh karena itu, sikap mudahanah inilah yang bisa merusak agamamu.

Mudahanah adalah sikap relah dengan perbuatan tercela yang dilakukan oleh orang lain, serta dia pun membiarkan mereka melakukannya. Adapun mudarah adalah tekad hati untuk mengingkari perbuatan tercela tersebut, namun dia bersikap agak lunak padanya untuk menarik simpatinya atau dia akan menundanya pada waktu lain, sehingga akan tercapai maslahah yang dia inginkan.

Dari sini maka perbedaan antara mudarah dan mudahanah adalah bahwa mudarah itu bertujuan untuk memperbaiki keadaan, hanya saja dengan cara pelan-pelan dan bertahap. Adapun mudahanah adalah sikap menyetujui perbuatan tercela. Lafaz ini diambil dari kata duhn (minyak), karena minyak itu bisa mempermudah banyak urusan.

Sangat Cinta (Gandrung) kepada Kitab

Tentang keutamaan ilmu sudah diketahui oleh banyak orang, karena manfaatnya yang sangat luas. Kebutuhan yang mendesak untuk memperoleh ilmu itu seperti kebutuhan badan terhadap pernapasan. Akan nampak kekurangannya seiring dengan berkurangnya ilmu, demikian juga akan mendapatkan kenikmatan dan kegembiraan pada saat mendapatkannya. Oleh karena itu, para pelajar sangat senang belajar, juga senang untuk mengumpulkan kitab dan memilihnya. Banyak cerita yang berhubungan dengan masalah ini, yang semuanya tercatat pada kitab Khabarul Kitab. Semoga Allah memudahkan penulisan dan pencetakannya. Oleh karena itu, pilihlah kitab-kitab pokok. Dan ketahuilah bahwa salah satu kitab tidak bisa mewakili kitab lainnya. Oleh karena itu, janganlah engkau kumpulkan dlaam perpustakaanmu kitab-kitab yang tidak berharga, terutama kitab-kitab ahli bid'ah, karena itu adalah racun yang sangat berbahaya.

Di antara hal yang harus diperhatikan oleh seorang pelajar adalah mengoleksi kitab. Dan hendaknya kitab yang dia koleksi adalah kitab yang berharga. Namun, kalau gajimu hanya sedikit, maka tidak selayaknya membeli banyak kitab, yang sampai membuatnya berutang untuk membelinya. Ini merupakan perbuatan yang kurang bijak.

Perhatikanlah kitab-kitab pokok yang ditulis oleh para ulama salaf, karena kitab yang ditulis oleh para ulama salaf lebih baik dan berbarakah dibandingkan dengan kitab orang-orang khalaf. Dan hindarilah perpustakaanmu dari kitab-kitab yang tidak ada kebaikannya.

Daftar Kitab dalam Perpustakaanmu

Hendaklah engkau mengoleksid kitab-kitab yang disusun berdasarkan cara pengambilan dalil dan cara memahami alasan di balik ketentuan hukum serta yang mendalami inti dari berbagai permasalahan. Di antara kitab-kitab itu yang terbaik adalah kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. dan murid beliau, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rhm. Juga, kitab sebelum dan sesudah masa beliau berdua, yaitu kitab-kitab karya:

1. Al-Hafizh Ibnu 'Abdil Bar rhm. (wafat th 463 H), dan kitab beliau yang paling baik adalah At-Tamhiid.
2. Al-Hafizh Ibnu Quddamah rhm. (wafat th 620 H), dan kitab beliau yang paling bagus adalah Al-Mughni.
3. Al-Imam an-Nawawi rhm (wafat th 676 H).
4. Al-Imam adz-Dzahabi rhm. (wafat th 748 H).
5. Al-Hafizh Ibnu Katsir rhm. (wafat th 774 H).
6. Al-Hafizh Ibnu Rajab rhm. (wafat th 795 H).
7. Al-Hafizh Ibnu Hajar rhm. (wafat th 852 H).
8. Al-Hafizh asy-Syaukani rhm. (wafat th 1250 H).
9. Al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahhab rhm. (wafat th 1206 H).
10. Kitab-kitab imam-imam dakwah rhm., terutama kitab Ad-Durar as-Sunniyah.
11. Al-Imam ash-Shan'ani rhm. (wafat th 1182 H), terutama kitab beliau, Subulus Salam.
12. Al-'Alamah Shiddiq Hasan Khan rhm. (wafat th 1307 H).
13. Al-'Allamah Muhammad Mukhtar asy-Syinqihi rhm. (wafat th 1393 H), terutama kitab beliau, Adhwaa-ul Bayan.

Cara Berinteraksi degan Kitab

Janganlah engkau membaca sebuah kitab sebelum mengetahui istilah yang dipakai oleh penulisnya, yang sering kali hal ini dijelaskan dalam muqaddimahnya. Oleh karena itu, mulailah membaca sebuah kitab dari muqaddimahnya.

Cara berinteraksi dengan kitab bisa dengan beberapa cara.

1. 1. Mengetahui judulnya.
2. 2. Menetahui istilah-istilahnya, dan ini biasanya terdapat dalam muqaddimah. Karena, dengan mengetahui istilah-istilah tersebut, engkau bisa menghemat banyak waktu.
3. 3. Mengetahui gaya bahasa dan ungkapan penulis. Dalam kitab-kitab ilmiah, engkau akan menemukan banyak istilah atau ungkapan yang membutuhkan perenungan dan pemikiran mengenai maknanya, karena engkau belum terbiasa menghadapinya.

Hal Lain dalam Berinteraksi dengan Kitab

Apabila engkau mendapatkan sebuah kitab, maka janganlah engkau masukkan ke dalam perpustakaanmu kecuali engkau sudah selesai membacanya secara sekilas atau engkau baca muqaddimahnya atau daftar isinya atau beberapa bagian dalam kitab tersebut. Adapun kalau engkau tumpuk saja bersama kitab yang sejenis dalam perpustakaanmu, maka barangkali tahun demi tahun berjalan dan umur pun semakin bertambah sementara engkau tidak sempat menelaahnya. Dan hal ini sering kali terbukti. Hanya Allah Yang Kuasa memberi taufik.

Menyempurnakan Tulisan

Jika engkau menulis, maka sempurnakanlah tulisan itu dengan cara:

1. Tulisan yang bagus.
2. Menulisnya sesuai dengan kaidah cara penulisan yang benar (imla'). Banyak kitab yang dikarang untuk membahas masalah ini, di antaranya Kitaabul Imla' oleh Husain Wali, Qawaa'idul Imla' oleh 'Abdus Salam Muhammad Harun dan Al-Mufrad al-Alam oleh Al-Hasyimi.
3. Memberi titik atau tidak pada huruf yang tepat.
4. Memberi harakat pada kata yang sulit.
5. Memberi tanda baca yang benar pada selain ayat Al-Qur'an dan hadits Nabi.

Sumber: Diringkas dari Syarah Adab dan Manfaat Menuntut Ilmu, terj. Ahmad Sabiq, Lc, editor isi Abu 'Azzam (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2005); judul asli: Syarah Hilyah Thaalibil 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (Maktabah Nurul Huda, 2003).

Oleh: Abu Annisa

dari Petikkan http://alislamu.com/artikel.html

Wallahu'Alam..
. .
~***~LadingEMAS~***~