Tuesday, September 21, 2010

Mursyid Dalam Tarekat

Urgensi Mursyid Dalam Tarekat

E-mail Print PDF
Allah Swt. berfirman:
“Sesiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seOrg wali yg Mursyid” (Al-Qur’an).





KAROMAH SYEKH IBNU ATHAILLAH AS SAKANDARI, TERLIHAT BERTAWAF PADAHAL SEDANG DI RUMAH



Dalam tradisi tasawuf, peran seOrg Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak utk  mencapai tahapan2 puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yg anti tasawuf atau mereka yg memahami tasawuf dgn cara2 individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yg penuh dgn rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dgn mengandalkan pengetahuan yg selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seOrg Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti2 historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yg mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yg semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kpda Allah tetap membutuhkan seOrg Mursyid.

Masing² ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seOrg dgn kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sbb dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yg hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yg dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yg telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dgn mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yg  merasa sudah Smpi kpd Allah (wushul) tanpa bimbingan seOrg  Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yg penuh dgn  tipudaya. Sbb, dlm alam metafisika sufisme, mereka yg menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seOrg Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif²  (bisikan²  lembut) yg datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan² dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sbb itu ada kalam sufi yg sangat terkenal:
  “Ssiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syaitan”.

Oleh sbb itu, seOrg ulama sendiri, tetap membutuhkan seOrg pembimbing ruhani, Wpun secara lahiriah pengetahuan yg dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Ttpi, tentu saja, dlm soal² Ketuhanan, soal² bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sbgimna ayat al-Qur’an di atas, seOrg Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yg tidak ringan. Dari konteks ayat di atas mnjukn bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yg menempuh jalan sufi, seOrg pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seOrg yg wali, dan seOrg yg Mursyid. Dgn kata lain, seOrg Mursyid yg bisa diandalkan adalah seOrg Mursyid yg Kamil Mukammil, yaitu seOrg yg telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sbgai Insan yg Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, utk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sbb ukuran² atau standarnya bukan lagi dgn menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar² empirisme, sprti kemasyhuran, kehebatan² atau pengetahuan2 ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Ttpi, adalah penguasaan wilayah spiritual yg sangat luhur, dimana, logika2nya, hanya bisa dicapai dgn mukasyafah kalbu atau akal hati.

Krna-nya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yg bermunculan, dgn mudah utk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seOrg Mursyid yg wali sbgimna di atas. Shgga saat ini banyak Mursyid yg tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yg luar biasa, dan akhirnya banyak yg berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt.  Mereka adalah para kekasih Allah yg senantiasa total dlm tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dlm kemaksiatan. Dlm al-Qur’an disebutkan:


“Ingatlah, bahwa wali2 Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”

Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yg terpancar dlm dirinya, ttpi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yg cukup banyak, sesuai dgn tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dlm Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yg menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yg Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yg jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yg benar.
3. Memiliki cita (himmah) yg luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yg diridhai.
5. Memiliki matahati yg tajam utk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan SeseOrg, gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal2 yg tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dlm segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dgn perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yg mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dlm perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, Org ini adalah seOrg pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dlm kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kpda Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, 
  “Siapa yg menunjukkan dirimu kpda dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yg menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kpda Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, 
 “Janganlah berguru pd SeseOrg yg tidak membangkitkan dirimu utk menuju kpda Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kpda-Mu, jalan menuju Allah”.

SeOrg Mursyid yg hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seOrg Mursyid yg tidak memberikan beban berat kpda para muridnya.

Dari kalimat ini mnjukn bahwa banyak para guru sufi yg tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dgn mudahnya dan gelabahnya memberikan amaliyah atau tugas2 yg sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yg hakiki dlm dunia SUFI.


Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) Prinsip Tariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dlm ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kpda Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kpda Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kpda Allah dlm suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yg baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kpda Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kpda Allah adalah dgn pujian dan rasa syukur dlm keadaan suka, dan mengembalikan kpda-Nya ketika mendapatkan bencana.


Secara keseluruhan, Prinsip yg mendasari di atas adalah:
1) Himmah yg tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yg baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seOrg Mursyid yg benar2 memenuhi standard di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dlm penempuhan menuju kpda Allah Swt.

Rasulullah ﷺ  adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kpda Allah dlm Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah ﷺ  senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dgn Mursyid di mata kaum sufi. Hal yg sama, ketika Nabiyullah Musa as, yg merasa telah sampai kpda-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seOrg Nabi Khidir AS.  Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dlm soal2 rasional Musa AS sangat progresif, ttpi beliau tidak sehebat Khidir dlm soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dgn Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dgn Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yg berkaitan dgn etika hubungan antara Murid dgn Mursyid tersebut, dlm  “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

***Allah Swt. berfirman:

“Sesiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dlm hidupnya) seOrg Wali yg Mursyid” (Al-Qur’an).


Dalam tradisi tasawuf, peran seOrg Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan2 puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yg memahami tasawuf dgn cara2 individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yg penuh dgn rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dgn mengandalkan pengetahuan yg selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seOrg Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dlm praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti2 historis akan kegagalan spiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yg mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yg semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing2 ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seOrg dgn kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seOrg Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yg hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yg dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yg telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dgn mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yg merasa sudah sampai kpda Allah (wushul) tanpa bimbingan seOrg Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yg penuh dgn tipudaya. Sebab, dlm alam metafisika sufisme, mereka yg menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seOrg Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif2 (bisikan2 lembut) yg datang dari Allah, dari malaikat atau dari syaitan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan2 dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yg sangat terkenal: 
 “Ssiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syaitan”.

Oleh sebab itu, seOrg ulama sendiri, tetap membutuhkan seOrg pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yg dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal2 Ketuhanan, soal2 bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seOrg Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yg tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yg menempuh jalan sufi, seOrg pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seOrg yg wali, dan seOrg yg Mursyid. Dgn kata lain, seOrg Mursyid yg bisa diandalkan adalah seOrg Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yg Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, utk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran2 atau standarnya bukan lagi dgn mggunakan standar rasional-intelektual, atau standard empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan2 atau pengetahuan2 ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yg sangat luhur, dimana, logika2nya, hanya bisa dicapai dgn mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yg bermunculan, dgn mudah utk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seOrg Mursyid yg wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yg tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yg luar biasa, dan akhirnya banyak yg berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yg senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali2 Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yg terpancar dlm dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yg cukup banyak, sesuai dgn tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dlm Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yg menjadi prasyarat bagi munculnya seOrg Mursyid yg Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seOrg Syekh atau Mursyid yg layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yg jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yg benar.
3. Memiliki cita (himmah) yg luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yg diridhai.
5. Memiliki matahati yg tajam utk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan SseOrg gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yg mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seOrg pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dlm kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kpda Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan,
  “Ssiapa yg menunjukkan dirimu kpda dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Ssiapa yg menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan Ssiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dlm kitab Al-Hikam mengatakan, 
“Janganlah berguru pada SseOrg yg tidak membangkitkan dirimu utk menuju kpda Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

SseOrg Mursyid yg hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seOrg Mursyid yg tidak memberikan beban berat kpda para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yg tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dgn mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas2 yg sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yg hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kpda Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kpda Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kpda Allah dlm suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yg baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kpda Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kpda Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dlm keadaan suka, dan mengembalikan kpda-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yg tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yg baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seOrg Mursyid yg benar2 memenuhi standard di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dlm penempuhan menuju kpda Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kpda Allah dlm Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dgn Mursyid di mata kaum sufi. Hal yg sama, ketika Nabiyullah Musa as, yg merasa telah sampai kpda-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seOrg Nabi Khidir AS. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dlm soal2 rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dlm soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dgn Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dgn Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yg berkaitan dgn etika hubungan antara Murid dgn Mursyid tersebut, dlm “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=137:urgensi-mursyid-dalam-tarekat&catid=78:mursyid&Itemid=293

Eksistensi SeOrg Mursyid

E-mail Print PDF
Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.

Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.

Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.

Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.

(Penulis adalah pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia).

Wallah'Hu'Alam.


👉 http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=136:eksistensi-seorang-mursyid&catid=78:mursyid&Itemid=293 






Kisah Para Waliyullah Dan Karomahnya, Manaqib Syekh Abu Hasan Asy Syadzili


WallahuA’lam.. وَاللهُ أَعْلَمُ  



. .
~***~LadingEMAS~***~

No comments:

Post a Comment