Thursday, January 7, 2010

Sirah Rasulullah SAW_25 ~ HUNAIN DAN TA'IF

BAGIAN KEDUAPULUH LIMA: HUNAIN DAN TA'IF                 (1/2)
Muhammad Husain Haekal
 
   Malik b. 'Auf menghasut Hawazin dan Thaqif - Bertahan di
   selat Lembah Hunain - Muslimin berangkat ke Hunain -
   Memasuki selat Lembah di pagi buta - Serangan Hawazin dan
   Thaqif, mundur dalam kekalahan - Keteguhan hati Muhammad
   menghadapi maut - Teriakan Abbas supaya Muslimin kembali
   - Kembali kepada Rasulullah, pertempuran dan kemenangan -
   Rampasan perang - Perjalanan ke Ta'if - Pengepungan dan
   menghindari pertempuran - Kebun dibakar - Permohonan Nabi
   untuk tidak melakukan itu - Kembali dan pengepungan -
   Hawazin menerima Islam - Cerita Syaima' - Kembali ke
   Ji'rana dan pembagian rampasan perang - 'Umrah - Kembali
   ke Medinah.
 
DENGAN perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan
Tuhan,  kaum  Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu
dibebaskan.  Mereka  sangat  bersenang  hati   sekali   karena
kemenangan   besar  ini  tidak  banyak  minta  kurban.  Setiap
terdengar suara Bilal mengucapkan azan sembahyang, cepat-cepat
mereka  pergi  ke  Mesjid  Suci,  berebut-rebutan  di  sekitar
Rasulullah, dimana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.
 
Kaum Muhajirin pun sekarang dapat  pulang,  dapat  berhubungan
dengan  keluarga  mereka,  yang  kini  telah mendapat petunjuk
Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan  Islam  sudah
mulai  stabil,  dan  bahwa  perjuangan  sebagian  besar  sudah
membawa  kemenangan.  Akan  tetapi  limabelas  hari   kemudian
setelah  mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita
yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah,
Kabilah  Hawazin  yang  tinggal  di  pegunungan  tidak jauh di
sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan  Muslimin
yang     telah    membebaskan    Mekah    dan    menghancurkan
berhala-berhala, mereka  pun  kuatir  akan  mendapat  giliran;
pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh
mereka apa yang harus mereka lakukan  dalam  mencegah  bencana
yang  akan  menimpa  mereka itu. dan membendung Muhammad serta
mencegah  arus   kaum   Muslimin   yang   akan   menghilangkan
kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka
semua digabungkan kedalam  suatu  kesatuan  di  bawah  naungan
Islam.
 
Untuk  itu  Malik  b.  'Auf  dari Banu Nashr sekarang berusaha
mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian juga
kabilah-kabilah  Nashr  dan  Jusyam.  Dari pihak Hawazin semua
ikut, kecuali Ka'b dan Kilab. Sedang  dari  pihak  Jusyam  ada
orang  yang  bernama  Duraid  bin'sh-Shimma,  orang yang sudah
berusia lanjut dan sudah tidak berguna  buat  ikut  berperang,
tetapi   sebagai   orang   yang   sudah  bertahun-tahun  punya
pengalaman  dalam  perang,  pendapatnya   sangat   diperlukan.
Kabilah-kabilah    itu    semua   berkumpul,   membawa   serta
harta-benda,  wanita  dan  anak-anak  mereka.  Mereka   menuju
dataran   Autas.   Bilamana   dengusan   unta,   keledai  yang
melengking, tangisan anak  dan  kambing  yang  mengembik-embik
sampai ke telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik b. 'Auf:
 
"Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta
dalam peperangan?"
 
Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna  memberi  semangat
kepada angkatan perangnya.
 
"Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa
mencegahnya?" kata Duraid lagi. "Kalau harus menang juga, maka
yang  penting  hanyalah  laki-laki dengan pedang dan panahnya;
sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga  dan
hartamu hanya akan membawa bencana."
 
Dengan  Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banyak ikut
Malik. Dia seorang pemuda berusia tigapuluh tahun, bersemangat
dan  punya  kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam
perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.
 
Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke  puncak
gunung  dan  ke  selat  Lembah  Hunain.  Bilamana  nanti  kaum
Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka  diserang,
sehingga  dengan  serangan satu orang saja barisan mereka akan
sudah  jadi  lemah,  mereka  akan  kucar-kacir,  akan   saling
menghantami sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur,
pengaruh kemenangan  mereka  ketika  membebaskan  Mekah  sudah
takkan   berarti   lagi.   Yang  ada  nanti  hanya  kemenangan
kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu
kemenangan   yang  akan  dapat  dibanggakan  dalam  menghadapi
kekuatan yang kini menguasai tanah Arab  itu.  Perintah  Malik
ditaati  oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di
selat wadi itu.

Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu  tinggal  di  Mekah,
dalam  persiapan  senjata  dan tenaga yang belum pernah mereka
alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad  mereka  berangkat
pula  cepat-cepat.  Mereka bergerak dalam jumlah duabelas ribu
orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka  yang  telah  menyerbu
dan  membebaskan  Mekah  dan  yang  dua ribu lagi terdiri dari
orang-orang Quraisy yang sudah Islam - di antaranya Abu Sufyan
b.   Harb.  Mereka  semua  mengenakan  pakaian  berlapis  besi
didahului  oleh  pasukan  berkuda  dan   unta   yang   membawa
perlengkapan  dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan
pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum  pernah  dikenal
di  seluruh  jazirah.  Setiap  kabilah didahului oleh panjinya
masing-masing, tampil kedepan dengan hati bangga karena jumlah
yang   begitu   besar,   yang  tidak  akan  dapat  dikalahkan.
Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada  yang  berkata:
Karena  jumlah  kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat
dikalahkan.

Menjelang sore hari itu mereka  sudah  sampai  di  Hunain.  Di
pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana
sampai waktu fajar keesokan  harinya.  Ketika  itulah  pasukan
mulai  bergerak  lagi. Muhammad mengikuti dari belakang dengan
menunggang bagalnya yang putih.  Sementara  Khalid  bin'lWalid
yang  memimpin  Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain
itu mereka menyusur ke sebuah  wadi  di  Tihama.  Akan  tetapi
sementara   mereka   sedang  menuruni  lembah  itu,  tiba-tiba
datanglah serangan mendadak  secara  bertubi-tubi  dari  pihak
kabilah-kabilah  dengan komando Malik b. 'Auf. Sementara masih
dalam keadaan remang-remang subuh itu  mereka  telah  dihujani
panah  oleh  pihak  Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi
kacau-balau.  Dalam  keadaan  terpukul  demikian  itu   mereka
berbalik  surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam
hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya.  Dalam  hal  ini,
dengan  senyum  gembira  di  bibir  - Abu Sufyan yang sekarang
melihat  kegagalan  orang-orang  yang  kemarin   telah   dapat
mengalahkan Quraisy itu - berkata "Mereka takkan berhenti lari
sebelum sampai ke laut."
 
Begitu juga Syaiba b. 'Uthman b. Abi Talha berkata:  "Sekarang
aku  dapat  membalas Muhammad." Berkata begitu, karena bapanya
telah terbunuh dalam perang Uhud.
 
Ketika Kalada b. Hanbal berkata: "Ya, sihirnya sekarang  sudah
tidak  mempan," dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri: "Diam
kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di
bawah Hawazin."

Percakapan  demikian  itu  terjadi  sementara  keadaan pasukan
perang sedang kucar-kacir.  Dalam  pada  itu,  kabilah-kabilah
yang  sedang  mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian
di hadapan Nabi yang berada di belakang  -  tanpa  melihat  ke
kanan kiri lagi.
 
Apa  kiranya  yang  diperbuatnya?  Mungkinkah pengorbanan yang
duapuluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu  saja
pada  pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah
tidak lagi memberikan pertolongan?  Tidak!  Tidak!  Ini  tidak
mungkin!  Sebelum  itu,  sudah  ada  bangsa-bangsa  yang sudah
punah, golongan-golongan yang sudah tak ada lagi. Sebelum  itu
pun   Muhammad   sudah   biasa   bergumul  dengan  maut,  dan
kalau-kalau dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan
ada.  Dan  apabila  ajal  itu  sudah  datang  tidak akan dapat
sedetik pun ditunda atau dimajukan.
 
Muhammad tetap tabah tiada  bergerak  di  tempatnya.  Beberapa
orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya
tetap berada di sekelilingnya.
 
Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang  yang  melarikan  diri
lewat di hadapannya itu seraya katanya: "Hai orang-orang! Kamu
mau ke mana? Mau ke mana?"
 
Tetapi, orang-orang yang sudah penuh ketakutan itu sudah tidak
mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata mereka hanya
Hawazin dan  Thaqif  yang  kini  sedang  meluncur  turun  dari
perkubuan   di   puncak-puncak  gunung  mengejar  mereka.  Dan
gambaran mereka itu tidak salah.  Pihak  Hawazin  sudah  mulai
turun  dari  tempat  semula,  didahului oleh seseorang di atas
seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah  bendera  hitam
yang  dipancangkan  pada  sebilah  tombak  panjang.  Setiap ia
bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu  kepada
mereka,  sementara  pihak Hawazin, Thaqif dan sekutu-sekutunya
terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam.
 
Semangat baru timbul dalam hati Muhammad. Dengan bagalnya yang
putih  itu  ia  ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh
yang  sedang  meluap-luap  seperti  banjir  itu.  Sesudah  itu
terserah  kepada  Tuhan.  Akan  tetapi Abu Sufyan b. Harith b.
'Abd'l-Muttalib segera menahan kekang bagal itu dan dimintanya
jangan dulu maju.
 
Abbas  b.  'Abd'l-Muttalib seorang laki-laki yang berperawakan
besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru  yang  kira-kira
akan  dapat  didengar  oleh  semua orang dari segenap penjuru:
"Saudara-saudara dari kalangan Anshar  yang  telah  memberikan
tempat  dan  pertolongan!  Saudara-saudara dari Muhajirin yang
telah   memberikan   ikrar    di    bawah    pohon!    Marilah
saudara-saudara, Muhammad masih hidup!"

Seruan  demikian  itu  diulang-ulangnya  oleh  Abbas, sehingga
suaranya bersipongang dan bergema  ke  segenap  penjuru  wadi.
Disinilah  adanya  mujizat  itu:  Orang-orang 'Aqaba mendengar
nama 'Aqaba, teringat  oleh  mereka  Muhammad,  teringat  akan
janji  dan  kehormatan  diri mereka. Demikian juga orang-orang
Muhajirin, begitu  mendengar  nama  Muhajirin,  teringat  oleh
mereka  akan  pengorbanan  mereka  selama  ini,  teringat akan
kehormatan  diri  mereka.  Mereka  itu  sudah  mendengar   dan
mengetahui  tentang  ketenangan  dan  ketabahan hati Muhammad,
disamping sejumlah kecil  orang-orang  Muhajirin  dan  Anshar,
yang  sama  tabahnya  seperti  ketika Perang Uhud dulu - dalam
menghadapi musuh yang begitu besar.  Dalam  hati  mereka  kini
terbayang  betapa akibatnya kemenangan orang-orang musyrik itu
terhadap agama  Allah  kelak  sekiranya  mereka  ini  sekarang
gagal.
 
Seruan  Abbas  yang  selama itu masih tetap berkemandang dalam
telinga, hati mereka  sekaligus  tersentak  karenanya.  Ketika
itulah   mereka   saling   menyambut   dari  segenap  penjuru:
"Labbaika,1 Labbaika! "
 
Mereka-semua kini kembali, dan bertempur  lagi  secara  heroik
sekali.
 
Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula,
sekarang sudah berhadapan muka dengan  Muslimin  dalam  lembah
itu.  Sinar  siang  sudah  mulai tampak dan remang pagi dengan
sendirinya menghilang. Di sarnping Rasulullah  sekarang  sudah
berkumpul  beberapa  ratus  orang  siap akan berhadapan dengan
kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka  ini  bertambah  juga.  Dan
dengan  kembalinya  mereka  itu,  semangat  yang tadinya sudah
lemah  kini  kembali  berkobar-kobar.  Pihak  Anshar   sendiri
berteriak: "Hai Anshar!" Lalu mereka saling memanggil-manggil:
"Hai Khazraj!"
 
Perasaan lega mulai terasa oleh  Muhammad  tatkala  dilihatnya
mereka kini kembali lagi.
 
Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran itu berkobar dengan
pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak buahnya
makin  tinggi  dalam  memukul  lawan,  ia  berkata:  "Sekarang
pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi  janji
kepada RasulNya."

Kepada  Abbas  dimintanya  segenggam batu kerikil dan kemudian
kerikil itu  dilemparkannya  ke  muka  musuh  seraya  katanya:
"Wajah-wajah  yang  buruk!" Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke
tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi  menghiraukan  maut
demi  di  jalan  Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti
datang dan barang siapa gugur ia akan mendapat kemenangan yang
lebih  besar  lagi daripada hidup. Perjuangan ketika itu hebat
sekali. Baik Hawazin maupun Thaqif  dan  pengikut-pengikutnya,
begitu   melihat   bahwa   setiap  perlawanan  ternyata  tidak
berhasil,  bahkan   mereka   sendiri   terancam   akan   habis
samasekali,  cepat-cepat  mereka lari dalam keadaan berantakan
tanpa  melihat  ke  kanan-kiri   lagi,   dengan   meninggalkan
wanita-wanita  dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di
tangan kaum Muslimin, yang ketika itu dihitung sebanyak 22.000
ekor  unta,  40.000  kambing  dan  4.000 'uqiya2 perak. Sedang
tawanan  perang  yang  terdiri  dari  6.000  orang  itu  telah
dipindahkan   dengan   pengawalan   ke  Wadi  Ji'rana.  Mereka
ditempatkan disana sementara  menunggu  Muslimin  kembali  dan
mengejar  sisa-sisa  musuh  serta  sekaligus  mengepung  pihak
Thaqif di Ta'if.
 
Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap musuh  mereka  itu.
Lebih  tertarik  lagi  mereka mengadakan pengejaran itu karena
Rasul mengumumkan, bahwa barang  siapa  dapat  menyerbu  orang
musyrik,   maka   ia  boleh  merampasnya.  Ketika  itu  Rabi'a
bin'd-Dughunna telah dapat mengejar seekor unta  yang  membawa
pelangkin,   yang   diduganya  berisi  wanita;  ia  pun  ingin
merampasnya. Unta itu berlutut  dan  ternyata  isinya  seorang
laki-laki  tua  yang  oleh  pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu
Duraid bin'sh-Shimma. Kepada Rabi'a itu Duraid  bertanya:  Mau
diapakan   dirinya.   "Akan  kubunuh  kau,"  jawabnya,  sambil
mengayunkan pedang. Tetapi tidak berhasil.
 
"Jahat sekali ibumu mempersenjataimu!" kata Duraid.  "Ambillah
pedangku  di  belakang  itu dan pukulkan. Keluarkan tulang dan
otaknya. Begitulah aku menghantam orang dengan pedang itu. Dan
kalau  kau  sudah  pulang,  katakan  kepada ibumu bahwa engkau
telah membunuh Duraid bin'sh-Shimma. Sudah sering  sekali  aku
melindungi wanita-wanitamu."
 
Sesampainya  di  rumah, oleh Rabi'a hal itu diceritakan kepada
ibunya.
 
"Dasar tangan celaka kau," kata ibunya.  "Dia  mengatakan  itu
hanya  akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya kepada engkau.
Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu  pagi:  Yaitu
aku, ibuku dan ibu ayahmu."
 
Pengejaran   terhadap   pihak   Hawazin  oleh  pihak  Muslimin
diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur  dam
dihancurkan  samasekali.  Kaum wanita dan barang-barang mereka
dirampas lalu dibawa kepada  Muhammad.  Malik  b.  'Auf  hanya
sebentar  saja bertahan kemudian ia pun lari, dia bersama-sama
dengan kabilahnya dan  golongan  Hawazin,  dan  di  Nakhla  ia
berpisah  dengan  mereka.  Ia  memutar  haluan ke Ta'if dan di
tempat ini ia berlindung.

Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang  beriman
itu  dan  nyata  pula  kehancuran  total  orang-orang musyrik,
setelah remang-remang subuh itu pihak Muslimin  dalam  keadaan
terancam,  mendapat  serangan serentak sehingga mereka menjadi
kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang  sangat  menentukan  itu
ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil orang-orang
di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:
 
"Tuhan telah menolong kamu  pada  beberapa  tempat  dan  dalam
Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah
kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit
pun  tidak  menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa
amat sempit buat kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah  itu
Tuhan  menurunkan  perasaan  tenang  kepada  Rasul  dan kepada
orang-orang beriman serta diturunkanNya pula balatentara  yang
tidak  kamu  lihat,  dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan
memang itulah balasan  buat  orang-orang  kafir.  Sesudah  itu
kemudian    Allah    menerima    taubat    barangsiapa    yang
dikehendakiNya,   Allah   Maha   Pengampun   dan    Penyayang.
Orang-orang  beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor.
Sebab itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid  Suci,
dan  kalau  kamu  kuatir  menjadi  miskin,  maka  Tuhan dengan
kurniaNya  akan  memberikan   kekayaan   kepada   kamu,   jika
dikehendaki.  Sesungguhnya  Tuhan  Maha  tahu  dan Bijaksana."
(Qur'an, 9: 25-28)

Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh dengan harga  murah
oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang cukup
mahal. Mungkin ini tidak  akan  mereka  lakukan,  kalau  tidak
karena  pada  mulanya  mereka  telah  mengalami kegagalan lari
dalam kekalahan, sehingga seperti dikatakan  oleh  Abu  Sufyan
"Mereka  takkan  berhenti  lari sebelum mencapai laut." Mereka
membayar harga  mahal  itu  dengan  jiwa  orang-orang  penting
dengan  pahlawan-pahlawan  yang  gugur  dalam pertempuran itu,
meskipun jumlah semua kurban tidak disebutkan dalam  buku-buku
biografi  Nabi.  Seperti  sudah  disebutkan, bahwa dua kabilah
Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah mendoakan  semoga
Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimana
pun juga nyatanya ia  telah  mendapat  kemenangan:  kemenangan
total  yang diperoleh Muslimin terhadap lawan mereka, disertai
rampasan dan tawanan perang, yang  sebelum  itu  tidak  pernah
mereka   alami.   Kemenangan   adalah  segalanya  dalam  suatu
pertempuran, betapa pun besarnya  harga  yang  harus  dibayar,
selama   itu  merupakan  suatu  kemenangan  terhormat.  Dengan
demikian Muslimin merasa gembira sekali akan kurnia yang telah
diberikan   Tuhan   itu.  Mereka  tinggal  menunggu  pembagian
rampasan perang dan dengan itu  mereka  kembali  pulang.  Akan
tetapi  Muhammad  menginginkan  suatu  kemenangan  yang  lebih
cemerlang lagi. Kalau Malik b.  'Auf  yang  telah  mengerahkan
orang-orang,  kemudian  setelah mengalami kekalahan ia sendiri
mencari perlindungan pada pihak Thaqif di  Ta'if,  maka  pihak
Muslimin  sekarang hendaknya dapat mengepung Ta'if lebih ketat
lagi. Begitu itulah cara dalam Khaibar  setelah  perang  Uhud,
dan  terhadap  Quraiza  setelah  Khandaq.  Mungkin suasana ini
mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi
ke  Ta'if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi
dia malah dicemooh, dan anak-anak  melemparinya  dengan  batu,
sehingga terpaksa ia berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga
mungkin ia teringat betapa benar  ia  berangkat  seorang  diri
ketika  itu,  dalam  keadaan  sangat  lemah,  tiada daya upaya
selain Tuhan, selain  iman  yang  besar  yang  telah  memenuhi
dadanya,  iman  yang telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang,
sekarang ia berangkat menuju  Ta'if  dengan  sebuah  rombongan
Muslimin,  dengan  suatu  jumlah  yang belum pernah disaksikan
sepanjang sejarah jazirah itu.
                                                (bersambung ke bagian 2/2)
Jadi sahabat-sahabat itu oleh Muhammad diperintahkan berangkat
ke  Ta'if  dan  mengepung  Thaqif  yang dipimpin oleh Malik b.
'Auf. Ta'if adalah sebuah  kota  yang  sangat  kukuh  tertutup
rapat  oleh  pintu-pintu  gerbang seperti kebanyakan kota-kota
negeri  Arab  ketika  itu.  Penduduk  kota  ini  sudah   punya
pengetahuan  dalam  soal kepung-mengepung dalam peperangan dan
punya kekayaan yang cukup besar pula untuk  membuat  perkubuan
yang  kuat.  Dalam perjalanan itu Muslimin singgah di Liya. Di
tempat ini ada sebuah benteng khusus buat Malik b. 'Auf,  yang
kemudian   mereka   hancurkan,   demikian  juga  sebuah  kebun
kepunyaan  pihak  Thaqif   mereka   hancurkan   selama   dalam
perjalanan itu.
 
Bilamana  Muslimin  sudah  sampai di Ta'if, Nabi memerintahkan
pasukannya  berhenti  dan  bermarkas  di   dekat   kota   itu.
Sahabat-sahabat dikumpulkan dan mereka berunding apa yang akan
mereka lakukan. Tetapi pihak Thaqif begitu melihat mereka dari
atas  perbentengan,  dihujaninya mereka dengan serangan panah,
sehingga tidak sedikit pihak Muslimin yang terbunuh. Dan tidak
pula  mudah  kaum Muslimin dapat menyerbu benteng-benteng yang
sangat kukuh itu. Suatu cara lain harus  mereka  tempuh  bukan
seperti  yang  selama  ini  mereka  lakukan  ketika  mengepung
Quraiza dan Khaibar. Dapatkah kita menduga, bahwa kalau  hanya
dikepung saja sampai mengalami kelaparan pihak Thaqif itu akan
mau menyerah? Dan kalau akan mereka serbu  saja,  dengan  cara
baru bagaimana harus mereka lakukan?
 
Inilah beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan akan memakan
waktu.  Jadi  sebaiknya  pasukan  ini  harus  ditarik   mundur
jauh-jauh   dari   sasaran   panah,  supaya  jangan  ada  lagi
orang-orang  Islam  yang  akan  mengalami  bencana  dan  tewas
karenanya.  Sesudah  itu  boleh  Muhammad  memikirkan apa yang
harus dilakukannya.
 
Dengan perintah Nabi 'a.s.  markas  itu  sekarang  dipindahkan
jauh  dari  sasaran  panah,  dipindahkan ke sebuah tempat yang
kemudian setelah Ta'if menyerah dan menerima Islam dibangunnya
mesjid  Ta'if  di  tempat  itu.  Hal  ini  sudah menjadi suatu
keharusan. Anak panah  Thaqif  sudah  menewaskan  delapanbelas
orang  Islam,  dan  tidak  sedikit  pula  yang  telah mendapat
luka-luka, diantaranya salah seorang anak Abu Bakr.  Disamping
tempat  itu, yang sudah jauh dari sasaran panah, dipasang pula
dua buah kemah dari kulit berwarna merah untuk  tempat-tinggal
kedua  isteri  Nabi  -  Umm  Salama dan Zainab - yang sejak ia
meninggalkan  Medinah,  ikut  bersama-sama  dalam   perjalanan
menghadapi   peristiwa-peristiwa  itu.  Diantara  kedua  kemah
inilah Muhammad melakukan salat. Dan agaknya Mesjid Ta'if  itu
pun di tempat ini pula dibangun.

Kaum Muslimin tinggal di tempat itu sambil menantikan apa yang
akan ditentukan  Tuhan  terhadap  mereka  dan  terhadap  lawan
mereka  itu nanti. Ada salah seorang orang Arab gunung berkata
kepada Nabi: Orang-orang Thaqif yang dalam  benteng  itu  sama
seperti rubah yang di dalam liangnya. Untuk dapat mengeluarkan
mereka meminta waktu  lama.  Kalau  dibiarkan  saja,  juga  ia
takkan  mengganggu.  Tetapi  Muhammad  sudah tidak mau kembali
lagi sebelum mendapatkan sesuatu dari pihak Thaqif. Banu  Daus
[salah  satu  kabilah  yang tinggal di bawah Mekah] yang sudah
berpengalaman dalam menggunakan manjaniq3 dan  "tank,"4  salah
seorang  pemimpinnya  adalah  Tufail,  yang  sudah  bersahabat
dengan Muhammad sejak perang Khaibar, dan yang  sekarang  ikut
pula  mengepung  Ta'if.  Orang ini oleh Nabi diutus memintakan
bantuan kepada kabilahnya itu.
 
Kemudian orang ini datang kembali sudah membawa beberapa orang
dari  golongan  itu lengkap dengan alat-alat. Mereka sampai di
Ta'if empat hari  kemudian  setelah  kota  itu  dikepung  oleh
Muslimin.  Disinilah  pihak  Muslimin  menyerang  Ta'if dengan
manjaniq, dan beberapa orang menyerbu dengan  masuk  ke  dalam
"tank"  untuk  menerobos  dinding-dinding  benteng itu. Tetapi
pihak Ta'if tidak kurang pula pandainya sehingga mereka  dapat
memaksa  lawannya  harus  melarikan diri juga. Beberapa batang
besi  mereka  panaskan;  bilamana  sudah  mencair,  besi   itu
dilemparkannya  ke  arah  "tank"  dan  alat  itu pun terbakar.
Karena takut terbakar juga tentara Muslimin pun menyusup lari
dari  bawah  alat-alat  itu.  Oleh  pihak  Thaqif mereka terus
diserang dengan panah sehingga banyak pula yang terbunuh.
 
Jadi perjuangan ini juga tidak berhasil. Pihak Muslimin  tidak
dapat mengalahkan benteng-benteng yang kukuh itu.

Sesudah  itu, kiranya apa pula yang harus mereka lakukan? Lama
sekali Muhammad memikirkan hal ini. Tetapi bukankah  ia  sudah
dapat   mengalahkan   dan   mengosongkan   Banu   Nadzir  dari
perkampungannya dengan  jalan  membakar  kebun  kurma  mereka?
Sekarang kebun anggur Ta'if jauh lebih berharga daripada kebun
kurma Banu Nadzir Apalagi anggur ini sangat terkenal sekali di
seluruh  tanah  Arab  yang membuat Ta'if bangga sebagai tempat
yang paling subur di seluruh jazirah, dan sebagai wahah, Ta'if
seolah surga di tengah-tengah padang sahara.
 
Perintah  Muhammad oleh kaum Muslimin sudah akan dilaksanakan.
Mereka akan menebangi dan membakari tanaman-tanaman anggur itu
- yang sampai sekarang masih tetap terkenal seperti dulu juga.
Melihat hal ini orang-orang Thafiq yakin sekali bahwa Muhammad
memang  bersungguh-sungguh.  Mereka  mengutus  orang kepadanya
supaya kebun itu diambil saja kalau mau,  kalau  tidak  supaya
dibiarkan  mengingat  pertalian  keluarga  antara  dia  dengan
mereka yang masih berkerabat itu. Muhammad segera menangguhkan
hal itu, dan kemudian ia berseru kepada kalangan Thaqif, bahwa
barangsiapa  dari  penduduk   Ta'if   yang   bersedia   datang
kepadanya,   orang  itu  akan  dimerdekakan.  Hampir  sebanyak
duapuluh orang dari mereka  lalu  melarikan  diri  dan  datang
kepadanya.  Dari mereka inilah kemudian diketahui, bahwa dalam
benteng-benteng itu terdapat  persediaan  makanan  yang  cukup
untuk  waktu  lama.  Oleh  karena  itu  ia  berpendapat  bahwa
pengepungan  ini  akan  meminta  waktu  yang  panjang,  sedang
pasukannya   sudah  mau  pulang  akan  membagi-bagikan  barang
rampasan perang  yang  sudah  mereka  peroleh.  Kalau  diminta
supaya   mereka   tetap  tinggal  juga,  mungkin  mereka  akan
kehilangan kesabaran. Disamping itu bulan suci pun sudah dekat
pula dan perang tidak diperkenankan.
 
Oleh  karena  itu  ia  lebih senang pengepungan itu dibubarkan
saja sesudah satu bulan berjalan. Ketika itu  bulan  Zulhijah,
bulan  muda  sudah  keluar.  Dengan  pasukannya itu ia kembali
hendak melakukan umrah, dan diingatkannya pula, bahwa ia sudah
bersiap hendak ke Ta'if bila bulan suci sudah lalu.
 
Muhammad  dan  kaum  Muslimin  yang  lain  sekarang  berangkat
meninggalkan Ta'if menuju Ji'rana, tempat barang rampasan  dan
tawanan perang itu ditinggalkan. Di tempat ini mereka berhenti
mengadakan  pembagian.  Seperlima  di  antaranya  oleh   Rasul
dipisahkan  buat  dirinya dan yang selebihnya dibaginya kepada
para sahabat. Tetapi tatkala mereka di Ji'rana ini,  tiba-tiba
datang  utusan  dari  pihak  Hawazin  yang  sudah masuk Islam.
Mereka ini  mengharapkan,  supaya  harta  mereka,  wanita  dan
anak-anak  dikembalikan kepada mereka karena sudah sekian lama
mereka berpisah, dan sudah sekian lama pula  mereka  mengalami
kepahitan  hidup.  Utusan  itu  datang menemui Muhammad. Salah
seorang dari mereka berkata:
 
"Rasulullah, di tempat-tempat berpagar,5  orang-orang  tawanan
itu  terdapat  juga bibi-bibimu dari pihak ayah dan pihak ibu,
ibu-ibu yang dulu pernah  memeliharamu.  Jika  sekiranya  kami
yang  menyusui  Harith b. Abi Syimr atau Nu'man bin'l-Mundhir,
kemudian ia datang melihat keadaan kami seperti yang  kaualami
sekarang   ini,   tentu   kami   manfaatkan  dan  kami  mintai
belas-kasihannya.  Konon  pula  engkau,  yang  sudah  mendapat
pemeliharaan yang terbaik."
 
Mereka  tidak  salah  dalam  mengingatkan Muhammad akan adanya
hubungan dan pertalian keluarga  itu.  Dari  kalangan  tawanan
perang  itu  terdapat seorang wanita yang sudah berusia lanjut
mendapat perlakuan keras dari  tentara  Muslimin.  Wanita  itu
berkata  kepada  mereka:  "Kamu  tahu, bahwa aku masih saudara
susuan dengan kawanmu itu."
 
Karena mereka tidak percaya,  oleh  mereka  ia  dibawa  kepada
Muhammad,  yang  ternyata segera mengenalnya, bahwa wanita itu
Syaima'   bint'l-Harith   ibn   'Abd'l-Uzza.   Dimintanya   ia
kedekatnya  dan  dihamparkannya  mantelnya supaya ia duduk. Ia
dipersilakan memilih - kalau senang tinggal, boleh tinggal dan
kalau  ingin  pulang akan diantarkan kepada kabilahnya. Tetapi
ternyata wanita itu ingin  pulang  juga  kepada  masyarakatnya
sendiri.
 
Meningkat   hubungan   Muhammad   dengan  mereka  yang  datang
menyerahkan diri dari Hawazin itu demikian rupa,  sudah  wajar
sekali  apabila  ia  bersikap penuh kasih sayang kepada mereka
dan memenuhi  pula  permintaan  mereka.  Sejak  dahulu  memang
demikian  inilah  sifatnya,  kepada  siapa  saja  yang  pernah
mengulurkan  tangan  kepadanya.  Tahu  berterima   kasih   dan
mengingat budi orang sudah menjadi bawaan dan sifatnya.
 
Setelah mendengar kata-kata mereka itu ia bertanya:
 
"Anak-anak  dan  isteri-isteri  kamu  ataukah  harta kamu yang
lebih kamu sukai?"
 
"Rasulullah," jawab mereka, "kami disuruh memilih antara harta
dengan  sanak  keluarga  kami? Mengembalikan isteri-isteri dan
anak-anak kami tentu itulah yang kami sukai."
 
Lalu kata Nabi 'a.s.;
 
"Apa yang ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib,  itu  akan
kuserahkan  kembali kepadamu. Bilamana nanti sudah selesai aku
memimpin orang salat lohor hendaklah kamu berdiri dan katakan:
'Kami  meminta  bantuan  Rasulullah  kepada  kaum Muslimin dan
meminta  bantuan  kaum  Muslimin  kepada  Rasulullah  mengenai
anak-anak  kami  dan wanita-wanita kami.' Maka ketika itu akan
kuserahkan kepadamu, dan akan kumintakan buat kamu."
 
Setelah apa yang diucapkan Nabi itu dilaksanakan oleh Hawazin,
ia berkata lagi:
 
"Apa  yang  ada padaku dan pada Banu 'Abd'l-Muttalib, itu akan
kuserahkan kembali kepadamu."
 
Ketika itu juga kaum Muhajirin berkata:
 
"Apa yang ada pada kami, itu kami serahkan kepada Rasulullah."
 
Dan ini juga yang dikatakan oleh kaum Anshar.
 
Tetapi Aqra' ibn Habis atas nama Tamim dan  'Uyaina  b.  Hishn
menolak,  demikian juga Abbas b. Mirdas atas nama Banu Sulaim.
Akan tetapi Banu Sulaim sendiri tidak mengakui penolakan Abbas
itu. Dalam hal ini Nabi berkata:
 
"Barangsiapa  mau mempertahankan haknya atas tawanan itu, maka
untuk setiap orang ia akan mendapat  ganti  enam  bagian  dari
tawanan yang mula-mula didapat."

Dengan   demikian  wanita-wanita  dan  anak-anak  Hawazin  itu
dikembalikan kepada kabilahnya setelah mereka menyatakan  diri
masuk  Islam.  Kepada  utusan  Hawazin itu Muhammad menanyakan
Malik b. 'Auf. Setelah diberitahukan bahwa orang itu masih  di
Ta'if   dengan   Thaqif,   dimintanya   kepada  mereka  supaya
disampaikan: kalau dia mau datang dengan sudah menerima Islam,
maka  keluarga  dan  harta bendanya akan dikembalikan dan akan
diberi pula seratus ekor unta.
 
Sekarang orang mulai merasa kuatir - kalau Muhammad memberikan
ini  kepada  setiap  utusan yang datang - rampasan perang yang
menjadi bagian mereka akan jadi  berkurang.  Oleh  karena  itu
mereka  mendesak  supaya  tiap-tiap orang mengambil bagiannya.
Dan  mereka  terus  saling  berbisik.  Bisikan  demikian   ini
tampaknya  sampai juga kepada Nabi, yang dalam hal ini ia lalu
berdiri di samping seekor unta, diambilnya  seutas  bulu  dari
ponok unta itu, dan sambil dipegang dengan jari dan diacungkan
ke atas ia berkata:
 
"Saudara-saudara.6 Demi Allah! Bagianku  dari  harta  rampasan
dan  dari bulu ini hanya seperlima; ini pun sudah dikembalikan
kepada kamu." Kemudian dimintanya kepada mereka  masing-masing
supaya  harta  rampasan  itu  dikembalikan dan dengan demikian
dapat dibagi secara adil. "Barangsiapa  mengambil  ini  secara
tidak  adil  sekalipun  hanya  sebentar  jarum, maka buat yang
bersangkutan ini suatu cemar, api dan aib sampai hari kiamat."
 
Muhammad mengatakan itu dengan sikap marah  setelah  mantelnya
yang  mereka ambil dikembalikan, dan setelah mengatakan kepada
mereka: "Kembalikan mantelku itu, saudara-saudara. Demi Allah,
andaikata  kamu mempunyai ternak sebanyak pohon di Tihama ini,
tentu kubagi-bagikan kepada kamu,  kemudian  akan  kamu  lihat
bahwa aku bukan orang yang kikir, pengecut dan pembohong."
 
Kemudian  rampasan  perang  itu dibagi lima dan yang seperlima
diberikan  kepada  mereka  yang  paling  sengit   memusuhinya.
Seratus  ekor  unta  diberikan masing-masing kepada Abu Sufyan
dan Mu'awiya anaknya, Harith bin'l-Harith b. Kalada, Harith b.
Hasyim,  Suhail  b.  'Amr,  Huwaitib  b.  'Abd'l-'Uzza, kepada
bangsawan-bangsawan dan kepada beberapa  pemuka  kabilah  yang
telah  mulai  lunak  hatinya  setelah pembebasan Mekah. Kepada
mereka yang kekuasaan dan kedudukannya kurang dari yang  tadi,
diberi  lima  puluh ekor unta. Jumlah yang mendapat bagian itu
mencapai puluhan orang. Ketika itu Muhammad menunjukkan  sikap
sangat  ramah  dan murah hati, yang membuat orang yang tadinya
sangat  memusuhinya,  lidah   mereka   telah   berbalik   jadi
memujinya.  Tiada  seorang  dari  mereka  yang  perlu  diambil
hatinya itu yang tidak dikabulkan segala keperluannya
 
Ketika Abbas b. Mirdas mendapat beberapa ekor  unta  ia  tidak
senang  hati  dan  mencela karena menurut anggapannya 'Uyaina,
Aqra' dan yang lain  tampaknya  lebih  diutamakan.  Lalu  Nabi
berkata:  "Temui  dia  dan  berilah  lagi  supaya dia puas dan
diam."7
 
Lalu diberi lagi sampai dia puas. Dan itulah yang membuat  dia
diam.
 
Akan  tetapi  tindakan  Nabi  mengambil  hati orang-orang yang
tadinya  merupakan  musuh  besar  itu,  telah  menjadi   bahan
pembicaraan  di  kalangan  Anshar,  dan  satu sama lain mereka
berkata:
 
"Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri." Dalam
hal  ini  Sa'd b. 'Ubada berpendapat akan meneruskan kata-kata
Anshar itu kepada Nabi dan akan mendukung pula pendapat mereka
itu
 
"Sekarang  kumpulkan  masyarakatmu  di  tempat berpagar ini,"8
kata Nabi.
 
Setelah oleh Sa'd mereka dikumpulkan dan kemudian Nabi datang,
maka terjadi dialog berikut:
 
Muhammad:  "Saudara-saudara  kaum  Anshar.  Suatu desas-desus9
berasal  dari  kamu  yang  telah  disampaikan   kepadaku   itu
merupakan  suatu  perasaan  yang  ada  dalam  hatirnu terhadap
diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang
lalu Tuhan membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Tuhan
memberikan kecukupan kepadamu, kamu  dalam  permusuhan,  Tuhan
mempersekutukan kamu?"
 
Anshar:  "Ya, memang! Tuhan dan Rasul juga yang lebih bermurah
hati."
 
Muhammad: "Saudara-saudara kaum Anshar.  Kamu  tidak  menjawab
kata-kataku?"
 
Anshar:  "Dengan  apa  harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala
kemurahan hati dan kebaikan itu ada pada Allah  dan  Rasul-Nya
juga."
 
Muhammad: "Ya, sungguh, demi Allah! Kalau kamu mau, tentu kamu
masih dapat mengatakan -  kamu  benar  dan  pasti  dibenarkan:
'Engkau  datang  kepada  kami  didustakan  orang, kamilah yang
mempercayaimu.  Engkau  ditinggalkan   orang,   kamilah   yang
menolongmu.  Engkau  diusir,  kamilah  yang  memberimu tempat.
Engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu.' Saudara-saudara
dari  Anshar!  Adakah  sekelumit juga rasa keduniaan itu dalam
hati kamu? Dengan itu aku telah mengambil hati suatu  golongan
supaya mereka sudi menerima Islam, sedang terhadap keislamanmu
aku sudah percaya. Tidakkah kamu rela, saudara-saudara Anshar,
apabila  orang-orang itu pergi membawa karnbing, membawa unta,
sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia
Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu
aku termasuk orang Anshar. Jika orang menempuh suatu jalan  di
celah gunung, dan Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku
akan menempuh jalan  Anshar.  Allahuma  ya  Allah,  rahmatilah
orang-orang Anshar, anak-anak Anshar dan cucu-cucu Anshar."
 
Semua itu oleh Nabi diucapkan dengan kata-kata penuh keharuan,
penuh rasa cinta dan kasih sayang kepada  mereka  yang  pernah
memberikan  ikrar, pernah memberikan pertolongan dan satu sama
lain saling memberikan kekuatan. Begitu besar keharuannya itu,
sehingga  orang-orang  Anshar  pun  menangis,  sambil berkata,
"Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."
 
Dengan demikian  Nabi  telah  memperlihatkan  ketidaksukaannya
pada  harta  yang  telah  diperoleh sebagai rampasan perang di
Hunain itu, yang sebenarnya belum pernah  ada  suatu  rampasan
perang    diperoleh    sebanyak    itu.    Ia   memperlihatkan
ketidaksukaannya  pada  harta  itu   sebagai   langkah   dalam
mengambil  hati  mereka - yang dalam beberapa minggu yang lalu
masih musyrik - dapat melihat bahwa dalam agama yang baru  itu
ada  kebahagiaan  hidup dunia dan akhirat. Kalau dalam membagi
harta itu Muhammad sendiri sudah merasa payah sekali  sehingga
menimbulkan pertanyaan di kalangan Muslimin; dan kalau pun ini
telah membawa kemarahan pihak Anshar karena ia telah  bermurah
hati  kepada  mereka  yang  perlu dijinakkan itu, namun dengan
demikian ia telah memperlihatkan sikap  yang  adil,  pandangan
yang jauh serta kebijaksanaan politik yang baik sekali. Dengan
demikian ia telah berhasil mengajak ribuan orang  Arab  ini  -
semua  dengan  senang  hati,  dengan  perasaan lega - bersedia
memberikan nyawanya demi jalan Allah.
 
Selanjutnya Rasul pun berangkat  dari  Ji'rana  menuju  Mekah,
hendak  menunaikan  umrah. Selesai melakukan umrah ia menunjuk
'Attab b. Asid sebagai  tenaga  pengajar  untuk  Mekah  dengan
didampingi  oleh  Mu'adh  b.  Jabal  guna mengajar orang-orang
memperdalam agama dan mengajarkan Qur'an.
 
Ia kembali pulang ke Medinah bersama  orang-orang  Anshar  dan
Muhajirin.  Sementara  Nabi  tinggal  di  kota  ini lahir pula
anaknya Ibrahim, dan selama beberapa waktu itu,  setelah  agak
merasakan  adanya  ketenangan  hidup,  kemudian  ia  pun harus
bersiap-siap pula menghadapi perang Tabuk di Syam.
 
Catatan kaki:
 
 1 Harfiah, 'kupenuhi panggilanmu', yakni aku siap (A).
   
 2 'Uqiya. 'Dahulu kala sama dengan 40 dirham (drakhma)
   dan di luar hadis sama dengan setengah 1/6 rati, yakni
   1/12 bagian, dan ini tergantung kepada istilah negeri
   masing-masing' (N). Pada umumnya 'uqiya sekarang ditaksir
   sekitar 30 gram (A).
   
 3 Sebuah pesawat pelempar batu (junuq). Mungkin sama
   dengan ballista yang biasa digunakan dalam peperangan
   dahulu kala (A).
   
 4 Aslinya, dabbaba; dabba melata perlahan-lahan, yakni
   semacam alat dibuat daripada kayu dan kulit, orang masuk
   ke dalam alat tersebut lalu mendekat benteng yang sedang
   dikepung untuk dilubangi atau dibongkar dan mereka
   terlindung dan serangan yang datang dan atas (LA) mungkin
   dapat disamakan dengan testudo semacam alat perang dahulu
   kala, dari bahasa Latin, berarti kura-kura atau kulitnya
   yang dapat melindungi badan. Dalam pengertian sekarang
   kira-kira sama dengan tank (A).
   
 5 Hazira, 'segala yang dilingkungi sesuatu, kadang
   terdiri dari buluh dan papan' (LA) yakni tempat berpagar
   (A).
   
 6 Ayyuhan nas, harfiah: 'Hai manusia' (A).
   
 7 Iqta'u anni lisanahu, yakni 'berilah lagi supaya dia
   puas dan diam' (LA) Harfiah, 'potongkan lidahnya tentang
   aku' (A).
   
 8 Lihat catatan bawah halaman 531 (A).
   
 9 Qalatun, 'Banyak bicara yang akan menimbulkan
   permusuhan' (N), yakni desas-desus (A).
 
---------------------------------------------


Lading_Emas

No comments:

Post a Comment