Wednesday, January 6, 2010

Sirah Rasulullah SAW_16 ~ PENGARUH UHUD

BAGIAN KEENAMBELAS: PENGARUH UHUD
                                                                                                                     (1/2)
Muhammad Husain Haekal

Kabilah-kabilah berkomplot terhadap Muslimin - Serbuan
Banu Asad Khalid al-Hudhali - Terbunuhnya Khubaib
dan teman-temannya di Raji' - Terbunuhnya Muslimin di
Bi'ir Ma'una - Pengosongan Banu Nadzir dari Medinah -
Ekspedisi Badr yang terakhir - Ekspedisi
Dumat'l-Jandal.

ABU SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita
kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk
dengan rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus
cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke
Mekah, langsung menuju Ka'bah sebelum ia pulang ke rumah.
Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia
pulang ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa
ia takkan mendekati isterinya sebelum dapat mengalahkan
Muhammad.

Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka melihat kota Medinah
sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun musuh tetap
mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka
tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai
keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang
duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak
yang menang.

Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak
sekali mengalami perubahan, meskipun kekuasaan Muhammad di
kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi as. merasa, bahwa
keadaan memang sudah sangat genting dan gawat sekali, bukan
hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah melampaui
sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah
merasa ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada
mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak menentangnya
lagi dan mengadakan perlawanan. Oleh karena itu ia ingin
sekali mengikuti berita-berita sekitar penduduk Medinah dan
kalangan Arab umumnya, yang kiranya akan memberikan suatu
kemungkinan menempatkan kembali kedudukan, kekuatan dan
kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.

Berita pertama yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud,
ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua bersaudara -
dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad - sedang
mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau mentaatinya,
untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam
rumahnya sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan
merampas ternak Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang
sekeliling kota itu. Yang menyebabkan mereka berani berbuat
begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya
masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di
Uhud.

Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu
Salama b. Abd'l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan yang
terdiri dari 150 orang, termasuk Abu 'Ubaida bin'l-Jarrah,
Sa'd b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya berjalan pada malam hari dan siangnya bersembunyi
dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui orang, supaya
jangan ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian
mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil
menyerbu musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta
mereka sudah terkepung. Dikalahkannya anak buahnya dalam
menghadapi perjuangan itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak
dapat bertahan lagi. Dua pasukan segera dikirim mengejar
mereka dan merebut rampasan perang yang ada. Ia dan anak
buahnya menunggu di tempat itu sambil menantikan pasukan
pengejar itu kembali membawa rampasan perang.

Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan, untuk
Rasul, orang miskin dan orang yang dalam perjalanan,
selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka kembali ke
Medinah dengan sudah membawa kemenangan. Kewibawaan yang
karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak berkuramg, kini
mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak
lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat
perang Uhud dan luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja keras
lukanya itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang
diderita terus sampai meninggalnya.

Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad bahwa
Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla
atau di 'Urana telah mengumpulkan orang pula hendak
menyerangnya. Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah
b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut.
Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya ia sedang berada di rumah bersama dengan
isteri-isterinya.

"Siapa kamu," tanya Khalid setelah Abdullah sampai.

"Saya dari golongan Arab juga," jawabnya. "Mendengar tuan
mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya datang
kemari."

Khalid berterus-terang, bahwa ia memang sedang mengumpulkan
orang hendak menyerang Medinah. Setelah Abdullah melihat
sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya - kecuali
isteri-isterinya - dicarinya jalan supaya ia mau berjalan
bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang
itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya
dia di tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya.
Sekembalinya ke Medinah disampaikannya berita itu kepada
Rasul.

Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang
Hudhail yang selama beberapa waktu tenang-tenang saja,
sekarang mulai terpikir akan mengadakan pembalasan dengan
suatu tipu-muslihat.

Pada waktu itulah kabilah yang berdekatan itu mengutus
rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami
ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat
tuan bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hukum
agama dan Qur'an kepada kami.

Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan
pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus
sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang
dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi
pengikut Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan,
seperti yang sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke
Medinah sesudah Ikrar 'Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang
sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan
rombongan utusan itu. Tetapi sesampainya di suatu pangkalan
air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang
disebut ar-Raji', ternyata mereka telah dikhianati, dengan
tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan
Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam orang Muslimin itu
jadi gugup ketakutan, yang dalam perlengkapannya itu mereka
hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang
hendak mempertahankan diri. Tetapi pihak Hudhail berkata
kepada mereka:

"Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan kamu
ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami
berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak bermaksud membunuh
kamu."

Keenam orang Muslim itu berpandang-pandangan. Mereka sadar
sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke Mekah itu berarti
suatu penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan.
Mereka menolak janji Hudhail itu, dan mereka tetap akan
mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa
dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang
dari mereka ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya sudah
makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b.
Tariq, salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah
jalan berhasil melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia
mencabut pedang. Oleh karena rombongan yang lain berada di
belakangnya, dihujaninya ia dengan batu dan ia puntewas
karenanya.

Kedua orang tawanan lainnya sempat dibawa oleh Hudhail ke
Mekah, lalu dijual. Zaid bin'd-Dathinna dijual kepada Shafwan
b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan
kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai balasan
atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh
Abu Sufyan ia ditanya:

"Zaid, sangat kuharapkan sekali. Bersediakah engkau
memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah yang harus
dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali kepada
keluargamu."

"Tidak," jawab Zaid. "Sekiranya Muhammad ditempatnya sekarang
ini akan menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku
di tempat keluarga, aku tidak sudi."

Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:

"Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya
demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai
Muhammad."

Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka ia pun gugur sebagai
syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi.

Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka:

"Dapatkah kamu membiarkan aku sekadar melakukan salat dua
raka'at?"

Permintaan demikian itu dikabulkan. Iapun sembahyang dua
raka'at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka
lagi:

"Kalau tidak karena kamu akan menyangka saya sengaja
memperlambat karena takut dibunuh, niscaya saya masih akan
sembahyang lebih banyak lagi."

Setelah ia dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu,
dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya:

"Ya Allah, hitungkan bilangan mereka itu, binasakan mereka
dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari
mereka itu."

Mendengar suara yang keras itu mereka gemetar, mereka
merebahkan diri takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun
dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib
juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk
Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal,
sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan
agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada
keluhuran rohani dan hari kemudian - tatkala setiap jiwa hanya
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada
orang yang akan memikul beban orang lain - mereka melihat maut
itu - sebagai tujuan hidup - adalah tujuan yang paling baik
dalam hidupnya demi akidah, demi iman dan demi kebenaran.
Mereka pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di
atas bumi Mekah, akan memanggil saudara-saudaranya kaum
Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai pihak yang menang,
yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan membersihkan
segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan kesucian
Ka'bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana
mestinya, bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma
Allah.

Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis tidak bicara
apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang
dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk memandang
jijik perbuatan khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari
medan perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang
berangkat karena perintah Rasul dengan maksud supaya
mengajarkan agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka
itu, orang-orang yang menyerahkan mereka kepada Quraisy,
setelah kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan
licik. Kaum Orientalis tidak menganggap jijik perbuatan
Quraisy terhadap dua orang yang tak bersenjata itu, padahal
apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan pengecut dan
tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip
kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang
merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin
terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik
sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan
dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya yang
didatangkan atas permintaan mereka untuk mengajarkan agama,
telah lebih dulu pula mereka bunuh.

Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali
atas malapetaka yang telah menimpa keenam orang yang gugur
sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan Hudhail
itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.

Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad memikirkan keadaan
umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang
lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka.

Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba
datang Abu Bara' 'Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya
supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu
juga ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam.
Bahkan katanya: "Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang
dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu
saya harap mereka itu akan menerima."

Tetapi Muhammad masih kuatir akan melepaskan
sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan takut ia penduduk daerah
itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan
Hudhail terhadap Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan
tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara'.

"Saya menjamin mereka," katanya lagi. "Kirimkanlah utusan
kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu."

Abu Bara' adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya
dan didengar orang perkataannya. Barangsiapa yang sudah
diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan
pihak lain.

Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. 'Amr dari Banu
Sa'ida dengan memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun
berangkat. Sampai di Bi'ir Masuna - antara daerah Banu 'Amir
dan Banu Sulaim - mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus
Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada 'Amir
bin't-Tufail. Tetapi oleh 'Amir surat itu tidak dibacanya,
malah orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan
Banu 'Amir supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi setelah
mereka menolak untuk melakukan pelanggaran atas
pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh
Abu Bara' 'Amir meminta bantuan kabilah-kabilah lain.
Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama
dia mereka berangkat dan mengepung rombongan Muslimin di
tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun segera
mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.

Hanya Ka'b b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu
saja oleh Ibn't-Tufail. Ternyata ia belum mati. Kemudian ia
pun pergi pulang ke Madinah. Demikian juga 'Amr b. Umayya,
yang oleh 'Amir bin't-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia
masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan
pulang di tengah jalan 'Amr bertemu dengan dua orang yang
dikiranya turut menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua
orang itu sampai tidur lebih dulu, kemudian diserangnya dan
dibunuhnya. Sesudah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya di Medinah diberitahukannya perbuatannya itu
kepada Rasul a.s. Ternyata kedua orang itu dari Banu 'Amir,
dari golongan Abu Bara' dan yang juga terikat oleh suatu
perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini
berarti harus diselesaikan dengan diat.

Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di
Bi'ir Ma'una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas
sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: "Ini adalah perbuatan Abu
Bara'. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali."

Abu Bara' juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran 'Amir
bin't-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi'a anaknya lalu
bertindak menghantam 'Amir dengan tombak sebagai balasan atas
perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa dukacita
Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang
telah membunuh sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh
umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka yang telah
menimpa saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan
penuh iman bahwa mereka semua gugur sebagai syuhada, dan
mereka semua akan mendapat surga.

Malapetaka yang telah menimpa kaum Muslimin di Raji' dan di
Bi'ir Ma'una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan
kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka lupa akan
kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi pandangan
mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi a.s. berpikir dengan
suatu pemikiran politik yang cermat sekali serta pandangan
yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam kaum
Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang kiranya akan
merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang sangat
diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat
menanamkan perpecahan didalam, yang berarti akan dapat
menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja tetangga yang
menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi dan orang-orang
munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan
menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang
lebih baik daripada membiarkan mereka, supaya nanti niat
mereka terbongkar.

Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu sekutu Banu 'Amir, maka
Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka - yang tidak jauh
dari Quba'[ - dengan membawa sepuluh orang Muslimin
terkemuka, diantaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah
dibunuh tidak sengaja oleh 'Amr b. Umayya itu dan tidak
diketahuinya pula bahwa Nabi telah memberikan perlindungan
kepada mereka.
                                                                                                     (bersambung ke bagian 2/2)

Setelah dijelaskan maksud kedatangannya, mereka memperlihatkan
sikap gembira dan dengan  senang  hati  bersedia  mengabulkan.
Akan   tetapi,   sementara   sebagian   mereka   sedang  asyik
bercakap-cakap  dengan  dia,  dilihatnya  yang   lain   sedang
berkomplot.  Salah seorang dari mereka pergi menyisih ke suatu
tempat dan tampaknya mereka sedang mengingatkan kematian  Ka'b
b.  Asyraf.  Salah  seorang dari mereka itu ('Amr b. Jihasy b.
Ka'b) tampak memasuki rumah tempat Muhammad sedang duduk-duduk
bersandar  di  dinding. Ketika itulah ia merasa curiga sekali,
lebih-lebih lagi karena persekongkolan mereka  dan  percakapan
mereka itu telah didengarnya.
 
Dengan  demikian,  diam-diam  ia  menarik diri dari tempat itu
dengan  meninggalkan  sahabat-sahabatnya.  Mereka  menduga  ia
pergi untuk suatu urusan.
 
Sebaliknya  pihak  Yahudi, mereka jadi kebingungan. Tidak tahu
lagi mereka; apa yang harus mereka katakan, dan apa pula  yang
harus  mereka perbuat terhadap sahabat-sahabat Muhammad. Kalau
mereka ini yang akan mereka jerumuskan niscaya  Muhammad  akan
mengadakan   pembalasan   keras.  Jika  mereka  biarkan  saja,
kalau-kalau  persekongkolan  mereka  terhadap   Muhammad   dan
sahabat-sahabatnya  tetap tak akan terbongkar. Dengan demikian
perjanjian mereka dengan pihak Muslimin  tetap  berlaku.  Jadi
sekarang  mereka  berusaha  meyakinkan  tamu-tamu Muslimin itu
yang mungkin akan dapat menghilangkan rasa  kecurigaan  mereka
tanpa samasekali menyebut-nyebut hal tersebut.
 
Tetapi  sahabat-sahabat  Muhammad  setelah  lama  menunggunya,
mereka pun pergi  pula  mencarinya.  Tatkala  ada  orang  yang
datang  dari  Medinah  dijumpai, tahulah mereka bahwa Muhammad
sudah sampai di kota itu dan langsung menuju ke mesjid. Mereka
pun juga pergi ke sana. Ia menceritakan kepada mereka mengenai
apa yang telah menimbulkan kecurigaan dari sikap orang  Yahudi
itu  serta  maksud mereka yang hendak mengkhianatinya. Barulah
mereka menyadari apa  yang  telah  mereka  lihat  itu.  Mereka
percaya  akan  ketajaman  pandangan  Rasul serta akan apa yang
telah diwahyukan kepadanya.
 
Kemudian Nabi memanggil Muhammad b. Maslama, dan katanya:
 
"Pergilah kepada Yahudi Banu Nadzir dan katakan kepada mereka,
bahwa Rasulullah mengutus aku kepada kamu sekalian supaya kamu
keluar dari negeri ini. Kamu telah melanggar  perjanjian  yang
sudah  kubuat  dengan kamu dengan maksudmu hendak mengkhianati
aku.  Aku  memberikan  waktu   sepuluh   hari   kepada   kamu.
Barangsiapa  yang  masih  terlihat  sesudah itu akan dipenggal
lehernya."
 
Yahudi Banu Nadzir sekarang merasa putus asa dan  kebingungan.
Atas  keterangan  itu  mereka  tidak  dapat membela diri lagi,
mereka tidak menjawab apa-apa lagi; kecuali katanya kepada Ibn
Maslama:
 
"Muhammad,  kami  tidak menduga hal ini akan datang dari orang
golongan Aus." Ini adalah suatu  isyarat  tentang  persekutuan
mereka  dengan  pihak  Aus dahulu dalam perang dengan Khazraj,
tetapi Ibn Maslama hanya menjawab:
 
"Hati orang sudah berubah."

Selama beberapa hari golongan ini sudah  bersiap-siap.  Tetapi
dalam  pada  itu  tiba-tiba  datang  pula  dua  orang  suruhan
Abdullah b. Ubayy dengan mengatakan: "Jangan  ada  orang  yang
mau  meninggalkan  rumah-rumah  kamu  dan  harta  benda  kamu.
Tetaplah bertahan dalam benteng kamu sekalian. Dari golonganku
sendiri  ada  dua ribu orang dan selebihnya dari golongan Arab
yang akan bergabung dengan kita dalam benteng dan mereka  akan
bertahan  sampai  titik  darah  penghabisan, sebelum ada pihak
lain menyentuh kamu."

Banu Nadzir mengadakan perundingan atas keterangan  Ibn  Ubayy
itu.  Mereka tambah bingung. Ada yang samasekali tidak percaya
kepada Ibn Ubayy. Bukankah dulu  pernah  ia  menjanjikan  Banu
Qainuqa'   seperti   yang  dijanjikannya  kepada  Banu  Nadzir
sekarang, tetapi tiba waktunya ia cuci tangan  dan  menghilang
meninggalkan   mereka?  Juga  mereka  mengetahui,  bahwa  Banu
Quraidza takkan dapat membela mereka  mengingat  adanya  suatu
perjanjian  dengan pihak Muhammad. Disamping itu, kalau mereka
keluar dari kampung mereka itu ke Khaibar atau ke tempat  lain
yang  berdekatan  mereka  masih  akan dapat kembali ke Yathrib
bila kurma mereka nanti sudah  berbuah;  mereka  akan  memetik
buah  kurma  itu  lalu kembali ke tempat mereka semula. Mereka
tidak akan mengalami banyak kerugian
 
"Tidak," kata Huyayy b. Akhtab pemimpin  mereka.  "Malah  kita
yang  harus  mengirim  pesan kepada Muhammad: bahwa kita tidak
akan meninggalkan kampung kita dan harta-benda kita.  Terserah
apa  yang  akan diperbuat. Kita hanya tinggal memperbaiki kubu
kita; kita akan memasuki tempat ini  sesuka  hati  kita.  Kita
akan  membiasakan  memakai  jalan-jalan  kita,  kita pindahkan
batu-batu ke tempat itu. Persediaan makanan  kita  cukup  buat
setahun,  air  pun  tidak pernah terputus. Muhammad tidak akan
mengepung kita setahun penuh."
 
Tetapi sepuluh hari sudah lampau.  Mereka  tidak  juga  keluar
dari perkampungan itu.
 
Dengan  membawa  senjata  pihak Muslimin selama duabelas malam
bertempur  melawan  mereka.  Ketika  itu  bila  sudah   tampak
Muslimin  di jalan-jalan atau di rumah-rumah, mereka mundur ke
rumah berikutnya  sesudah  rumah-rumah  itu  mereka  robohkan.
Kemudian  Muhammad  memerintahkan sahabat-sahabatnya menebangi
pohon-pohon  kurma  kepunyaan  orangorang  Yahudi  itu,   lalu
membakarnya. Dengan demikian orang-orang Yahudi itu tidak akan
terlalu  terikat  pada  harta-bendanya  lagi  dan  tidak  akan
terlalu bersemangat mau berperang
 
Dengan tidak sabar orang-orang Yahudi itu berteriak:
 
"Muhammad!  Tuan  melarang  orang berbuat kerusakan. Tuan cela
orang yang berbuat begitu.  Tetapi  kenapa  pohon-pohon  kurma
ditebangi dan dibakar?!"
 
Dalam hal ini firman Tuhan turun:
 
"Mana  pun  pohon  kurma  yang  kamu  tebang atau kamu biarkan
berdiri dengan batangnya, adalah dengan ijin Allah  juga,  dan
karena  Ia  hendak  mencemoohkan  mereka  yang melanggar hukum
itu."(Qur'an, 59: 5)

Sia-sia saja rupanya pihak Yahudi itu menunggu adanya  bantuan
dari  Abdullah  b.  Ubayy atau pertolongan yang mungkin datang
dan salah satu golongan Arab.  Sekarang  mereka  yakin,  bahwa
mereka  hanya  akan  beroleh  nasib  buruk  saja apabila terus
bersitegang hendak berperang. Setelah  ternyata  mereka  dalam
putus-asa dan ketakutan, mereka meminta damai kepada Muhammad,
meminta  jaminan  keamanan  atas  harta-benda,   darah   serta
anak-anak keturunan mereka; sampai mereka keluar dari Medinah.
Muhammad pun mengabulkan permintaan mereka; asal mereka keluar
dari  kota  itu:  Setiap  tiga orang diberi seekor unta dengan
muatan harta-benda; persediaan makanan dan minuman sesuka hati
mereka.  Di  luar itu tidak ada. Pihak Yahudi menerima. Mereka
dipimpin oleh Huyayy b. Akhtab.
 
Dalam perjalanan itu mereka ada yang berhenti di Khaibar, yang
lain  meneruskan  perjalanan  sampai  ke  Adhri'at di bilangan
Syam.  Harta-benda  yang  mereka  tinggalkan  menjadi   barang
rampasan Muslimin yang terdiri dari hasil bumi, senjata berupa
50 buah baju besi, 340 bilah pedang, di  samping  tanah  milik
orang-orang  Yahudi itu. Tetapi tanah ini tidak dapat dianggap
sebagai   rampasan   perang;   oleh   karenanya   tak    dapat
dibagi-bagikan  kepada  kaum  Muslimin,  melainkan  khusus  di
tangan  Rasulullah  yang  nantinya  akan  ditentukan   sendiri
menurut    kebijaksanaannya.    Dan    tanah    itu   kemudian
dibagi-bagikan kepada golongan Muhajirin yang pertama di  luar
golongan   Anshar,  setelah  dikeluarkan  bagian  khusus  yang
hasilnya akan menjadi hak fakir-miskin. Dengan  demikian  kaum
Muhajirin  itu  tidak  perlu  lagi harus menerima bantuan kaum
Anshar dan inipun sudah menjadi harta  kekayaan  mereka.  Dari
pihak  Anshar  yang turut mendapat bagian hanya Abu Dujana dan
Sahl b. Hunaif, yang sudah terdaftar sebagai orang miskin.
 
Muhammad memberikan bagian kepada mereka  ini  seperti  kepada
kaum Muhajirin.
 
Dari  golongan  Yahudi  Banu Nadzir sendiri tak ada yang masuk
Islam kecuali dua  orang.  Mereka  masuk  Islam  karena  harta
mereka, yang kemudian mereka peroleh kembali.
 
Tidak begitu sulit orang akan menilai arti kemenangan Muslimin
serta pengosongan Banu Nadzir dari Medinah itu,  setelah  kita
kemukakan  betapa  Rasul  .a.s.  memperhitungkan, bahwa adanya
mereka  di  tempat  itu   akan   memberikan   semangat   dalam
menimbulkan  bibit-bibit  fitnah,  akan  mengajak  orang-orang
munafik itu mengangkat  kepala  setiap  mereka  melihat  pihak
Muslimin  mendapat  bencana  dan  mengancam  timbulnya  perang
saudara bila saja ada musuh menyerang kaum Muslimin.
 
Tentang perginya Banu Nadzir itu Surah Hasyr (59) ini turun:
 
"Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang bersikap munafik,
yang  berkata  kepada saudara-saudaranya yang tak beriman dari
kalangan Ahli Kitab: Kalau kamu diusir  keluar,  niscaya  kami
pun  akan keluar bersama kamu, dan tidak sekali-kali kami akan
dipengaruhi oleh siapa pun  menghadapi  persoalanmu  ini;  dan
kalau kamu dipengaruhi niscaya kami pun akan membelamu. Tetapi
Tuhan  mengetahui,  bahwa  mereka  adalah   pendusta   belaka.
Kalaupun  mereka ini diusir keluar, mereka pun tidak akan ikut
bersama-sama keluar, juga kalau mereka ini  diperangi,  mereka
pun  tidak  akan  turut  membantu.  dan kalaupun mereka sampai
membantu, niscaya mereka akan  lari  mengundurkan  diri;  lalu
mereka  ini  tidak  mendapat  pertolongan.  Sungguh dalam hati
mereka kamu sangat ditakuti lebih dari Allah. Demikian itulah,
sebab  mereka  adalah  golongan yang tidak mengerti." (Qur'an,
59: 11-13)
 
Kemudian  Surah  itu  dilanjutkan  dengan  memberi  keterangan
tentang   iman  dan  kekuasaannya.  Iman  hanya  kepada  Allah
semata-mata. Bagi jiwa  manusia,  yang  tahu  harga  diri  dan
kehormatan dirinya, yang dikenalnya hanyalah kekuasaan Tuhan.
 
"Dialah  Allah. Tiada tuhan selain Dia. Maha mengetahui segala
yang gaib dan yang nyata. Dia Pengasih dan  Penyayang.  Dialah
Allah.  Tiada tuhan selain Dia. Maha Raja, Maha Kudus. Pembawa
Keselamatan, Keamanan, Penjaga  segalanya,  Maha  Kuasa,  Maha
Perkasa,  Maha  Agung. Maha Suci Allah dari segala yang mereka
persekutukan.  Dialah  Allah.  Pencipta,  Pengatur,  Pembentuk
rupa,  PadaNyalah  ada  Asma  Yang  Indah.  Segala yang ada di
langit dan di bumi berbakti kepadaNya.  Dan  Dia  Maha  Kuasa,
Maha Bijaksana." (Qur'an, 59: 22 - 24)

Sampai  pada  waktu  dikosongkannya  Medinah dari Banu Nadzir,
yang menjadi sekretaris Nabi ketika itu  ialah  orang  Yahudi.
Hal  ini  dimaksudkan  untuk memudahkan pengiriman surat-surat
dalam bahasa Ibrani dan  Asiria.  Tetapi  setelah  orang-orang
Yahudi  keluar,  Nabi  jadi kuatir kalau jabatan yang memegang
rahasianya itu bukan di  tangan  orang  Islam.  Dari  kalangan
pemuda  Islam  di  Medinah  dimintanya  Zaid  b. Thabit supaya
mempelajari kedua bahasa tersebut, yang  dalam  segala  urusan
kemudian  ia  akan menjadi sekretaris Nabi. Dan Zaid b. Thabit
inilah yang telah mengumpulkan Qur'an pada masa  khilafat  Abu
Bakr,  dan  dia  pula  yang  kembali dan mengawasi pengumpulan
Qur'an  tatkala  terjadi  perbedaan  cara  membaca  pada  masa
pemerintahan  Usman.  Lalu  yang  dipakai hanya Mushhaf Usman,
yang lain dibakar.
 
Suasana Medinah  jadi  tenteram  setelah  Yahudi  Banu  Nadzir
keluar.  Pihak  Muslimin  tidak  lagi  merasa  takut  terhadap
orang-orang  munafik.  Bahkan  kaum  Muhajirin  bersuka   hati
memperoleh  tanah  bekas orang-orang Yahudi itu. Juga kalangan
Anshar  turut  gembira  karena  Muhajirin  sudah  tidak   lagi
bergantung pada bantuan mereka. Hati mereka semua merasa lega.
Dalam suasana yang begitu  tenang,  aman  dan  tenteram,  baik
Muhajirin  maupun  Anshar,  semua  mereka merasa senang. Dalam
pada mereka dalam  keadaan  demikian,  setelah  berlalu  waktu
setahun   sejak   peristiwa   Uhud,   teringat  oleh  Muhammad
'alaihi'sh  shalatu  was-salam  -  ucapan  Abu  Sufyan:  "Yang
sekarang  ini  untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa tahun
depan!"  serta  ajakannya  kepada  Muhammad  untuk  mengadakan
perang Badr lagi. Tetapi tahun itu sedang terjadi musim kering
(paceklik). Harapan Abu  Sufyan  ialah  sekiranya  perang  itu
diadakan dalam waktu lain saja.
 
Untuk  itu  diutusnya  Nusaim  (b.  Mas'ud)  ke Medinah dengan
mengatakan  kepada  pihak  Muslimin,   bahwa   Quraisy   telah
mengerahkan  tentaranya  begitu  besar  yang belum ada taranya
dalam sejarah Arab; sudah siap  akan  memerangi  mereka,  akan
menghancur-luluhkan  mereka  sehingga tidak akan tersisa lagi.
Tampaknya kaum Muslimin pun mau menghindari bahaya itu. Banyak
diantara  mereka yang memperlihatkan keengganan pergi ke Badr.
Tetapi Muhammad jadi marah karena sikap lemah  dan  mau  surut
itu.  Ia  bersumpah  mengatakan  kepada  mereka, bahwa ia akan
pergi juga ke Badr walaupun seorang diri.

Melihat kejengkelan yang luar  biasa  itu  segala  sikap  maju
mundur  dan  perasaan takut-takut segera lenyap. Kaum Muslimin
sekarang siap memanggul senjata dan berangkat ke  Badr.  Dalam
hal  ini  pimpinan  kota  Medinah  oleh Nabi diserahkan kepada
Abdullah b. Abdullah b. Ubayy b. Salul.
 
Muslimin  yang  sudah  sampai  di  Badr,  sekarang  menantikan
kedatangan Quraisy. Mereka sudah siap bertempur. Demikian juga
pihak Quraisy dengan pimpinan Abu Sufyan sudah pula  berangkat
dari Mekah dengan kekuatan 2000 orang. Tetapi sesudah dua hari
perjalanan  tampaknya  Abu  Sufyan  mau  kembali  pulang.   Ia
memanggil-manggil teman-temannya sambil katanya:
 
"Saudara-saudara dari Quraisy, sebenarnya yang cocok buat kita
hanyalah dalam musim subur, sedang sekarang kita  dalam  musim
kering.  Saya  sendiri mau kembali pulang. Maka pulang sajalah
kamu sekalian."
 
Mereka itu kembali pulang.
 
Tinggal lagi Muhammad dengan tentara Muslimin  selama  delapan
hari  terus-menerus menantikan mereka, yang selama di Badr itu
pula waktu  mereka  pergunakan  sambil  berdagang.  Dan  dalam
perdagangan  itu  mereka  mendapat  laba.  Mereka  kembali  ke
Medinah pun kemudian dengan gembira,  telah  mendapat  karunia
dari Tuhan. Dalam Badr Terakhir itulah firman Tuhan ini turun:
 
"Mereka yang berkata kepada teman-temannya, dan mereka sendiri
tinggal di belakang:  'Sekiranya  mereka  itu  mengikut  kita,
niscaya  mereka  takkan  mati  terbunuh.'  Katakanlah: Cobalah
hindarkan dirimu dari kematian, kalau memang kamu  orang-orang
yang  benar.  Jangan  kamu  kira  orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah itu sudah mati. Tidak!  Mereka  itu  hidup  dengan
mendapat  bagian  dari  Tuhan.  Mereka  dalam  suasana gembira
karena karunia yang diberikan Tuhan juga; mereka girang sekali
terhadap mereka yang tidak ikut dan tinggal di belakang, bahwa
mereka tidak merasa takut dan tidak pula  berdukacita.  Mereka
girang  karena  karunia  dan nikmat Tuhan dan Tuhan tidak akan
menghilangkan jasa orang-orang beriman, orang-orang yang telah
memenuhi  panggilan,  Tuhan  dan  Rasul  meskipun mereka sudah
mengalami malapetaka, orang-orang yang berbuat baik dan  dapat
memelihara  diri  dari  kejahatan;  mereka  itulah  yang  akan
mendapat pahala besar. Orang yang sudah berkata kepada mereka:
'Sebenarnya  orang-orang  sudah berkumpul hendak melawan kamu.
Karena itu hendaklah kamu takut kepada mereka. Tetapi hal  ini
bahkan  menambah  kuat  iman  mereka,  dan jawab mereka: Cukup
Tuhan bersama  kami  dan  Ia  Pelindung  yang  sebaik-baiknya.
Mereka  kembali  mendapatkan  nikmat  dan  karunia dari Tuhan.
Mereka tidak mengalami bencana, dan mereka mengikut  perkenaan
Allah.  Dan  Allah  Maha  Pemberi  karunia  yang  besar.  Yang
demikian    itu    hanyalah    setan    yang    menakut-nakuti
pengikut-pengikutnya.  Jangan  kamu  takut kepada mereka, tapi
takutlah  kepadaKu,   kalau   benar-benar   kamu   orang-orang
beriman." (Qura'an, 3: 168 - 175)
 
Dengan  demikian  perang  Badr yang terakhir benar-benar telah
menghapus pengaruh perang Uhud samasekali. Buat Quraisy  hanya
tinggal  lagi  menunggu  kesempatan  lain, dengan tetap mereka
bergelimang dalam  kecemaran  karena  sifat  pengecutnya  yang
tidak  kurang cemarnya dari kekalahan yang mereka derita dalam
perang Badr pertama.
 
Dengan pertolongan Tuhan itu Muhammad merasa lega  tinggal  di
Medinah,  merasa  tenteram  hatinya karena kewibawaan Muslimin
kini  telah  kembali.  Sungguhpun  begitu  ia  selalu  waspada
terhadap  segala  tipu-muslihat  musuh,  selalu  awas-awas  ke
segenap jurusan.

Sementara  dalam  keadaan  demikian  itu,  tiba-tiba  terbetik
berita,  bahwa  ada sebuah kelompok dari Ghatafan di Najd yang
sedang bersepakat hendak memeranginya.  Dan  taktiknya  selalu
dalam  hal  ini ialah menyergap musuh secara tiba-tiba sebelum
musuh itu sempat  mengadakan  persiapan  mempertahankan  diri.
Oleh  karena  itulah,  dengan  kekuatan  empat  ratus orang ia
berangkat  menuju  Dhat'r-Riqa'.  Di  tempat  ini  pihak  Banu
Muharib  dan  Banu  Tha'laba  dari  Ghatafan  sudah berkumpul.
Begitu  ia  dilihat  oleh  mereka,   ia   langsung   melakukan
penyerbuan  ke  tempat-tempat  mereka itu. Dengan meninggalkan
kaum wanita dan harta, mereka lari tunggang-langgang. Apa yang
dapat  dibawa  oleh  Muslimin  dibawanya,  dan  mereka kembali
pulang ke Medinah.
 
Akan tetapi,  karena  dikuatirkan  pihak  musuh  akan  kembali
menyerang  mereka,  siang  malam  mereka pun secara bergantian
mengadakan penjagaan. Dalam pada itu dalam memimpin sembahyang
juga  oleh  Muhammad  dilakukan dengan salat khauf.1 Dalam hal
ini  sebagian  mereka  menghadap  ke  jurusan  musuh,   karena
dikuatirkan kalau-kalau pihak musuh menyusul menyerang mereka,
sementara mereka sedang bersembahyang dua raka'at bersama-sama
Muhammad  itu. Akan tetapi selama itu tidak ada bayangan musuh
yang tampak. Kemudian  Nabi  dan  sahabat-sahabat  kembali  ke
Medinah  setelah  15 hari meninggalkan kota itu. Dengan sukses
demikian ini mereka kembali dengan gembira sekali.

Tidak lama sesudah itu Nabi pun  berangkat  lagi  dalam  suatu
ekspedisi,  yakni ekspedisi Dumat'l-Jandal. Dumat'l-Jandal ini
adalah sebuah wahah (oasis) pada perbatasan  Hijaz-Syam,  yang
terletak pada pertengahan jalan antara Laut Merah dengan Teluk
Persia.  Muhammad  sendiri   tidak   sampai   bertemu   dengan
kabilah-kabilah  yang  ingin  dihadapinya  itu  dan  yang suka
menyerang kafilah-kafilah di sana; sebab baru mereka mendengar
namanya  saja,  mereka  sudah  ketakutan dan sudah kabur lebih
dulu, dengan meninggalkan harta  benda  yang  kemudian  dibawa
Muslimin sebagai barang ghanima (rampasan perang). Berdasarkan
batas Dumat'l-Jandal secara geografis kita sudah dapat melihat
betapa  luasnya  pengaruh Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu,
betapa  jauhnya  kekuasaan  mereka  dan  betapa  pula  seluruh
jazirah  itu  merasa takut. Begitu juga kita melihat bagaimana
Muslimin   itu   menanggung   segala   macam    beban    dalam
ekspedisi-ekspedisi  itu,  dengan  tidak pedulikan panas terik
yang rnembakar, tanah yang kering dan gersang, air yang  sukar
diperoleh, bahkan maut sendiri pun tidak lagi mereka hiraukan.
Hanya satu yang menggerakkan mereka sampai mencapai kemenangan
dan  sukses  itu,  yang telah memberikan kekuatan moril kepada
mereka, yaitu: keteguhan iman, iman yang  hanya  kepada  Allah
semata-mata.
 
Sekarang  tiba  waktunya buat Muhammad beristirahat di Medinah
untuk selama beberapa bulan berikutnya,  sementara  menantikan
Quraisy  sampai  tahun  depan  -  tahun  kelima  Hijrah  - dan
menjalankan  perintah  Tuhan   menyelesaikan   suatu   susunan
masyarakat  bagi  umat  Islam  yang  baru  tumbuh  itu,  suatu
organisasi yang pada waktu itu meliputi  beberapa  ribu  orang
dan  yang  kemudian  akan  meliputi jutaan bahkan ratusan juta
umat  Islam.  Dalam  membuat  struktur  masyarakat   itu,   ia
bertindak  dengan  cara  yang  begitu  cermat dan baik sekali,
sejalan dengan  wahyu  Tuhan  yang  diberikan  kepadanya,  dan
ditentukannya   sendiri  pula  mana-mana  yang  sesuai  dengan
perintah dan  ajaran  wahyu  itu,  dengan  ketentuan-ketentuan
terperinci  yang  oleh  sahabat-sahabat  pada waktu itu diberi
tempat yang suci, dan  yang  selanjutnya  akan  tetap  berlaku
begitu  sepanjang masa dan generasi; wahyu yang tiada dimasuki
kepalsuan dari manapun juga, baik dari semula  maupun  sesudah
itu.
 
Catatan kaki:
 
 1 Shalat'l-khauf, harfiah salat ketakutan, yakni
   sembahyang darurat dalam keadaan bahaya. Syarat-syarat
   dan ketentuan-ketentuannya terdapat dalam buku-buku
   fikih (A).
 
---------------------------------------------










Lading_Emas

No comments:

Post a Comment