Wednesday, January 6, 2010

Sirah Rasulullah SAW_13 ~ PERANG BADR

BAHAGIAN KETIGABELAS: PERANG BADR1                    (1/4)
Muhammad Husain Haekal

Keberangkatan Abu Sufyan ke Syam - Usaha Muslimin
memotong jalan Berangkat dengan sukses Ditunggu
kembalinya - Quraisy mengetahui persiapan Muslimin -
Mereka berangkat ke Badr - Perdagangan Abu Sufyan
selamat - Quraisy dan Muslimin ragu-ragu akan berperang
- Hilangnya keraguan - Posisi kedua belah pihak di Badr
- Semangat dan kemenangan Muslimin

SATUAN Abdullah b. Jahsy merupakan persimpangan jalan dalam
strategi politik Islam. Ketika itulah Waqid b. Abdullah
at-Tamimi melepaskan anak panahnya dan mengenai 'Amr
bin'l-Hadzrami hingga ia tewas. Ini adalah darah pertama
ditumpahkan oleh Muslimin. Karena itu pula ayat yang kita
sebutkan tadi turun. Sebagai kelanjutannya maka diundangkan
perang terhadap mereka yang mau memfitnah dan mengalihkan kaum
Muslimin dan agamanya serta menghalangi mereka dan jalan
Allah. Juga satuan ini merupakan persimpangan jalan dalam
strategi politik Muslimin terhadap Quraisy, karena dengan ini
keduanya dapat berhadapan sama kuat. Sesudah itu kaum Muslimin
jadi berpikir lebih sungguh-sungguh lagi dalam membebaskan
harta-benda mereka dalam menghadapi Quraisy. Disamping itu
pihak Quraisy berusaha menghasut seluruh Jazirah Arab, bahwa
Muhammad dan sahabat-sahabatnya melakukan pembunuhan dalam
bulan suci. Muhammadpun yakin sudah, bahwa harapan akan dapat
bekerja sama dengan jalan persetujuan yang sebaik-baiknya
dengan mereka sudah tak ada lagi.

Pada permulaan musim rontok tahun kedua Hijrah, Abu Sufyan
berangkat membawa perdagangan yang cukup besar, menuju Syam.
Perjalanan dagang inilah yang ingin dicegat oleh orang-orang
Islam ketika Nabi s.a.w. dulu pergi ke 'Usyaira. Tetapi
tatkala mereka sampai kafilah Abu Sufyan sudah lewat dua hari
lebih dulu sebelum ia tiba di tempat tersebut. Sekarang kaum
Muslimin bertekad menunggu mereka kembali. Sementara Muhammad
menantikan mereka kembali dari Syam itu, dikirimnya Talha b.
'Ubaidillah dan Sa'id b. Zaid menunggu berita-berita. Mereka
berdua berangkat, dan sesampainya di tempat Kasyd al-Juhani di
bilangan Haura'2, mereka bersembunyi, menunggu hingga kafilah
itu lewat. Kemudian cepat-cepat mereka berdua menemui Muhammad
guna memberitahukan keadaan mereka.

Tetapi belum lagi selesai Muhammad menunggu kedatangan kedua
utusan itu dari Haura' beserta kabar tentang kafilah yang akan
dibawanya, lebih dulu sudah tersebar berita tentang adanya
sebuah rombongan kafilah besar, dan bahwa seluruh penduduk
Mekah punya saham di situ. Tak ada penduduk laki-laki atau
wanita yang dapat memberikan sahamnya yang tidak ikut serta,
sehingga seluruhnya mencapai jumlah 50.000 dinar. Ia kuatir,
kalau masih menunggu lagi kafilah itu kembali ke Mekah, mereka
akan menghilang seperti ketika berangkat ke Syam dulu. Oleh
karena itu ia segera mengutus kaum Muslimin dengan mengatakan:

"Ini adalah kafilah Quraisy. Berangkatlah kamu ke sana.
Mudah-mudahan Tuhan memberikan kelebihan kepada kamu."

Ada orang yang segera menyambutnya dan ada pula yang masih
merasa berat-berat. Dan ada lagi orang-orang yang belum Islam
ingin bergabung karena mereka hanya ingin mendapatkan harta
rampasannya saja. Tetapi Muhammad menolak penggabungan mereka
ini sebelum mereka beriman kepada Allah dan RasulNya.

Sementara itu Abu Sufyan sudah mengetahui pula akan kepergian
Muhammad yang akan mencegat kafilahnya dalam perjalanan ke
Syam. Ia kuatir kalau-kalau kaum Muslimin akan mencegatnya
bila ia kembali dengan membawa laba perdagangan. Sekarang ia
tinggal menunggu berita tentang mereka itu, termasuk Kasyd
Juhani yang pernah dikunjungi oleh kedua utusan Muhammad di
Haura' itu, di antara orang yang ditanyainya. Sekalipun Juhani
belum mempercayai berita tersebut, tapi berita tentang
Muhammad, kaum Muhajirin dan Anshar sudah sampai juga
kepadanya seperti tersebarnya berita itu dulu kepada Muhammad.
Ia merasa kuatir juga kalau dari pihak Quraisy pengawalan
kafilah hanya terdiri dari tiga puluh atau empat puluh orang
saja.

Ketika itulah ia lalu mengupah Dzamdzam b. 'Amr al-Ghifari
supaya cepat-cepat pergi ke Mekah untuk mengerahkan Quraisy
menolong harta-benda mereka, juga diberitahukannya, bahwa
Muhammad dan sahabat-sahabatnya sedang mengancam.

Setibanya di Mekah, ketika berada di tengah-tengah sebuah
lembah, dipotongnya kedua telinga dan hidung untanya,
dibalikkannya pelananya dan dia sendiri berhenti di tempat itu
sambil berteriak-teriak memberitahukan, dengan mengenakan baju
yang sudah dikoyak-koyak bagian depan dan belakangnya:

"Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! harta bendamu di
tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Perlu
pertolongan! Pertolongan!"

Mendengar ini Abu Jahl segera memanggil orang-orang di sekitar
Ka'bah. Mereka dikerahkan. Abu Jahl adalah seorang laki-laki
berbadan kecil, berwajah keras dengan lidah dan pandangan mata
yang tajam. Sebenarnya orang-orang Quraisy itu sudah tidak
perlu lagi dikerahkan karena setiap orang sudah punya saham
sendiri-sendiri dalam kafilah itu.

Sungguhpun begitu ada juga penduduk Mekah itu sebagian yang
sudah merasakan adanya kekejaman Quraisy terhadap kaum
Muslimin sehingga menyebabkan mereka terpaksa hijrah ke
Abisinia dan kemudian hijrah ke Medinah. Mereka ini masih
maju-mundur: akan turut juga berperang mempertahankan
harta-benda mereka, atau akan tinggal diam saja dengan harapan
kalau-kalau kafilah itu tidak mengalami sesuatu gangguan.
Mereka ini masih ingat bahwa dulu antara kabilah Quraisy dan
kabilah Kinana ada tuntutan darah yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Apabila mereka ini cepat-cepat menghadapi
Muhammad dalam membela kafilah itu, mereka kuatir akan diserbu
oleh Banu Bakr (dari Kinana) dari belakang. Alasan demikian
ini hampir saja memperkuat pendapat yang ingin tinggal diam
saja, kalau tidak lalu datang Malik b. Ju'syum (Mudlij),
seorang pemuka Banu Kinana.

"Bagi kamu aku adalah jaminan, bahwa Kinana tidak akan
melakukan sesuatu di belakang kamu yang akan merugikan kamu
sekalian."

Dengan demikian orang-orang semacam Abu Jahl, 'Amir
al-Hadzrami serta penganjur-penganjur perang menentang
Muhammad dan pengikut-pengikutnya, mendapat dukungan kuat. Tak
ada alasan bagi orang yang mampu berperang itu yang akan
tinggal di belakang atau akan menggantikannya kepada orang
lain. Dari pemuka-pemuka Quraisypun tak ada yang ketinggalan,
kecuali Abu Lahab yang diwakili oleh al-'Ash b. Hisyam b.
Mughira. Orang ini punya hutang kepadanya (Abu Lahab) sebanyak
4000 dirham yang tak dibayar sehingga ia bangkrut karenanya.
Sedang Uamyya b. Khalaf sudah bertekad akan tinggal diam. Dia
sebagai orang terpandang, yang sudah tua sekali usianya,
badannya gemuk dan berat.

Ketika itu ia didatangi oleh 'Uqba b. Abi Mu'ait dan Abu Jahl
ke mesjid. 'Uqba membawa perapian dengan kemenyan sedang Abu
Jahl membawa tempat celak dan pemalitnya. 'Uqba meletakkan
tempat api itu di depannya seraya berkata:

"Abu Ali,3 gunakanlah perapian dan menyan ini, sebab kau
wanita."

"Pakailah celak ini, Abu Ali, sebab kau perempuan," kata Abu
Jahl.

"Belikan buat aku seekor unta yang terbaik di lembah ini,"
jawab Umayya.

Lalu iapun pergi bersama mereka. Sekarang tiada seorangpun
yang mampu bertempur yang masih tinggal di Mekah.

Pada hari kedelapan bulan Ramadan tahun kedua Hijrah, Nabi
s.a.w. berangkat dengan sahabat-sahabatnya meninggalkan
Medinah. Pimpinan sembahyang diserahkan kepada 'Amr b. Umm
Maktum, sedang pimpinan Medinah kepada Abu Lubaba dari Rauha'.
Dalam perjalanan ini Muslimin didahului oleh dua bendera
hitam. Mereka membawa tujuhpuluh ekor unta, yang dinaiki
dengan cara silih berganti. Setiap dua orang, setiap tiga
orang dan setiap empat orang bergantian naik seekor unta.
Dalam hal ini Muhammad juga mendapat bagian sama seperti
sahabat-sahabatnya yang lain. Dia, Ali b. Abi Talib dan
Marthad b. Marthad al-Ghanawi bergantian naik seekor unta. Abu
Bakr, Umar dan Abdur-Rahman b. 'Auf bergantian juga dengan
seekor unta. Jumlah mereka yang berangkat bersama Muhammad
dalam ekspedisi ini terdiri dari tiga ratus lima orang,
delapanpuluh tiga di antaranya Muhajirin, enampuluh satu orang
Aus dan yang selebihnya dari Khazraj.

Karena dikuatirkan Abu Sufyan akan menghilang lagi,
cepat-cepat mereka berangkat sambil terus berusaha mengikuti
berita-berita tentang orang ini di mana saja mereka
berada.Tatkala sampai di 'Irq'z-Zubya mereka bertemu dengan
seorang orang Arab gunung yang ketika ditanyai tentang
rombongan itu, ternyata ia tidak mendapat berita apa-apa.
Mereka meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah wadi
bernama Dhafiran; di tempat itu mereka turun. Di tempat inilah
mereka mendapat berita, bahwa pihak Quraisy sudah berangkat
dari Mekah, akan melindungi kafilah mereka.

Ketika itu suasananya sudah berubah. Kini kaum Muslimin dari
kalangan Muhajirin dan Anshar bukan lagi berhadapan dengan Abu
Sufyan dengan kalifahnya serta tigapuluh atau empatpuluh orang
rombongannya itu saja, yang takkan dapat melawan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya, melainkan Mekah dengan seluruh isinya
sekarang keluar dipimpin oleh pemuka-pemuka mereka sendiri
guna membela perdagangan mereka itu.

Andaikata pihak Muslimin sudah dapat mengejar Abu Sufyan, dan
beberapa orang dari rombongan itu sudah dapat ditawan, unta
beserta muatannya sudah dapat dikuasai, pihak Quraisypun tentu
akan segera pula dapat menyusul mereka. Soalnya karena
terdorong oleh rasa cintanya kepada harta dan ingin
mempertahankannya. Mereka merasa sudah didukung oleh sejumlah
orang dan perlengkapan yang cukup besar. Mereka bertekad akan
bertempur dan mengambil kembali harta mereka, atau bersedia
mati untuk itu.

Tetapi sebaliknya, apabila Muhammad kembali ke tempat semula,
pihak Quraisy dan Yahudi Medinah tentu merasa mendapat angin.
Dia sendiri terpaksa akan berada dalam situasi yang serba
dibuat-buat, sahabat-sahabatnya pun terpaksa akan memikul
segala tekanan dan gangguan Yahudi Medinah, seperti gangguan
yang pernah mereka alami dari pihak Quraisy di Mekah dahulu.
Ya, apabila ia menyerah kepada situasi semacam itu, mustahil
sekali kebenaran akan dapat ditegakkan dan Tuhan akan
memberikan pertolongan dalam menegakkan agama itu.

Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya.
Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut
berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu
memberikan pendapat. Kemudian Miqdad b. 'Amr tampil
mengatakan:

"Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah.
Kami akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti
Banu Israil yang berkata kepada Musa: "Pergilahkamu bersama
Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di sini akan tinggal menunggu.
Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah, kami
bersamamu akan juga turut berjuang."

Semua orang diam.

"Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku," kata Rasul lagi.
Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang
telah menyatakan Ikrar 'Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya
seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka tidak
mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah.

Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud,
maka Sa'd b. Musadh yang memegang pimpinan mereka menoleh
kepada Muhammad.

"Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami," katanya.

"Ya," jawab Rasul.

"Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan," kata Sa'd
pula, "Kamipun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu
adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan
kami, bahwa kami akan tetap taat setia. Laksanakanlah
kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang telah mengutus kamu,
sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau
terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak
seorangpun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan
segan-segan menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah
dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan
segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah
kami bersama, dengan berkah Tuhan."

Begitu Sa'd selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri.
Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya:

"Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan
kepadaku atas salah satunya dari dua kelompok4 itu.
Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku."

Merekapun lalu berangkat semua. Ketika sampai pada suatu
tempat dekat Badr, Muhammad pergi lagi dengan untanya sendiri.
Ia menemui seorang orang Arab tua. Kepada orang ini ia
menanyakan Quraisy dan menanyakan Muhammad dan
sahabat-sahabatnya, yang kemudian daripadanya diketahui, bahwa
kafilah Quraisy berada tidak jauh dari tempat itu.

Lalu kembali lagi ia ke tempat sahabat-sahabatnya. Ali b. Abi
Talib, Zubair bin'l-Awwam, Sa'd b. Abi Waqqash serta beberapa
orang sahabat lainnya segera ditugaskan mengumpulkan
berita-berita dari sebuah tempat di Badr. Kurir ini segera
kembali dengan membawa dua orang anak. Dari kedua orang ini
Muhammad mengetahui, bahwa pihak Quraisy kini berada di balik
bukit pasir di tepi ujung Wadi.5 Ketika mereka menjawab, bahwa
mereka tidak mengetahui berapa jumlah pihak Quraisy, ditanya
lagi oleh Muhammad:

"Berapa ekor ternak yang mereka potong tiap hari?"

"Kadang sehari sembilan, kadang sehari sepuluh ekor," jawab
mereka.

Dengan demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka
terdiri dari antara 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua
anak itu dapat diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy
ikut serta memperkuat diri

Lalu katanya kepada sahabat-sahabatnya:

"Lihat. Sekarang Mekah sudah menghadapkan semua bunga
bangsanya kepada kita."

Mau tidak mau, sekarang ia dan sahabat-sahabatnya harus
berhadapan dengan suatu golongan yang jumlahnya tiga kali jauh
lebih besar. Mereka harus mengerahkan seluruh semangat, harus
mengadakan persiapan mental menghadapi kekerasan itu. Mereka
harus siap menunggu suatu pertempuran sengit dan dahsyat, yang
takkan dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat memenuhi
kalbu, iman dan kepercayaan akan adanya kemenangan itu.

Bilamana Ali sudah kembali dengan kedua orang anak yang
membawa berita tentang Quraisy itu, dua orang Muslimin lainnya
lalu berangkat lagi menuju lembah Badr. Mereka berhenti di
atas sebuah bukit tidak jauh dari tempat air, dikeluarkannya
tempat persediaan airnya, dan di sini mereka mengisi air itu.

Sementara mereka berada di tempat air, terdengar ada suara
seorang budak perempuan, yang agaknya sedang menagih hutang
kepada seorang wanita lainnya, yang lalu dijawab:

"Kafilah dagang besok atau lusa akan datang. Pekerjaan akan
kuselesaikan dengan mereka dan hutang segera akan kubayar."

Kedua laki-laki itu kembali. Disampaikannya apa yang telah
mereka dengar itu kepada Muhammad.

Tetapi, dalam pada itu Abu Sufyan sudah mendahului kafilahnya
mencari-cari berita. Ia kuatir Muhammad akan sudah lebih dulu
ada di jalan itu. Sesampainya di tempat air ia bertemu dengan
Majdi b. 'Amr.

"Ada kau melihat orang tadi?" tanyanya.

Majdi menjawab bahwa ia melihat ada dua orang berhenti di
bukit itu sambil ia menunjuk ke tempat dua orang laki-laki
Muslim itu tadi berhenti. Abu Sufyanpun pergi mendatangi
tempat perhentian tersebut. Dilihatnya ada kotoran dua ekor
unta dan setelah diperiksanya, diketahuinya, bahwa biji
kotoran itu berasal dari makanan ternak Yathrib.

Cepat-cepat ia kembali menemui teman-temannya dan membatalkan
perjalanannya melalui jalan semula. Dengan tergesa-gesa sekali
sekarang ia memutar haluan melalui jalan pantai laut. Jaraknya
dengan Muhammad sudah jauh, dan dia dapat meloloskan diri.

Hingga keesokan harinya kaum Muslimin masih menantikan kafilah
itu akan lewat. Tetapi setelah ada berita-berita bahwa ia
sudah lolos dan yang masih ada di dekat mereka sekarang adalah
angkatan perang Quraisy, beberapa orang yang tadinya mempunyai
harapan penuh akan beroleh harta rampasan, terbalik menjadi
layu. Beberapa orang bertukar pikiran dengan Nabi dengan
maksud supaya kembali saja ke Medinah, tidak perlu berhadapan
dengan mereka yang datang dari Mekah hendak berperang. Ketika
itu datang firman Tuhan:

"Ingat! Tuhan menjanjikan kamu salah satu dari dua keIompok
(musuh) itu untuk kamu. Sedang kamu menginginkan, bahwa yang
tidak bersenjata itulah yang untuk kamu. Tetapi Allah mau
membuktikan kebenaran itu sesuai dengan ayat-ayatNya, dan akan
merabut akar orang-orang yang tak beriman itu."6

Pada pihak Quraisy juga begitu. Perlu apa mereka berperang,
perdagangan mereka sudah selamat? Bukankah lebih baik mereka
kembali ke tempat semula, dan membiarkan pihak Islam kembali
ke tempat mereka. Abu Sufyan juga berpikir begitu. Itu
sebabnya ia mengirim utusan kepada Quraisy mengatakan: Kamu
telah berangkat guna menjaga kafilah dagang, orang-orang serta
harta-benda kita. Sekarang kita sudah diselamatkan Tuhan.
Kembalilah. Tidak sedikit dari pihak Quraisy sendiri yang juga
mendukung pendapat ini.
(bersambung ke bagian 2/4)

Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba
berteriak:

"Kita tidak akan kembali sebelum kita sampai di Badr. Kita
akan tinggal tiga malam di tempat itu. Kita memotong ternak,
kita makan-makan, minum-minum khamr, kita minta
biduanita-biduanita bernyanyi. Biar orang-orang Arab itu
mendengar dan mengetahui perjalanan dan persiapan kita. Biar
mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita."

Soalnya pada waktu itu Badr merupakan tempat pesta tahunan.
Apabila pihak Quraisy menarik diri dari tempat itu setelah
perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan ditafsirkan oleh
orang-orang Arab - menurut pendapat Abu Jahl - bahwa mereka
takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini berarti
kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin
tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah
b. Jahsy, terbunuhnya Ibn'l-Hadzrami, dirampasnya dan
ditawannya orang-orang Quraisy.

Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut Abu Jahl karena takut
dituduh pengecut, atau kembali saja setelah kafilah
perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata kemudian
kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau
mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati
mereka.

Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl. Mereka berangkat menuju
ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini mereka mengadakan
persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan. Lalu mereka
berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik sebuah
bukit pasir.

Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah kehilangan kesempatan
mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat akan bertahan
terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu merekapun
segera berangkat ke tempat mata air di Badr itu, dan
perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun.
Setelah mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti.
Ada seseorang yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang
yang paling banyak mengenal tempat itu, setelah dilihatnya
Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:

"Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti di tempat ini?
Kalau ini sudah wahyu Tuhan, kita takkan maju atau mundur
setapakpun dari tempat ini. Ataukah ini sekedar pendapat tuan
sendiri, suatu taktik perang belaka?"

"Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang," jawab
Muhammad.

"Rasulullah," katanya lagi. "Kalau begitu, tidak tepat kita
berhenti di tempat ini. Mari kita pindah sampai ke tempat mata
air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur kering yang
dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam,
kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang.
Kita akan mendapat air minum, mereka tidak."

Melihat saran Hubab yang begitu tepat itu, Muhammad dan
rombongannya segera pula bersiap-siap dan mengikuti pendapat
temannya itu, sambil mengatakan kepada sahabat-sahabatnya
bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan bahwa sesuatu
pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia tidak
akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu
sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka
sendiri.

Selesai kolam itu dibuat, Sa'd b. Mu'adh mengusulkan:

"Rasulullah,"7 katanya, "kami akan membuatkan sebuah dangau
buat tempat Tuan tinggal, kendaraan Tuan kami sediakan.
Kemudian biarlah kami yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan
memberi kemenangan kepada kita atas musuh kita, itulah yang
kita harapkan. Tetapi kalaupun sebaliknya yang terjadi; dengan
kendaraan itu Tuan dapat menyusul teman-teman yang ada di
belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak sahabat-sahabat kita
yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada tuan tidak
kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka dapat
menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka
tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga
tuan. Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama
tuan."

Muhammad sangat menghargai dan menerima baik saran Sa'd itu.
Sebuah dangau buat Nabi lalu dibangun. Jadi bila nanti
kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia takkan jatuh ke tangan
musuh, dan masih akan dapat bergabung dengan
sahabat-sahabatnya di Yathrib.

Disini orang perlu berhenti sejenak dengan penuh kekaguman,
kagum melihat kesetiaan Muslimin yang begitu dalam, rasa
kecintaan mereka yang begitu besar kepada Muhammad, serta
dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua mereka
mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari
kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi,
sungguhpun begitu, mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup
melawan. Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan
mendapatkan harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu karena
bukan pengaruh materi itu yang mendorong mereka bertempur,
mereka selalu siap disamping Nabi, memberikan dukungan,
memberikan kekuatan. Dan mereka inilah yang juga sangsi,
antara harapan akan menang, dan kecemasan akan kalah. Tetapi,
sungguhpun begitu, pikiran mereka selalu hendak melindungi
Nabi, hendak menyelamatkannya dari tangan musuh. Mereka
menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi orang-orang yang
masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana lagi yang
lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih
menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?

Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke medan perang. Mereka
mengutus orang yang akan memberikan laporan tentang keadaan
kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa jumlah kaum
Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa pasukan
pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri.
Tiada seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum
dapat membunuh lawan.

Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy telah juga ikut serta
dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari kalangan ahli
pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka itu
yang akan terbunuh, sehingga Mekah sendiri nanti akan
kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut kepada
Abu Jahl yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut
dan penakut. Tetapi tiba-tiba tampil 'Utba b. Rabi'a ke
hadapan mereka itu sambil berkata:

"Saudara-saudara kaum Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan
hendak memerangi Muhammad dan kawan-kawannya itu, sebenarnya
tak ada gunanya. Kalau dia sampai binasa karena tuan-tuan,
masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan sendin yang akan
melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara sepupunya,
dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja dari
keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan
teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, maka
itu yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang
terjadi, kita tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang
tidak kita inginkan."

Mendengar kata-kata 'Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera
memanggil 'Amir bin'l-Hadzrami dengan mengatakan:

"Sekutumu ini ingin supaya orang pulang. Kau sudah melihat
dengan mata kepala sendiri siapa yang harus dituntut balas.
Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap saudaramu!"8

'Amir segera bangkit dan berteriak:

"O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!"

Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. 'Abd'l-Asad
(Makhzum) keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke
tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak
menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi
ketika itu juga Hamzah b. Abd'l-Muttalib segera menyambutnya
dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia
tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali
lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang
kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih
tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras
membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia
daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang
teman-temannya berdiri menyaksikan.

Begitu melihat Aswad jatuh, maka tampillah 'Utba b. Rabi'a
didampingi oleh Syaiba saudaranya dan Walid b. 'Utba anaknya,
sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu disambut oleh
pemuda-pemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat mereka ini
ia berkata lagi:

"Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah
golongan kami."

Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:

"Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan
kami itu tampil!"

Ketika itu juga yang tampil menghadapi mereka adalah Hamzah b.
Abd'l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan 'Ubaida bin'l-Harith.
Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba, juga Ali
tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan.
Lalu keduanya segera membantu 'Ubaida yang kini sedang
diterkam oleh 'Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat
kenyataan ini mereka semua maju menyerbu.

Pada pagi Jum'at 17 Ramadan itulah kedua pasukan itu
berhadap-hadapan muka.

Sekarang Muhammad sendiri yang tampil memimpin Muslimin,
mengatur barisan. Tetapi ketika dilihatnya pasukan Quraisy
begitu besar, sedang anak buahnya sedikit sekali, disamping
perlengkapan yang sangat lemah dibanding dengan perlengkapan
Quraisy, ia kembali ke pondoknya ditemani oleh Abu Bakr.
Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan terjadi hari itu,
sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan menimpa Islam
sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.

Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke kiblat, dengan seluruh
jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia mengimbau Tuhan
akan segala apa yang telah dijanjikan kepadanya, ia
membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan memberikan
pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa, dalam
permohonan, sambil berkata:

"Allahumma ya Allah. Ini Quraisy sekarang datang dengan segala
kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan RasulMu. Ya Allah,
pertolonganMu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah, jika
pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadat kepadaMu."

Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil
merentangkan tangan menghadap kiblat itu, mantelnya terjatuh.
Ketika itu Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu kembali ke
bahunya, sambil ia bermohon:

"Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang
telah dijanjikan kepadamu."

Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin dalam terbawa dalam
doa, dalam tawajuh kepada Allah; dengan penuh khusyu' dan
kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan isyarat
dan pertolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh
kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, dan untuk itu
tidak pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah
akhirnya ia sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam
pada itu tampak olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar
kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira.

Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya; dikerahkannya
mereka sambil berkata:

"Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap orang yang
sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus
maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan
menempatkannya di dalam surga."

Jiwanya yang begitu kuat, yang telah diberikan Tuhan begitu
tinggi melampaui segala kekuatan, telah tertanam pula dengan
ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman. Dan kekuatan
mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri, sehingga
setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama
dengan sepuluh orang.

Akan lebih mudah orang memahami ini bila diingat arti kekuatan
moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa seseorang, dan
ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan moril
ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat
menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air
yang terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat
patriotisma, akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan
besar cintanya kepada tanah air serta kekuatirannya akan
bahaya yang mengancam tanah air itu dari pihak musuh.

Oleh karena itu semangat patriotisma dan pengorbanan untuk
tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah ditanamkan kepada
warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya kepercayaan
kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta arti
kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam
jiwa orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan
orang yang masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu
luas disebarkan pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada
dasarnya mereka berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu
karena hendak membela kebebasan dan kebenaran serta
mempersiapkan suatu perjanjian perdamaian, akan menyadari
betapa sesungguhnya propaganda itu dapat melipat-gandakan
kekuatan semangat prajurit-prajurit Sekutu di samping
menimbulkan simpati sebagian besar bangsa-bangsa di dunia.

Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian, dibandingkan
dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu! Tujuan komunikasi
manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi yang akan
meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan alam
semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan
hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.

Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah perdamaian disamping
kewajibannya disisi Tuhan, membela orang-orang yang beriman
dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan godaan,
dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang
hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan
syirik. Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin
kuat, sesuai dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan
dengan rasa cinta perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa
itupun makin kuat, sesuai dengan kekuatan semua umat manusia
yang ada, maka betapa pula dahsyatnya kekuatan jiwa yang
dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud dan Pencipta
seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat tenaga
manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia
dapat mengawasi - dengan kemampuan morilnya - segala yang
masih berada di bawah taraf itu. Dan kemampuan moril ini akan
berlipat ganda pula kekuatannya.

Apabila secara integral kemampuan moril ini belum lagi
mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat
di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum dicapainya
kekuatan materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan daya
iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah
kuat lagi tatkala Muhammad dan sahabat-sahabatnya dapat
mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan
perlengkapan yang sangat sedikit itu telah rnendapat
kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang
demikian inilah kedua ayat ini turun:

"O Nabi! Bangunkanlah semangat orang-orang beriman itu dalam
menghadapi perang. Bila kamu berjumlah duapuluh orang yang
tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus orang. Bila kamu
berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan seribu orang
kafir; sebab mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti.
Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa
pada kamu masih ada kelemahan. Maka, jika kamu berjumlah
seratus orang yang tabah, akan dapat mengalahkan duaratus
orang, dan jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan
duaribu dengan ijin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang
berhati tabah." (Qur'an, 8:55-56.)

Keadaan Muslimin ternyata bertambah kuat setelah Muhammad
membangkitkan semangat mereka, turut hadir di tengah-tengah
mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap musuh.
Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang
telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh.
Dalam hal ini kaum Muslimin mengarahkan perhatiannya pada
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Quraisy. Mereka hendak
dikikis habis sebagai balasan yang seimbang tatkala mereka
disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid Suci dan
berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan
anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang
dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah
menyiksa Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah
padang pasir yang paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia
di tempat itu lalu ditindihkannya batu besar di dadanya,
dengan maksud supaya ia meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya
berkata: "Ahad, Ahad.10 Yang Satu, Yang Satu."

Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:

"Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!"

Beberapa orang dari kalangan Muslimin mengelilingi Umayya
dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh dan akan dibawanya
sebagai tawanan.

Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak
sekeras-kerasnya:

"Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir.
Takkan selamat aku kalau ia lolos."

Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak dapat diredakan lagi,
dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu'adh b. 'Amr b. Jamuh juga
dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali dan
pahlawan-pahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah
pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya
masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang
hanya sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.

Debu dan pasir halus membubung dan beterbangan memenuhi udara.
Kepala-kepala ketika itu sudah lepas berjatuhan dari tubuh
Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan Muslimin bertambah
kuat juga. Dengan gembira mereka berseru: Ahad, Ahad. Di
hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai
bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang
memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah
teguh, sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat
pedang dan mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan
mereka digerakkan dengan tenaga Tuhan.

Di tengah-tengah medan pertempuran yang sedang sibuk
dikunjungi malaikat maut memunguti leher orang-orang kafir
itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam pasir,
dihadapkannya kepada Quraisy. "Celakalah wajah-wajah mereka
itu!" katanya sambil menaburkan pasir itu kearah mereka.
Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:

"Serbu!"
(bersambung ke bagian 3/4)

Serentak pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah
yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah
penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi
yang membunuh musuh, sudah bukan mereka lagi yang menawan
tawanan perang. Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang
tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan moril mereka
bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula.
Dalam hal ini firman Allah turun:

"Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Aku
bersama kamu.' Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu.
Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang kafir
itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap
ujung jari mereka." (Qur'an, 8: 12)

"Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah
juga yang telah membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan,
sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu, melainkan Tuhan
juga." (Qur'an, 8: 17)

Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya
dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak
orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang
Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak
terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.

Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang
stabil kepada umat Islam di seluruh tanah Arab, dan yang
merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan seluruh
semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu
pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas
sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia,
yang sampai sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh
yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.

Bukan tidak mungkin orang akan merasa kagum sekali bila
mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan
sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya musuh Tuhan
dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia
sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim
dan tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan
pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan
membunuh setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka
bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu
karena ia mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya
pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih besar
daripada akan terpengaruh oleh hal-hal serupa itu. Apa yang
menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu
yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak
mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya, sampai-sampai
Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan ikrar
'Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan
Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya
dipaksa tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan
oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan yang telah
diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad dianggap
sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus
mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh
Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka
masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan
Quraisy sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan
itu seperti yang dilakukan oleh Abu'l-Bakhtari - salah seorang
yang ikut melaksanakan dicabutnya piagam. Ia menolak dan
terbunuh.

Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang.
Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata mereka
tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri, karena rasa
malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk yang
telah menimpa mereka semua.

Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian
mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan
sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam harinya
Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan
menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga
terhadap orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap
Muhammad mulai merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan
kepada Muslimin yang dengan jumlah yang begitu kecil telah
dapat menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai
kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja. Dalam
ia merenungkan hal ini, pada waktu larut malam itu
sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:

"Wahai penghuni perigi! Wahai 'Utba b. Rabi'a! Syaiba b.
Rabi'a! Umayya b. Khalaf! Wahai Abu Jahl b. Hisyam! ..." -
Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang dalam perigi
itu satu satu. "Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan
tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang
telah dijanjikan Tuhanku."

"Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah
bangar?" kata kaum Muslimim kemudian bertanya.

"Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu,"
jawab Rasul. "Tetapi mereka tidak dapat menjawab."

Ketika itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn
'Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah.

"Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai ayahmu, Abu
Hudhaifa"? tanyanya.

"Sekali-kali tidak, Rasulullah," jawab Abu Hudhaifa. "Tentang
ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya. Hanya
saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa.
Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat petunjuk menjadi
seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan
teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah makin
jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
sedih."

Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta
mendoakan kebaikan baginya.

Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan
berangkat pulang menuju Medinah, mulailah timbul pertanyaan
sekitar masalah harta rampasan, buat siapa seharusnya. Kata
mereka yang melakukan serangan: kami yang mengumpulkannya;
jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada
waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena kami,
kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu
sekalian tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami
dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak
ada suatu pihakpun yang akan melindungi mereka. Tetapi kami
kuatir adanya serangan musuh kepada Rasulullah. Oleh karena
itu kami lalu menjaganya.

Tetapi kemudian Muhammad menyuruh mengembalikan semua harta
rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan dimintanya supaya
dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau akan ada
ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.

Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid b. Haritha ke
Medinah guna menyampaikan berita gembira kepada penduduk
tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin. Sedang
dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah
diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya
kepada Abdullah b. Ka'b.

Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi selat Shafra', pada
sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan
perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu dibagi
rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada
mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman
Allah:

"Dan hendaklah kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu
peroleh, seperlimanya untuk Tuhan, untuk Rasul, untuk para
kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang
terlantar dalam perjalanan, kalau kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua golongan itu
saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa."
(Qur'an, 8: 41)

Sebahagian besar penulis-penulis sejarah Nabi berpendapat,
terutama angkatan lamanya - bahwa ayat tersebut turun sesudah
peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi, dan bahwa
Muhammad membaginya secara merata di kalangan Muslimin, dan
bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada pada
penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan
kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak
ikut ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan
mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di
belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul,
juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan perang itu
dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang dan
mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan
yang ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan
itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang
di garis depan atau yang jauh dari sana.

Sementara kaum Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua
orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr
bin'l-Harith dan yang seorang lagi bernama 'Uqba b. Abi
Mu'ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad atau
sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu
dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan
mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan
'Uqba ini keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam
Muslimin selama di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua
orang ini selalu mengganggu mereka.

Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka sampai di Uthail
para tawanan itu diperlihatkan kepada Nabi a.s. Ditatapnya
Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian rupa, sehingga
tawanan ini gemetar seraya berkata kepada seseorang yang
berada di sampingnya:

"Muhammad pasti akan membunuh aku," katanya. "Ia menatapku
dengan pandangan mata yang mengandung maut."

"Ini hanya karena kau merasa takut saja," jawab orang yang di
sebelahnya.

Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. 'Umair - orang yang
paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.

"Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah
seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia akan
membunuh aku."

"Tetapi dulu kau mengatakan begini dan begitu tentang
Kitabullah dan tentang diri Nabi," kata Mushiab. "Dulu kau
menyiksa sahabat-sahabatnya."

"Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan
dibunuh selama aku masih hidup," kata Nadzr lagi.

"Engkau tak dapat dipercaya," kata Mush'ab. "Dan lagi aku
tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus."

Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia
ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dan keluarganya.
Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia segera
berkata:

"Nadzr tawananku," teriaknya.

"Pukul lehernya," kata Nabi a.s. "Ya Allah. Semoga Miqdad
mendapat karuniaMu."

Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi
Talib.

Pada waktu mereka dalam perjalanan ke 'Irq'z-Zubya
diperintahkan oleh Nabi supaya 'Uqba b. Abi Mu'ait juga
dibunuh.

"Muhammad," katanya, "siapa yang akan mengurus anak-anak?"

"Api," jawabnya.

Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh 'Ashim b.
Thabit, sumbernya berlain-lain.

Sehari sebelum Nabi dan Muslimin sampai di Medinah kedua
utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha sudah lebih
dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan
yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya itu
Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada
Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat,
sambil menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang
terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama
sambil ia menunggang Al-Qashwa', unta kendaraan Nabi. Kaum
Muslimin bergembira ria. Mereka berkumpul, dan mereka yang
masih berada dalam rumah pun keluar beramai-ramai dan
berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.

Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang Yahudi merasa
terpukul sekali dengan berita itu. Mereka berusaha akan
meyakinkan diri mereka sendiri dan meyakinkan orang-orang
Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.

"Muhammad sudah terbunuh dan teman-temannya sudah
ditaklukkan," tenak mereka. "Ini untanya seperti sudah
sama-sama kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini
masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya mengigau saja
dia, karena sudah gugup dan ketakutan."

Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat kepastian benar dari
kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran berita itu,
sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak lalu
terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka
itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala
ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan
suaminya, Usman b. 'Affan, juga ditinggalkan supaya
merawatnya.

Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad yang menang, mereka
merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi
lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah seorang
pembesar Yahudi yang mengatakan:

"Bari kita sekarang lebih baik berkalang tanah daripada
tinggal di atas bumi ini sesudah kaum bangsawan,
pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah
suci itu mendapat bencana."

Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan
perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam'a
isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada
kabilah Banu 'Afra', tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid
Suhail b. 'Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah
tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan
diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:

"Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati
sajalah dengan terhormat!."

"Sauda!" Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. "Kau
membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!"

"Rasulullah," katanya. "Demi Allah Yang telah mengutusmu
dengan segala kebenaran. Saya sudah tak dapat menahan diri
ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat di tengkuk
sehingga saya berkata begitu."

Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan
itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada
mereka:

"Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya."

Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus
dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus
meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras
dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh
rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di
Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai
tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti
mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi;
kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus
barangkali akan jadi tenang.

Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum
Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah
kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat
tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan
bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.

"Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka.
"Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang
paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak
melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia."

Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.

"Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah
ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu
kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita.
Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada
kami atau menerima penebusan kami."

Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka
kuatir Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan
menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar
menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar
Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha
melunakkan dan meredakan kemarahannya.

"Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih
keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau
saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat
kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan
memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan
dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api
neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat
kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati
mereka."

Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi
menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.

"Rasulullah," katanya. "Mereka itu musuh-musuh Tuhan.
Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal
sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir,
pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah
orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan."

Juga Muhammad tidak menjawab.

Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu
lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih
lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan
kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan
mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan
sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau
kasihan tidak ada.

Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali
ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali
keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan
ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak
kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus
dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu
Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan
Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari
kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut
terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa
dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya
berkata:

"Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah
kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67)

Atau seperti katanya:

"Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang
membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang."
(Qur'an. 14: 36)
(bersambung ke bagian 4/4)

Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia
berkata:

"Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hambaMu; dan
kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana."
(Qur'an, 5: 118)

Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril,
diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap
musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala
berkata:

"Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya
tempat-tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71: 26)

Atau seperti Musa bila ia berkata:

"O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah
hati mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih
mereka rasakan." (Qur'an, 10: 88)

Kemudian katanya:

"Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka
itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya."

Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka
itu ada seorang penyair, yaitu Abu 'Azza 'Amr b. Abdullah b.
'Umair al-Jumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu
cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.

"Muhammad," katanya, "Saya punya lima anak perempuan dan
mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini
kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku
tidak akan memerangi kau lagi, juga sama sekali aku tidak akan
memaki-maki kau lagi."

Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar
uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil
mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri
janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut berperang di
Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.

Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan,
bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Dengan
dikabulkannya itu ayat ini turun.

"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang Allah menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)

Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr ini serta terbunuhnya
Nadzr dan 'Uqba ada beberapa orang Orientalis yang masih
bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini sudah membuktikan
bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak tentu
kedua orang itu tidak akan dibunuh. Bukankah sesudah mendapat
kemenangan dalam pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum
Muslimin jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka
sudah cukup memperoleh rampasan perang?

Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah hendak membangkitkan
rasa simpati dalam hati orang yang selama itu belum menjadi
masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr dan
peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan
alat untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawany a

Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini kemudian jadi gugur
sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan 'Uqba ini kita
bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan selalu
terjadi, selama perabadan Barat, yang memakai jubah Kristen
itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang telah
terjadi di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah secara
paksa atas nama hendak memadamkan pemberontakan itu, dapatkah
peristiwa di atas tadi - sedikit saja - dijadikan
perbandingan? Dapatkah hal itu - sedikit saja - kita
bandingkan dengan penyembelihan yang terjadi dalam Perang
Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa itu kita bandingkan
pula - sedikit saja - dengan apa yang telah terjadi selama
Revolusi Perancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah terjadi
dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?

Memang sudah tak dapat disangkal bahwa apa yang dialami
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah suatu revolusi yang
dahsyat dan Muhammad yang diutus Tuhan, berhadapan dengan
paganisma dan orang-orang musyrik sebagai penyembahnya. Suatu
revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah, dan yang oleh
karenanya, berbagai macam siksaan dan penderitaan dialami oleh
Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tigabelas tahun
terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di
tempat ini mereka nengumpulkan tenaga dan kekuatan. Sementara
itu benih-benih revolusi masih terus tumbuh dalam hati mereka,
juga dalam hati semua orang Quraisy.

Pindahnya Muslimin ke Medinah, perjanjian mereka dengan
orang-orang Yahudi setempat, terjadinya benterokan-benterokan
sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu sendiri - semua
itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip. Kebijaksanaan
yang telah ditentukan oleh pemimpin revolusi dan
sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh adanya ketentuan
prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa oleh Rasul.
Jadi, siasat revolusi itu lain dan prinsip-prinsip revolusi
lain lagi. Juga kondisi yang terjadi berikutnya kadang sama
sekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu. Dalam hal Islam
telah menjadikan rasa persaudaraan sebagai dasar peradaban
Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu harus ditempuh,
sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau memang
sudah tak dapat dihindarkan lagi.

Tindakan kaum Muslimin terhadap tawanan-tawanan perang Badr
adalah suatu teladan yang baik dan penuh kasih-sayang,
dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam beberapa revolusi
yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti keadilan dan
kasih-sayang. Dan inipun merupakan satu bagian saja di samping
penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas nama
Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap
sebagai suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang dalam
sejarah Islam contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada.
Penyembelihan ini diatur pada waktu malam. Orang-orang Katolik
di Paris membantai orang-orang Protestan dengan jalan
tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu gambaran tipu-muslihat
dan penghianatan yang sungguh rendah dan kotor.

Jadi kalau dua orang saja dari lima puluh tawanan Badr itu
yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka selama tiga belas
tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin, yang sampai
menderita pelbagai macam siksaan selama di Mekah, itupun
karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap
sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti disebutkan
dalam ayat:

"Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai
tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia.
Kamu menghendaki kekayaan duniawi, sedang Allah menghendaki
akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67)

Sementara orang-orang Islam sedang bersukaria karena dengan
anugerah Tuhan mereka mendapat kemenangan berikut harta
rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza'i secara tergesa-gesa
sekali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi orang yamg
pertama masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk mengenai
hancurnya pasukan Quraisy serta bencana yang telah menimpa
pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan
mereka. Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak
mempercayai berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar
berita kehancuran itu serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi tampaknya Haisuman memang
tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa yang dikatakannya.
Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang merasa paling
terpukul dengan bencana itu.

Setelah ternyata berita kejadian tersebut memang benar,
seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan. Abu Lahab jatuh
demam, dan tujuh hari kemudian iapun meninggal. Sekarang
orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka
lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan
duka-cita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini
terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan
diejek. Juga tidak akan mengrim orang untuk menebus para
tawanan itu, supaya jangan sampai Muhammad dan
sahabat-sahabatnya nanti memperketat mereka dan meminta
tebusan yang terlampau tinggi.

Haripun berjalan juga. Orang-orang Quraisy sedang menahan hati
mengalami cobaan itu sambil menunggu kesempatan sampai dapat
tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.

Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus
Suhail b. 'Amr. Rupanya Umar bin'l-Khattab keberatan kalau
orang itu bebas tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia
berkata:

"Rasulullah. Ijinkan saya mencabut dua gigi seri Suhail b.
'Amr ini, supaya lidahnya menjulur keluar dan tidak lagi
berpidato mencercamu di mana-mana."

Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh
agung:

"Aku tidak akan memperlakukannya secara kasar, supaya Tuhan
tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi."

Zainab puteri Nabi juga lalu mengirimkan tebusan hendak
membebaskan suaminya, Abu'l-'Ash b. Rabi'. Diantara yang
dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung pemberian Khadijah
ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu'l-'Ash.

Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali

"Kalau tuan-tuan hendak melepaskan seorang tawanan dan
mengembalikan barang tebusannya kepada sipemilik, silakan
saja," kata Nabi.

Kemudian ia mendapat kata sepakat dengan Abu'l-'Ash untuk
menceraikan Zainab, yang menurut hukum Islam mereka sudah
bercerai. Dalam pada itu Muhammad mengutus Zaid b. Haritha dan
seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab dan membawanya ke
Medinah.

Akan tetapi sesudah sekian lama Abu'l-'Ash dibebaskan sebagai
tawanan, ia berangkat ke Syam membawa barang dagangan Quraisy.
Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu dengan satuan
Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia meneruskan
perjalanan dalam gelap malam itu hingga ke tempat Zainab. Ia
minta perlindungan dari Zainab dan Zainabpun melindunginya
pula. Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh
Muslimin kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah.
Setelah barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya
masing-masing dari kalangan Quraisy, ia berkata:

"Masyarakat Quraisy! masih adakah dari kamu yang belum
mengambil barangnya?"

"Tidak ada," jawab mereka. "Mudah-mudahan Tuhan membalas
kebaikanmu. Engkau ternyata orang yang jujur dan murah hati."

"Saya naik saksi," katanya lagi kemudian, "bahwa tak ada tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya.
Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di kotanya itu, tapi
saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya hanya ingin
makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya kembalikan
kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang saya
masuk Islam."

Kemudian ia kembali ke Medinah. Zainab juga oleh Nabi
dikembalikan lagi kepadanya.

Dalam pada itu pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya.
Nilai tebusan waktu itu berkisar antara seribu sampai empat
ribu dirham untuk tiap orang. Kecuali yang tidak punya apa-apa
dengan kemurahan hati Muhammad membebaskannya.

Rasanya tidak ringan nasib yang menimpa Quraisy itu, juga
mereka tidak mau menghentikan permusuhan dengan Muhammad atau
melupakan kekalahan yang mereka alami. Bahkan sesudah itu
kemudian wanita-wanita Quraisy itu ramai-ramai selama sebulan
penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka sendiri
mereka gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah mati itu
dibawa, lalu mereka menangis mengelilinginya.

Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan, kecuali Hindun bt.
'Utba, isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari ia didatangi
oleh wanita-wanita dengan mengatakan: "Kau tidak menangisi
ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?"

Ia menjawab:

"Aku menangisi mereka? Supaya kalau nanti didengar oleh
Muhammad dan teman-temannya mereka menyoraki kita? Dan
wanita-wanita Khazraj juga akan menyoraki kita? Tidak! Aku
mesti menuntut balas kepada Muhammad dan teman-temannya! Haram
kita memakai minyak sebelum dapat kita memerangi Muhammad.
Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan itu bisa
hilang dari hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru akan
hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang kucintai
itu sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!"

Memang, ia tidak lagi memakai minyak atau mendekati
tempat-tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan orang sampai
pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan, sesudah
peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan
air sebelum ia memerangi Muhammad.

Catatan kaki:


1 Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan
dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat),
pasukan yang bergerak bersama-sama dengan Nabi, sedang
sariya (jamak saraya) pasukan yang bergerak tanpa Nabi
ikut serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan
dengan perang. Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga
pengertian: perang ekspedisi dan razzia atau
pembersihan. Buku yang lebih khusus membicarakan
strategi perang antara lain: Mayor Muh. Abd'l-Fattah
Ibrahim, Muhammad al-Qa'id, Cairo 1945/1964; Muhammad
Hamidullah, The Battlefields of the Prophet Muhammad,
Working, England, 1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait
Khattab Ar-Rasul'l-Qa'id, Cairo, 1964. Badr adalah
sebuah desa di barat daya Medinah, sebuah pangkalan air
terkenal yang terletak antara Medinah dan Mekah, tak
seberapa jauh dari pantai Laut Merah (A).


2 Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir
perbatasan dengan Hijaz di Laut Merah, yang merupakan
pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal
Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul'l-Qa'id, hal. 90 (A).


3 Julukan Umayya b. Khalaf (A).


4 Ihda't-ta'ifatain, harfiah, salah satu dari dua
kelompok. Dua kelompok ialah kafilah Quraisy yang datang
dari Suria membawa harta dagangan yang besar, terdiri
dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu
Sufyan. 2) Angkatan bersenjata Quraisy terdiri dan 1000
orang dengan perenjataan lengkap datang dan Mekah di
bawah pimpinan Abu Jahl. (A).


5 'Udwa 'tepi wadi' (LA). Al-'udwat'l-qashwa 'tepi wadi
yang lebih dekat ke arah Mekah' sebaliknya daripada
'al-'udwat'd-dunya' 'tepi wadi yang lebih dekat ke arah
Medinah' (L4) (A)


6 Qur'an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268)
(A).


7 Aslinya "Ya Nabiullah" (A).


8 Maksudnya 'Amr bin'l-Hadzami yang tewas dalam
bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).


9 "Demi Allah" (A).


10 Suatu pernyataan Tauhid (A).


11 Manaha harfiah berarti 'tempat wanita-wanita
menangisi mayat' (LA). (A).


Lading_Emas

No comments:

Post a Comment